Senin, 03 Oktober 2011

RUU Intelijen: Mau Disahkan?






Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merencanakan akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Intelijen di tengah pembahasan yang sangat tertutup. Publik tak tahu apa yang diperbincangkan oleh ang¬gota Dewan.

Pembahasannya di DPR memang agak aneh. Seolah semua akses ditutup.Tak boleh ada yang tahu. Apakah benar ada perdebatan di dalam sidang-sidang komisi atau memang sudah dirancang langsung disahkan, tak ada yang tahu.

Sejak awal RUU intelijen ini menuai banyak protes. Soalnya banyak pasal-pasal yang dikhawatirkan menjadi alat bagi penguasa untuk bertindak represif dan di luar koridor hukum terhadap warga negara yang dianggap lawan politik bagi pemerintah.

Misalnya saja, di dalamnya ada kewenangan khusus seperti penyadapan dan penangkapan oleh Badan intelijen Negara (BIN). Ini dianggap berpotensi melanggar hak asasi manusia. Tak hanya itu, RUU intelijen ini juga telah jauh melenceng dari semangat reformasi yang digembor-gemborkan setelah runtuhnya Rezim Orde Baru.

Selain itu di dalamnya ada pasal yang mengatur kewenangan BIN melakukan pencegahan dan pemeriksaan terhadap orang yang diduga terkait terorisme, separatisme, spionase, subversi dan sabotase. Pemeriksaan intensif itu berlangsung selama 7 x 24 jam.

Polemik pun muncul terhadap posisi Badan intelijen Negara. seperti yang tertuang jelas dalam draf RUU intelijen itu bahwa intelijen merupakan lembaga pemerintah (Pasal 1 ayat 2 RUU intelijen), bukan lembaga negara. Belum lagi polemik muncul perdebatan terhadap pasal-pasal karet dan multitafsir.

Jika DPR mengesahkan RUU ini menjadi UU sesuai draft pertama yang diserahkan pemerintah, bukan tidak mungkin akan membangkitkan lagi gaya pemerintahan Orde Baru yang represif. Lembaga intelijen bisa 'dipakai' untuk menggilas musuh-musuh politik pemerintah yang berkuasa tanpa bisa dikontrol lagi.

Direktur Program Imparsial Al Araf berharap parlemen tak buru-buru mengesahkan RUU intelijen ini. "Harus dibuka ruang seluas mungkin bagi masyrakat sesuai UU no 10/2004 tentang tata aturan perundangan,” tuturnya.
Menurut Al Araf, benar ada pertarungan kepentingan politik praktis terhadap RUU intelijen. Menurutnya, sejauh ini pembahasan yang dilakukan panitia kerja (Panja) Komisi 1 DPR belum pernah menginformasikan perkembanganya kepada publik terkait masih adanya beberapa pasal dalam RUU intelijen ini yang dianggap bermasalah.

Ia menegaskan, penting bagi parlemen untuk memahami bahwa proses pembuatan dan pembahasan undang-undang harus melibatkan partisipasi publik. "Tertutupnya pembahasan ini justru menimbulkan kecurigaan, bahwa ada ada udang di batik batu,” terangnya.

Kewenangan Intelijen

Ketika intelijen tidak memiliki kewenangan seperti yang diminta dalam RUU ini saja, ba¬nyak tindakannya sewenang-wenang, bagaimana kalau mereka nantinya diberikan kewenangan oleh UU? Kekhawatiran tersebut muncul di tengah masyarakat.

RUU Intelijen membuka ruang selebar-lebarnya kepada Badan intelijen dan lembaga-lembaga intelijen untuk menyikat habis orang-orang yang dianggap sebagai ancaman tanpa alasan. Di mana 'kaum Muslimin' yang hanya diduga sebagai teroris, sudah diambil tindakan hukum secara keji. Lihatlah kisah Bahrun Naim yang diciduk secara paksa oleh Densus 88 tanpa perikemanusiaan dan proses hukum yang mengada-ada. (Media Umat Edisi 57/Fokus).

Itu hanya segelintir kisah dari prilaku buruk kebijakan yang tidak sama sekali menunjukkan kebijakan yang menguntungkan terhadap masyarakat. Apalagi dengan adanya lagi hak khusus yang diusulkan dalam draf RUU Intelijen. Untuk menambah wewenang penyadapan tanpa izin pengadilan dan penangkapan tanpa pengacara.

Menurut penelitian yang dilakukan Media Survei Nasional (Median) dan Future Institute, publik tidak setuju dengan penambahan dua hak khusus untuk intelijen itu. Terdapat 60,5 persen publik menolak, dan hanya 10 persen yang setuju selebihnya 28,7 persen tidak tahu.

Sedangkan terhadap wewenang lembaga intelijen untuk melakukan penangkapan terhadap terduga pelaku terorisme serta pemeriksaan tanpa didampingi pengacara ada 62 persen publik yang tidak setuju, 14 persen yang setuju dan 23 persen tidak tahu. Dalam penelitian ini juga, 40,4 persen publik mengkhawatirkan penyalahgunaan kewenangan dalam hal penyadapan.

Menjadi Taring Pemerintah

Sidarto Danusubroto Anggota Komisi 1 Fraksi PDIP saat ditemui Media Umat di ruang kerjanya Gedung Nusantara 1 DPR-RI menyatakan bahwa masih ada beberapa pasal yang masih didiskusikan, terutama pasal penyadapan dan penangkapan. Pasal penangkapan itu dianggap bertabrakan dengan KUHP Sebagian anggota Dewan berpendapat, penyadapan hanya untuk kepentingan perkara hukum."Dari sisi dan kondisi Rancangan Undang-Undang ini banyak ber¬tabrakan dengan UUD dan UU, maka sikap Fraksi menolak dua pasal yang kontroversi ini," paparnya.

Untuk penguatan intelijen, Sidarto menyetujui hal-hal yang dirancang dalam RUU itu. Penguatan intelijen dengan sistem penguatan sumberdaya manusia, jaringan, networking, anggaran dan sebagainya. "Tapi jangan sampai berbenturan dengan UUD dan UU dan harus diterima oleh publik, harus filosofis memberikan rasa keadilan pada masyarakat. Ini kan buat masyarakat dan keamanan jangan sampai yang malahan meresahkan masyarakat,"jelasnya.

Ia berharap, RUU ini menjadi alat kepentingan pemerintah dan masyarakat pun menjadi ancaman. "Apalagi jika terpolitisasi dan tidak independen. Lalu bisa juga mengancam lawan politik yang berbeda politik dalam tanda kutip menjadi ancaman buat pemerintah," terangnya. "Kalau undang-undang ini gol maka akan terbaca bahwa pemerintah akan represif," lanjutnya.

Bagi Sidarto, pengesahan RUU ini menjadi UU jika dipaksakan bisa menunjukkan adanya kepentingan pemerintah untuk memperkuat taringnya. "Pemerintah butuh taring untuk lebih kuat, karena dengan adanya suara-suara yang menyerang dari pers, dan tokoh-tokoh nasional betul-betul membuat boring Pemerintah, "katanya.

Menghadang Islam

Munculnya RUU Intelijen ini tak bisa dilepaskan dari Global war on Terrorism (GWOT)-nya Amerika. Situasi akan bisa kembali di mana Orde Baru di mana kalangan Islam menjadi target sasarannya. Umat Islam akan dibungkam karena dianggap membahayakan kepentingan Barat dan antek-anteknya.

Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan bahwa umat harus menolak dengan tegas RUU Intelijen itu, serta meminta kepada pihak terkait untuk membatalkan poin-poin yang akan membahayakan kehidupan rakyat, khususnya aktifitas dakwah.

Dalam perspektif RUU tersebut, rakyat dianggap sebagai ancaman negara. Padahal, lanjutnya, justru yang sudah terbukti merusak negeri ini adalah kapitalisme sekuler dan orang-orang yang mengusungnya. Mereka itu malah dianggap sebagai tokoh.

Pihak-pihak yang tak suka dengan Islam terus berusaha mencari jalan untuk membangun perangkat hukum (aspek legal) yang bisa menghadang dakwah Islam yang kian marak. Mereka tak peduli dengan ide mulia yang diusung oleh Islam. Yang ada di benaknya, Islam harus dihentikan. Inilah tabiat asli yang dipelajari dan dianut dari Barat.
 
Oleh : Fatih Mujahid
Komunitas Rindu Syariah & Khilafah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar