Minggu, 06 November 2011

Komposisi Debu dan Aransemen Ruh

Komposisi Debu dan Aransemen Ruh
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib


Setiap ayat Allah sesungguhnya mengandung dimensi-dimensi yang sangat kompleks dan sangat penuh ketidakterdugaan. Misalnya, ada ayat yang kelihatannya cuma perintah perilaku sederhana yang menyangkut akhlak, tapi ternyata di baliknya tersimpan ilmu fisika, biologi, kimia, dan seterusnya.

Saya dikasih tahu oleh anak saya tentang semacam pemahaman, atau sebut saja spekulasi, bahwa ruh itu tidak berbeda dengan badan, tidak berbeda dengan jisim. Jisim itu kulit arinya ruh. Ruh itu pada penampilannya yang paling dangkal, yang simptoma-simptoma yang sederhana dia itu bernama jisim, tapi seluruhnya ini sebenarnya adalah dunia ruh. Jadi bukan ini ruh, ini badan, bukan begitu.

Sama dengan jangan ditanyakan apa badan Rasulullah ikut Isra` Mi`raj atau tidak. Bukan begitu. Karena, ketika beliau naik Buraq dengan percepatan tertentu, badan beliau berubah atau transformed menjadi energi. Ketika dia memakai percepatan Mi`raj yaitu kecepatan yang dulu bisa memindahkan istana Bulkis sekejapan mata sebelum Sulaiman selesai berkedip Istana sudah sampai ke situ. Dan itulah kecepatan Mi`raj. Pada saat itu tubuh Rasulullah sudah menjadi barqun, yang menaiki buraqun.

Dia sudah menjadi halilintar, sudah menjadi cahaya maha cahaya.

Jadi ruh dan badan itu tidak berbeda. Bahan dasarnya adalah partikel yang sama. Yang berbeda adalah komposisi dan aransemennya. Badan itu adalah ketika ruh mengaransir dan mengkomposisikan diri ke dalam suatu formula yang paling sederhana, maka dia bernama jisim atau badan.

Siapakah komposer dan arranger? Sehingga kita menyaksikan batu, angin, virus, buah mangga, dan pada diri kita ini sendiri ada tulang, daging, sungsum, darah, nanah, ingus, bahkan juga segumpal hati yang berisi ruang tak terhingga, serta sekepal otak yang sistem hardware sedemikian canggih dan sistem software-nya sedemikian tak kita kenali – siapakah gerangan Sang Komposer dan Arranger?”

Kata anak saya, kalau manusia bisa menguakkan rahasia amr, rahasia perintah, yang di genggaman tangan-Nya terdapat ‘partitur’ segala sesuatu dalam kehidupan ini — maka kita bisa meracik pasir dengan campuran tertentu menjadi emas, bisa mengubah kain celana menjadi nasi goreng.

Sumber: http://kenduricinta.com

Munajat Si Fakir Yang Hina (di Penghujung Ramadhan Tiba)

Ketika di penghujung Ramadhan, para Malaikat menangis gemuruh karena kasihan melihat umat Muhammad yang akan di tinggal Ramadhan,
Para Malaikat bersedih melihat umat ini karena belum kembali ke fitrah dan belum bersih jiwanya selama bulan Ramadhan sampai Ramadhan meninggalkannya,
Para Malaikat bersedih melihat umat ini, karena belum menemukan TuhanNya sehingga serakah berebut pahala dan fadhilahnya Ramadhan bagaikan anak kecil berebut permen dan gula-gula,
Sehingga tidak sempat untuk mengabdi kepada TuhanNya dengan tulus dan ikhlas,
Sekotor inikah diri umat ini? Khususnya diri Al Fakir?

Yaa Allah…
Andaikan di dunia ini ada makhluk yang paling hina, paling kotor, dan paling najis, masih tidak sehina, sekotor dan senajis jiwa dan diri ini,

Yaa Allah…
Ketika kulihat ulat-ulat dalam bangkai yang sangat menjijikkan, masih lebih menjijikkan jiwa ini daripada ulat-ulat itu,

Yaa Allah…
Ketika kulihat anjing yang jijik dan kotor, melolong dengan lidah menjulur penuh najis, masih tidak sejijik, sekotor dan senajis jiwa ini,

Yaa Allah…
Aku menyadari bahwa:
Anjing tidak mempunyai akal dan pikiran akan tetapi ketika anjing diberi makan oleh Sang Pemiliknya, anjing itu masih bisa berterima kasih, bahkan menjaga pemiliknya,
Tapi kenyataannya diri ini sebagai manusia yang di beri akal, pikiran dan budi pekerti, ketika Engkau berikan aku kehidupan, Engkau berikan aku kesehatan, dan Engkau berikan aku rezeki yang tak bisa di hitung jumlahnya, aku tidak pernah berterima kasih kepadaMu bahkan aku mengkufuri semuanya itu,
Sehina inikah diri ini yang disebut sebagai sebaik-baik makhluk?

Yaa Allah…
Cukupkah air mata ini untuk membasuh kehinaan itu?
Cukupkah air mata ini untuk membersihkan jiwa yang kotor itu?
Ketika hatiku menerawang jauh,
Kubayangkan surga yang sangat indah dan penuh kemuliaan,
Rasulullah dan para kekasih-kekasih Allah sebagai penghuni tempat yang penuh kemuliaan itu,
Aku ingin kesana tapi aku tidak mampu menggapainya karena terlalu hina diri ini,
Bahkan kurasa diri ini bagaikan binatang yang dijerat lehernya dan ditarik-tarik ke neraka karena kekufuran yang kulakukan,

Yaa Allah…
Kadang aku bercita-cita ingin mati saja,
Setelah mengenal jati diri yang hina ini,
Yang semakin hari semakin jauh dariMu, Yaa Tuhanku,
Sehingga semakin lupa dan tidak mengenal Engkau sebagai Sang Pencipta,
Mungkin mati lebih baik daripada terus hidup seperti ini,

Yaa Allah…
Mungkinkah airmata ini bisa membasuh dosa dan kotornya jiwa ini?
Mungkinkah airmata ini mampu untuk menolong jiwa yang busuk ini?
Dan mungkinkah sujudku, kerendahanku, dan air mata ini mampu mengantarkan yang hina ini keharibaanMu Yaa Tuhan…
Hanya Engkaulah… Engkaulah Yaa Allah… yang bisa merubah itu semua,
Karena tidak ada air mata, tidak ada ibadah, tidak ada kekuatan, yang bisa merubah itu semua,
Kecuali Engkau Yaa Allah dengan sifat kasih sayangMu….
Maka teteskanlah walaupun seujung jarum KASIH SAYANGMU di penghujung Ramadhan ini,
Agar hidup ini benar-benar bisa berarti,
Terimalah munajat hambaMu yang hina dan fakir ini,
###

Pesan Sang Prof:
Jangan takut rendah memang sifat hamba harus rendah, tempat salah, dholim dan kufur,
Jangan takut hina memang hamba tempatnya kehinaan,
Karena yang mulia hanya Allah yang Maha Mulia,
Bahkan siapapun yang merasa mulia dan merasa tinggi, sebenarnya dialah orang yang benar-benar hina dihadapan Sang Pencipta,
Seorang hamba yang merasa rendah, hina, merasa penuh dosa, dholim dan merasa kufur dialah Hamba Sejati dihadapan TuhanNya,
Tanamkanlah sifat-sifat tersebut dan peliharalah sehingga menjadi sifat dan karakter dalam kehidupan sehari-hari,
Sehingga nampak kerendahan dan ketawadhuannya,
Tidak pernah memandang yang lain kecil,
Tidak pernah menghina dan menghujat yang lain karena dia menyadari dirinya lebih hina dan lebih rendah daripada yang lain,
Itulah hakikat tawadhu kata Beliau Sang Prof,
###

Doa pembersih jiwa dari pembimbing Sang Prof
(Al Habib Syaikh Abdul Madjid Ma’roef R.A)
“Allohumma yaa waahidu yaa ahad, yaa wajidu yaa jawaad, sholi wasallim wa baarik ‘ala sayyidinaa muhammmadin wa ala ‘ala ali sayyidina muhammad, fii kullilamhatin wanafasim bi ‘adadi ma’luumaatillahi wa fuyudlotihi wa amdadih“

SELAMAT KEMBALI KE FITRAH
“BERSIH HATI, SUCI JIWA, SIAP MENGHADAP SANG PENCIPTA”

MINAL AIDIN WAL FAIZIN MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN
“HIDUP SEKALI HARUS BERARTI”

Catatan kelam perjalanan hidup dari si fakir yang hina
Dalam bumi kerendahan, 29 Agustus 2011

Sumber: http://kenduricinta.com

Masjid Paling Aneh di Dunia Yang Dibangun Seorang Miskin (Subhanallah....)

Bentuknya boleh sederhana, namun jamaah sudah berdatangan dari penjuru desa sebelum waktu shalat masuk

Mungkin kita tak percaya jika tidak melihat faktanya. Seorang yang tidak kaya, bahkan tergolong miskin, namun mampu membangun sebuah Masjid di Turki. Nama masjidnya pun paling aneh di dunia, yaitu “Shanke Yadem” (Anggap Saja Sudah Makan). Sangat aneh bukan? Dibalik Masjid yang namanya paling aneh tersebut ada cerita yang sangat menarik dan mengandung pelajaran yang sangat berharga bagi kita.

Ceritanya begini :

Di sebuah kawasan Al-Fateh, di pinggiran kota Istanbul ada seorang yang wara’ dan sangat sederhana, namanya Khairuddin Afandi. Setiap kali ke pasar ia tidak membeli apa-apa. Saat merasa lapar dan ingin makan atau membeli sesuatu, seperti buah, daging atau manisan, ia berkata pada dirinya: Anggap saja sudah makan yang dalam bahasa Turkinya “ Shanke Yadem” .

Nah, apa yang dia lakukan setelah itu? Uang yang seharusnya digunakan untuk membeli keperluan makanannya itu dimasukkan ke dalan kotak (tromol)… Begitulah yang dia lakukan setiap bulan dan sepanjang tahun. Ia mampu menahan dirinya untuk tidak makan dan belanja kecuali sebatas menjaga kelangsungan hidupnya saja.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun Khairuddin Afandi konsisten dengan amal dan niatnya yang kuat untuk mewujudkan impiannya membangun sebuah masjid. Tanpa terasa, akhirnya Khairuddin Afandi mampu mengumpulkan dana untuk membangun sebuah masjid kecil di daerah tempat tinggalnya. Bentuknyapun sangat sederhana, sebuah pagar persegi empat, ditandai dengan dua menara di sebelah kiri dan kanannya, sedangkan di sebelah arah kiblat ditengahnya dibuat seperti mihrab.

Akhirnya, Khairuddin berhasil mewujudkan cita-ciatanya yang amt mulia itu dan masyarakat di sekitarnyapun keheranan, kok Khairuddin yang miskin itu di dalam dirinya tertanam sebuah cita-cita mulia, yakni membangun sebuah masjid dan berhasil dia wujudkan. Tidak bayak orang yang menyangka bahwa Khairud ternyata orang yang sangat luar biasa dan banyak orang yang kaya yang tidak bisa berbuat kebaikan seperti Khairuddin Afandi.

Setelah masjid tersebut berdiri, masyarakat penasaran apa gerangan yang terjadi pada AKhiruddin Afandi. Mereka bertanya bagaimana ceritana soerang yang miskin bisa membangun masjid. Setelah mereka mendengar cerita yang sangat menakjubkan itu, merekapun sepakat memberi namanya dengan: “Shanke yadem” (Angap Saja Saya Sudah Makan).

Subhanallah! Sekiranya orang-orang kaya dan memiliki penghasilan lebih dari kaum Muslimin di dunia ini berfikir seperti Khairuddin, berapa banyak dana yang akan terkumpul untuk kaum fakir miskin? Berapa banyak masjid, sekolah, rumah sakit dan fasilitas hidup lainnya yang dapat dibangun? Berapa banyak infra struktur yang dapat kita realisasikan, tanpa harus meminjam ke lembaga dan Negara yang memusuhi Islam dan umatnya?





Jamah yang melimpah, tanda keberkahan dan amal sholeh dari harta yang halal dan bersih
 
Kalaulah kaum Muslimin saat ini memiliki konsep hidup sederhana dan mementingkan kehidupan akhirat dan mengutamakan istana di syurga ketimbang rumah di dunia, seperti yang dimiliki Khairuddin Afandi, pastilah umat ini mampu meninggalkan yang haram dan syubhat dalam hidup mereka. Mereka pasti mampu mengalahkan syahwat duniawi yang menipu itu. Sebagai hasilnya, pastilah negeri-negeri Islam akan berlimpah keberkahan yang Allah bukakan dari langit dari bumi. Kenyataannya adalah sebaliknya.(Q.S. Al-A’raf / 7 : 96) Maka ambil pelajaranlah wahai orang-orang yang menggunakan akal sehatnya!

Note : (FJ)Dari buku “Keajaiban Sejarah Ustmani”, oleh : Ust. Urkhan Mohamad Ali
 
Sumber Asli: http://haxims.blogspot.com/2009/12/seorang-miskin-membangun-masjid-paling.html

Makna Qurban, Selamat Hari Raya Idul Adha 1432 H

Idul Adha dan peristiwa kurban yang setiap tahun dirayakan umat muslim di dunia seharusnya tak lagi dimaknai sebatas proses ritual, tetapi juga diletakkan dalam konteks peneguhan nilai-nilai kemanusiaan dan spirit keadilan, sebagaimana pesan tekstual utama agama.



"makna kurban"


Kurban dalam bahasa Arab sendiri disebut dengan qurbah yang berarti mendekatkan diri kepada Allah. Dalam ritual Idul Adha itu terdapat apa yang biasa disebut udlhiyah (penyembelihan hewan kurban). Pada hari itu kita menyembelih hewan tertentu, seperti domba, sapi, atau kerbau, guna memenuhi panggilan Tuhan.
Idul Adha juga merupakan refleksi atas catatan sejarah perjalanan kebajikan manusia masa lampau, untuk mengenang perjuangan monoteistik dan humanistik yang ditorehkan Nabi Ibrahim. Idul Adha bermakna keteladanan Ibrahim yang mampu mentransformasi pesan keagamaan ke aksi nyata perjuangan kemanusiaan.

"berkurban"


Dalam konteks ini, mimpi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan sebuah ujian Tuhan, sekaligus perjuangan maha berat seorang Nabi yang diperintah oleh Tuhannya melalui malaikat Jibril untuk mengurbankan anaknya. Peristiwa itu harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang menunjukkan ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan seorang Ibrahim pada titah sang pencipta.

Bagi Ali Syari’ati (1997), ritual kurban bukan cuma bermakna bagaimana manusia mendekatkan diri kepada Tuhannya, akan tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama, terutama mereka yang miskin dan terpinggirkan. Sementara bagi Jalaluddin Rakhmat (1995), ibadah kurban mencerminkan dengan tegas pesan solidaritas sosial Islam, mendekatkan diri kepada saudara-saudara kita yang kekurangan.

Dengan berkurban, kita mendekatkan diri kepada mereka yang fakir. Bila Anda memiliki kenikmatan, Anda wajib berbagi kenikmatan itu dengan orang lain. Bila Anda puasa, Anda akan merasa lapar seperti mereka yang miskin. Ibadah kurban mengajak mereka yang mustadh’afiin untuk merasakan kenyang seperti Anda.
Atas dasar spirit itu, peringatan Idul Adha dan ritus kurban memiliki tiga makna penting sekaligus. Pertama, makna ketakwaan manusia atas perintah sang Khalik. Kurban adalah simbol penyerahan diri manusia secara utuh kepada sang pencipta, sekalipun dalam bentuk pengurbanan seorang anak yang sangat kita kasihi.


"idul ahda"


Kedua, makna sosial, di mana Rasulullah melarang kaum mukmin mendekati orang-orang yang memiliki kelebihan rezeki, akan tetapi tidak menunaikan perintah kurban. Dalam konteks itu, Nabi bermaksud mendidik umatnya agar memiliki kepekaan dan solidaritas tinggi terhadap sesama. Kurban adalah media ritual, selain zakat, infak, dan sedekah yang disiapkan Islam untuk mengejewantahkan sikap kepekaaan sosial itu.

Ketiga, makna bahwa apa yang dikurbankan merupakan simbol dari sifat tamak dan kebinatangan yang ada dalam diri manusia seperti rakus, ambisius, suka menindas dan menyerang, cenderung tidak menghargai hukum dan norma-norma sosial menuju hidup yang hakiki.

Bagi Syari’ati, kisah penyembelihan Ismail, pada hakikatnya adalah refleksi dari kelemahkan iman, yang menghalangi kebajikan, yang membuat manusia menjadi egois sehingga manusia tuli terhadap panggilan Tuhan dan perintah kebenaran. Ismail adalah simbolisasi dari kelemahan manusia sebagai makhluk yang daif, gila hormat, haus pangkat, lapar kedudukan, dan nafsu berkuasa. Semua sifat daif itu harus disembelih atau dikorbankan.

Pengorbanan nyawa manusia dan harkat kemanusiaannya jelas tidak dibenarkan dalam ajaran Islam dan agama mana pun. Untuk itu, Ibrahim tampil menegakkan martabat kemanusiaan sebagai dasar bagi agama tauhid, yang kemudian dilanjutkan oleh Nabi Muhammad dalam ajaran Islam. Ali Syari’ati mengatakan Tuhan Ibrahim itu bukan Tuhan yang haus darah manusia, berbeda dengan tradisi masyarakat Arab saat itu, yang siap mengorbankan manusia sebagai “sesaji” para dewa.

Ritual kurban dalam Islam dapat dibaca sebagai pesan untuk memutus tradisi membunuh manusia demi “sesaji” Tuhan. Manusia, apa pun dalihnya, tidak dibenarkan dibunuh atau dikorbankan sekalipun dengan klaim kepentingan Tuhan. Lebih dari itu, pesan Iduladha (Kurban) juga ingin menegaskan dua hal penting yang terkandung dalam dimensi hidup manusia (hablun minannas).

Pertama, semangat ketauhidan, keesaan Tuhan yang tidak lagi mendiskriminasi ras, suku atau keyakinan manusia satu dengan manusia lainnya. Di dalam nilai ketauhidan itu, terkandung pesan pembebasan manusia dari penindasan manusia lainnya atas nama apa pun. Kedua, Idul Adha juga dapat diletakkan dalam konteks penegakan nilai-nilai kemanusiaan, seperti sikap adil, toleran, dan saling mengasihi tanpa dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan di luar pesan profetis agama itu sendiri.

Masalahnya, spirit kemanusiaan yang seharusnya menjadi tujuan utama Islam, dalam banyak kasus tereduksi oleh ritualisme ibadah-mahdah. Seakan-akan agama hanya media bagi individu untuk berkomunikasi dengan Tuhannya, yang lepas dari kewajiban sosial-kemanusiaan. Keberagamaan yang terlalu teosentris dan sangat personal itu, pada akhirnya terbukti melahirkan berbagai problem sosial dan patologi kemanusiaan.

Alquran menganjurkan kita agar mengikuti agama Ibrahim yang hanif, lurus dan tidak menyimpang. Selain hanif, agama Ibrahim juga agama yang samaahah, yang toleran terhadap manusia lain. Pesan kurban harus mampu menjawab persoalan nyata yang dihadapi umat, seperti perwujudan kesejahteraan, keadilan, persaudaraan, dan toleransi. Sulit membayangkan jika banyak umat yang saleh secara ritual, khusyuk dalam berdoa, dan rajin berkurban, tetapi justru paling tak peduli pada tampilnya kemungkaran.

Sekaranglah saatnya kita mewujudkan penegakan solidaritas dan keadilan sosial sebagaimana diajarkan Nabi Ibrahim, dan membumikan ajaran Ismail sebagai simbol penegakan nilai-nilai ketuhanan di tengah-tengah kehidupan umat manusia yang kian individual, pragmatis, dan menghamba pada materi. Karena, seperti kata Rabindranath Tagore (1985), Tuhanmu ada di jalan di mana orang menumbuk batu dan menanami kebunnya, bukan di kuil yang penuh asap dupa dan gumaman doa para pengiring yang sibuk menghitung lingkaran tasbih.

Oleh: Joko Riyanto 
Koordinator Riset Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan (Puskalitba) Solo
Sumber : Lampung Pos