Jumat, 20 Januari 2012

Batu Akik dan Angkringan Jogja

Pedagang akik di tengah kota Jogja











Berjalan atau berkunjung ke kota Jogjakarta memang kurang lengkap kalau tidak merasakan Gudeg plengkung atau belum beli oleh-oleh bakpia pathok 75. Tapi alangkah lebih tidak lengkapnya lagi bagi penulis adalah bila belum berkunjung dimana para pedagang akik berada hehehe.

Setelah berjalan kaki sekitar 30 menit menyusuri jalanan Malioboro yang penuh dengan para turis domestik, akhirnya penulis menjumpai perempatan besar menuju Alun-alun utara kota Jogja. Persis di sebelah Benteng Vredenburg kita menjumpai deretan para pedagang akik, tepat berseberangan dengan gedung Kantor Pos besar Jojakarta. Unik memang, dan tidak biasa para pedagang akik memiliki tempat berjualan dipusat kota. Biasanya para pedagang akik begini menjadi kelompok marginal yang dipinggirkan pemerintah setempat. Tengoklah di Jakarta, Surabaya, dan kota lainnya.

 











Tapi khusus di Jogja ini rupanya para pedagang akik disini dapat bernafas lega karena mendapatkan angin segar dengan diijinkan menempati tempat di jalan protocol dan disebelah tempat wisata tengah kota. Luar Biasa. Hidup Sri Sultan Ngayogyakarta!!!

Kira-kira ada sekitar 10 pedagang akik disini, yang rata-rata berasal dari Madura (Bangkalan, Sampang, Sumenep, Kamal). Tidak hanya batu Mulia dan batu Akik yang mereka tawarkan, mereka juga menawarkan ikat (ring) akik, dan tasbeh, serta sebagiann menawarkan benda-benda bertuah seperti keris, pring pethuk, geliga kelapa, graham macan, dan sebagainya. Dari jenis dan kualitas Batu Mulia atau akik yang ditawarkan memang untuk segmentasi kelas menengah keatas. Kecenderungan sasaran pasar mereka adalah menengah ke bawah. Hal ini disebabkan peminat batu di jogja yang datang ke stand mereka tidak mencari batu Mulia yang harganya cukup mahal, tapi umumnya mencari batu akik yang harganya 10 ribuan hingga 20 ribuan. 

Jarang disini ditemukan Batu Mulia dengan kualitas wahid. Kalaupun ada yang kualitasnya sekedarnya saja. Batu Mulia yang ditawarkan disini dengan kualitas alakadarnya adalah safir burma, Topas (sintetis), Mirah Siam, Ruby, dan lain-lain. Yang paling banyak ditawarkan adalah dari golongan batu akik, seperti pirus, tapak jalak, sulaeman, wulung, pancawarna, dan lainnya. Pasokan barang dagangan mereka biasanya didapat dari pedagang martapura, atau dari Jakarta yang datang ke Jogja dengan membawa batu borongan yang cukup banyak dan murah. Jadi mereka dipasok tanpa harus lelah-lelah berkulak batu ke Jakarta yang terkenal padat macet, panas, kanibal, serta macet.













Tak lelah melihat-lihat dan berbincang dengan para pedagang, penulis dapat menyimpulkan harga rata-rata batu yang ditawarkan adalah antara Rp 25.000 – Rp 75.000 untuk yang masuk golongan batu Mulia (walau sebagian yang ditawarkan adalah batu Sintetis). Tapi untuk yang batu akik kisaran harga mulai Rp 10.000 – Rp 50.000 tanpa melihat kualitas bagus atau tidak. Dilihat dari sizing omzet yang didapat perhari, terlihat bahwa sebenarnya mereka ini termasuk golongan pedagang yang tetap eksis menggerakkan mikro ekonomi dikalangan rakyat menengah ke bawah yang sebetulnya memiliki prospek yang cukup lumayan ke depan. Tinggal saja perhatian dari pemerintah kota sejauh mana untuk membantu mereka lebih kencang lagi berlari.


Angkringan sebagai Ikon Kota Jogja

 










Setelah berjalan dan melihat-lihat dagangan batu akik, penulis berjalan balik arah menuju salah satu sudut Malioboro yang sempat menjadi garis demarkasi penarikan pasukan belanda saat serangan Jogja tahun 1949 (samping Hotel Garuda Malioboro). Tepat 5 meter disebelah prasasti itu berdiri Angkringan (nama khas sebutan untuk pedagang makanan). Angkringan di Jogja sudah bukan lagi sesuatu yang aneh atau unik. Mungkin sejak jaman revolusi fisik sudah ada yang namanya Angkringan. Dan ternyata konsep Angkringan ini sudah merambah sampai kekota-kota lain seperti Jakarta, Bandung, Magelang, Klaten, dan kota lain. Entah siapa yang mencetuskan nama atau ide konsep angkringan ini, sampai sekarang tak satupun orang tahu.


 








Yang jelas konsep ini sudah banyak membantu menggerakkan ekonomi rakyat yang tak pernah diperhatikan oleh pemerintah. Terseok dan akhir tetap bangkit dan berjalan walau tertetaih-tatih. Itulah Angkringan.

Disalah satu Angkringan sudut kota ini penulis melepas lelah dan penat hidup yang menggelayut di pundak. Sembari menikmati sebatang rokok, penulis memesan 1 gelas teh hangat, dan mengambil 1 bungkusan nasi kecil yang biasa disebut nasi kucing (karena ukurannya yang cukup kecil). Setelah dibuka, lauk yang tersedia cukup 1 jenis (biasanya oseng-oseng atau kering tempe).










Menikmati indahnya mentari sore di Malioboro sambil melihat-lihat orang-kendaraan yang sibuk lalu lalang meramaikan suasana Malioboro, penulis mulai menikmati nasi kucing yang sudah berada dihidangkan. Cukup 5 suapan, rupanya nasi sebungkus telah habis hehehe namanya juga nasi kucing. Tapi jangan salah. Bukan berari Angkringan adalah komoditi rakyat jelata…tapi banyak juga Angkringan yang sudah lengkap dengan fasilitas Hot-Spot dengan gratis Wi-fi. Jadi rupanya ini adalah sebagian dari upaya untuk diversifikasi layanan untuk meraih segmentasi yang lebih tinggi. Harga makanan yang ditawarkan di Angkringan ini sangat murah sekali, dengan nasi sebungkus, 1 sate usus, 2 gorengan, dan segelas teh manis, penulis cukup membayar Rp 4.000,- !!! Murah, perutpun kenyang.

Terlepas dari murah atau tidaknya harga sebuah barang, kita perlu acungkan jempol dan angkat topi untuk para pedagang Angkringan yang rela mengambil untung alakadarnya sehingga sebagian rakyat ini masih bisa menikmati kebutuhan pokok yaitu makan dengan harga yang sangat terjangkau. Salut untuk para pedagang Angkring yang tetap setia melestarikan serta membentuk hukum pasar yang stabil terkait dengan harga yang saat ini menjadi isu sensitif bagi rakyat. Hidup Jogjakarta, Hidup Kraton Ngayogyakarta. Salam kepada para pecinta Batu Mulia, Batu Akik, dan pecinta Rakyat!

Sumber: http://satrio74.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar