Sabtu, 10 Juli 2010

Pupuh Negarakretagama 8

Negarakretagama bagian 8


Pupuh LXXXVII

1. Panggung berjajar membujur ke utara menghadap barat

Bagian utara dan selatan untuk raja dan arya

Para menteri dan dyaksa duduk teratur menghadap timur

Dengan pemandangan bebas luas sepanjang jalan raya

2. Di situlah Baginda memberi rakyat santapan mata

Pertunjukan perang tanding, perang pukul, desuk-mendesuk

Perang keris, adu tinju, tarik tambang, menggembirakan

Sampai tiga empat hari lamanya baharu selesai

3. Seberangkat Baginda, sepi lagi, panggungnya dibongkar

Segala perlombaan bubar: rakyat pulang bergembira

Pada Caitra bulan petang Baginda menjamu para pemenang

Yang pulang menggondol pelbagai hadiah bukan pakaian

Pupuh LXXXVIII

1. Segenap ketua desa dan wadana tetap tinggal, paginya mereka

Dipimpin Arya Ranadikara menghadap Baginda minta diri di pura

Bersama Arya Mahadikara, kepala pancatanda dan padelegan

Sri Baginda duduk di atas takhta, dihadap para abdi dan pembesar

2. Berkatalah Sri nata Wengker di hadapan para pembesar dan wadana:

“Wahai, tunjukkan cinta serta setya baktimu kepada Baginda raja

Cintailah rakyat bawahanmu dan berusahalah memajukan dusunmu

Jembatan, jalan raya, beringin, bangunan dan candi supaya dibina

3. Terutama dataran tinggi dan sawah, agar tetap subur, peliharalah

Perhatikan tanah rakyat, jangan sampai jatuh di tangan petani besar

Agar penduduk jangan sampai terusir dan mengungsi ke desa tetangga

Tepati segala peraturan untuk membuat desa bertambah besar

4. Sri nata Kertawardhana setuju dengan anjuran memperbesar desa

“Harap dicatat nama penjahat dan pelanggaran setiap akhir bulan

Bantu pemeriksaan tempat durjana, terutama pelanggar susila

Agar bertambah kekayaan Baginda demi kesejahteraan negara

5. Kemudian bersabda Baginda nata Wilwatikta memberi anjuran:

“Para budiman yang berkunjung kemari, tidak boleh dihalang-halangi

Rajakarya, terutama bea-cukai, pelawang, supaya dilunasi

Jamuan kepada para tetamu budiman supaya diatur pantas

Pupuh LXXXIX

1. Undang-undang sejak pemerintahan ibunda harus ditaati

Hidangan makanan sepanjang hari harus dimasak pagi-pagi

Jika ada tamu loba tamak mengambil makanan, merugikan

Biar mengambilnya, tetapi laporkan namanya kepada saya

2. Negara dan desa berhubungan rapat seperti singa dan hutan

Jika desa rusak, negara akan kekurangan bahan makanan

Kalau tidak ada tentara, negara lain mudah menyerang kita

Karenanya peliharalah keduanya, itu perintah saya!”

3. Begitu perintah Baginda kepada wadana, yang tunduk mengangguk

Sebagai tanda mereka sanggup mengindahkan perintah beliau

Menteri, upapati serta para pembesar menghadap bersama

Tepat pukul tiga mereka berkumpul untuk bersantap bersama

4. Bangunan sebelah timur laut telah dihiaisi gilang cemerlang

Di tiga ruang para wadana duduk teratur menganut sudut

Santapan sedap mulai dihidangkan di atas dulang serba emas

Segera deretan depan berhadap-hadapan di muka Baginda

5. Santapan terdiri dari daging kambing, kerbau, burung, rusa, madu

Ikan, telur, domba, menurut adat agama dari zaman purba

Makanan pantangan: daging anjing, cacing, tikus, keledai dan katak

Jika dilanggar, mengakibatkan hinaan musuh, mati dan noda

Pupuh XC

1. Dihidangkan santapan untuk orang banyak

Makanan serba banyak serta serba sedap

Berbagai-bagai ikan laut dan ikan tambak

Berderap cepat datang menurut acara

2. Daging katak, cacing, keledai, tikus, anjing

Hanya dihidangkan kepada para penggemar

Karena asalnya dari pelbagai desa

Mereka diberi kegemaran, biar puas

3. Mengalir pelbagai minuman keras segar

Tuak nyiur, tal, arak kilang, brem, tuak rumbya

Itulah hidangan minuman yang utama

Wadahnya emas berbentuk aneka ragam

4. Porong dan guci berdiri terpencar-pencar

Berisi minuman keras dari aneka bahan

Beredar putar seperti air yang mengalir

Yang gemar, minum sampai muntah serta mabuk

5. Meluap jamuan Baginda dalam pesta

Hidangan mengalir menghampiri tetamu

Dengan sabar segala sikap diizinkan

Penyombong, pemabuk jadi buah gelak tawa

6. Merdu merayu nyanyian para biduan

Melagukan puji-pujian Sri Baginda

Makin deras peminum melepaskan nafsu

Habis lalu waktu, berhenti gelak-gurau

Pupuh XCI

1. Pembesar daerah angin membadut dengan para lurah

Diikuti lagu, sambil bertandak memilih pasangan

Solah tingkahnya menarik gelak, menggelikan pandangan

Itulah sebabnya mereka memperoleh hadiah kain

2. Disuruh menghadap Baginda, diajak minum bersama

Menteri upapati berurut minum bergilir menyanyi

Nyanyian Manghuri Kandamuhi dapat sorak pujian

Baginda berdiri, mengimbangi ikut melaras lagu

3. Tercengang dan terharu hadirin mendengar swara merdu

Semerbak meriah bagai gelak merak di dahan kayu

Seperti madu bercampur dengan gula terlalu sedap manis

Resap mengharu kalbu bagai desiran buluh perindu

4. Arya Ranadikara lupa bahwa Baginda berlagu

Bersama Arya Mahadikara mendadak berteriak

Bahwa para pembesar ingin beliau menari topeng

“Ya!” jawab beliau; segera masuk untuk persiapan

5. Sri Kertawardana tampil ke depan menari panjak

Bergegas lekas panggung disiapkan di tengah mandapa

Sang permaisuri berhias jamang laras menyanyiakan lagu

Luk suaranya mengharu rindu, tingkahnya memikat hati

6. Bubar mereka itu, ketika Sri Baginda keluar

Lagu rayuan Baginda bergetar menghanyutkan rasa

Diiringkan rayuan sang permaisuri rapi rupendah

Resap meremuk rasa merasuk tulang sungsum pendengar

7. Sri Baginda warnawan telah mengenakan tampuk topeng

Delapan pengiringnya di belakang, bagus, bergas pantas

Keturunan arya, bijak, cerdas, sopan tingkah lakunya

Itulah sebabnya banyolannya selalu tepat kena

8. Tari sembilan orang telah dimulai dengan banyolan

Gelak tawa terus-menerus, sampai perut kaku beku

Babak yang sedih meraih tangis, mengaduk haru dan rindu

Tepat mengenai sasaran, menghanyutkan hati penonton

9. Silam matahari waktu lingsir, perayaan berakhir

Para pembesar minta diri mencium duli paduka

Katanya: “Lenyap duka oleh suka, hilang dari bumi!”

Terlangkahi pujian Baginda waktu masuk istana

Pupuh XCII

1. Begitulah suka mulia Baginda raja di pura, tercapai segala cita

Terang Baginda sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat dan negara

Meskipun masih muda, dengan suka rela berlaku bagai titisan Buda

Dengan laku utama beliau memadamkan api kejahatan durjana

2. Terus membumbung ke angkasa kemashuran dan peperwiraan Sri Baginda

Sungguh beliau titisan Batara Girinata untuk menjaga buana

Hilang dosanya orang yang dipandang, dan musnah letanya abdi yang disapa

3. Itulah sebabnya keluhuran beliau mashur terpuji di tiga jagad

Semua orang tinggi, sedang, dan rendah menuturkan kata-kata pujian

Serta berdoa agar Baginda tetap subur bagai gunung tempat berlindung

Berusia panjang sebagai bulan dan matahari cemerlang menerangi bumi

Pupuh XCIII

1. Semua pendeta dari tanah asing menggubah pujian Baginda

Sang pendeta Budaditya menggubah rangkaian seloka Bogawali

Tempat tumpah darahnya Kancipuri di Sadwihara di Jambudwipa

Brahmana Sri Mutali Saherdaya menggubah pujian seloka indah

2. Begitu pula para pendeta di Jawa, pujangga, sarjana sastra

Bersama-sama merumpaka seloka puja sastra untuk nyanyian

Yang terpenting puja sastra di prasasti, gubahan upapati Sudarma

Berupa kakawin, hanya boleh diperdengarkan di dalam istana

Pupuh XCIV

1. Mendengar pujian para pujanggga pura bergetar mencakar udara

Prapanca bangkit turut memuji Baginda, meski tak akan sampai pura

Maksud pujiannya, agar Baginda gembira jika mendengar gubahannya

Berdoa demi kesejahteraan negara, terutama Baginda dan rakyat

2. Tahun Saka gunung gajah budi dan janma (1287) bulan aswina hari purnama

Siaplah kakawin pujaan tentang perjalanan jaya keliling negara

Segenap desa tersusun dalam rangkaian, pantas disebut desawarnana

Dengan maksud, agar Baginda ingat jika membaca hikmat kalimat

3. Sia-sia lama bertekun menggubah kakawin menyurat di atas daun lontar

Yang pertama “Tahun Saka”, yang kedua “Lambang” kemudian “Parwasagara”

Berikut yang keempat “Bismacarana”, akhirnya cerita“Sugataparwa”

Lambang dan Tahun Saka masih akan diteruskan, sebab memang belum siap

4. Meskipun tidak semahir para pujangga di dalam menggubah kakawin

Terdorong cinta bakti kepada Baginda, ikut membuat puja sastra

Berupa karya kakawin, sederhana tentang rangkaian sejarah desa

Apa boleh buat harus berkorban rasa, pasti akan ditertawakan

Pupuh XCV

1. Nasib badan dihina oleh para bangsawan, canggung tingggal di dusun

Hati gundah kurang senang, sedih, rugi tidak mendengar ujar … manis

Teman karib dan orang budiman meningggalkan tanpa belas kasihan

Apa gunanya mengenal ajaran kasih, jika tidak diamalkan?

2. Karena kemewahan berlimpah, tidak ada minat untuk beramal

Buta, tuli, tak nampak sinar memancar dalam kesedihan, kesepian

Seyogyanya ajaran sang Mahamuni diserapkan bagai pegangan

Mengharapkan kasih yang tak kunjung datang, akan membawa mati muda

3. Segera bertapa brata di lereng gunung, masuk ke dalam hutan

Membuat rumah dan tempat persajian di tempat sepi dan bertapa

Halaman rumah ditanami pohon kamala, asana, tinggi-tinggi

Memang Kamalasana nama dukuhnya sudah sejak lama dikenal

Pupuh XCVI

1. Pra panca itu pra lima buah

Cirinya: cakapnya lucu

Pipinya sembab, matanya ngeliyap

Gelaknya terbahak-bahak

2. Terlalu kurang ajar, tidak pantas ditiru

Bodoh, tak menurut ajaran tutur

Carilah pimpinan yang baik dalam tatwa

Pantasnya ia dipukul berulang kali

Pupuh XCVII

1. Ingin menyamai Mpu Winada

Mengumpulkan harta benda

Akhirnya hidup sengsara

Tapi tetap tinggal tenang

2. Winada mengejar jasa

Tanpa ragu wang dibagi

Terus bertapa berata

Mendapat pimpinan hidup

3. Sungguh handal dalam yuda

Yudanya belum selesai

Ingin mencapai nirwana

Jadi pahlawan pertapa

Pupuh XCVIII

1. Beratlah bagi para pujangga menyamai Winada, bertekun dalam tapa

Membalas dengan cinta kasih perbuatan mereka yang senang

Menghina orang-orang yang puas dalam ketenangan dan menjauhkan

diri dari segala tingkah, menjauhkan diri dari kesukaan dan kewibawaan

dengan harapan akan memperoleh faedah.

Segan meniru perbuatan mereka yang dicacat dan dicela di dalam pura.


Sumber: Prof. Dr. Slamet Mulyana (Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar