Jumat, 18 November 2011

Raja-raja Besar Nusantara (3)

 Raja Kertaneagara (1)




Kertanagara mungkin merupakan satu-satunya tokoh Nusantara yang “terpaksa” harus dicatat dalam perjalanan sejarah dunia ketika berbicara mengenai Mongol. Ia lah tokoh yang membuat Nusantara menjadi satu dari dua kerajaan yang tidak pernah dapat ditaklukan hegemoni Mongol setelah Jepang, meskipun kemudian jepang dalam beberapa tafsiran sejarah dinyatakan melakukan pembayaran rutin (upeti) terhadap Mongol sehingga Mongol kemudian tidak meneruskan ekspedisi penaklukannya ke Jepang.

Ekspedisi Pamalayu, otonomi daerah, merupakan beberapa kebijakan yang menjadi terobosan pada masa pemerintahan Kertanagara. Nagarakratagama/Desawarnana, menempatkan masa pemerintahan raja Kertanagara kedalam sebuah pembahasan khusus. Kitab Pujasastra yang digubah dizaman Hayam Wuruk ini menempatkannya sebagai seorang Yogin sejati pengikut Tantrisme Subhuti. Ciri khas keagamaan Tantrisnya melahirkan konsepsi religius sinkretis Hindhu-Buddha, yang menurut Prof. Aminuddin Kasdi, yang dikutipnya dari pendapat Soekmono dan Krom, sebagai Tantrisme Kalacakra. Tak ayal kemudian, konsep religius ini mempengaruhi jalan kebijakan politik yang Kertanagara tempuh. Dibawah ini, kami sajikan sebuah makalah yang mengungkap secara gamblang mengenai seorang Kertanegara beserta pandangan Politiknya dan pandangannya terhadap Agama.


Latar Belakang

Pemerintahan raja Kertanagara sangat menarik perhatian , karena selama Kertanagara memegang pemerintahan, terjadi berbegai peristiwa sejarah yang penting untuk diketahui. Pemberitaan peristiwa sejarah itu pun kadang-kadang menimbulkan persoalan yang meminta pemecahan dari para ahli sejarah karena penjelasan mengenai jalannya peristiwa masih gelap. Demikianlah untuk memahami jalannya peristiwa sejarah dalam pemerintahan raja Kertanagara, khususnya kita harus mencurahkan perhatian sepenuhnya.

Peristiwa sejarah penting yang masih simpang siur pemberitaannya, seperti ekspedisi Pamalayu atau perluasan cakrawala mandala, pemberontakan dalam negeri, pergantian para wreddha patih dan pengangkatan para yuwa patih, serta kejatuhan Kertanagara sebagai akhir dari kekuasaan Singhasari atau dinasti Rajasa.

Tinjauan antropolitik, sosiokultural, dan religi sangat diperlukan demi terangnya masa-masa peralihan dari Singhasari ke Majapahit ini. Pemusatan kajian dan pendekatan antropologi tidak bisa dipungkiri menjadi pilihan akhir dari metode penelitian atas pemerintahan Kertanagara, khususnya sebagai bagian dari analisis mikro raja-raja dinasti Rajasa. Atas dasar itulah makalah ini dibuat dengan judul, Singhasari, Masa Keemasan Kertanagara dan Keruntuhan Dinasti Rajasa, Analasis Antroreligi, Antropolitik, dan Sosiokultural atas Pemerintahan Kertanagara.

Pemerintahan Kertanagara merupakan masa keemasan Singhasari dan merupakan zaman lahirnya embrio gagasan Nusantara berupa perluasan cakrawala mandala yang diwujudkan dalam ekspedisi Pamalayu. Namun ironisnya, kemajuan disatu pihak beriringan denga kemunduran dipihak lain yaitu, pemeberontakan Jayakatwang sebagai titik didih perlawanan atas sikap ahangkara raja Kertanagara. Peristiwa-peristiwa sejarah disekitar masa Kertanagara mengandung paradoks yang melahirkan pertanyaan, jika demikian bagaimanakan kiranya bila masa Kertanagara dikaji dari sudut pandang antropologi prespektif religi antropolitik, dan sosiokultural berkaitan dengan kejatuhan Singhasari?

Makalah ini terbatas membahas masa akhir Singhasari terfokus pada masa pemerintahan Kartanagara ( 1254-1292 M) dari prespektif antropologi. Dan terlepas dari kajian antropologi dari prespektif ekonomi.



HISTORIOGRAFI MASA PEMERINTAHAN RAJA KERTANAGARA

Negarakretagama pupuh 41/3 menguraikan bahwa pada tahun 1176 Saka (1254 M) Raja Wisnuwardhana menobatkan putranya. Segenap raja Janggala dan Panjalu datang ke Tumapel untuk menghadiri upacara penobatan itu. Setelah dinobatkan, putra mahkota mengambil nama abhiseka Sri Kertanagara.

Uraian diatas seolah-oleh memberi kesan pada tahun 1254 itu, Wisnuwardhana menyerahkan kekuasaannya kepada putranya Kertanagara. Hal itu tidak benar karena dalam prasasti Mula-Malurung dinyatakan dengan jelas bahwa pada tahun 1255 Wisnuwardhana masih memerintah di Tumapel, sebagai raja agung yang menguasai Janggala dan Panjalu. Raja Kertanagara dinobatkan di Daha sebagai raja bawahan atau raja muda-yuwaraja. Berkat kelahirannya dari perkawinan Wisnuwardhana dengan Permaisuri Waning Hyun, Kertanagara mempunyai kedudukan sebagai raja mahkota, mengepalai raja-raja bawahan lainnya. Sebagai raja bawahan yang memerintah Daha, ia mempunyai hak untuk mengeluarkan prasasti diwilayahnya. Hal itu memang terjadi. Prasasti Pakis Wetan, bertarikh 8 Februari 1267, dikeluarkan oleh raja Kertanagara pada waktu raja Wisnuwardhana masih hidup.[1] Baru sepeninggal raja Wisnuwardhana pada tahun 1270[2], Kertanagara bertindak sebagai raja agung menguasai Singhasari[3] dan Kediri seperti mendiang Wisnuardhana.

Kidung Panji Wijayakrama pupuh 1 menguraikan watak Sri Kertanagara, yang juga bergelar Siwa-Buddha,[4] seperi berikut:

“Raja Kertanagara mempunyai mahamantri, bernama Mpu Raganata. Mpu Raganata adalah orang baik, jujur dan pemberani. Tanpa tedeng aling-aling, ia berani mengemukakan keberatan-keberatannya terhadap sikap dan pimpinan sang Prabu. Hubungannya dengan Prabu Kertanagara disamakan dengan hubungan Patih Sri Laksmikirana dengan Prabu Sri Cayapurusa dalam cerita Singhalanggala. Juga patih Sri Laksmikirana bersikap jujur, berani membantah dan mencela sikap sang Prabu Cayapurusa. Prabu Kertanagara yang berwatak angkuh dan sadar akan kekuatan dan kekuasaannya (ahangkara), menolak mentah-mentah pendapat dam keberatan Mpu Raganata bahkam beliau menjadi muram lagi murka, seolah-olah disiram dengan kejahatan, mendengar ujaran Mpu Raganata. Dengan serta merta Mpu Raganata dipecat dari jabatannya, digantikan oleh Mahisa Anengah Panji Angragani.”

Dalam Kidung Harasawijaya pupuh 1/28b sampai 30a, disebut dengan jelas bahwa Prabu Kertanagara melorot Mpu Raganata dari kedudukannya sebagai patih amangkubhumi menjadi ramadhyaksa di Tumapel. Mpu Raganata kecewa, tidak senang dengan pemerintahan Sang Prabu. Dikatakan dalam kidung tersebut, asmu ewa sang mantri wrédha rirehira sang ahulun. Wiraraja dilorot kedudukannya sebagai demung menjadi adipati di Madura Timur. Ia tidak senang terhadap pemerintahan Raja Kertanagara. Dikatakan, tan trepti rehing nagari arawat-rawat kewuh. Tumenggung Wirekreti dilorot kedudukannya sebagai tumenggung menjadi mantri angabhaya (menteri pembantu). Pujangga Santasemereti meninggalkan Pura untuk bertapa di hutan. Pupuh 1/82a menguraikan bahwa penurunan Wiraraja dari jabatan demung manjadi adipati sangat melukai hati dan menimbulkan kemarahan. Dari percakapan antara Wirondaya dan Raja Jayakatwang, dalam pupuh 2/16a-16b dengan jelas diceritakan, bahwa sejak pemecatan para wreddha mantri dan pengangkatan yuwa mantri (menteri muda) rakyat tidak senang terhadap sikap Sang Prabu Kertanagara. Perbuatan itu menimbulkan kegelisahan dan kesenjangan antara generasi tua zaman Wisnuwardhana yang masih hidup dengan generasi muda zaman Kertanagara yang mendukung gagasan perluasan cakrawala mandala.

Demikianlah sepeninggal Wisnuwardhana dan Bhatara Narasinghamurti, Prabu Kertanagara segera mengadakan perubahan besar-besaran dalam bidang administrasi untuk disesuaikan dengan pelaksanaan politik ekspansinya. Para pembesar yang telah lama mengabdi dalam pemerintahan Prabu Wisnuwardhana dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan politik baru yang akan dijalankan oleh Prabu Kertanagara, disingkirkan dan diganti oleh tenaga-tenaga baru, yang menyetujui gagasan politik Sang Prabu Kertanagara. Perubahan itu menimbulkan kegelisahan diantara para pengawal dan rakyat.

Nama Mpu Raganata tidak tercatat dalam prasasti Sarwadharma yang dikeluarkan pada bulan Kartika tahun 1191 Saka (Oktober-November 1269). Pada prasasti tersebut , yang tercatat ialah Patih Kebo Arema dan Sang Ramapati, yang sangat dipuja sebagai penasehat politik sang prabu dalam mengadakan hubungan dengan pembesar-pembesar di Madura dan Nusantara. Sang Ramapati mengepalai kabinet menteri yang terdiri dari patih, demung, tumenggung, rangga, dan kanuruhan. Melihat fungsinya dalam pemerintahan, kiranya Sang Ramapati dalam prasasti Sarwadharma itu sama dengan Mpu Raganata dalam Pararaton dan Kidung Harsawijaya ataupun Panji Wijayakrama.

Timbullah pemberontakan bersenjata yang mengejutkan Prabu Kertanagara. Kidung Panji Wijayakrama pupuh 1 menyebut pemberontakan Kelana Bhayangkara, dan Negarakretagama pupuh 41/4 pemberontakan Cayaraja.[5] Pemberontakan-pemberontakan itu, meskipun akhirnya dapat ditumpas, menghambat pelaksanaan gagasan politik perluasan wilayah. Untuk dapat menngirim tentara ke seberang lautan, kekeruhan didalam negeri harus diatasi dulu.

Pararaton, Kidung Panji Wijayakrama, Kidung Harsawijaya, dan Negarakretagama pupuh 41, semuanya menyebutkan pengiriman tentara Singhasari ke negeri Melayu (Suwarbabhumi) pada tahun Saka 1187 (1275 M), lima tahun setelah pecahnya pemberontakan Kelana Bhayangkara atau Cayaraja. Dalam Kidung Harsawijaya, dinyatakan bahwa nasehat Raganata tentang pengiriman tentara ke Suwarnabhumi ditolak oleh Prabu Kertanagara. Raganata mengingatkan sang prabu tentang kemungkinan balas dendam Raja Jayakatwang dari Kediri terhadap Singhasari, sebab Singhasari dalam keadaan kosong akibat pengiriman tentara ke Suwarnabhumi. Prabu Kertanagara berpendapat, raja bawahan Jayakatwang tidak akan memberontak karena beliau berutang budi kepada sang prabu.[6] Jayakatwang adalah bekas pengalasan (pegawai) keraton Singhasari, yang diangkat sebagai raja bawahan di Kediri oleh Sri Kertanagara.[7] Gagasan pengiriman tentara ke Suwarnabhumi dapat dukungan penuh dari Mahisa Anengah, pengganti Raganata. Demikianlah diputuskan untuk mengirimkan tentara ke Melayu. Keputusan itu dilaksanakan pada tahun 1275 M. Dalam sastra sejarah Jawa kuno, ekpedisi ke Melayu itu biasa disebut Pamalayu atau perang Malayu.[8] Ekspedisi ke Malayu berhasil baik. Tentara Singhasari berhasil menundukkan raja Malayu, Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa di Dharmasraya, yang berpusat di Jambi dan menguasai Selat Malaka. Terbukti dari isi prasasti pada alas arca Amoghapasa dari Padangroco yang dikeluarkan oleh Sri Kertanagara pada bulan Bharadhapada tahun Saka 1208 (Agustus-Sepetember 1286 M).[9] Bunyinya sebagai berikut:[10]

“Salam bahagia! Pada tahun Saka 1208, bulan Bhadrapada, hari pertama bulan naik, hari Mawulu, Wage, hari Kamis, wuku Madangkungan, letak raja bintang di barat daya... tatkala itulah arca paduka Amoghapasa Lokeswara dengan empat belas pengikut serta saptaratna-tujuh ratna permata,[11] dibawa dari bumi Jawa ke Suwarnabhumi ditegakkan di Dharmasraya, sebagai hadiah Sri Wiswarupa. Untuk tujuan tersebut, Sri Kertanagara Wikramottunggadewa memerintahkan rakryan mahamantri Dyah Adwayabrahma, rakryan sirikan Dyah Sugatabrahma, payanan Hyang Dipangkaradasa, rakryan demung Wira, untuk menghantar paduka arca Amoghapasa.

Semoga hadiah itu membuat gembira segenap penduduk negeri Malayu, termasuk para brahmana, ksatria, waisya, sudra, dan terutama pusat segenap para arya, Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa.”

Negarakretagama pupuh 41/5 menguraikan bahwa Prabu Kertanagara dengan pengiriman tentara itu sebenarnya mengharapkan agar Raja Dharmasraya tunduk begitu saja karena takut akan kesaktian sang prabu. Ekspedisi ke negeri Malayu yang berjaya gilang-gemilang, mempunyai akibat yang sangat buruk didalam negeri. Pada tahun 1280 M., timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Mahisa Rangkah[12] menurut pemberitaan Negarakretagama pupuh 42/1. Pembesar-pembesar yang kena pecat, terutama adipati Wiraraja di Sumenep, mendapat kesempatan baik untuk membalas dendam dan melampiaskan kemarahannya kepada Sri Kertanagara. Ia menghasut raja bawahan Jayakatwang dari Kediri yang berkuasa di Gelang-gelang untuk memberontak dengan cara mengirim surat[13] pada tahun Saka 1214 atau 1292 M, seperti berikut:

“Patih memberitahukan kepada sang prabu. Padukanata dapat disamakan dengan orang yang sedang berburu, hendaklah waspada memilih saat dan tempat yang setepat-tepatnya. Pergunakan saat yang sebaik-baiknya. Sekarang inilah saat yang paling baik dan paling tepat. Tegal sedang tandus; tidak ada rumput, tidak ada ilalang; daun-daun sedang gugur, berhamburan ketanah. Bukitnya kecil-kecil, jurangnya tidak berbahaya, hanya didiami harimau yang sama sekali tidak menakutkan. Tidak ada kerbau, sapi, dan rusa yang bertanduk. Jika mereka sedang menyenggut, baiklah mereka diburu. Pasti tidak berdaya. Satu-satunya harimau yang tinggal adalah harimau guguh, sudah tua renta, yakni empu Raganata.”[14]

Dari surat hasutan Wiraraja diatas, nyata bahwa Singhasari dalam keadaaan kosong. Tidak ada lagi orang yang dapat dibanggakan. Raganata adalah satu-satunya pembesar, yang terpandang sebagai pahlawan, namun ia sudah tua renta, seperti harimau kawakan, yang tidak lagi bergigi. Meskipun demikian, raja Kertanagara segan menyadari kenyataaan itu. Beliau berani menolak permintaan Meng Khi, utusan Kaisar Cina Kubilai Khan, untuk mengakui kekuasaan kaisar dan mengirim utusan ke Tiongkok dengan membawa upeti sebagai tanda takluk.[15] Meng Ki dipahat dahinya dan disuruh pulang.[16] Hinaan terhadap utusan Kaisar Tiongkok itu berlangsung pada tahun 1289 M. Prabu Kertanagara segan tunduk kepada kemauan Kaisar Kubilai, apalagi takluk kepada kekuasaanynya.

Setelah Jayakatwang membaca surat Wiraraja, tahulah beliau akan makna ibarat yang disuarkan oleh Wiraraja dan segera bertanya kepada Wirondaya, tentang bagaimana keadaan Singhasari sebenarnya. Jawabnya, semenjak Raja Kertanagara memegang tampuk pimpinan kenegaraan, segala nasihat Mpu Raganata dan para wreddha menteri diabaikan. Para wreddha menteri digeser dari kedudukan mereka dan diganti oleh menteri muda. Sang prabu cenderung untuk menerima segala nasehat para menteri baru. Rakyat tidak puas dengan sikap demikian. Jayakatwang lalu menyakan pendapat Patih Mahisa Mundarang. Jawabnya; “Moyang Paduka, Prabu Dandang Gendis (Kertajaya), binasa akibat pemberontakan anak petani Pangkur, Ni Ndok. Itulah raja Singhasari yang pertama dan bergelar Raja Rajasa. Bala tentara Kediri sirna bagai gunung disambar halilintar. Prabu Kertajaya beserta bala tentaranya musnah karena tindakan Ken Arok. Kediri karenanya dijajah Singhasari. Padukalah yang memiliki kewajiban membangun kembali kerajaan Kediri dan membalas kekelahan Prabu Kertajaya marhum!”

Setelah mendengar nasihat adipati Wiraraja dan pendapat patih Mundarang, Raja Jayakatwang segera mengeluarkan perintah menyerbu Singhasari. Jaran Guyang berangkat menyerang Singasari dari jurusan utara, Patih Mahisa Mundarang menyerang dari selatan. Bala tentara Daha dibawah pimpinan Jaran Guyang melintas sawah ke jurusan utara; membawa kereta, bende, gong, dan tunggul, berhenti di desa Mameling. Banyak orang desa yang ketakutan, lari mengungsi ke kota Singasari. Yang berani melawan, menderita luka parah. Utusan dari Mameling sudah sampai di istana melaporkan bahwa tentara Kediri telah sampai di Mameling, namun Prabu Kertanagara tidak percaya. Baru setelah menyaksikan sendiri para pengungsi mengalir ke kota, beliau percaya akan kebenaran laporan, namun telah terlambat. Nararya Sangramawijaya dengan bala tentaranya, yang tidak siap berperang, mendadak diperintahkan berangkat ke Mameling untuk menanggulangi musuh.

Sementara itu, Prabu Kertanagara tinggal di pura, mengenyam kenikmatan hidup, seolah-olah tidak ada bahaya mengancam. Ditemui oleh Patih Angragani, beliau terperanjat mendengan sorak bala tentara Daha di manguntur. [17] Kidung Harsawijaya menguraikan bahwa adhyaksa Raganata dan menteri angabhaya Wirakreti memberi nasehat kepada sang prabu demikian: “Adalah haram bagi seorang raja mati terbunuh olehh tentara musuh dalam keputrian. Lawanlah musuh yang datang menyerang!” Demikianlah raja Kertanagara kali itu mengindahkan nasehat Mpu Raganata. Raja Kertanagara, Panji Anggragani, Mpu Ragganata, dan Wikreti gugur dalam perlawanan gigih melawan musuh, yang mendadak datang menyerbu kota Singasari. Sejarah Singasari berakhir dengan mangkatnya Prabu Kertanagara pada tahun 1292. Negarakretagama pupuh 43/5 mencatat bahwa Sri Kertanagara pulang ke Jinalaya pada tahun Saka 1214 (1292 M) dan diberi gelar “Yang Mulia di alam Siwa-Buddha.”

Versi Negarakretagama dan Pararaton mengatakan bahwa Jayakatwang adalah raja Kediri perlu dibetulkan karena menurut prasasti Mula-Malurung, Jayakatwang adalah raja Gelang-Gelang berkat perkawinannya denga Nararya Turukbali, putri Sang Prabu Seminingrat atau Wisnuwardhana. Yang menjadi raja Kediri sejak tahun 1254 sampai 1292 ialah raja Kertanagara. Jadi, serangan Jayakatwang terhadap Singasari pada tahun 1292 dilancarkan dari Gelang-Gelang;[18] bukan dari Kediri seperti diuraikan dalam Pararaton dan Negarakretagama serta beberapa kidung. Prasasti Mula-Malurung mengatakan dengan jelas bahwa Jayakatwang adalah kemenakan Raja Seminingrat, jadi saudara sepupu dengan Sri Kertanagara. Baru setelah berhasil memusnahkan Sri Kertanagara, menurut prasasti Pananggungan, 1296, Jayakatwang menduduki ibokota Daha dan memerintah Singasari sebagai negara bawahan. Kidung Harsawijaya berulang kali menyebut Jayakatwang raja Kediri, sehingga utusan Bupati Wiraraja dari Sumenep datang ke Kediri untuk memberitahu sang prabu supaya serangan terhadap Singasari segera dilancarkan, kesempatan yang baik jangan dibiarkan lewat. Mahisa Mundarang memberikan nasehat yang serupa dan menyebut Jayakatwang sebaga keturunan Raja Kertajaya. Berdasarkan prasasti Mula-Malurung, utusan Wiraraja itu dikirim ke Gelang-Gelang tidak ke Kediri. Kidung Harasawijaya mengatakan bahwa Sri Kertanagara tidak khawatir tentang akan adanya kemungkinan serangan dari Kediri, karena ia percaya bahwa raja Jayakatwang tidak akan menyalahgunakan kebaikan sang prabu, yang telah sudi mengangkatnya sebagai raja Kediri. Uraian diatas tidak tepat, karena yang mengangkat Jayakatwang sebagai raja ialah Nararya Seminingrat menurut prasasti Mula-Malurung. Lagi pula, Jayakatwang tidak diangkat sebagai raja Kediri, melainkan sebagai raja Gelang-Gelang. Seperti ditunjukkan diatas, baru pada tahun 1292, Jayakatwang menjadi raja Kediri setelah menaklukkan Kertanagara.
(bersambung)

Sumber: http://amanahrakyatindonesia.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar