Selasa, 03 Januari 2012

Manufacturing Hope (6): Bisakah Merpati Hidup Lagi?


Menteri BUMN Dahlan Iskan (FOTO ANTARA)

"Sudah terlalu besar negara terus menyuntik Merpati, dengan hasil yang masih begitu-begitu saja."
Kadang libur itu penting. Di hari tanpa kesibukan itulah persoalan yang rumit bisa dibicarakan secara mendasar, detail, dan habis-habisan. Misalnya, di hari libur Sabtu lalu. Selama enam jam penuh bisa membicarakan rumitnya persoalan Merpati Nusantara Airline.

Tidak hanya direksi dan komisaris yang hadir, tetapi juga seluruh manajer senior. Ruang rapat sampai tidak cukup sehingga pindah ke ruang tamu yang secara kilat dijadikan arena perdebatan.

Meski saya yang memimpin rapat itu, tidak ada hierarki di situ. Segala macam jabatan dan predikat saya minta ditanggalkan. Tidak ada menteri, tidak ada dirut, tidak ada komisaris, dan tidak ada bawahan. Semua sejajar sebagai orang bebas.

Duduknya pun tidak diatur dan tidak teratur. Operator laptop dan proyektornya sampai duduk di lantai. Kebetulan saya juga hanya pakai kaus dan celana olahraga. Belum mandi pula. Baru selesai berolahraga bersama 30.000 karyawan dan keluarga Bank Rakyat Indonesia se-Jakarta memperingati ultah mereka ke-116 yang gegap gempita.

Pindah dari acara BRI ke acara Merpati pagi itu rasanya seperti pindah dari surga ke Marunda. Dari perusahaan yang labanya Rp14 triliun ke perusahaan yang ruginya tidak habis-habisnya.

Dari jalannya operasi saja Merpati sudah rugi besar. Apalagi kalau ditambah beban-beban utangnya. Tiap bulan pendapatannya hanya Rp133 miliar. Pengeluarannya Rp178 miliar. Pesawatnya tua-tua. Sekali dapat yang baru, MA 60 pula.

Suasana kerja di Merpati pun sudah seperti perusahaan yang no hope!

Maka jelaslah bahwa persoalan Merpati tidak bisa diselesaikan dengan cara biasa.

Restrukturisasi perusahaan dengan cara yang modern sudah dicoba sejak dua tahun lalu. Belum ada hasilnya--bahkan tanda-tandanya sekali pun. Upaya restrukturisasi ini telah menghabiskan energi luar biasa. Lebih-lebih menghabiskan waktu dan kesempatan.

Panjangnya proses pengadaan pesawat Tiongkok MA 60 membuat peluang lama hilang begitu saja. Rute-rute yang kosong yang semula akan didahului diisi oleh MA 60 terlanjur dimasuki Wing dan Susi Air yang lebih kompetitif.

MA 60 yang menurut para pilot merupakan pesawat yang bagus, lebih berat lagi bebannya setelah terjadi kecelakaan di Kaimana. Peristiwa yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kualitas pesawat itu ikut membuat Merpati ibarat petinju yang sudah sempoyongan tiba-tiba terkena pukulan berat.

Sebelum kecelakaan Kaimana penumpang sebenarnya lebih senang naik MA 60. Pesawat ini sengaja didesain untuk negara tropis. AC-nya sudah bisa berfungsi sejak penumpang masuk pesawat. Tidak seperti pesawat baling-baling lain yang panas udara kabinnya luar biasa, dan baru berkurang setelah beberapa menit di udara.

Merpati memang sering kehilangan momentum. Bahkan, seperti sudah kehilangan momentum sejak dari lahirnya. Ketika pertama kali dipisahkan dari Garuda, pesawat-pesawatnya diambil, tetapi utangnya ditinggalkan. Beban-beban lainnya juga menumpuk.

Semua itu enak sekali dijadikan kambing hitam oleh manajemennya. Setiap manajemen yang gagal punya alasan pembenarannya. Kadang manajemen lebih sibuk mengumpulkan kambing hitam daripada bekerja keras dan melakukan efisiensi.

Benarkah tidak ada hope lagi di Merpati?

Itulah yang melalui forum di hari libur Sabtu lalu ingin saya ketahui, terutama sebelum saya membuat keputusan yang tragis: ditutup!

Segala macam usaha sudah dilakukan. Dua bulan lalu sebenarnya saya sudah menyederhanakan manajemen Merpati. Jabatan wakil dirut saya hapus. Jumlah direktur saya kurangi agar manajemen lebih lincah. Juga terbebas dari beban psikologis karena wakil dirutnya lebih senior dari sang dirut.

Rupanya belum cukup. Saya harus masuk lebih ke dalam. Tiba-tiba saya kepingin dialog langsung. Dialog yang intensif dan tanpa batas. Dialog dengan jajaran yang lebih bawah. Pada masa lalu saya sering mendapat pengalaman ini: banyak ide bagus justru datang dari orang bawah yang langsung bekerja di lapangan. Bukan dari konseptor yang bekerja di belakang meja.

Memang ada rencana pemerintah dan DPR untuk membantu keuangan Merpati Rp561 miliar. Tapi akankah uang itu nanti bermanfaat? Atau hanya akan terbang terhambur begitu saja ke udara? Seperti ratusan miliar uang-uang negara sebelumnya?

Tentu saya tidak ingin seperti itu. Harus ada jaminan ini: dengan suntikan tersebut Merpati bisa hidup dan berkembang. Tidak seperti suntikan-suntikan uang ratusan miliar pada masa lalu. Ini juga harus menjadi uang terakhir dari negara untuk Merpati. Sudah terlalu besar negara terus menyuntik Merpati, dengan hasil yang masih begitu-begitu saja.

Maka saya kemukakan terus terang di forum itu: daripada uang Rp561 miliar tersebut akan terhambur ke udara begitu saja dan karyawan pada akhirnya akan kehilangan pekerjaan juga, lebih baik Merpati ditutup sekarang juga. Uang itu bisa dibelikan kebun kelapa sawit. Tiap karyawan mendapat pesangon 2 hektare kebun sawit.

Orang Riau punya dalil: satu keluarga yang punya kebun sawit 2 ha, sudah bisa  hidup bisa sampai menyekolahkan anak ke ITB! Memiliki kebun sawit 2 ha lebih memberikan masa depan daripada terus menjadi karyawan Merpati.

Tentu ide ini membuat pertemuan heboh. Sekaligus membuat peserta pertemuan tertantang untuk menolaknya. Mereka tidak rela kalau Merpati harus mati. Kebun sawit bukan bandingan untuk masa depan. Ok. Saya setuju. So what? Kalau dari operasionalnya saja sudah rugi, masih adakah alasan untuk mempertahankannya?

Maka saya ajukan ide untuk melakukan pembahasan topik per topik. Untuk mengecek apakah benar masih ada harapan?

Topik pertama adalah: bagaimana membuat pendapatan Merpati lebih besar dari pengeluarannya. Kalau tidak ada jalan yang konkret di topik ini, putusannya jelas: Merpati harus ditutup. Asusminya: bagaimana bisa memikul beban yang lain kalau dari operasionalnya saja sudah rugi besar. Berapa pun modal akan digerojokkan tidak akan ada artinya. Lebih baik untuk beli kebun sawit!

Meski logika sawit begitu jelas dan rasional, rupanya masih banyak yang takut mengubah jalan hidup. Ketika hal itu saya kemukakan, seseorang nyeletuk dari arah belakang. "Salah Pak Dahlan! Bukan kami takut menjadi petani sawit, tapi Merpati ini masih punya peluang besar," katanya.  "Asal," katanya menambahkan,"semua orang di Merpati punya etos kerja yang hebat."

Etos kerja ini begitu seringnya dia sebut sebagai penyebab utama kesulitan Merpati sekarang ini. Dia sangat percaya etos itulah kuncinya sehingga sepanjang enam jam rapat itu dia selalu dipanggil dengan nama Pak Etos.

Pak Etos mungkin benar. Tapi itu masih kurang konkret. Yang diperlukan adalah usul konkret dan realistis. Yang bisa membuat pendapatan lebih besar dari pengeluaran. Yang bisa dilaksanakan dalam keadaan Merpati as is.

Pagi itu begitu sulit mencari ide yang membumi. Maka saya pun teringat pada gurauan pedagang-pedagang sukses seperti ini: "Tuhan itu baik. Tapi uanglah yang bisa membuat orang mengatakan Tuhan itu baik". Rupanya perlu rangsangan material untuk melahirkan ide-ide kreatif. Rupanya perlu dana untuk mendatangkan Tuhan. Maka saya tawarkan di forum itu: peserta rapat yang mengusulkan ide terbaik akan saya beri hadiah satu mobil baru, Avanza, dari kantong saya pribadi.

Rapat pun menjadi heboh. Gelak tawa memenuhi ruangan. Ide belum muncul, tapi  warna mobil sudah harus dibicarakan. Setuju: warna krem! Neraka sawit ternyata tidak menarik. Surga Avanzalah yang menggiurkan. Pantaslah kalau Jakarta macet!

Tuhan rupanya benar-benar datang. Inspirasi bermunculan. Hampir semua peserta rapat mengangkat tangan. Mereka berebut mendaftarkan ide. Angkat tangan lagi untuk ide kedua. Ide ketiga. Bahkan, ada yangs sampai mendaftarkan lima ide.

Setelah terkumpul 53 ide, barulah diperdebatkan. Mana yang konkret dan mana yang terlalu umum. Mana yang menghasilkan rupiah, mana yang menghasilkan semangat. Mana yang membuat pendapatan lebih besar, mana yang membuat pengeluaran lebih kecil.

Ide-ide itu kemudian di-ranking. Dari yang terbaik sampai yang terkurang. Dari yang terbanyak menghasilkan rupiah sampai yang menghasilkan etos. Perdebatan amat seru karena masing-masing mempertahankan idenya. Terjadi diskusi yang luar biasa intensif mengalahkan rapat kerja bagian pemasaran.

Dari ranking yang berhasil dibuat, memang sudah bisa diketahui siapa yang bakal dapat mobil. Tapi ada yang protes. "Sebaiknya hadiah baru diberikan setelah ide itu jadi kenyataan," teriaknya.

Rupanya dia ingin membuktikan bahwa meski idenya kalah ranking, dalam pelaksanaannya kelak akan mengalahkan juara ranking itu. Setuju. Kita lihat dulu kenyataannya di lapangan. Peluang bagi ide yang ranking-nya di bawah pun masih terbuka.

Tentu ide-ide itu minta dirahasiakan, terutama karena masih akan dirumuskan dalam bentuk program kerja nyata di lapangan. Tapi semua ide memang sangat menarik. Dari sinilah bisa diketahui bahwa Merpati seharusnya tidak akan rugi secara operasional. Kalau ini terlaksana, pemilik dana tidak akan ragu membantu. Alhamdulillah. Tuhan memberkati.

Topik berikutnya adalah MA 60. Bagaimana kinerjanya selama ini, apakah bisa menghasilkan uang dan terutama bagaimana mengembalikan citra yang rusak akibat kecelakaan Kaimana. Banyak juga ide gila yang muncul, termasuk ide bahwa khusus untuk MA 60 sebaiknya dicarikan pilot bule. Seperti pesawatnya Susi Air. Orang kita lebih percaya kepada bule daripada bangsa sendiri. Ketidakpercayaan orang terhadap MA 60 bisa ditutup dengan pilot orang bule. Huh!

Saya benci dengan ide ini.

Tapi demi Merpati saya menerimanya!

Maka setelah enam jam berdebat, tepat pukul 16.00 WIB, rapat pun diakhiri dengan lega. Saya bisa segera pulang untuk mandi pagi!

*Menteri BUMN 

 

Editor: Kliwon
http://www.antaranews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar