Senin, 25 Oktober 2010

Maiyah dan Revolusi Kepemimpinan


MAIYAH DAN REVOLUSI KEPEMIMPINAN

Maiyah Dan Revolusi Kepemimpinan
Atau Kepemimpinan Revolusioner Dengan Maiyah

1.
Bukan karena manusia bodoh lalu diminta memilih pemimpin karena Allah memuliakan manusia lebih dari derajat malaikat. Ketika Allah memberitahu malaikat akan menciptakan khalifah di bumi, yang setelah ‘disempurnakan penciptaannya dan Aku (kata Allah) meniupkan dari RohKu kedalam dirinya maka para malaikat diperintahkan sujud. Pada saat malaikat ‘rada’ protes Allah mempersilahkan Adam sang Khalifah memperlihatkan dan membuktikan potensinya dengan menuturkan nama seluruh makhluk.
Kisah penciptaan Adam adalah sekaligus pernyataan akan kemuliaan manusia dan potensi keunggulannya. Hanya manusia yang membawa dalam dirinya Roh dari Allah. Makhluk lainnya tercipta dengan mekanisme kun fa yakun. Tetapi di sisi lain manusia terbentuk menjadi wadah yang berupa jasad yang dibekali dengan hawa, nafsu, dan syahwat untuk menopang fungsinya sebagai wadah Roh Allah. Andai jasad tak mempunyai hawa, nafsu, dan syahwat mustahil manusia hidup berkembang. Untuk menciptakan keseimbangan antara fungsi-fungsi jasad itulah wahyu diturunkan sebagai ‘katalog’ penggunaan produk; dan para nabi dan rasul diutus untuk pendidikan dan pelatihan.
Karakteristik hawa, nafsu, dan syahwat adalah tamak. Karena konstruksi saraf-saraf membuat pemenuhan hasrat dan kebutuhan hawa, nafsu, dan syahwat tersebut menjadi amat menarik, lezat, nikmat, dan mematikan. Allah telah mengingatkan jika manusia membiarkan dirinya larut dalam ketamakan maka derajatnya akan menjadi lebih rendah dari binatang.
Ada tiga cara atau prosedur Allah memelihara sang Khalifah di bumi; pertama membiarkan RohNya dalam diri manusi bergelut dan bersaing dengan kepentingan hawa, nafsu, dan syahwat; kedua, mengutus para kekasihNya (nabi, rasul, awliya) untuk menjadi instruktur DIKLAT; ketiga, mengganti bibit dan mencipta ulang. Sejarah manusia memperlihatkan ketiga cara atau prosedur itu terbukti. Pada umumnya manusia bisa berhasil lewat cara kedua. Dengan cara pertama hanya manusia-manusia terpilih. Namunm cara / prosedur ketiga ditempuh jika keadaan memaksa.

2.
Bukan karena manusia bodoh lalu diperlukan pemimpin melainkan agar tercipta kebersamaan menuju Allah. Aneh sekali kepemimpinan modern mengabaikan kebersamaan. Memang, sejak dahulu rumus individualisme tak pernah akur dengan spiritualisme. Individualisme ialah ideologi yang mengasumsikan eksistensi utuh terpisah dari entitas lain.
Oleh karena itu ia sejalan dengan materialisme dan pragmatisme. Tak ada koneksi yang menghubungkan si A dan si B apalagi dalam konteks hubungan segitiga A, B dan Allah. Jika ada sistim kepercayaan yang mengasusmsikan adanya koneksi antara hatta anak dan orang tua, saudara, tetangga dan masyarakat itu hanya angan-angan belaka yang terbangun dari imaginasi yang dikembangkan dan dipelihara melalui tradisi. Pada akhirnya individualisme menuju kepada egoisme dan yang terakhir ini akan berujung pada eksistensi manusia mempertuhankan diri sendiri.
Manusia menjadi tolok-ukur segala sesuatu; nilai, manfaat, tujuan, dan sebagainya, termasuk menentukan ada tidaknya Tuhan. Era manusia modern (saya tidak cenderung menggunakan istilah ‘peradaban’) yang kita alami dewasa ini sedang menjurus kepada egoisme yang mempertuhankan manusia, juga mempertaruhkan  keberadaannya. Bersyukur kepada Allah bahwa kita masih diberi peluang memilih salah satu dari tiga cara atau prosedur Allah.

3.
Maiyah kita bukan untuk membangun sikap difensif melainkan gagasan Pembebasan yang didasarkan kepada cinta kasih sesama sebagai manifestasi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, dan dengan kepercayaan yang mendalam terhadap misi perjuangan. Ada tiga alasan mengapa maiyah menggagas pembebasan;
pertama, bersama Allah membuktikan kepada para malaikat bahwa asumsi dan praduga mereka mengenai Adam dan anak cucunya tidak tepat;
kedua, untuk memelihara agar manusia tetap berada pada derajat kemuliaannya sebagai yang membawa Roh Allah dan tidak menjadi binatang;
ketiga, agar terbuka ‘negosiasi’ kepada Allah untuk tidak menempuh ‘cara (prosedur) ketiga’. Gagasan pembebasan haruslah bersifat revolusioner (tidak dalam pemaknaan dialektika materialisme) yang mengandung di dalamnya dekonstruksi dan rekonstuksi. Dekonstruksi sistim sistim individualisme (hawa, nafsu, dan syahwat) dengan rekonstruksi spiritualitas cinta ilahi.
Maiyah memang berbeda dengan persaudaraan tarekat yang cenderung mengambil sikap marginal berhubung ketidak mampuan menyesuaikan diri dengan derap materialisme. Maiyah secara kreatif mengadopsi atau lebih tepatnya menjabarkan prinsip-prinsip persahabatan, persaudaraan, dan ikrar perjuangan berdasarkan cinta kasih serta dengan ikhlas dan jujur yang bersumber dari inspirasi gua tsaur dan momentum hijrah nabi. Apa yang terjadi dalam gua tsaur bukanlah kekhawatiran Abu Bakr (mana mungkin seorang bersama kekasihnya menjadi sedih) apalagi takut kepada lawan melainkan kesedihan akan celaka yang menimpa quraisy bilamana mereka mencelakakan kekasih Allah. Pada gilirannya Rasulullah pun menenangkan bahwa beliau tak akan tega membiarkan Allah menghancurkan mereka sesuai dengan yang pernah beliau sampaikan kepada Jibril saat menawarkan untuk memimpakan jabal qubeis kepada mereka. Maka maiyah dan hijrah sesungguhnya menjadi dua sisi mata uang pembebasan.


4.
Ibarat masa jahiliyah, Indonesia saat ini sedang dalam siaga dua. Sedang membutuhkan datangnya nabi dan rasul, meski kedatangannya sudah tertutup (kecuali dalam konsep Ahmadiyah). Bukan karena manusia sudah pintar-pintar dan unggul mampu mengontrol hidup di bumi lalu tidak diperlukan nabi dan rasul lagi melainkan karena sistim yang dibangun dan dipraktekan kekasih Allah Muhammad saw., sudah mencapai taraf keunggulan yang maksimal. Lagi pula tidaklah gampang menciptakan nabi dan rasul yang dapat melebihi kapasitas dan kualitas seorang Muhammad saw.
Alasan utama mengapa Indonesia siaga dua karena sistim dan proses pendidikan yang menjadi poros utama perubahan masih berada dibawah bayang-bayang penjajahan. Sudah berpuluh-puluh tahun bahkan ratusan tahun bangsa Indonesia diarahkan untuk menghapuskan jejak-jejak kebesaran dan keagungan nusantara dan digantikan dengan kebesaran dan keagungan peradaban eropa. Apa saja hasil kreasi anak bangsa yang tak sejalan dengan orientasi kebesaran peradaban eropoa maka tak akan pernah diapresiasi apalagi menjadi bagian dalam arus utama pembangunan nasional. Sistim pendidikan tak akan pernah mau diarahkan untuk menggali khazanah peradaban nusantara agar kebangkitan bangsa berangkat dari potensi diri sendiri.
Amatlah naif dunia intelektual kita beranggapan bahwa kebangkita Indonesia diukur berdaasarkan dimulainya gerakan modernisme yang mengikuti pola dan arus modernisasi a la eropa. Akhirnya, kita hanya mengejar bayang-bayang: menggapai kemajuan yang setara eropa tak kunjung , dan membangun karakter bangsa pun semakin kabur; intinya seperti kata CN “Indonesia sedang mempertontonkan jahiliyah tsulatsiyah”. Akibatnya, manusia Indonesia telah terjebak masuk dalam sebuah aquarium raksasa yang disebut kapitalisme-neoliberalisme-zionisme.


5.
Saya merenungkan sirah nabawiyah terutama dalam konteks hubungan antara hijrah, maiyah, dan sukses spektakuler mengislamkan jazirah arabiyah dalam jangka kurang dari sepuluh tahun dalam kepemimpinan Rasulullah, maka terdapat sebelas langkah yang ditempuh rasulullah berdasarkan maiyah:
  • Membangun dan menciptakan komunitas di luar ‘aquarium’ serta membentuk ruang sendiri untuk hidup dengan sistim yang berbeda tetapi tidak marginal. Ini diempuh melalui kegiatan hijrah
  • Hijrah diperlukan untuk membuktikan bahwa di luar ‘aquarium’ hidup memungkinkan bahkan lebih menjanjikan. Hal ini sering diuraikan CN dengan istilah “membunuh anak kecil dan membocorkan kapal oleh Khidr
  • Dalam hijrah kita membangun persaudaraan bukan hanya sekedar senasib dan sepenanggungan melainkan juga sehidup semati. Ini adalah karakteristik jamaah maiyah
  • Menguasai ilmu-ilmu bela diri, tidak hanya yang bersifat fisik tetapi juga bersifat mental – spiritual, termasuk penguasaan ilmu dan teknologi sebagai alat bukan tujuan
  • Menciptakan kemandirian ekonomi dengan cara memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Rasulullah amat memperhatikan kebijakan pertanian
  • Bekerja keras dengan prioritas menghasilkan produk-produk pertanian, peternakan dan perkebunan serta menemukan teknologi alternatif untuk itu semua
  • Mengamankan batas-batas teritorial dalam bentuk fisik dengan adanya angkatan bersenjata atau semacam pasukan khusus sesuai ajaran nabi bahwa sipil adalah militer yang tidak dipersenjatai dan militer adalah sipil yang dipersenjatai. Forum-forum maiyah termasuk dalam kategori ini
  • Secara gradual menyesuaikan pencapaian setiap langkah strategis dengan show of force dengan menempuh beberap eksperimen misalnya komunitas maiyah melakukan advokasi atas hak-hak rakyat yang tertindas, tapi ini tidak a la LSM
  • Menguji kematangan ideologi, kemampuan pertahanan dan mantapnya kedisiplinan dengan menempuh beberapa instrumen. Rasulullah misalnya, selalu menawarkan kepada para sahabat setiap kali menggagas kegiatan terutama menghadapi sebuah peperangan dimana para sahabat selalu membai’at kepada Rasulullah bahwa mereka rela mati
  • Menunggu izin Allah, komando sang pemimpin untuk pergelutan yang menentukan
  • Suksesi dan alih generasi
Inilah kepemimpinan revolusioner yang mampu menciptakan perubahan radikal dari level paling bawah ke level yang paling tinggi.

Jakarta, 22 Oktober 2010-10-23
Muhammad Nursamad Kamba
www.kenduricinta.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar