Sabtu, 16 Oktober 2010

Nasi Aron, Makanan Khas Tengger yang Mulai Langka


Cetak E-mail
Bahan Sulit Didapat, Cara Membuat Ribet

Salah satu makanan khas suku Tengger adalah nasi aron. Namun, saat ini makanan ini mulai langka. Padahal dahulu, nasi Aron ini jadi makanan pokok sehari-hari. Mengapa?
Saat itu, gerimis membasahi Desa Pandansari, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo. Namun, beberapa warga masih terlihat berkerumun di lapangan desa setempat.

Tidak demikian dengan suasana desa setempat. Saat itu cukup sepi. Warga memilih berdiam diri di dalam rumah, karena di luar gerimis. Termasuk seorang ibu sambil menggendong anaknya yang tertidur pulas.
Saat kami bertandang ke rumah tersebut, wanita yang mengaku bernama Mami, 25, itu mempersilakan kami masuk. Tak berselang lama, sang suami Satukri datang dari belakang rumah.

"Silakan masuk. Tidak usah malu-malu. Kebetulan saya sedang masak cukup banyak. Jadi makan di sini saja ya, bapak-bapak," ajak Mami ramah.
Tak berselang lama Mami mengeluarkan hidangannya. Terdiri dari sebakul besar nasi beserta sayur dan tempe dibumbu kecap. Mami menjelaskan, makanan yang ada di bakul itu adalah nasi aron.
"Ini namanya nasi aron. Makanan pokok khas warga Tengger sekitar sini. Kebetulan saat ini saya masak cukup banyak, karena beberapa keluarga datang untuk melihat penanaman bibit kopi di lapangan itu," beber Mami.

http://febykurniawati.student.umm.ac.id/files/2010/01/nasi-aron.JPG
Selanjutnya Satukri menjelaskan, meski nasi aron ini merupakan makanan pokok khas Tengger, namun akhir-akhir ini mulai sulit ditemui. Warga setempat jarang mengonsumsinya.
Sulitnya mendapatkan bahan untuk membuat nasi aron menjadi kendala sendiri. Selain proses pembuatannya yang juga agak ribet. Jika tidak mengerti cara membuatnya, maka nasi aron tidak akan jadi.
Untuk membuat nasi aron, kata Satukri, bahan pokoknya dari jagung putih. Sedangkan saat ini, di wilayah kecamatan Sumber, kebun jagung putih sangat jarang ditemukan. "Beberapa tahun ini masyarakat enggan menanam jagung putih. Kebanyakan memilih sayur-sayuran. Seperti kubis, kentang, wortel dan yang lainya," beber Satukri.

Menurut Satukri, menanam sayur-sayuran lebih menjanjikan. Pasalnya, panennya lebih cepat dibanding menanam jagung putih, yang panennya enam bulan sekali. Selain itu, jagung putih dinilai kurang cocok jika ditanam di dataran tinggi seperti daerahnya. Sehingga pertumbuhannya agak lama bila dibandingkan ditanam di dataran rendah.
Namun Satukri mengaku masih menanam jagung putih. Ia menanam jagung putih untuk keperluan makan sehari-harinya. Keluarganya memang salah satu keluarga yang masih menggunakan nasi aron sebagai makanan sehari-harinya.

Untuk membuat nasi aron dijelaskan Mami gampang-gampang sulit. Mulanya jagung putih direndam dengan air. Kemudian jagung itu ditumbuk sampai halus. Barulah setelah itu direbus sampai dua kali.
"Kalau dahulu, yang dimakan langsung jagung putihnya. Tetapi sekarang dicampur nasi. Agar rasanya lebih enak. Kasihan keluarga saya kalau makan jagung putih itu tanpa direbus," beber Mami.
Mami cukup bersyukur karena keluarganya tidak masalah memakan nasi aron. Karena, ia tidak pusing jika harga beras naik. Satu bulan, dia bisa menghabiskan 10 ikat jagung putih yang berisi 35 tongkol jagung. Dengan mengonsumsi nasi aron, dia mengaku bisa menghemat sampai tiga kali lipat dibanding jika makan nasi putih saja.

Selain itu, nasi aron lebih tahan lama. Bahkan, sampai satu minggu belum basi. Namun, Mami mengaku tidak setiap hari makan nasi aron. "Ya beberapa hari diselingi makan nasi putih biar tidak bosan," ujar mami.
Mesti, 37, warga lainnya mengaku sudah jarang memakan nasi aron. Pasalnya, untuk membuat nasi aron cukup ribet. Terlebih proses menumbuk jagung putih dinilai yang paling menyulitkan.
"Wanita di Pandansari biasa mencangkul di sawah. Jadi, kalau harus menumbuk lagi ya nggak kuat capeknya. Tetapi terkadang kalau lama tidak makan nasi aron, ya kangen, terus langsung masak," beber Mesti.
Diakui Mesti, dahulu, untuk membuat nasi aron cukup mudah. Soalnya ada yang menjual hasil tumbukan jagung putih (geret). Namun saat ini mulai berkurang.

Salah satu penjualnya adalah Narti, 62. Wanita usia lanjut ini mengaku sudah tidak kuat lagi bekerja sebagai penjual geret. "Saya ini sudah tua, jadi tidak kuat menumbuk kembali," bebernya.
Meski saat ini mulai jarang warga Tengger yang mengonsumsi nasi aron. Tetapi, sebagian masyarakat Pandansari sepakat melestarikan resep nenek moyangnya itu. Mami, Mesti dan Narti, mengaku akan mengajari dan memberikan resep membuat nasi aron kepada penerusnya.
(radar_bromo) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar