Sabtu, 23 Oktober 2010

Kemiskinan Akan Melahirkan Kejahatan

Kemiskinan dan kejahatan. Mata rantai kedua masalah sosial tersebut tak dapat terpisahkan. Berita-berita kejahatan jalanan terus termuat dan tersiar di cover depan media massa dan berita utama media elekronik baik lokal maupun nasional. Kemiskinan bukan masalah baru yang terjadi di negeri ini tapi mengapa tidak pernah terpikirkan untuk keluar dari masalah tersebut. Apakah sedemikian sulitnya negeri ini lepas dari “penjara” kemiskinan ? Satu pertanyaan yang harus segera dijawab tidak hanya menjadi tanggung jawab satu pihak saja tetapi sudah menjadi tanggung jawab bersama.

Bahkan menurut perhitungan salah satu lembaga pemerintah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), angka kemiskinan tahun ini bisa mencapai 33,7 juta orang. Itu terjadi kalau ekonomi cuma tumbuh 4,5% dan inflasi lari sampai 9%. Pertumbuhan ekonomi yang tidak stabil ditambah kebijakan yang tidak tepat dan kurang memihak makin membuat angka kemiskinan menanjak tajam. Krisis ekonomi yang berkepanjangan menambah panjang deret persoalan yang membuat negeri ini semakin sulit keluar dari jeratan kemiskinan.






Kemiskinan “Menelorkan”  Kejahatan

Sungguh miris membayangkan masalah kemiskinan di negeri yang katanya kaya akan segalanya, tetapi angka kemiskinan masih tinggi juga dan dampak multidimensional yang timbul dari masalah tersebut salah satunya akan meningkatkan angka-angka kejahatan (criminal) yang berawal dari menjamurnya pengangguran, efek selanjutnya adalah kekerasan terutama dalam bentuk kriminal jalanan (crime street) yang banyak terjadi belakangan ini, seperti pencurian (Bahasa Belanda = Diefstal), perampokan atau dalam hukum pidana dikenal pencurian dengan kekerasan (gequalifeeceerde diefstal), pemerasan (afpersing), pembunuhan (doodslag), penipuan, dan lain-lain.

Usaha penegakan hukum yang ada tidak cukup hanya menangkap, memproses dalam peradilan dan menjatuhkan pidana atau hukuman pada pelaku. Cara ini hanya berupa pembalasan (retribution) dan penjeraan (deterence) semata. Karena hal-hal tersebut bukan tolak ukur dari keberhasilan penegakan hukum suatu bangsa. Konteks tersebut sesuai dengan pendapat Prof. Ramli Atmasasmita dalam seminar Politik Hukum Nasional di UNPAD Bandung beberapa waktu yang lalu, beliau mengatakan : “Bahwa tolak ukur dari keberhasilan penegakan hukum tidak pernah ada dan sulit untuk diukur”.

Masalah kemiskinan dan kejahatan selalu tampak di depan mata, yang selalu ada dalam bentuk dan warna yang berbeda-beda mengisi sudut-sudut sosial masyarakat. Mengenai masalah ini, Prof. Muhammad Mustofa pakar kriminologi pernah berkata  bahwa: “Menangkap dan menghukum orang yang melakukan kejahatan relatif mudah. Yang tidak mudah adalah membuat agar supaya orang tidak melakukan kejahatan”.

Artinya dalam masalah ini tidak cukup hanya melakukan tindakan setelah terjadinya kejahatan-kejahatan saja, tetapi lebih “menohok” pada akar yang menyebabkan timbulnya masalah kejahatan yakni yang tadi disebut kemiskinan (destitution). Inilah suatu langkah awal yang tepat dalam upaya untuk melakukan pencegahan (prevention) timbulnya kejahatan.

Jalan keluarnya adalah bagaimana kita berpikir untuk lebih fokus pada kesejahteraan masyarakat (social welfare) karena kesejahteraan adalah hak konstitusional warga negara. Tidak hanya menempatkan warga negara sebagai komoditi eksploitasi semata dengan meningkatnya harga sembako, naiknya tarif dasar listrik (TDL), naik dan susahnya mendapatkan BBM dan lain-lain. Dalam usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat harus terpikirkan usaha-usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang baik dan tepat sasaran dengan perkembangan suatu daerah ke depan, dengan langkah tersebut pada akhirnya mampu meminimalisir pengangguran.

Memang tidak mudah untuk menanggulangi kejahatan yang menimbulkan gejala-gejala sosial yang membuat suasana tidak kondusif di masyarakat. Tetapi paling tidak sedikit terpikirkan usaha untuk menata keadaan atau sistem yang ada dengan berusaha bagaimana masyarakat terjauhkan dari keadaan yang membuat mereka melakukan cara pintas untuk bertahan hidup akibat kemiskinan yang ada.

Menyitir pendapat Savelsberg, kebijakan kriminal yang pada dasarnya merupakan kebijakan sosial bertujuan untuk mengubah struktur sosial, bukan dalam bentuk resosialisasi atau penghukuman.

Dalam hal ini perlu dilakukan penataan sistem yang ada harus selalu berkesinambungan dan proses sinkronisasi harus selalu terjaga antara lembaga yang satu dengan lembaga yang lainnya dalam usaha pengambilan kebijakan hukum untuk penegakan hukum yang berkeadilan, tidak ketinggalan peran serta masyarakat tetap dibutuhkan sebagai kontrol sosial dalam menjalankan sistem hukum yang ada.

Penataan sistem yang carut marut memang tidak mudah apalagi sekarang kesan yang timbul bahwa kita telah terperangkap dalam mata rantai “lingkaran setan” yang tidak tahu harus dimulai dari mana.

Sekali lagi menjamurnya kejahatan-kejahatan jalanan tidak lain karena berhubungan dengan “isi perut” masyarakat, bagaimana kebutuhan pokok mereka terpenuhi atau tidak ? Adapun kebijakan yang timbul harus selalu memperhatikan hak pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, tidak cukup hanya pertimbangan kepentingan sesaat tetapi bagaimana menciptakan suasana yang kondusif dan terkendali setelah adanya kebijakan tersebut terutama berkembangnya masalah-masalah kejahatan jalanan yang timbul karena kemiskinan.



Penulis: Oleh : Toni, SH. MH. (Dosen Prodi Ilmu Hukum FHIS Universitas Bangka Belitung)

www.cetak.bangkapos.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar