Selasa, 03 Januari 2012

Manufacturing hope (4): Hope di Soekarno-Hatta dan Hope di Madura



Menteri BUMN Dahlan Iskan. (FOTO ANTARA)

"Mudah dilaksanakan, murah biayanya, dan langsung terasa manfaatnya, terutama dalam ikut mengatasi kepadatan frekuensi naik-turunnya pesawat."
Jakarta (ANTARA News) - Banyaknya ide baru tentu ikut menentukan keberhasilan manufacturing hope. Ide PT Angkasapura 2 untuk menambah high speed taxi way exit yang sedang dikerjakan di Bandara Soekarno-Hatta sekarang ini, misalnya, adalah ide yang konkret. Mudah dilaksanakan, murah biayanya, dan langsung terasa manfaatnya, terutama dalam ikut mengatasi kepadatan frekuensi naik-turunnya pesawat.

Pesawat yang baru mendarat tidak lagi terlalu lama berada di landasan. Landasan pun bisa segera digunakan pesawat berikutnya. Apalagi kalau taxi way east cross juga bisa segera dibangun. Dua landasan yang dimiliki bandara Cengkareng itu bisa terhubung dengan lebih fleksibel.

Dari atas tower ATC minggu lalu saya melihat begitu banyak pesawat yang antre terbang dari  landasan kiri. Sampai enam pesawat. Ini berarti penumpang harus sabar menunggu terbang sampai 20 menit. Sebaliknya, landasan kanan hanya dipakai sesekali.

Tidak seimbangnya beban dua landasan tersebut, antara lain karena belum dibangunnya  east cross tersebut. Kalau ada jalan pesawat yang menghubungkan dua ujung timur landasan tersebut tentu pembebanan dua landasan tersebut bisa lebih seimbang.

Tentu harus dicek secara teknis. Saya bukanlah ahli bandara. Belum tentu yang saya kemukakan benar. Yang jelas di dalam desain awal pembangunan bandara ini memang dimungkinkan pembangunan east cross itu, "kelak" di kemudian hari.

Ternyata ekonomi kita maju lebih cepat dari yang diperhitungkan. Kata "kelak" yang digambarkan baru akan terjadi tahun 2020 itu sudah tiba sejak tiga tahun lalu.  Sulitkah membangun east cross itu? PT Angkasapura 2 pasti mampu melakukannya segera. Hanya saja lokasi untuk east cross tersebut sudah terlanjur dipakai oleh  Hotel Sheraton, lapangan golf, dan pergudangan Soewarna.

Saya belum memperoleh informasi mengapa begitu. Mengapa dulu tidak dibangun di lokasi lain sehingga dalam keadaan bandara kelewat padat seperti sekarang ada kemudahan mencari terobosan. Memang ada kemungkinan membangun east cross tanpa menggusur hotel dan lapangan golf. Namun biayanya sedikit lebih besar. Rasanya direksi Angkasapura akan bisa mengkalkulasi mana yang terbaik.

Yang paling ideal adalah langsung membangun landasan ketiga. Tapi mengingat tanah yang perlu dibebaskan mencapai ratusan hektare, rasanya tidak mungkin pembangunan landasan ketiga itu bisa selesai dalam tiga tahun. Sementara itu, peningkatan jumlah penerbangan tidak akan bisa dibendung lagi. Apalagi keadaan ekonomi akan terus membaik setelah dua hari lalu Indonesia dinaikkan peringkatnya menjadi negara investment grade.

Jalan lain lagi? Ada. Segera memperbesar terminal tiga yang masih baru itu. Dengan demikian terminal tiga bisa menampung lebih banyak penerbangan. Sekaligus berarti bisa memanfaatkan landasan kanan lebih seimbang. Tanpa harus membangun east cross lebih dulu.

Ide-ide untuk mengurangi kepadatan bandara Cengkareng sudah begitu banyak. Ide yang mana yang lebih baik saya serahkan sepenuhnya pada direksi Angkasapura 2. Ditambah ide Dirjen Perhubungan Udara untuk mengatur ulang jadwal penerbangan agar tidak terlalu banyak pesawat yang menumpuk pada jam-jam tetentu. Misalnya, jam 06.00--padahal mana mungkin delapan pesawat sama-sama menjanjikan berangkat jam yang sama?

Saya juga sangat menghargai ide baru Angkasapura 2 untuk membuat tower ATC "berwajah dua". Selama ini seluruh operator ATC yang bekerja di puncak tower tersebut hanya bisa menghadap ke satu arah: landasan kiri.  Kalau ada pergerakan pesawat di landasan kanan, operator tidak bisa melihat langsung. Kalau proyek dua wajah ini selesai dua bulan lagi, maka tower ATC itu sudah lebih fleksibel.

Ada lagi hope yang lebih besar. Saat saya berkunjung ke ruang kontrol Bandara Soekarno Hatta pekan lalu ada kesibukan baru di sana: memasang peralatan baru. Itulah peralatan yang akan memperkuat ruang control yang lama yang dihebohkan di lalu-lintas SMS beberapa waktu yang lalu. Menurut SMS yang beredar luas itu ruang control yang ada sekarang ini sangat membahayakan penerbangan. Kapasitas kontrolnya hanya untuk 460 pergerakan pesawat. Padahal yang harus dikontrol saat ini adalah 1.200 pergerakan.

Peralatan control yang baru dipasang ini kemampuannya berlipat-lipat. Juga kecanggihannya. Peralatan ini bisa memonitor sampai 4.600 pergerakan pesawat. Jauh lebih besar dari angka pergerakan saat ini. Proyek kementerian perhubungan ini semoga sudah bisa digunakan bulan tiga-empat bulan lagi.
Memang masih ada problem lain: simulator control room itu harus disediakan dalam keadaan baik. Tenaga operatornya juga sangat kurang. Pengadaan SDM ini tidak bisa cepat karena kualifikasinya yang sangat khusus. Belum ada sekolah operator ATC. Ini sungguh peluang yang bear bagi lembaga pendidikan. Di Soekarno-Hatta saja kita perlu lebih 200 operator lagi. Belum bandara-bandara lainnya. Belum lagi begitu banyak bandara baru akan dibangun atau diperbesar.

Direksi Angkasapura 2 sudah memutuskan untuk membuka pendidikan khusus bagi lulusan S-1 yang ingin bekerja di ATC. Sambil menunggu hasilnya operator senior yang seharusnya pensiun diminta bekerja kembali.
Bagian ini memang memerlukan banyak tenaga lantaran sifat pekerjaannya. Seorang operator ATC hanya boleh bekerja dua jam. Setelah itu wajib istirahat. Bisa tiduran, senam, main-main, atau duduk-duduk di luar ruang. Itulah sebabnya di sebelah ruang yang penuh peralatan canggih itu harus disediakan kasur, bantal, alat-alat permainan, dan kursi-kursi untuk santai.

Tentu ada cara lain untuk mengurangi kepadatan lalu-lintas pesawat di Cengkareng: memperbanyak pesawat besar. Penumpang dua pesawat kecil bisa ditampung di satu pesawat besar. Dengan demikian, lalu-lintas pesawatnya bisa turun 50%. Tapi ada hambatan teknis. Bandara lain yang akan menerima pesawat besar dari Jakarta itu belum tentu memenuhi syarat.

Ada lagi cara lain: memperbanyak pesawat yang menginap di luar Jakarta. Sekaligus untuk pemerataan ekonomi. Tentu ada pula hambatan teknisnya. Ide cukup banyak. Tidak harus satu ide yang diterima. Bisa saja gabungan ide atau kombinasi ide. Yang jelas masih banyak hope di depan kita.
                                                                                  ***

Ide baru juga datang dari Madura. Selama ini produktivitas garam kita sangat rendahnya. Kualitasnya pun kurang bagus. Padahal BUMN garam kita memiliki 5.700 ha lahan penggaraman di Madura. Padahal kita ini perlu 2 juta ton garam setiap tahun. Padahal kita ini masih terus saja impor garam.

Ide baru ini datang dari Dirut PT Garam, S.U. Irredenta. Tidak usah ditanya mengapa orang asli Madura ini namanya mirip orang Italia. Ayahnya, seorang guru SMP di Surabaya, memang pernah sekolah di Italia. Toh nama depannya tetap sangat Madura: Slamet Untung. Sudah slamet untung pula.

Mulai tahun depan ia akan bikin gebrakan: melapisi seluruh lahan penggaramannya dengan membrane. Tentu akan memerlukan membrane berpuluh-puluh hektare luasnya. Rencana ini perlu saya "bocorkan" sekarang agar pabrik-pabrik plastik di dalam negeri mulai segera berpikir untuk memproduksi membrane. Tentu yang memenuhi persyaratan untuk lahan garam. Jangan sampai untuk urusan membrane saja kita harus impor. Mumpung masih ada waktu. Mumpung masih musim hujan.

Dengan begitu, maka air laut yang akan dijadikan garam akan menggenangi lahan yang sudah dilapisi membrane. Keuntungannya ada tiga: pembentukan garamnya bisa beberapa hari lebih cepat karena suhu udaranya lebih panas. Kedua, tidak perlu lagi ada satu lapisan garam paling bawah yang tercampur lumpur. Ketiga, kualitas garam kita menjadi kelas satu semuanya.

Selama ini, lapisan garam yang paling bawah tidak bisa dijual sama sekali. Praktis bercampur lumpur. Lapisan atasnya masih bisa dibersihkan dari lumpur, tapi perlu biaya. Itu pun hanya akan menghasilkan garam kelas tiga.
Dengan idenya itu Slamet Untung akan bisa menyelamatkan industri garam sekaligus membuat BUMN untung. Benar-benar sebuah hope yang sangat besar. Apalagi kalau kelak petani garam kita juga bisa mengikuti jejak Slamet ini. Pemda pun (gubernur maupun bupati) rasanya tidak akan sia-sia kalau membantu pengadaan membrane untuk petani garam kita. Dari Madura akan kita mulai revolusi ladang garam bermembrane.

Slamet Untung masih punya ide lain. Yakni agar lahan 5.700 ha itu tetap produktif di luar musim garam yang hanya 4,5 bulan setiap tahunnya. Jangan sampai selama musim hujan, ketika tidak bisa memproduksi garam, lahan itu dibiarkan  menganggur. Untuk apa? Slamet akan memanfaatkannya untuk budidaya bandeng! Bahkan di lahan yang bukan untuk penggaraman, dia akan bertanam rumput laut. Saya pun langsung menyetujuinya. Bahkan akan mendukungnya dengan pabrik pengolahan rumput laut sekalian

Dua tahun lagi, setelah garam Madura kembali jaya, pola yang sama harus bisa diterapkan di NTT. Di sana ada lahan luas yang cocok untuk pembuatan garam. Dalam dua tahun ini, sambil menunggu selesainya proyek membranisasi di Madura, di NTT bisa mulai dilakukan pengurusan dan penyiapan lahannya. BUMN Garam Madura sudah siap ekspansi ke NTT. Bahkan hasilnya bisa saja lebih besar dari yang di Madura. Mengapa? Di NTT bisa memproduksi garam selama tujuh bulan dalam setahun!

Setelah Madura dan NTT ini beres, barulah kita bicarakan apakah masih perlu atau tidak impor garam. Memperdebatkannya sekarang hanya akan sia-sia saja. Saat ini masih begitu jauh jarak antara keperluan garam kita yang 2 juta ton dan produksi garam nasional kita yang belum sampai 400 ton!

Setidaknya sudah ada hope yang bisa di-manufacture di sini.
                  
*Menteri BUMN
 

Editor: Kliwon
http://www.antaranews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar