Kamis, 27 Oktober 2011

Sekolah Bertaraf Internasional Adalah Program Yang Salah Konsep Dan 90% Pasti GAGAL


 
 
PETISI :

IKATAN GURU INDONESIA (IGI)
HENTIKAN PROGRAM SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI)
SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL ADALAH PROGRAM YANG SALAH KONSEP DAN 90% PASTI GAGAL
MENGAPA PROGRAM SBI HARUS DIHENTIKAN?

Jika kita cermati ternyata program SBI ini mengandung banyak kekurangan mencolok. Alih-alih menghasilkan kualitas bertaraf internasional kualitas pendidikan kita justru akan terjun bebas.Mengapa?

Ada beberapa kelemahan mendasar dari program SBI ini dan kelemahan ini begitu mendasar sehingga program ini memang harus dievaluasi, diredefinisi, dan perlu untuk dihentikan sampai hal-hal mendasar tersebut ditangani.

 
KONSEPNYA LEMAH

* Pertama, program ini jelas tidak didahului dengan riset yang mendalam dan konsepnya lemah. Dengan menyatakan bahwa SBI = SNP + X, maka sebenarnya konsep SBI ini tidak memiliki bentuk dan arah yang jelas. Tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan, diperdalam, dll tersebut. Jika konsep ini secara jelas menyatakan mengadopsi atau mengadaptasi standar pendidikan internasional seperti Cambridge IGCSE atau IB, umpamanya, maka akan lebih jelas kemana arah dari program ini. Dengan memasukkan TOEFL/TOEIC, ISO dan UNESCO sebagai “X” juga menunjukkan bahwa Dikdasmen juga tidak begitu paham dengan apa yang ia maksud dengan “X” tersebut. Sampai saat ini tak ada satu pun petunjuk apa yang dimaksud dengan “X” tsb. Konsep “X” ini benar-benar misterius dan dibiarkan tetap misterius.

 
APA ITU ‘BERTARAF INTERNASIONAL’?

Program ini sudah SALAH KONSEP sejak dari awalnya. UU yang mencantumkan tentang program ini harus di judicial review. Coba perhatikan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.”

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan satuan pendidikan yang bertaraf internasional tersebut? Istilah ini tidak pernah dikenal sebelumnya dan tidak jelas apa acuan, kriteria dan apalagi rujukan akademiknya. Istilah ini muncul begitu saja dari langit dan dimasukkan ke dalam UU Sisdiknas. Bagaimana mungkin sebuah UU memuat sebuah rumusan yang sama sekali tidak memiliki acuan, kriteria, dan rujukan akademiknya?



APA RUJUKAN AKADEMIK ‘SNP + X’?

Apakah sebenarnya satuan pendidikan yang bertaraf internasional itu? Apakah kalau menggunakan bahasa Inggris, berbasis IT, berfasilitas wah, dlsbnya maka sekolah tersebut bisa disebut satuan pendidikan yang bertaraf internasional? Apa rujukan akademik yang digunakan ketika menyatakan bahwa sekolah yang begini dan begitu adalah ‘bertaraf intenasional’? Apa rujukan ilmiah yang digunakan ketika merumuskan bahwa SNP + X = bertaraf internasional? Apakah jika standar yang kita gunakan itu sama atau setara dengan standar yang digunakan oleh negara-negara OECD, umpamanya, maka itu akan membuat satuan pendidikan kita menjadi ‘bertaraf internasional’? Apa sebenarnya yang ada dalam benak si pembuat UU ketika ia memasukkan istilah ‘bertaraf internasional’ tersebut? Rumusan “SNP + X” adalah rumusan misterius yang bahkan tidak dipahami oleh pencetusnya.

 
SALAH MODEL

* Kedua, Dikdasmen membuat rumusan 4 model pembinaan SBI tersebut yaitu : (1) Model Sekolah Baru (Newly Developed), (2) Model Pengembangan pada Sekolah yang Telah Ada (Existing School), (3) Model Terpadu, dan (4) Model Kemitraan. Padahal kalau dilihat sebenarnya hanya ada dua model yaitu Model (1) Model Sekolah Baru dan Model (2) Model Sekolah yang Telah Ada. Dua lainnya hanyalah teknis pelaksanaannya saja. Dari dua model tersebut Dikdasmen sebenarnya hanya melakukan satu model rintisan yaitu Model (2) Model Pengembangan pada Sekolah yang Telah Ada (existing School) dan tidak memiliki atau berusaha untuk membuat model (1) Model Sekolah Baru. Anehnya, buku Panduan Penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang dikeluarkan sebenarnya lebih mengacu pada Model (1) padahal yang dikembangkan saat ini semua adalah Model (2). Jelas bahwa sekolah yang ada tidak akan mungkin bisa memenuhi kriteria untuk menjadi sekolah SBI karena acuan yang dikeluarkan sebenarnya ditujukan bagi pendirian sekolah baru atau Model (1).
 * Sebagai contoh, jika sekolah yang ada sekarang ini diminta untuk memiliki guru berkategori hard science seperti Matematika, Fisika, Kimia, Biologi (dan nantinya diharapkan kategori soft science-nya juga menyusul) menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, atau memiliki tanah dengan luas minimal 15.000 m, dll persyaratan seperti dalam buku Panduan, maka jelas itu tidak akan mungkin dapat dipenuhi oleh sekolah yang ada. Ini ibarat meminta kereta api untuk berjalan di jalan tol!

Sebagai ilustrasi, sedangkan guru bahasa Inggris di sekolah-sekolah ‘favorit’ kita saja hanya sedikit yang memiliki TOEFL > 500, padahal mereka adalah guru-guru bahasa Inggris yang telah mendapat pendidikan khusus tentang pembelajaran bahasa Inggris selama minimal 4 tahun di kampus dengan tenaga dosen mumpuni,. Tapi toh hanya sedikit di antara mereka (para guru bahasa Inggris) yang mampu memperoleh skor TOEFL >500. Apalagi jika itu dipersyaratkan bagi guru-guru mata pelajaran hard science. Maka itu jelas tidak mungkin. Ini berarti Dikdasmen tidak mampu untuk menerjemahkan model yang ditetapkannya sendiri sehingga membuat Dikdasmen berresiko gagal total dalam mencapai tujuannya.

 
SALAH ASUMSI

Ketiga, konsep ini berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan bhs Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL. Penggagas mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL> 500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam bhs Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum menjamin kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa Inggris. Banyak orang yang memiliki nilai TOEFL<500 yang lebih fasih berbahasa Inggris dibandingkan orang yang memiliki nilai TOEFL > 500 . Singkatnya, menjadikan nilai TOEFL sebagai patokan keberhasilan pengajaran hard science bertaraf internasional adalah asumsi yang keliru. TOEFL bahkan tidak bisa dijadikan sebagai ukuran keberhasilan seorang GURU BAHASA INGGRIS dalam mengajarkan bahasa Inggris di kelas. TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang untuk belajar di luar negeri, padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah performance- nya di kelas, dan performance ini banyak dipengaruhi faktor-faktor non-linguistic. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogik. Menghubungkan nilai TOEFL dengan keberhasilan pengajaran hard science pada program SBI adalah sebuah kesalahan asumsi yang menyedihkan.

 
KETIDAKPAHAMAN

* Keempat, penggagas ide ini nampaknya juga tidak paham bahwa tidak semua orang (terutama guru PNS!) bisa ‘dijadikan’ fasih berbahasa Inggris (apalagi mengajar dengan menggunakan bahasa Inggris) meskipun orang tersebut diminta untuk tinggal dan hidup di negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Sebagai ilustrasi, bahkan masih banyak guru-guru kita di daerah-daerah yang belum mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan fasih dalam mengajar! Sebagian dari guru kita di tanah air ini masih menggunakan bahasa daerahnya dalam mengajar meski tinggal dan hidup di lingkungan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Hal ini menunjukkan bahwa adalah tidak mungkin ‘menyulap’ para guru hard science agar dapat fasih berbahasa Inggris (apalagi memperoleh nilai TOEFL>500 seperti persyaratan dalam buku Panduan Penyelenggaran Rintisan SBI tersebut) meski mereka dikursuskan di sekolah bahasa Inggris terbaik.

 
KEMUSTAHILAN

* Berdasarkan pendapat para guru bahasa Inggris senior susah sekali untuk menjadikan orang dewasa yang tidak berbahasa Inggris sama sekali untuk menguasai bahasa Inggris untuk percakapan sehari-hari apalagi untuk meminta mereka untuk mentransfer konsep pengajaran dalam bahasa Inggris. Jadi untuk mengubah guru yang tidak berbahasa Inggris untuk mengajar dalam bahasa Inggris dengan mengirimkan mereka ke institusi/kursus bahasa Inggris yang terbaik sekalipun adalah HAL YANG MUSTAHIL. Ini menyangkut teori otak juga dimana Bahasa akan mudah dipelajari oleh otak dari usia dini 0-6 tahun. Di usia 6-12 untuk mempelajari suatu bahasa akan memakan waktu lebih lama dan sulit, sedangkan diatas 12 tahun lebih sulit lagi untuk menguasai suatu bahasa.

Banyak Master dan PhD lulusan luar negeri kita yang kemampuan bahasa Inggrisnya masih rendah dan masih terbata-bata dalam menyampaikan pendapat. Padahal mereka telah hidup dan belajar menggunakan bahasa Inggris selama mereka belajar di luar negeri.

 
KEGAGALAN DIDAKTIK

* Kelima, dengan penekanan pada penggunaan bahasa Inggris sebagai medium of instruction di kelas oleh guru-guru yang baik kemampuan penguasaan materi, pedagogi, apalagi masih struggling in English jelas akan membuat proses KBM menjadi kacau balau. Program ini jelas merupakan eksperimen yang berresiko tinggi yang belum pernah diteliti dan dikaji secara mendalam dampaknya tapi sudah dilakukan di ratusan sekolah yang sebetulnya merupakan sekolah-sekolah berstandar “A”. Program ini sangat beresiko. Ratusan sekolah-sekolah berstatus Mandiri yang diikutkan program ini beresiko besar untuk mengalami kekacauan dalam proses KBM-nya. Berharap target yang tinggi dari guru yang tidak kompeten (atau kompetensinya merosot karena harus menggunakan bahasa asing) adalah kesalahan yang sangat fatal. Resiko kegagalannya sangat besar untuk ditanggung. Program SBI ini bakal menghancurkan best practices dalam proses KBM yang selama ini telah dimiliki oleh sekolah-sekolah Mandiri yang dianggap telah mencapai standar SNP tersebut.

Fakta : Hasil Ujian Nasional baru-baru ini menunjukkan bahwa banyak sekolah-sekolah berstatus RSBI ternyata hasil UN-nya lebih rendah daripada sekolah-sekolah reguler lainnya. Banyak siswa RSBI yang bahkan tidak lulus dalam Ujian nasional tahun 2010. Ini adalah fakta keras yang menunjukkan bahwa program RSBI ini telah menghancurkan best practice dan menurunkan mutu sekolah-sekolah terbaik yang dijadikan sekolah RSBI.

 
PROGRAM“SBI” TELAH GAGAL DI MALAYSIA

* Keenam, Satu hal yang perlu diketahui oleh Kemendiknas adalah bahwa program “SBI” semacam ini TELAH DIPRAKTEKKAN di negara-negara lain dan ternyata GAGAL. Sudah selayaknya bahwa kita belajar dari kegagalan orang lain dan tidak perlu harus melakukan kesalahan yang sama dan terperosok di lobang yang sama dengan yang dilakukan oleh negara-negara lain. Baca hasil studi Hywell Coleman dan John Clegg dari British Council tentang penggunaan bahasa Inggris sebagai medium of instruction di negara-negara lain dan hasil yang diperolehnya.

Negara Malaysia telah lebih dahulu membuat program semacam ini dan program “SBI” di Malaysia telah GAGAL. Pengalaman negara Malaysia dengan program pengajaran sains dan matematik di sekolah-sekolah di Malaysia dengan menggunakan bahasa pengantar bhs Inggris[disebut PPSMI] yang telah dimulai sejak tahun 2003 dan akan dihentikan pada 2012 nanti karena dianggap GAGAL. Dari satu hasil riset skala besar yang melibatkan pakar dari sembilan universitas negeri di Malaysia dan lebih dari 15 ribu siswa, PPSMI ini memang tidak menghasilkan apa yang diharapkan pencetusnya. Yang bisa survive hanya sekolah yang berada di kota besar dan sekolah berasrama di kota; jenis sekolah lainnya nyaris tanpa ampun terjadi degradasi penurunan mutu. Jadi alih-alih akan meningkatkan mutu pembelajaran Matematika dan IPA yang terjadi justru sebaliknya. Yang terjadi adalah kemerosotan kualitas pembelajaran MIPA pada siswa. Jadi sungguh salah besar jika kita justru akan mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh negara Malaysia.

 
KESALAHAN ASUMSI (LAGI)

* Ketujuh, kritik paling mendasar barangkali adalah kesalahan asumsi dari penggagas sekolah ini bahwa Sekolah BERTARAF internasional itu harus diajarkan dalam bhs asing (Inggris khususnya) dengan menggunakan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD . Padahal negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Finlandia, Jerman, Korea, Italia, dll. tidak perlu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar jika ingin menjadikan sekolah mereka BERTARAF internasional.Sekolah kita pun sebenarnya tidak perlu harus mengajarkan materi hard science dalam bhs Inggris supaya dapat dianggap bertaraf internasional. Kurikulumnyalah yang harus bertaraf internasional atau dalam kata lain tidak dibawah kualitas kurikulum negara lain yang sudah maju. Jadi fokus kita adalah pada penguatan kurikulumnya. Penguatan kemampuan berbahasa Inggris bertaraf internasional bisa dilakukan secara simultan dengan memberi pelatihan terus menerus kepada guru-guru bhs Inggris yang mempunyai beban untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam berbahasa Inggris. Selama ini siswa-siswa kita yang melanjutkan pendidikannya di luar negeri tidak pernah diminta untuk mempunyai persyaratan berstandar Cambridge, umpamanya. Jika mereka memiliki tingkat penguasaan yang tinggi dalam bidang studi dan mereka mampu memiliki kompetensi berbahasa Inggris yang baik maka mereka selalu bisa masuk ke perti di luar negeri. Bukankah selama ini mereka tidak pernah ditest masuk dengan menggunakan materi Matematika, Fisika, kimia, Biologi, dll dalam bhs Inggris? Lantas mengapa mereka harus dilatih sejak awal untuk memahami materi bidang studi tersebut dalam bhs Inggris (oleh guru yang tidak memiliki kompetensi memadai untuk itu)?

 
PROSES, DAN BUKAN ALAT

* Kedelapan, Penekanan pada penggunaan piranti media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan seolah tanpa itu maka sebuah sekolah tidak bisa bertaraf internasional. Sebagian besar sekolah hebat di luar negeri masih menggunakan kapur dan tidak mensyaratkan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD sebagai prasyarat kualitas pendidikan mereka. Sekolah-sekolah di Amerika sendiri sampai saat ini masih menggunakan papan tulis dan kapur (bukan spidol). Program SBI ini nampaknya lebih mementingkan alat ketimbang proses. Padahal pendidikan adalah lebih ke masalah proses ketimbang alat.

Pendidikan yang berorientasi ke hasil adalah paradigma lama dan telah digantikan oleh pendidikan yang berorientasikan pada proses karena pendidikan itu sendiri adalah sebuah proses.

 
PENDIDIKAN BERMUTU BUKAN HANYA UNTUK ANAK CERDAS BERBAKAT

* Kesembilan, kesalahan mendasar lain adalah asumsi dan anggapan bahwa Sekolah Bertaraf Internasional hanyalah bagi siswa yang memiliki standar kecerdasan tertentu. Sekolah yang bertaraf internasional dianggap tidak bisa diterapkan pada siswa yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata. Ini juga mengasumsikan bahwa SNP (Standar Nasional Pendidikan) hanyalah bagi mereka yang memiliki tingkat kecerdasan ‘rata-rata’. Ini adalah asumsi yang berbahaya dan secara tidak sadar telah ‘mengkhianati’ SNP itu sendiri karena menganggapnya sebagai ‘tidak layak’ bagi siswa-siswa cerdas Indonesia. Lantas untuk apa Standar Nasional Pendidikan jika dianggap belum mampu untuk memberikan kualitas yang setara dengan standar internasional? Ini juga paham yang diskriminatif dan eksklusif dalam pendidikan dan menganggap kecerdasan intelektual yang menonjol merupakan segala-galanya sehingga perlu mendapat perhatian dan fasilitas lebih daripada siswa yang tidak memilikinya.

 
BERTARAF INTERNASIONAL HANYA 2%?

Lagipula, jika kita menganggap bahwa sekolah-sekolah SBI-lah sekolah yang nantinya akan dianggap bertaraf internasional dan SETARA dengan sekolah-sekolah di negara maju maka itu sama artinya dengan menyatakan bahwa hanya 2% dari sekolah kita yang mutunya setara dengan sekolah-sekolah mereka. Ini jelas ‘menghinakan’ sistem pendidikan kita dan program SBI ini jelas merendahkan sistem pendidikan kita secara nasional.

 
SBI = PEMBOHONGAN PUBLIK

Kesepuluh, dengan program SBI ini Depdiknas memberikan persepsi yang keliru kepada para orang tua, siswa, dan masyarakat bahwa sekolah-sekolah yang ditunjuknya menjadi sekolah Rintisan tersebut adalah sekolah yang ‘akan’ menjadi Sekolah Bertaraf Internasional dengan berbagai kelebihannya. Padahal kemungkinan tersebut tidak akan dapat dicapai atau bahkan akan menghancurkan kualitas sekolah yang ada. Dan ini adalah sama dengan menanam “bom waktu’. Masyarakat akan merasa dibohongi dengan program ini dan pada akhirnya akan menuntut tanggungjawab pemerintah yang mengeluarkan program ini. Saat ini sudah banyak keluhan dan gugatan akan kualitas sekolah RSBI ini dan hal tersebut akan semakin banyak dan pada suatu saat akan mencapai kulminasinya. Kemendiknas sebaiknya segera mengambil langkah preventif sebelum kekecewaan masyarakat memuncak. Terlebih lagi bahwa para orang tua siswa RSBI adalah dari kelompok kalangan menengah ke atas yang kritis dan mampu menggalang pengaruh.

 
MENCIPTAKAN KESENJANGAN SOSIAL

* Kesebelas, Program SBI ini di lapangan ternyata menciptakan kesenjangan sosial pada siswa. Program SBI menjadikan sekolah yang mengikutinya menjadi eksklusif dan menciptakan kastanisasi karena hanya bisa dimasuki oleh anak-anak kalangan menengah ke atas. Tingginya pembiayaan yang dikenakan pada orang tua siswa membuat sekolah-sekolah SBI ini tidak dapat dimasuki oleh anak-anak dari kalangan bawah. Akibatnya terjadi kesenjangan sosial di sekolah. Sekolah publik TIDAK boleh berprilaku seperti sekolah swasta.

Hal ini juga akan menimbulkan kekecewaan dan kemarahan dalam hati para orang tua kalangan bawah yang tidak mampu masuk ke dalam sekolah eksklusif ini. Mereka akan merasa sengaja dipinggirkan dalam sebuah sistem pendidikan yang dianggap ‘terbaik’ dan yang akan menjamin masa depan anak-anak mereka. Kekecewaan dan rasa frustrasi yang menumpuk akan dapat meledak jika telah mencapai kulminasinya juga.

 
KOMERSIALISASI PENDIDIKAN

* Keduabelas, Salah satu kritik terbesar dari masyarakat tentang SBI ini adalah bahwa program ini telah memberi legitimasi kepada sekolah untuk melakukan komersialisasi pendidikan. Pendidikan diperdagangkan justru oleh pemerintah yang seharusnya memberikan pelayanan pendidikan kepada rakyatnya secara gratis dan juga bermutu. Komersialisasi pendidikan ini adalah pengkhianatan terhadap tujuan pendirian bangsa dan negara. Saat ini sekolah-sekolah publik RSBI bahkan telah menjadi lebih swasta dari swasta dalam memungut biaya pada masyarakat. Hampir semua sekolah RSBI menarik dana dari masyarakat dengan biaya tinggi yang sebenarnya sungguh tidak layak mengingat mereka adalah sekolah publik yang semestinya dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah dan ‘haram’ sifatnya menjadi komersial.

 
BERTARAF INTERNASIONAL UJIANNYA NASIONAL?

* Ketigabelas, Sungguh ganjil jika sebuah UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tiba-tiba memunculkan sebuah istilah ‘bertaraf internasional’ ! Mau dimasukkan ke mana dan dengan konstelasi bagaimana sebuah sistem pendidikan yang ‘bertaraf internasional’ dalam sebuah Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), apalagi dianggap sebagai standar tertinggi?
 * Selain itu, Meski menyandang nama ‘bertaraf internasional’ tapi siswanya masih harus ikut ujian nasional. Alangkah ganjilnya jika sebuah sekolah yang bertaraf INTERNASIONAL tapi kemudian masih harus mengikuti sebuah UJIAN NASIONAL!

Tidak mungkin sekolah harus mempersiapkan siswa untuk mengikuti DUA SISTEM UJIAN yang berbeda (nasional dan internasional) karena itu SANGAT MEMBERATKAN guru dan siswa serta tidak bermanfaat

 
BAGAIMANA DENGAN PROGRAM WAJIB BELAJAR 9 TAHUN?

* Keempat belas, Pemerintah telah menetapkan Wajib Belajar 9Tahun sebagai programnya. Maka sebagai konsekuensinya SEMUA pembiayaan pendidikan bagi siswa mulai dari pendidikan dasar maupun menengah HARUS dipenuhinya dan tidak boleh ada pungutan pada siswa. Pungutan pada orang tua siswa, meski melalui komite, adalah bertentangan dengan Undang-Undang Sisdiknas itu sendiri.

Pasal yang memuat aturan tentang diperbolehkannya pungutan bagi siswa sekolah bertaraf internasional HARUS DIAMANDEMEN karena bertentangan satu sama lain.

 
SISWA BUKAN GLADIATOR!

* Kelimabelas, salah satu tujuan dari dicetuskannya program SBI ini adalah agar pendidikan kita mampu menelurkan siswa-siswa yang akan mampu mewakili dan mampu menjadi pemenang dalam berbagai olimpiade bidang studi dan adu kecerdasan tingkat regional dan internasional. Ini jelas bertentangan dengan tujuan pendidikan itu sendiri dan sama artinya dengan membuat sekolah-sekolah gladiator yang akan menghasilkan para gladiator untuk diadu ke sana kemari demi menutupi kelemahan sistem pendidikan pemerintah secara umum.

Ini bisa dianggap sebagai penyalahgunaan tujuan pendidikan atau education abuse. Pendidikan berfungsi untuk menjadikan siswa sebagai manusia seutuhnya dan bukan untuk menjadi gladiator di bidang ilmu pengetahuan.

 
APA GANTINYA?

* Program SBI jelas salah konsep, tidak sesuai dengan semangat nasionalisme, dan tidak sesuai untuk semua kalangan. Untuk itu bangsa kita hanya memerlukan SATU standar yaitu SSN (Sekolah Standar Nasional) yg bermutu tinggi dan GRATIS. Pemerintah perlu mengembangkan SSN menjadi sebuah standar pendidikan yang terbaik yang bisa dicapai oleh bangsa Indonesia. Kita tidak memerlukan LABEL ‘internasional’ untuk dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain.

 
HENTIKAN PROGRAM SBI

* Mari kita hentikan program SBI yang konsepnya asal-asalan ini karena justru akan merugikan kualitas pendidikan kita. Program ini tidak akan mungkin berhasil meski diguyur dengan dana seberapa pun dan dalam jangka waktu berapa pun karena memang sudah SALAH DESAIN dan juga telah TERBUKTI GAGAL di negara lain. Dalam prakteknya program SBI ini juga mengkhianati rakyat kecil yang justru lebih membutuhkan pendanaan dan perhatian yang lebih besar ketimbang anak-anak cerdas kita. Anak-anak cerdas kita SELALU bisa menunjukkan kehebatan maupun kompetensinya di mana pun dan kapan pun tanpa harus dijadikan ‘gladiator’ di sekolah.

Jakarta, 19 Juli 2010

Satria Dharma

Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI)
 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar