Minggu, 24 Oktober 2010

Sekali Merdeka, Merdeka Sekali?

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. 
Merdeka!!! Merdeka dari kemiskinan dan kebodohan.

Hari ini kita memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-65 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Merdeka!
Menjadi pertanyaan, benarkah kita sudah merdeka, termasuk merdeka dari kemiskinan? Benarkah kita sudah merdeka, termasuk merdeka dari kebodohan? Benarkah kita sudah merdeka, termasuk merdeka dari korupsi? Ataukah kemerdekaan itu hanya dimaknai sebatas acara seremonial belaka, tanpa jiwa, tanpa semangat, dan tanpa tekad yang membara untuk membebaskan rakyat dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan korupsi?


Acara-acara seremonial untuk memperingati Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945 memang digelar di seantero Indonesia, mulai dari upacara bendera di Istana Merdeka yang dipimpin langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hingga ke pelosok-pelosok Tanah Air, baik di RT, RW, maupun desa/kelurahan. Berbagai lomba juga digelar, mulai dari lomba memasak, memanjat pohon pinang, berjalan di atas egrang, hingga makan kerupuk dan lain sebagainya. Tetapi, benarkah semangat Proklamasi 17 Agustus 1945 telah meliputi jiwa kita semua?

Proklamasi kemerdekaan adalah jembatan emas menuju cita-cita Indonesia merdeka, yakni masyarakat yang adil dan makmur. Demikian antara lain kata Bung Karno. Namun, hingga 65 tahun usia kemerdekaan kita, benarkah kita sudah menikmati kemakmuran dan keadilan? Sudahkah kita merdeka dari kemiskinan dan kebodohan? Sudahkah kita merdeka dari korupsi yang menyengsarakan kehidupan rakyat?

Tahun ini, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 31,02 juta orang. Apakah dengan demikian berarti kita sudah bisa disebut merdeka? Jumlah penduduk buta huruf juga masih tinggi, sementara biaya sekolah mahal. Apakah dengan demikian berarti kita juga sudah bisa disebut merdeka?
Korupsi merajalela. Setiap tahun, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparansi Internasional Indonesia (TII) selalu menobatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di Asia bahkan di dunia. Apakah dengan demikian berarti kita sudah bisa disebut merdeka?

Dalam pidatonya di depan sidang Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1945 serta Pengantar Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2011 di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin 16 Agustus 2010, SBY memang menegaskan bahwa pemberantasan korupsi masih menjadi prioritas pemerintahannya. Akan tetapi, apa yang sesungguhnya terjadi? “Pemberantasan korupsi itu masih sekadar political will (kemauan politik) SBY,” kata pengamat politik Sukardi Ranakit.

Lihat saja. Pada 4 Agustus 2010, ICW merilis data bahwa wabah korupsi sudah menjangkiti provinsi-provinsi di Tanah Air. Umumnya, yang dikeruk oleh para pelaku korupsi adalah sektor keuangan daerah atau APBD. Korupsi di semester pertama tahun ini terjadi di 27 provinsi. Provinsi yang menempati jumlah kasus paling banyak adalah Sumatera Utara dengan 26 kasus, disusul Jawa Barat (16 kasus), DKI Jakarta dan pemerintah pusat (16 kasus), dan Nanggroe Aceh Darussalam (14 kasus). 


Meski demikian, potensi kerugian negara dengan jumlah paling besar terjadi pada kasus-kasus yang terjadi di DKI Jakarta, yakni 12 kasus dengan jumlah kerugian negara sebesar Rp709,514 miliar; diikuti Lampung sebesar Rp408,382 miliar (7 kasus), Nanggroe Aceh Darusalam sebesar Rp275,1 miliar (14 kasus), Maluku sebesar Rp118,875 miliar (6 kasus), dan Riau sebesar Rp117,75 miliar (3 kasus).

Beberapa kasus korupsi APBD dengan potensi kerugian negara sangat besar selama 2010, di antaranya kasus pembobolan kas daerah Aceh Utara (Rp220 miliar), kasus korupsi APBD di Indragiri Hulu, Riau (Rp116 miliar), kasus korupsi kas daerah di Pasuruan, Jawa Timur (Rp74 miliar), dan kasus dana otonomi daerah di Kabupaten Boven Digoel, Papua (Rp49 miliar).


Sebagai perbandingan, pada semester I tahun 2009, kasus korupsi yang mengeruk keuangan daerah sebesar Rp410,857 miliar dengan 23 kasus. Adapun modus yang paling banyak digunakan para pelaku korupsi ialah penggelapan (62 kasus), penggelembungan harga atau mark up (52 kasus), proyek fiktif (20 kasus), penyalahgunaan anggaran (18 kasus), dan suap (7 kasus).


ICW juga mencatat, selama periode 1 Januari-30 Juni 2010 ditemukan 176 kasus korupsi yang terjadi di level pusat maupun daerah, dengan jumlah kerugian negara mencapai Rp2,102 triliun. Sebagai perbandingan, tahun 2009 semester I sebanyak 86 kasus dengan jumlah kerugian negara Rp1,7 triliun. Tingkat korupsi semester I tahun 2010 ini meningkat sekitar 50 persen dibanding semester I tahun 2009. Sementara jumlah pelaku korupsi yang telah ditetapkan sebagai tersangka pada semester I tahun 2010 ini sebanyak 441 orang, sedangkan periode yang sama tahun lalu sebanyak 217 orang.


Pelaku korupsi yang menempati peringkat tertinggi diduduki oleh swasta dengan latar belakang komisaris dan direktur perusahaan sebanyak 61 orang. Empat pelaku tertinggi lainnya ialah kepala bagian (56 orang), anggota DPRD (52 orang), karyawan/staf di pemerintah kabupaten/kota (35 orang), dan kepala dinas (33 orang). Jika dibandingkan dengan semester I tahun 2009, menunjukkan ada pergeseran pelaku korupsi dengan peringkat pertama anggota DPR RI/DPRD (63 orang).

Dalam pidatonya, SBY juga menyinggung Bhinneka Tunggal Ika dan ia pun bangga dengan demokratisasi dan pluralisme yang berkembang di Indonesia. Akan tetapi, bila ternyata sekelompok jemaat Huriah Kristen Batak Protestan (HKBP) di Bekasi, Jawa Barat, misalnya, harus terusir dan dikejar-kejar ketika hendak menjalankan ibadah, apakah berarti pidato SBY itu sudah menjelma ke dalam realita? Ataukah masih sebatas retorika?
Kalau setiap hari rakyat merasa terancam dan terteror oleh tabung gas kemasan 3 kilogram dan pemerintah cuek saja seolah melakukan pembiaran, apakah itu bisa disebut kita sudah merdeka?


Kalau aparat Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepulauan Riau yang hendak menangkap nelayan asing asal Malaysia yang sedang mencari dan mencuri ikan di perairan Indonesia justru ditangkap balik oleh polisi Diraja Malaysia, justru di wilayah perairan Indonesia sendiri, apakah itu artinya kita sudah merdeka?
Atau merdeka kita maknai sebagai “sekali merdeka, merdeka sekali”? Merdeka dan bebas untuk melakukan apa saja, termasuk bebas bagi pemerintah untuk tidak peduli terhadap rakyatnya? 


Marilah kita jawab bersama pertanyaan demi pertanyaan itu dengan perjuangan nyata. Detik-detik Proklamasi bukan sekadar seremonial belaka. Kemerdekaan adalah Jembatan Emas menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. Berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Merdeka!

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Merdeka!!! 

Merdeka dari kemiskinan dan kebodohan.

www.pendoposumaryoto.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar