Rabu, 27 Oktober 2010

Merapi dan "Ilmu" Mbah Maridjan


Mbah Maridjan sedang diwawancarai belasan media, termasuk sejumlah stasiun televisi 
asing sepertidan lain-lain CNN, ABC News, Reuters

Kebanyakan orang sering salah kaprah menerjemahkan makna kata modern. Modernitas seolah-olah menjadi nilai akhir sebuah skala, dimana tradisionalitas diposisikan secara berlawanan. Dan, Mbah Maridjan adalah contoh menarik. Lelaki berusia 79 tahun itu diperintah Sultan Hamengkubuwono IX menjadi juru kunci Gunung Merapi. Karena posisinya itu, nama Maridjan lantas diidentikkan dengan klenik atau hal-hal mistis lainnya.

Karena terjebak pada citra, latar belakang pendidikan seseorang lantas seolah-olah menentukan status sosial, dan ujung-ujungnya, orang yang tak mengenyam pendidikan formal diposisikan sebagai orang terbelakang. Mbah Maridjan, tentu tak masuk dalam perkecualian, sehingga ia selalu dikalahkan oleh sosok-sosok yang memiliki atribut formal, baik yang berupa gelar kesarjanaan maupun strata jabatan dan kekuasaan.


Lava pijar meluncur sejauh hampir empat kilometer dari puncak Merapi, 
Senin 15 Mei 2005 pukul 05:03:07 WIB

Semakin berkuasa (secara politik maupun akademis) seseorang, maka ia cenderung memiliki hak untuk menentukan posisinya sendiri, yang tentu akan memilih lebih tinggi dibanding orang yang tak mengenyam pendidikan formal memadai. Ujungnya, orang cenderung meremehkan nilai-nilai tradisional yang diyakini sebagian kelompok masyarakat, betapapun sebenarnya nilai-nilai tradisi itu memiliki bobot kearifan lokal.
Mbah Maridjan, misalnya, pantang menyebut awan panas Merapi dengan nama wedhus gembel. Begitu pula dengan sebutan lainnya seperti mbledhos, njeblug dan sebagainya yang maknanya sama, yakni meletus. Gunung Merapi disebutnya dengan Eyang Merapi karena ia dianggap sebagai pusat kehidupan dan asal mula Pulau Jawa. Sementara aktivitas Merapi cukup disebutnya sebagai reaksi sang Eyang atas perilaku manusia yang hidup di sekitarnya.


Awan panas (wedhus gembel) meluncur ke arah Kali Boyong dan Kali Krasak pada 
Senin, 15 Mei 2006 pukul 05:53:10 WIB

Kearifan lokal semacam itulah yang disebut ngelmu, sebuah pengetahuan yang merujuk pada gabungan pengalaman empiris dan keyakinan mistis yang lantas mengendap menjadi pemahaman spiritual. “Kalau sekarang Eyang Merapi marah, tak lain karena banyak manusia terlalu rakus menumpuk kekayaan duniawi dengan merusak alam di sekitar Merapi. Dulu, ketika orang mengambil pasir Merapi sebatas untuk makan dan hidup layak, Eyang Merapi tidak marah,” ujar Maridjan.

“Lihat, apa yang terjadi kini? Karena kerakusan, orang mendatangkan banyak backhoe (alat berat sejenis escavator untuk mengeruk pasir) untuk memindahkan pasir berbagai luar kota, dari harga belasan ribu menjadi ratusan ribu. Pemerintah juga begitu, membiarkan perusakan alam terus berlangsung sehingga kini diperingatkan dengan bencana,” ujar Maridjan. Juru kunci Merapi itu yakin, masyarakat di daerah-daerah yang bebas penambangan pasir dengan alat berat akan selamat.

Sudah waktunya, pemerintah dan kaum terpelajar mulai belajar pada nilai-nilai dan kepercayaan lokal. Tidak harus menjadi klenik atau percaya mistik, namun cukup dengan kerelaan untuk menangkap pesan-pesan universal dari orang-orang semacam Mbah Maridjan, atau masyarakat di sekitar Merapi, yang meyakini Sang Eyang tidak akan berulah kalau tak disakiti.


Warga Belang, Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Boyolali sedang merawat tanaman di ladang.
Meski hanya berjarak kurang dari tiga kilometer dari Merapi, 400-am warga di sana merasa
tetap aman sehingga enggan mengungsi

Coba hitung, berapa miliar rupiah uang rakyat telah dikeluarkan untuk membiayai para pengungsi –juga untuk membiayai perjalanan rombongan Presiden dan Wakil Presiden yang melakukan peninjau lapangan ke lokasi-lokasi pengungsian di sekitar Merapi, sejak status Merapi ditetapkan dari waspada menjadi awas. (Jangan lupa, hitung pula ekses mobilisasi pengungsi seperti korupsi bahan makanan hingga pungutan liar para oknum petugas yang mengutip uang rokok kepada rombongan pers dan wisatawan lokal yang hendak melihat Merapi dari jarak lebih dekat dan harus melewati portal dan barikade aparat).

Mbah Maridjan telah memberi contoh menarik. Ia berterima kasih, Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian serta Badan Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Kegunungapian telah siaga dan memberi peringatan dini kepada publik sesuai kapasitas dan tanggung jawab keilmuan mereka. Namun, karena Merapi dianggapnya sebagai makhluk yang ‘hidup’, Maridjan juga mengajak banyak pihak untuk mengakrabi dan lebih bersahabat dengan Eyang Merapi. Caranya, ya itu tadi, jangan merusak alam di sekitar gunung berapi teraktif di dunia itu.

www.blontankpoer.blogsome.com
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar