Minggu, 24 Oktober 2010

Gajinya Pas-pasan, Asetnya Milyaran


Penggelapan Pajak
Gajinya Pas-pasan, Asetnya Milyaran

Polisi Menunjukkan Barang Bukti Penggelapan Dana Pajak PPH (GATRA/Deni Muliya Barus) 






Pegawai negeri yang satu ini punya kekayaaan puluhan milyar rupiah. Dialah Edy Suhaedy, pegawai negeri sipil golongan III yang menjabat sebagai kepala seksi di Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta Utara. Gajinya tidak lebih dari Rp 4 juta sebulan, tapi punya rumah mewah di kawasan Bintaro Jaya, Jakarta Selatan.

Ia juga memiliki mobil mewah Toyota Harrier, punya peternakan ayam di Bogor, dan memiliki showroom jual-beli mobil bekas di Jalan Dermaga, Duren Sawit, Jakarta Timur. Belakangan ketahuan, Edy melakukan kejahatan. Ia ditangkap polisi pada 31 Desember lalu.

Edy diduga menggelapkan dana pajak penghasilan (PPh) tunjangan insentif dan kesejahteran guru. Jumlahnya mencapai Rp 23 milyar. Karena itu, polisi menyita aset milik Edy senilai Rp 25 milyar. "Aset milik tersangka itu diduga dari hasil kejahatan," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Raja Eizman.

Selain meringkus Edy, polisi juga menciduk Purnomo, kepala seksi olahraga di kantor Wali Kota Jakarta Selatan. Dia diduga membantu melakukan kejahatan. "Karena itu, dia kami tangkap," kata Kepala Satuan Tindak Pidana Korupsi Polda Metro Jaya, AKBP Aris Munandar.

Kejahatan Edy dan Purnomo tercium ketika petugas dari Kantor Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jakarta melakukan pemeriksaan. Pada saat itu, muncul kecurigaan kuat ada kecurangan dalam pembayaran PPh tunjangan insentif dan kesejahteraan guru di lingkungan Suku Dinas Pendidikan Dasar (Sudin Dikdas) serta Suku Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Sudin Dikmenti) Jakarta Selatan.

Untuk memastikan kecurigaan itu, kata Sekretaris Wali Kota Jakarta Selatan, Mangara Pardede, petugas Kantor Perwakilan BPK Jakarta melakukan konfirmasi ke Kantor Pelayanan Pajak Kebayoran, Jakarta Selatan. Hasilnya sungguh mencengangkan. Data yang dimiliki kantor pajak menunjukkan, ternyata Sudin Dikdas dan Sudin Dikmenti Jakarta Selatan belum menyetor uang pembayaran pajak ke kas negara sejak Januari hingga Juni 2008.

Padahal, sebelumnya, petugas Kantor Perwakilan BPK Jakarta disodori bukti surat setoran pajak (SSP) dari bank oleh Bendahara Sudin Dikdas, Pujiono, dan Bendahara Sudin Dikmenti, Herlan. Selidik punya selidik, rupanya bukti SSP dari bank itu aspal alias asli tapi palsu. "Orang awam akan sulit membedakan mana SSP yang asli dan mana yang palsu. Hanya orang bank yang tahu bedanya," kata Mangara.

Polisi mulai melakukan penyelidikan setelah Pujiono dan Herlan melapor ke Polda Metro Jaya, Desember 2008. Dua bendahara ini mengaku diperdaya Purnomo. Mereka sudah membayar uang setoran pajak kepada Purnomo sebesar Rp 23 milyar. Tapi ternyata bukti SSP yang diberikan Purnomo palsu.

Ketika diperiksa polisi, Purnomo "berkicau". Uang pajak yang ia terima dari Pujiono dan Herlan diserahkan kepada Edy. Lalu Edy memberikan SSP aspal itu, yang belakangan diketahui dibuat orang suruhan Edy, yakni AS dan PA. "Pada saat ini, polisi masih mengejar AS dan PA yang buron," kata Aris Munandar.

Ia menyatakan, hingga kini polisi masih memperdalam kasus penggelapan pajak yang merugikan uang negara itu. Bukti-bukti terus dikumpulkan. Saksi-saksi diperiksa. Mereka, antara lain, para pejabat di lingkungan kantor Wali Kota Jakarta Selatan. "Tidak tertutup kemungkinan ada sanksi yang akan ditingkatkan statusnya menjadi tersangka," ujar Aris Munandar.

Menurut pengamat pajak, Hadi Buana, modus yang digunakan pelaku tergolong sangat tradisional. "Penggelapan pajak dengan cara memalsukan dokumen bukti pembayaran setoran pajak bukan hal yang baru, bahkan sudah kuno," kata Hadi. Kendati kuno, modus ini bisa dibilang cukup berhasil. Terbukti, tunggakan pajak berlangsung sejak Januari 2008, tapi baru terendus petugas pajak pada penghujung 2008.

Hal itu terjadi karena pelaku memanfaatkan longgarnya pengawasan petugas pajak terhadap instansi pemerintah. Selama ini, dengan alasan minimnya jumlah petugas pajak, laporan pajak di kantor-kantor pelat merah kerap luput dari pengawasan. "Mereka lebih fokus pada pengawasan laporan pajak di instansi swasta," tutur Hadi. Jadi, tidak mengherankan kalau ditemukan kasus penggelapan pajak di instansi pemerintah.

Sujud Dwi Pratisto, Deni Muliya Barus, dan Syamsul Hidayat
[Laporan Utama,
Gatra Nomor 10 Beredar Kamis, 15 Januari 2009] 

www.gatra.com

2 komentar: