Selasa, 26 Oktober 2010

A. Mustofa Bisri, Seorang Ulama yang Juga Penyair

http://suaramerdeka.com/foto_smcetak/4812267223b65.jpg
KH.A. Mustofa Bisri. Seorang ulama. Seorang penyair. Maka dia memandang dunia dengan mata batin seorang ulama sekaligus mata batin seorang penyair. Pandangan-dunianya adalah pandangan-dunia seorang ulama sekaligus seorang penyair. Seorang ulama memandang dunia dari sudut-pandang agama; pandangan-dunianya merefleksikan kesadaran relijiusnya. Sementara, seorang penyair memandang dunia dari intuisi kepenyairannya; pandangan-dunianya merefleksikan bangunan intuitifnya.


Keduanya bertemu pada satu titik: baik ulama maupun penyair berbicara tentang hal-hal yang sangat pribadi dan personal, yang sepintas tak ada hubungannya dengan apa pun selain dirinya sendiri; pada saat yang sama keduanya berbicara tentang masalah sosial. Pada tingkat praktis, seorang ulama secara teguh melakukan ibadah yang sangat personal dan individual, dan pada saat yang sama melakukan layanan sosial keagamaan; sejurus dengan itu, seorang penyair menulis puisi sunyi, pada saat yang sama menulis juga puisi sosial yang hiruk-pikuk.

Bukan maksud tulisan ini mendikotomikan ulama dan penyair. Mustofa Bisri jelaslah seorang ulama sekaligus seorang penyair. Keduanya, ulama dan penyair, dipilah semata-mata sebagai kategori dan strategi untuk membantu kita mendekati puisi-puisi Mustofa Bisri. Sudah tentu kita bisa mendekati puisi-puisinya melulu sebagai karya seorang penyair, tanpa mempedulikan sosok penulisnya sebagai seorang ulama. Namun pendekatan seperti itu akan membuat puisi-puisinya tercerabut dari tanah tempat dia tumbuh dengan subur, tanah yang bisa menjelaskan banyak hal tentang puisi-puisi itu sendiri —dan Mustofa Bisri pertama-tama adalah seorang ulama. Namun sebaliknya, mendekati puisi-puisinya melulu sebagai karya seorang ula¬ma bisa membuat kita meragukan kesungguhannya mengeksplorasi bahasa.

Kemunculan K.H.A. Mustofa Bisri atawa Gus Mus dalam blantika sastra Indonesia memberikan angin segar, tidak saja bagi puisi Indonesia melainkan juga bagi masyarakat Indonesia secara umum. Betapa tidak. Puisi-puisinya adalah suara kritis dari pedalaman pesantren, terdengar nyaring, keras, relijius, namun juga jenaka. Di tahun 1980-an, kebanyakan puisi protes sosial bernada marah, seakan diucapkan dengan tangan mengepal dan mata mendelik. Nah, Mustofa Bisri muncul dengan puisi protes sosial yang amat keras namun dengan wajah tersenyum. Puisi-puisinya membuat kita geram namun juga tersenyum. Senyum pahit, tentu saja.

Di tahun 1980-an, rezim Orde Baru berada pada puncak kekuasaan otoriternya. Tidak mudah menyampaikan suara kritis apalagi ditujukan kepada pemerintah waktu itu. Suara kritis pasti ditindas bahkan dilibas. Dalam situasi itu, ada dua cara yang dilakukan orang untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah. Pertama, melakukan kritik keras dan lugas dengan risiko dilarang aparat keamanan untuk tampil di mana-mana. Kedua, me¬lakukan kritik secara jenaka, terutama dengan cara menertawakan diri sendiri. Puisi-puisi Mustofa Bisri adalah suara kritis dengan cara kedua.

Tetapi, puisi Mustofa Bisri bagaimanapun pertama-tama adalah karya seorang ulama. Dalam perspektif ini, hal-hal yang bersifat individual dan sosial merupakan satu-kesatuan, bukan saja karena individu merupakan anggota sosial, melainkan terutama karena individu harus mengekspresikan dan merefleksikan dirinya secara sosial. Demikianlah maka ibadah yang paling personal pun harus memberikan dampak sosial secara konkret. Secara teknis keagamaan sering dikatakan, iman hendaklah diikuti oleh amal saleh, dan shalat sejatinya mencegah seseorang dari maksiat apa pun.

Itulah kiranya yang bisa menjelaskan kenapa pada puisi-puisi Mustofa Bisri yang paling sunyi sekalipun, kita toh tetap merasakan ada dimensi sosial, meskipun samar-samar. Puisi “Sajak Putih Buat Kekasih” dan “Seporsi Cinta”, misalnya, sebenarnya merupakan puisi sunyi, namun ia tetap merefleksikan aspek sosial, setidaknya melibatkan “orang lain” dalam situasi psikologis “aku-lirik” yang sesungguhnya sangat pribadi. Dengan kata lain, puisi sunyi Mustofa Bisri bukanlah puisi yang teramat sunyi hingga jauh dari hiruk-pikuk kehidupan bersama. Puisi sunyi Mustofa Bisri adalah puisi sunyi yang dengan caranya sendiri bertalian dengan kehidupan sosial yang nyata.


Sajak Putih Buat Kekasih

Aku datang pergi berharap dan kecewa
Berharap dan kecewa
Tapi biarlah
Kasih,
Biar kebersamaan kita dengan demikian
Abadi.


 
Seporsi Cinta

Seporsi cinta
Tak habis dimakan
Berdua, sayang

Seporsi cinta
Bila tak habis dimakan
Dibuang sayang.


Di sisi lain, Mustofa Bisri lebih banyak menulis puisi sosial tinimbang puisi sunyi. Dia mengangkat tema relatif luas tentang masalah sosial, dengan nada menyindir atau protes, dengan nada melucu atau ironis. Hal ini sekali lagi dapat dijelaskan dengan posisinya sebagai ulama: al-Quran lebih banyak berbicara tentang muamalah tinimbang ‘ibadah mahdhah, lebih banyak berbicara tentang hu¬bung¬an sosial-horisontal tinimbang hubungan vertikal. Dan lagi, hubungan vertikal haruslah terefleksi dalam hubungan sosial-horisontal. Puisi “Sujud” dan “Selamat Idul Fitri” dengan baik menggambarkan kemungkinan tersebut.

Kita baca kritik keras penyair di bait pertama puisi “Sujud”:

bagaimana kau hendak bersujud
pasrah
sedang wajahmu yang bersih
sumringah
keningmu yang mulia
dan indah
begitu pongah
minta sajadah
agar tak menyentuh
tanah.


Puisi “Sujud” akhirnya menggambarkan sisi lain kehidupan seorang ulama: kesadaran tasawufnya. Dari awal puisi itu menghancurkan kau-lirik sehancur-hancurnya, bahkan hampir meniadakannya, guna mengembalikan kau-lirik sendiri pada posisinya sebagai manusia lemah di hadapan kemahabesaran Tuhan. Di situ, kecongkakan kau-lirik dicampakkan; dan kepasrahan total diagungkan. Dan dengan cara itu kau-lirik menjelma jadi kekasih yang akan terbang, kembali ke keagungan dunia asalnya:

Singkirkan saja sajadah mahalmu
Ratakan keningmu
Ratakan heningmu
Tanahkan wajahmu
Pasrahkan jiwamu
Biarlah rahmat agung
Allah membelaimu
dan terbanglah, kekasih.


Itulah puisi seorang ulama. Tetapi, sebagaimana dikatakan di atas, puisi Mustofa Bisri bagaimanapun adalah juga karya seorang penyair. Kalau keulamaan menyediakan “isi” pada puisi-puisinya (sebagai telah ditunjukkan), kepenyairan mengolah dan mengelaborasi “isi” tersebut lebih jauh, dengan memberinya “bentuk” —yaitu bahasa puisi— gu¬na memperkuat “isi”, sehingga “isi” lebih impresif, lebih tajam, dan membuatnya mengandung makna lebih luas dan dalam.

Puisi “Selamat Idul Fitri” dapat menjelaskan hal tersebut dengan baik. Kita baca dulu puisi tersebut selengkapnya:

Selamat Idul Fitri

Selamat idul fitri, bumi
Maafkan kami
Selama ini
Tidak semesa-mena
Kami memperkosamu

Selamat idul fitri, langit
Maafkanlah kmai
Selama ini
Tidak henti-hentinya
Kami mengelabukanmu

Selamat idul fitri, mentari
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak bosan-bosan
Kami mengaburkanmu

Selamat idul fitri, laut
Maafkanlah kami
Selama ini
Kami mengeruhkanmu

Selamat idul fitri, burung-burung
Maafkanlah kami
Selama ini
Memberangusmu

Selamat idul fitri, tetumbuhan
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak puas-puas
Kami menebasmu

Selamat idul fitri, para pemimpin
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak habis-habis
Kami membiarkanmu

Selamat idul fitri, rakyat
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak sudah-sudah
Kam mempergunakanmu.

Dalam puisi “Selamat Idul Fitri” di atas, kami-lirik (kami dalam puisi) adalah subjek yang seolah tetap namun ternyata berganti-ganti —kadangkala sebagai sekelompok manusia, kadangkala sebagai rakyat, kadangkala sebagai pemimpin. Tapi siapa pun kami-lirik itu, penyair memposisikannya sebagai subjek yang merasa bersalah. Kami-lirik tampil secara konstan sebagai subjek yang berbeda-beda dan berganti-ganti dan semuanya merasa bersalah.

Yang segera terasa adalah rasa bersalah yang sungguh-sungguh dan rasa bersalah yang seakan-akan. Sebagaimana kami-lirik yang seolah tetap namun berganti-ganti, rasa bersalah kami-lirik pun seolah tetap namun ternyata berubah-ubah, dari rasa bersalah yang tulus ke rasa bersalah sebagai ironi. Pada taraf ini, puisi “Selamat Idul Fitri” adalah sebuah ironi. Ia tidak saja menyatakan rasa bersalah dan mohon maaf, melainkan juga mengungkapkan sinisme sebagai bentuk kritik sosial. Ironi semacam ini memberikan efek lebih tajam pada kritik sosial yang dikandungnya.

Dalam pada itu, repetisi dalam puisi di atas, yang digunakan penyair dari awal hingga akhir puisi, memberikan efek tersendiri pula. Yaitu memperdalam rasa bersalah kami-lirik, sekaligus memperkuat ironi sosial yang dikedepankannya.

Yang juga penting diperhatikan dari puisi “Selamat Idul Fitri” sebagai hasil kerja seorang penyair adalah lawan bicara, atau kepada siapa ucapan selamat idul fitri dialamatkan. Dari puisi tersebut lawan bicara jelas adalah bumi, langit, mentari, laut, burung-burung, tetumbuhan …. Semua lawan bicara tersebut pertama-tama tentulah mengacu pada pengertian harfiahnya. Namun dalam puisi, semua lawan bicara tadi dapat juga dibaca sebagai metafor. Dengan cara itu, ia tidak hanya mengacu pada pengertian leksikalnya, melainkan juga pada pengertian konotatifnya, pada makna kontekstualnya. Pada tataran ini, sebagai hasil kerja kepenyairan puisi “Selamat Idul Fitri” membuka berbagai kemungkinan makna. Dalam arti kata lain, di sini makna memiliki kemungkinan untuk memperluas cakupan yang dikandungnya.

Demikianlah, kerja keulamaan memberikan dasar pada isi puisi; kerja kepenyairan memberikan bentuk dengan mengelaborasi isi itu sendiri dalam bahasa. Maka puisi-puisi Musofa Bisri adalah refleksi dari kesadaran sosio-relijiusnya dalam bahasa yang penuh tenaga: keras, ironis, dalam, kocak, jenaka. Mustofa Bisri adalah sosok manusia dengan kedalaman visi seorang ulama dan ketajaman intuisi seorang penyair.

Jamal D Rahman
www.jamaldrahman.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar