Senin, 18 Oktober 2010

Perpolitikan Islam di Indonesia (Sebuah Tinjauan Syari'at)

Oleh: Ahmad Zain An Najah , MA


MUQADDIMAH
Pertarungan antara kebenaran dan kebatilan , adalah sunatullah dan keniscayaan yang tidak bisa di hindari lagi. Agama Islam bagi kaum muslimin adalah kebenaran yang harus diperjuangkan dan harus ditegakkan , baik pada tataran individu, masyarakat , maupun negara. 
H. Omar S.Cokroaminoto pernah menulis : “ ..Tak boleh tidak , kaum muslimin mesti mempunyai kemerdekaan umat atau kemerdekaan kebangsaan ( nationalle vrijheid ) dan mesti berkuasa atas negri tumpah darah sendiri “. 

Islam dan Negara adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karenanya, tak ayal, umat Islam- walupun jatuh bangun- senantiasa interes terhadap dunia perpolitikan. Melalui politik , umat Islam hendak meraih kekuasaan, tapi bukan untuk kekuasaan itu sendiri , ia hanyalah sebuah sarana untuk memperbaiki agama dan dunia secara bersama- sama. Karena tanpa itu, ajaran- ajaran Islam yang universal ini akan terus pincang.

Ini sebagaimana yang di sebut oleh para ulama ketika memahami Lembaga Kekhilafahan, sebagai suatu sarana untuk mengatur dan menegakkan urusan dunia dan agama, secara bersamaan. Namun , di dalam perjalanannya, khususnya pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, Umat Islam hampir tidak pernah berhasil, kalau tidak mau dikatakan gagal, di dalam menegakkan ajaran- ajarannya lewat pertarungan politik terbuka. Inilah , barangkali yang membuat pesimis beberapa kalangan terhadap usaha penegakkan syare’at lewat politik. Sikap semacam itu sangatlah wajar , apalagi mereka merasa mendapatkan justifikasi dan dukungan dari beberapa dalil syar’I serta realita yang mereka saksikan sendiri. Kasus- kasus yang terjadi di negara- negara Islam, seperti Al Jazair , Mesir, Marokko, Tunis, Yordan, dan Turki merupakan bukti kuat bahwa umat Islam memang tidak pernah berhasil dalam masalah yang satu ini . Termasuk di dalamnya negara kita, Indonesia. 

Tepatnya, sejak penentuan dasar negara di BPUPKI dan PPKI , sehingga menghasilkan rumusan Pancasila dan UUD 1945 yang terkenal dengan Jakarta Charter ( 22 juni 1945 ) , penghapusan tujuh kata di dalam pembukaan UUD 45, hingga pemilu terakhir setelah runtuhnya Rezim Soeharto pada bulan Juli 1999. 

Sejarah tersebut, mestinya dijadikan ‘ibroh dan pelajaran bagi kaum muslimin untuk selalu membenahi diri, intropeksi dan memikirkan format baru perjuangan umat. Sejarah , bukanlah angka-angka dan kata- kata yang harus di hafal, akan tetapi sejarah adalah pelajaran berharga bagi manusia , bangsa dan umat yang berpikir , untuk selanjutnya dijadikan pijakan untuk melangkah menatap ke depan menggapai sebuah cita- cita agung. Tulisan yang sangat singkat ini, sekedar pengantar untuk memberikan beberapa alternatif pemecahan, problem solving dari centang perentangnya keadaan negara kita Indonesia, paling tidak sebagai kontribusi di dalam menentukan format perjuangan umat pada masa mendatang. 


MELACAK AKAR PERMASALAHAN.
Pada tanggal 16 Oktober 1905 berdiri Syarikat Dagang Islam ( SDI ) di Solo, di bawah pimpinan H. Samanhudi, yang kemudian berubah menjadi “ Syarekat Islam “ ( SI ) di bawah trio politiknya yang terkenal : Cokroaminoto, Agus salim, dan Abdul Muis. SI inilah , menurut Prof. DR.A. Syafi’I Ma’arif dan KH Firdaus AN, adalah yang pertama kali menuntut sekaligus yang memperjuangkan Indonesia merdeka. Bahkan, menurut pengamatan KH Firdaus AN, SI lebih pantas untuk dijadikan pelopor kebangkitan nasional dari pada gerakan Budi Utomo yang feodalistis dan keningratan . 

Kira – kira pada tahun 1938 , H. Agus Salim, A.M. Sangaji dan Muhammad Roem memisahkan diri dari SI, dengan membentuk partai “ Penyadar “. Bahkan sampai terbentuknya MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) pada tahun 1937 M yang waktu itu menjadi konferedasi partai-partai dan organisasi- organisasi Islam waktu itu , seperti Muhammadiyah, Persis, NU, PERTI dan PERMI, Partai “ Penyadar “ belum juga mau berkabung dengan MIAI, yang kemudian pada tanggal 8 Nopember 1945, melalui Konggres Umat Islam di Yogykarta berubah menjadi partai politik Islam , yaitu MASYUMI (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). 

Dan pada tanggal 5 april 1952 , dengan alasan bahwa Majlis Syuro Masyumi yang terdiri dari kalangan para Ulama dirubah statusnya , yang tadinya berperan di dalam menentukan kebijaksanaan partai, menjadi Dewan Penasehat saja, maka PBNU dan rapat pengurusnya di Surabaya telah memutuskan keluar dari MASYUMI . Dan dikuatkan dalam konggres NU di Palembang , pada tahun tersebut. Sehingga , pada Pemilu 1955 NU menduduki peringkat ke 3 dan meraih 7 juta suara atau 18, 4 % dari seluruh suara serta memperoleh 45 kursi di parlemen, yang tadinya waktu berkabung dengan MASYUMI hanya memperoleh 8 kursi saja. 

Kasus- kasus tersebut, menunjukan bahwa Umat Islam, belum mampu untuk mengesampingkan kepentingan- kepentingan pribadi atau kelompoknya demi mencapai kepentingan umat, yang oleh Gellner , sikap- sikap berislam seperti itu disebut sebagai cara berislam tingkat rendah, yaitu beragama Islam yang hanya melakukan penghayatan dengan mementingkan simbol, syiar, permukaan, keakuan dan justifikasi syare’ah bagi kepentingan kepentingan internal. Cara ber-Isam yang bersifat eksklusif dan kurang toleran terhadap perbedaaan. Penyakit perpecahan dan kaku di dalam bersikap terhadap perbedaan, merupakan ganjalan utama bagi Umat Islam sehingga gagal di dalam meraih cita- citanya. 

Oleh karenanya, para tokoh umat , hendaknya banyak menimba ajaran- ajaran Islam sebelum mereka berikrar untuk memimpin umat, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Umar bin Khottob : “ Belajarlah dahulu, sebelum kalian menjadi pemimpin “. Sebuah petuah yang seharusnya diabadikan dengan tinta emas oleh kader- kader pemimpin bangsa. 
Bahkan Alvin Toffler, di dalam bukunya “ Pergeseran Kekuasaan “, membagi kualitas kekuasaan menjadi tiga tingkatan :
  1. Kekuasaan dengan kekerasan adalah kekuasaan yang berkualitas rendah.
  2. Kekuasaan dengan kekayaan merupakan kekuasaan berkualitas medium
  3. Sedang kekuasaan yang berasal dari penerapan pengetahuan adalah kekuasaan yang berkualitas tinggi
Di bawah ini , penulis sebutkan beberapa hal yang dirasa sangat urgen dan mutlak diperlukan untuk meniti jalur Kepemimpinan Bangsa diantaranya adalah: 

1. Fiqih Prioritas
Dengan menguasai Fikih Prioritas , seorang pemimpin mampu meng-agendakan masalah yang harus lebih diutamakan lebih dahulu dari masalah- masalah lainnya. Perang Jamal, pada masa Kholifah Ali ra, yang telah mengorbankan beribu- ribu putra terbaik Islam, hanyalah bermula dari perbedaan pandangan di dalam menentukan skala prioritas, apakah harus mencari para pelaku kerusuhan dan pembunuhan terhadap kholifah Utsman ra, ataukah harus ditertibkan dahulu negara dengan membai’at seluruh rakyat baru kemudian melacak para perusuh.
 
2. Fiqih Maslahah.
Fiqih Maslahat atu dengan sebutan lain pemahaman terhadap konsep Masholih Mursalah atau Maslahah Syar’iyah di dalam menyikapi perubahan- perubahan politik. Fiqih semacam ini sangat penting untuk dimiliki oleh para kader pemimpin bangsa , mengingat banyak Partai atau Ormas Islam terjebak di dalam permainan politik, walaupun dengan dalih maslahat. Sebut saja misalnya : Perpecahan NU yang terjadi, ketika menyikapi politik yang dimainkan Soekarno yang pada waktu itu ingin merubah sistem Negara menjadi Demokrasi Terpimpin dan merangkul PKI . Terdapat dua kubu NU ; Pertama adalah yang mendukung kebijaksanaan tersebut dengan dalih maslahat . Kubu ini dipimpin oleh KH Wahab Hasbulah, yang kemudian dikenal dengan Kelompok Pragmatis. Sedang kubu kedua : adalah yang menolak kebijaksanaan tersebut . Kubu ini dipimpin oleh KH.Ahmad Siddiq dan KH. Bisri Syamsuri.
Kasus di atas menggambarkan betapa pentingnya Fiqih Maslahat di dalam perpolitikan Islam , tentunya memahami maslahat tersebut dengan segala syarat dan kriterianya.

3. Mengklasifikasikan ajaran agama yang bersifat mendasar dan tidak bisa ditolerir dengan masalah- masalah Ijtihadiyah yang bersifat furu’ (cabang) dan bisa ditolerir.
Salah satu faktor yang menyebabkan keluarnya NU dari MASYUMI adalah ditolaknya usulan NU yang menginginkan Menteri Agama dari kalangan NU, sedangkan MASYUMI sendiri justru malah menempatkan orang Muhammadiyah di departemen tersebut. Begitu juga yang dialami oleh para kader Bulan Bintang, waktu dibentuk BKUI ( Badan Koordinasi Umat Islam ) sebagai bibit pembentukan PBB ( Partai Bulan Bintang ) yang terdiri dari 22 Organisasi Masa dan 20 Yayasan Besar Islam, justru Amien Rais yang diperkirakan oleh banyak kalangan akan menjadi Ketua Partai tersebut, serta Yusril sebagai Sekjennya, malah tidak hadir sewaktu deklarasi PBB, bahkan justru malah mendirikan PAN ( Partai Amanat Nasional ) , sedangkan Deliar Noor yang juga merupakan kader Bulan Bintang, pada kesempatan lain , juga telah mendirikan PUI ( Partai Umat Islam ) . 

4. Mengambil langkah- langkah strategis untuk kemaslahatan umat
Diantara langkah-langkah strategis itu yang di tawarkan di sini adalah , sebagai contoh , menyatukan para pemimpin Islam melalui Konggres Umat Islam ( KUI ), sebagaimana yang pernah di lakukan kaum muslimin pada tahun 1945 di Jogyakarta. Langkah strategis ini, ternyata tidak mampu dilaksanakan umat Islam pada pemilu 1999, sehingga PDI-P memperoleh suara terbanyak, pada saat partai- partai Umat Islam menjadi partai gurem. Walaupun setelah itu , terbentuk aliansi Poros Tengah dan berhasil menaikkan Abdurohman Wahid sebagai Presiden . Namun langkah tersebut terkesan diambil setelah umat Islam merasa terpojokkan . Jadi, lebih bersifat reaksi dari pada aksi, sehingga hasilnyapun bukan seperti yang kita harapkan. Padahal, yang kita perlukan adalah langkah-langkah strategi yang terencana dan teratur, dan tentunya dalam jangka panjang.

Walaupun begitu, banyak pihak yang masih menginginkan terjadinya Poros Tengah jilid ke dua , pada pemilu 2004 ini. Namun , sebagian pengamat merasa pesimis bahwa hal itu akan terjadi. Paling tidak, menurut Moh Samsul Arifin Aktivis dari
Center of Bureaucracy Studies (CBS) Jakarta, ada tiga hal yang menjadi penyebab : 

Pertama ; di antara para politisi yang berasal dari kalangan Islam terjadi persaingan yang hebat dalam memperebutkan kursi RI 1. Sebut saja misalnya :Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Hamzah Haz, Yusril Ihza Mahendera, dan Nurcholish Madjid. Dan yang terakhir ini, telah menyatakan mundur dan disambut baik oleh banyak kalangan. Pencalonan para tokoh itu, ditengarai Indonesianis terkemuka Prof. Harold Crouch akan menyulitkan upaya mempersatukan aspirasi umat Islam dalam satu poros. Crouch bahkan menebak, kekuatan Poros Tengah yang sejak beberapa tahun terakhir ini dianggap sebagai aliansi politis dari aspirasi umat Islam di Indonesia kemungkinan besar akan terpecah pada Pemilihan Presiden tahun 2004. 

Kedua : Syndrome ingin menjadi orang nomor satu nomor satu (will to power) telah melanda kalangan elite politik Islam. Masing-masing tokoh tidak realistis mengukur kemampuan dan kekuatan yang dimiliki sehingga terjebak pada optimisme yang kelewat besar. 

Ketiga : Poros Tengah memang kurang menjanjikan karena lingkup persoalan dan medan politik yang dihadapi relatif berubah. Pemilu 2004 tak hanya memilih anggota legislatif, namun juga Presiden/Wapres. Sistem pemilunya juga berubah drastis. Yang lebih legendaris, nanti rakyat sendiri bakal menentukan siapa orang nomor satu dan dua di negeri ini tanpa lewat MPR seperti selama ini. Peta baru politik tidak menguntungkan sama sekali untuk meneruskan kongsi. 



BENTURAN DEMOKRASI

Yang perlu diperhatikan oleh para pengamat politik Islam di dunia umumnya dan di negara Indonesia khususnya, adalah bahwa Demokrasi yang hendak diangkat dan dijadikan cita- cita negara ini, tidaklah semudah kita membalikkan telapak tangan, bahkan sebagian kalangan menganggapnya sebuah mitos. 

Hal itu di dukung dengan tidak adanya kenyataan satu negarapun di dunia ini, yang telah mampu menerapkan demokrasi yang didengung-dengungkan itu, bahkan demokrasi yang terkesan” dipaksakan “ pada dunia ketiga , yang notabenenya adalah dunia Islam merupakan bentuk konspirasi terselubung. Salah satu buktinya adalah ketika Amerika berencana menyerang Irak , Condoleeza Rice, seorang keturunan Yahudi mengatakan : “ Kini saatnya bagi kita untuk mendemokratisasikan negara-negara Islam “ . 
Bahkan para penganut “teori elite” dalam ilmu politik, seperti Gaetano Mosca dan Vilfredo Pareto juga berpendapat sama, sebagaimana yang ditulis Bima Arya Sugiarto, seorang Kandidat Doktor di Australian National University (ANU) Canberra. 

Mereka meyakini bahwa kekuasaan politik, ujung-ujungnya hanyalah berada di genggaman segelintir elite politik belaka. Konfirmasi paling dramatis dari asumsi-asumsi ini adalah fenomena revolusi Rusia, di mana revolusi yang digerakan kaum sosialis, bukannya menciptakan demokrasi untuk para kelas pekerja, tetapi hanyalah penggantian dari satu kelompok penguasa ke kelompok penguasa lainnya. 

Begitu pula dengan fenomena kepartaian di Amerika Serikat. Moisei Ostrogorski, seorang ilmuwan Rusia yang pada awal abad ke-20 menghabiskan waktu bertahun-tahun di Amerika dan Inggris untuk meneliti sistem kepartaian di kedua negara tersebut juga melansir kesimpulan senada. Menurutnya, manipulasi sistem pemilihan, dan ketidakjelasan ideologi adalah potret buram dari sistem kepartaian di dua negara itu. 

Mesin politik partai akan senantiasa menempatkan elite partai untuk menjadi determinator seluruh proses politik di tubuh partai. Pemilu dengan mekanisme pengambilan keputusan dimana pilihan publik menjadi representasi kebenaran, akan ditentukan oleh banyak variabel, yang kalau kita mau jujur, bahwa variabel- varibel tersebut akan memperlihatkan kepada kita bahwa sistem pemilu yang diterapkan di dunia ketiga sesungguhnya adalah sistem yang memojokkan umat Islam , dengan cara yang sangat halus sekali. Variabel- variabel yang mengganggu jalannya sistem pemilu yang ada dengan luber dan jurdil, dan harus menjadi perhatian serius umat Islam adalah ; 

1. Bedanya tingkat pendidikan yang relatif berbeda.
Sesungguhnya bukanlah suatu bentuk keadilan kalau orang yang tidak berpendidikan di samakan derajatnya dengan orang yang berpendidikan. Secara rasional , hak dan kewajiban yang mereka tanggung pada masing- masing pihak pun berbeda , bahkan dalam banyak bidang. Artinya, suara orang yang berpendidikan tinggi dan mempunyai penguasaan terhadap bidang agama maupun sosial-politik tentunya bobotnya sangat berbeda dengan suara orang yang berpendidikan rendah atau yang tidak menguasai bidang agama dan sosial-politik. Sebagaimana mereka berbeda di dalam mendapatkan tugas dan kewajiban serta hak- hak kemasyarakatan.
Ini, bukan berarti sengaja untuk membedakan mereka sebagai warga negara yang sama-sama mempunyai hak untuk hidup dan dihormati serta berkewajiban untuk menjunjung tinggi peraturan. I
nilah salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kepincangan dalam proses pemilu. Karena sangat dengan mudah, umpamanya membeli suara dari kalangan orang- orang yang tidak terdidik ( moral dan intelektualnya ).
Oleh karenanya, umat Islam dituntut dahulu , untuk memperbaiki taraf pendidikannya , moral dan intelektual, yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. 

2. Pengaruh media massa.
Yang mengusai media massa di dunia saat ini adalah orang- orang Yahudi. Hal ini, tentunya akan berpengaruh pada media massa di lokal , sehingga mau tidak mau globalisasi informasi ini akan berpengaruh pada pembentukan opini publik, yang nota benenya akan menjadi aktor pemilih.
Kalau umat Islam , belum berhasil menguasai mass media tersebut, nampaknya sangat jauh untuk bisa memenangkan pertarungan politik yang mana media massa akan sangat berperan di dalamnya.
 
3. Ancaman Keamanan.
Seperti adanya peculikan para aktivis muslim yang terjadi akhir- akhir ini, bahkan di ambang pemilu 2004.
4/Tekanan dan intervensi pihak asing ( investor dan IMF ) .
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2004 yang diajukan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pertengahan Agustus lalu. Adalah Rp 413,6 triliun, yang terkuras untuk membayar angsuran pokok dan bunga utang mencapai Rp 137,8 triliun atau sekitar 33 persen untuk diserahkan kepada Badan Moneter Internasional ( IMF) .
IMF ini terbukti banyak campur tangan terhadap kebijaksanaan – kebijaksanaan politik dan ekonomi di negara kita. Hal ini sering mengganggu , bahkan menghadang lajunya pertumbuhan pemerintahan yang sehat dan sistem perpoltikan yang bersih pula. Sebagai misal , kita dapatkan IMF-lah yang menyarankan untuk menutup 16 bank tanpa menghitung dampaknya terhadap perilaku para penabung, kemudian juga memaksakan peningkatan harga BBM pada Mei tahun 1998, yang kemudian memicu terjadinya kerusuhan sosial. Dan, IMF pula yang memerintahkan pelaksanaan rekapitalisasi perbankan, yang menyebabkan terpuruknya ekonomi Indonesia ke dalam kubangan utang dalam negeri Rp 650 triliun.

5. Politik Uang .
Hal ini sudah menjadi rahasia umum , bahkan tersiar pernyataan, bahwa partai yang akan memenangkan pemilu adalah partai yang memiliki dana besar. Karena dengan uang , mereka bisa membeli suara. Nampaknya , seluruh sistem pemilu yan diterapkan pada banyak negara tidak bisa lepas dari politik uang ini, baik secara sembunyi- sembunyi, maupun secara transparan, seperti yang kita saksikan pada pemilihan Gubernur di beberapa Propinsi akhir-akhir ini.
 
6. Rekayasa Global dalam bidang ekonomi maupun politik.
Banyak kalangan melihat lengsernya Soekarno dan ambruknya Soeharto , bahkan mundurnya Habibie merupakan salah satu bentuk rekayasa global. Umat Islam , harus mencermat hal ini. Seperti isu terorisme dan jaringan Jama’ah Islamiyah, sebenarnya hanyalah salah satu rekayasa global untuk menyudutkan umat Islam di Indonesia. 



PENUTUP
 
Pada akhirnya umat Islam, harus menyadari bahwa perjuangan menegakkan syare’at lewat jalur politik, bukanlah satu- satunya jalan, dan hendaklah jangan memaksakan diri, jika memang belum siap, karena bukannya kemenangan yang akan diraih tapi justru bumerang yang akan menodai track record umat Islam sendiri. Kasus lengsernya Abdurohman Wahid, sebagai seorang Kyai dan tokoh umat Islam dari kursi presiden Indonesia ke 4 , tentunya harus dijadikan pelajaran oleh umat Islam. Barangkali yang lebih urgen dan mendesak adalah sosialisasi nilai- nilai ke-Islaman pada masyarakat Indonesia, sebagi tahapan awal untuk menuju Bangsa dan Umat yang berwibawa. 

Isu Dakwah Kultural yang digulirkan oleh Muhammadiyah dan disambut baik oleh Nahdhotul Ulama, dengan konsep “ Kembali ke Khitthoh “ – nya, perlu di dukung dan disambut baik masyarakat Islam Indonesia. Para pemimpin Islam hendaknya, melakukan prioritas pendekatan yang evolusioner dan bersifat kultural. Politik Islam Indonesia ke depan haruslah melakukan objektivikasi terhadap praktik perjuangan politiknya. Fokus perhatian yang berlebihan pada kekuasaan yang berlebihan , akan berakibat terbengkalinya bidang-bidang lain yang justru segera membutuhkan solusi. 

Bagi mahasiswa yang ada di Kairo maupun berada di belahan bumi manapun , tentunya akan lebih baik menekuni bidang-bidang yang dihadapinya serta berusaha meraih prestasi yang memuaskan untuk kemudian disumbangkan kepada Bangsa Indonesia yang masih sangat miskin dengan para intelektual yang berilmu dan bermoral. 
Sekali lagi, Bangsa Indonesia harus banyak belajar dahulu, para kader pemimpin umat , harus membekali diri mereka dengan ilmu-ilmu yang cukup sebelum menggelinding menuju kepimpinan nasional. Kerusakan Bangsa Indonesia adalah akibat elit pemimpinnya yang kurang berbobot, serta cacat moral dan intelektual, ditambah dengan lemahnya kontrol dari kaum agamawan yang cenderung larut dalam dunia dan menanggalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar . 

Sangatlah tepat apa yang dikatakan oleh Ibnu Mubarok : “ Bukankah rusaknya dunia ini, karena pemimpin yang jelek, para pendeta serta ahli ibadah yang lengah “. Semoga Bangsa Indonesia terhindar dari itu semua. Amien. 

Sumber: ahmadzain.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar