Kamis, 06 Oktober 2011

Manunggaling Kawula-Gusti



Filsafat Jawa

 

Penyatuan Antara Hamba dengan Tuhannya


Setiap peradaban, di belahan dunia manapun pasti mengenal hidup dan kehidupan. Hidup dan kehidupan dalam ilmu pengetahuan dikenal sebagai pandangan hidup atau yang lebih populer dengan istilah falsafah. Dalam perkembangannya, falsafah ini menjadi sebuah disiplin ilmu yang sering disebut dengan filsafat.

Filsafat muncul karena didasari adanya perbedaan antara manusia dengan makhluk lainnya. Maslow (dalam Farozin, 2004: 85) mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk yang berbeda dengan hewan apapun sehingga penyelidikan dengan hewan seperti halnya pada sebagian besar penyelidikan perilaku yang dilakukan oleh pengikut aliran behavioristik tidak relevan lagi bagi upaya memahami tingkah laku manusia karena hal itu mengabaikan ciri-ciri khas pada manusia seperti adanya gagasan, nilai-nilai, rasa malu, rasa cinta, semangat, humor, rasa seni, cemburu, dan sebagainya. Dengan semua ciri yang dimilikinya manusia bisa menciptakan pengetahuan, puisi, musik, dan pekerjaan-pekerjaan manusia lainnya. 

Demikian juga dengan masyarakat Jawa. Dengan gagasan-gagasan dan akal budinya mereka menciptakan sebuah tatanan kehidupan. Tatanan ini telah mereka kenal sejak zaman batu. Zaman sebelumnya sulit dilacak karena tidak ditemukannya peninggalan yang dapat dijadikan bukti otentik. Dari berbagai bentuk batu dengan berbagai macam fungsinya diketahuilah bahwa ribuan tahun sebelum masehi manusia Jawa telah mengenal peradaban.

Dalam kaitannya dengan prinsip hidup dan keyakinan. Masyarakat purba telah mengenal adanya animisme dan dinamisme. Mereka meyakini ada kekuatan-kekuatan luar biasa di luar dirinya dan meyakini pula bahwa benda-benda tertentu dan tempat-tempat tertentu ada yang menunggu atau menguasainya.
Perkembangan selanjutnya, manusia mulai menciptakan simbol-simbol baik berupa simbol verbal ( bahasa) serta gambar baik dua dimensi maupun tiga dimensi.

Gambaran tentang simbol-simbol masyarakat Jawa yang akhirnya menjadi filsafat Jawa dapat kita simak dari berbagai hal, antara lain nyanyian Macapat dengan berbagai jenisnya, dunia wayang (baik wayang kulit maupun wayang orang), dan wejangan (nasihat yang dapat menjadi pelajaran) dari tokoh-tokoh penting (raja, resi, pujangga, dan sejenisnya) di kalangan masyarakat Jawa. Muara dari semua ajaran itu menurut Huda (2002: 49) adalah terwujudnya ”Manunggaling Kawula-Gusti” atau penyatuan antara hamba dengan Tuhannnya.




Benarkah manusia dengan Tuhannya dapat menyatu? Kalau memang benar, bagamana bentuk penyatuan itu?


Manusia pada dasarnya adalah makhluk spiritual. Kita dilahirkan dengan pengetahuan tentang Tuhan. Tuhan adalah pengetahuan yang tercetak yang dapat terlupakan/disangkal, tetapi tidak dapat dihapuskan (Karasu, 2003: 194). 

Dari penjelasan Karasu tersebut, penulis teringat kisah tentang sang Presiden Uni Soviet era tahun 80-an Michael Gorbacev, presiden dari sebuah negara adidaya yang berhaluan komunis dan merupakan musuh bebuyutan Amerika Serikat. Ketika sang presiden memimpin rapat kabinet dan rapat mengalami kebuntuan, di bawah alam sadarnya sang presiden memegang keningnya sembari berucap ”Oh, my Good”. Pemimpin tertinggi negara pengingkar Tuhan di depan para pemimpin lainnya menyebut-nyebut nama Tuhan. Selang beberapa tahun dari peristiwa itu pengaruh Uni Soviet mulai memudar dan akhirnya hancur berkeping-keping.

Gorbacev beserta para pengikutnya bahkan para pendahulunya berusaha menyangkal atau mengingkari keberadaan Tuhan, namun di saat mereka berada dalam situasi yang terjepit, naluri spiritualnya tidak dapat dicegah untuk lari kepada Tuhannya.

Ilustrasi di atas senada yang diungkapkan oleh Juraid Abdul Latif dalam bukunya ”Manusia, Filsafat, dan Sejarah” (2006: 79) bahwa semua manusia mempunyai jati diri. Bahwa kemudian jati diri manusia berada dalam wujud plus-minus itu adalah soal nanti, termasuk ketika pada akhirnya muncul kecenderungan untuk hanya menerima jati diri positif dan mengingkari refleksi kedirian yang bernuansa negatif. Akan tetapi, pada konteks inilah sebenarnya manusia diuji jati dirinya. Justru, penolakan atau keengganan untuk mengakui totalitas kedirian mencerminkan keterpecahan jati diri manusia. Manusia ragu-ragu atas drinya dan masa lalunya. Manusia kehilangan keseimbangan. Kesadaran untuk menerima jati diri seutuhnya mendeskripsikan ”apa adanya saya”. 

Dari penjelasan Latif di atas, sekilas dapat dianalogikan bahwa pengakuan tentang adanya Tuhan adalah jati diri yang tergolong bernuansa positif. Pengigkaran terhadap salah satu nuansa dalam jati diri baik yang bernuansa positif maupun negatif akan membawa kehancuran jati diri yang sekaligus kehancuran diri manusia tersebut. Nuansa positif dalam diri kita seperti ketuhanan, budi pekerti yang mulia, sopan santun, dan sebagainya bukan untuk diingkari; namun untuk ditaati, diaplikasikan, disebarluaskan, dan diyakini akan membawa kebaikan baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Begitu juga sebaliknya, nuansa negatif seperti berkata kotor, mencuri, sombong, angkuh, dan sebainya tidak perlu kita ingkari karena hal ini juga sebenarnya ada pada diri setiap manusia; tetapi yang kita lakukan adalah menahan atau menekannya agar hal tersebut tidak muncul pada diri kita.

Lebih lanjut Latif menjelaskan bahwa dengan mengetahui terutama mengenal siapa manusia, kita menjadi sadar tentang kedirian kita. Bukan itu saja, mengenal diri (manusia) penting artinya dalam membebaskan manusia dari keterasingan, paling tidak terbebas dari kerasingan diri sendiri. Oleh sebab itu, sepanjang sejarah kemanusiaan, selalu muncul kreativitas sadar membebaskan diri dari keterasingan. Karena hakikatnya manusia dapat menemukan ”hakikat” ketika pikiran telah keluar dari manusia (Latif, 2006:15).
Yang dimaksud sejarah kemanusiaan oleh Latif salah satunya adalah perjalan hidup putra mahkota Kerajaan Cirebon yakni Pangeran Ali Hasan yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan Syekh Siti Jenar. Huda (2002: 50) menuliskan bahwa filsafat Siti Jenar ada kesamaan bahkan identik dengan filsafat Jawa. Surga berada di dalam jiwa manusia, untuk mendapatkannya tidak perlu menunggu setelah mati. Di dalam kehidupan pun kita dapat menemukan surga. Jiwa yang telah terbebas dari beban raga dan beban dunia menurut Siti Jenar adalah jiwa yang telah menemukan kebahagiaan dan kedamaian. Bahagia dan damai adalah ciri suasana surga. Jadi, menurutnya manusia yang sudah dapat berperilaku seperti ini pada hakikatnya sudah menemukan surga. 

Manusia yang masih terikat oleh kebutuhan balas budi, menurut Siti Jenar bukanlah manusia penghuni surga karena masih dikungkung oleh orang lain dan menurutkan nafsu untuk menyenangkan orang lain. Hal ini agak berseberangan dengan etika jawa yang ditulis oleh Sujamto (2000: 45) yang menyatakan bahwa tekad dan sikap membalas budi sebagaimana sikap Raden Karna membela Kurawa melawan Pandawa (adik-adiknya sendiri) serta sikap tanpa ragu-ragu menjalani takdir termasuk sikap terpuji dalam etika Jawa. 

Orang yang masih memperturutkan keinginan seperti ini menurut Siti Jenar akan sulit menyatukan diri dengan Tuhannya karena jiwanya belum terbebas dari himpitan keduniaan. Hal ini juga berseberangan dengan teori filsafat secara umum seperti yang dikemukakan oleh Abraham Maslow bahwa hirarki kebutuhan meliputi: kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan berkelompok, dan beraktualisasi. Dalam beraktualisasi diri secara terus-menerus, manusia acapkali dihanyutkan oleh realitas di sekitarnya. Kecenderungan manusia untuk berubah dalam kenyataannya merupakan suatu proses untuk menjadi yang lain, suatu proses pembentukan kepribadian. Pada dasarnya pembentukan kepribadian adalah suatu proses pembentukan diri, suatu proses yang tidak pernah berakhir. Seseorang yang berkeinginan menampilkan identitas pribadi baru biasanya akan menanggalkan kebiasaan masa lalunya, kemudian tampil dengan sikap dan perilaku berbeda, bahkan terkadang secara sadar atau tidak –demi perbedaan yang diinginkan- ia tidak malu-malu untuk memanipulasi diri (dalam Soedarsono, 2000: 27 28). 

Pernyataan seperti di atas sangat bertentangan dengan prinsip ”Manunggaling Kawula-Gusti” ala Syekh Siti Jenar. Sangat jelas pendapat Maslow tersebut, manusia masih dibebani dengan berbagai macam kebutuhan. Sedangkan dalam ”Manunggaling Kawula-Gusti” kebutuhan-kebutuhan semacam itu sudah dibuang jauh-jauh. Kebutuhan utama mereka adalah menghadirkan Tuhan di dalam jiwanya. Dengan sudah menyatunya Tuhan dalam dirinya, secara otomatis kebutuhan apapun sudah tercukupi, atau sama saja dengan sudah tidak membutuhkan apapun.

”Manunggaling Kawula-Gusti” sperti di atas sudah membutuhkan lagi adanya ibadah atau bentuk persembahan lainnya, sudah tidak dibutuhkan lagi sholat, puasa, zakat, dan sebagainya karena Tuhan sudah bersamanya. Bentuk seperti ini jelas sudah tidak diterima lagi oleh agama apapun. Dalam Islam masih harus dilaksanakan rukun Islam, dalam Nasrani masih tetap harus dilakukan kebaktian, dalam Hindu masih harus diakukan bentuk persembahan, dan sebagainya.

Dalam konsep agama apapun dan di manapun, ”Manunggaling Kawula-Gusti” memang bagus tetapi tetap harus melaksanakan kewajiban seorang hamba kepada Tuhannya.


Bentuk ibadah agama apapun tujuannya adalah menyerahkan diri kepada Tuhan. Idealnya, orang mnyerahkan diri berarti ada yang dihadapi yaitu orang yang akan menerima penyerahan itu. Begitu juga berserah diri kepada Tuhan, manusia harus bertemu dengan Tuhan mestinya, seandainya tidak dapat bertemu setidak-tidaknya merasa yakin bawa Tuhan mengetahui kita, sehingga ada komunikasi langsung antara seorang hamba dengan Tuhannya. Dalam agama Islam meskipun seseorang sudah dapat menghadirkan Allah dalam kehidupannya, tetap saja seorang muslim harus melaksanakan sholat, puasa, zakat, dan haji bagi yang mampu. Begitu juga agama yang lain, tetap harus melaksanakan rutinitas ibadah sesuai petunjuk dalam kitab suci.


 Literatur

1. Farozin, Muhammad. 2004. Pemahaman Tingkah Laku. Jakarta: Rineka Cipta.
2. Huda, Nurul. 2002. Siti Jenar Sang Subversif. Surabaya: Dua Putra.
3. Karasu, T. Bryan. 2003. Seni Berdamai dengan Hati (The Art of Serenity). Jakarta: Prenada Media
4. Latif, Juraid Abdul. 2006. Manusia, Filsafat, dan Sejarah. Jakarta: Bumi Aksara.
5. Soedarsono, Soemarno. 2000. Penyemaian Jati Diri. Jakarta: Gramedia.
6. Sujamto. 2000. Sabda Pandhita Ratu. Semarang: Dahara Prize.


Sumber: http://yonmujiyon.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar