Senin, 25 Oktober 2010

Ustadz Achwan Membina Muallaf Eks Timor-Timur

Perjuangan dakwahnya di Kabupaten Belu dan beberapa daerah lainnya di NTT tidaklah berjalan dengan mudah. Tantangan terbesar berasal dari non Muslim yang tidak begitu menyukai dengan aktivitas dakwahnya.

Image

Belu, salah satu kabupaten yang berbatasan langsung dengan Negara Republik Demokratik Timor Leste, banyak terdapat camp pengungsian para korban bencana sosial jajak pendapat Timor-Timur 1999. Tak jarang pula di tempat-tempat tersebut dijumpai saudara sesama Muslim. Pada umumnya Muslim yang tinggal di camp-camp pengungsian tersebut adalah muallaf eks Timor-Timur. Ust. Achwan mengabdikan dirinya sebagai dai ilallah “berdinas” di Kabupaten Belu, Atambua, Malaka Barat dan Weliman NTT (Nusa Tenggara Timur) sejak tahun 2001. Sebelumnya, ia berdakwah di Timor-Timur dari tahun 1985 – 1999.

Di Kabupaten Belu, jarak antara satu desa ke desa lainnya relatif jauh. Untuk sampai ke satu desa seperti Kecamatan Malaka Barat dan Weliman, dibutuhkan perjalanan ratusan kilometer.

Jarak tempuh yang jauh dan medan yang sulit adalah suatu keniscayaan yang harus dihadapi. “Alhamdulillah, melalui LAZIS Dewan Dakwah para muhsinin telah membantu memberikan sepeda motor untuk memudahkan transportasi kami di pelosok-pelosok,” ujarnya.


Tekanan Para Misionaris

Perjuangan dakwahnya di Kabupaten Belu dan beberapa daerah lainnya di NTT tidaklah berjalan dengan mudah. Tantangan terbesar berasal dari non Muslim yang tidak begitu menyukai dengan aktivitas dakwahnya. Ketika ada seseorang yang berikrar Islam, maka orang itu akan menuai ancaman. Selain itu, orang yang telah memeluk Islam biasanya dikucilkan oleh masyarakat di sekitarnya yang mayoritas non Muslim.

Penduduk Muslim di Kabupaten Belu hanya sekitar 7.000 jiwa dari total penduduk 300.000 jiwa. Sebagaimana minoritas Muslim di daerah lain, maka sangat wajar mereka dikucilkan dan didiskriminasikan. Dalam hal bantuan dari pemerintah, kata Ust. Achwan, masyarakat Muslim Belu sering kali diabaikan. Hanya masyarakat non Muslim mayoritaslah yang dapat menikmatinya.

Para misionaris pun gencar bergerak di jalur ekonomi, karena memiliki dana yang melimpah dan fasilitas yang memadai. Mereka dapat membangun tempat ibadah di mana pun, mereka juga merangkul desa-desa sasaran dengan memberikan bantuan sumbangan atau bentuk finansial lainnya. Hal ini cukup efektif untuk mendangkalkan kembali masyarakat Muslim Belu, melihat sebagian besar dari mereka masih berada di bawah garis kemiskinan.

“Mereka sangat rajin mendatangi pelosok-pelosok desa, terutama para suster itu. Mereka juga sering kali mendatangi masyarakat Muslim yang sedang menderita sakit untuk diceramahi,” tutur Dai sepuh ini. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi dai kelahiran Gresik, 26 Juli 1963 itu, berdakwah di daerah minoritas Muslim, menghadapi para misionaris dengan dana seadanya.


Peningkatan Kuantitas Muallaf


Image

Dari bulan puasa tahun yang lalu sampai sekarang, di Kabupaten Belu dan sekitarnya, sudah lebih dari empat puluh lima kepala keluarga telah bersyahadat dan menjadi muallaf. Namun sayang, peningkatan muallaf itu tidak diiringi dengan pembinaan keislaman yang serius dan terorganisir dengan baik. Hal ini disebabkan kurangnya tenaga dai dan finansial untuk mendukung dakwah di sana. Bahkan di beberapa daerah lain, menurut Ust. Achwan, seperti Malaka Barat dan Weliman, belum terdapat tempat ibadah dan dai yang dapat membina para muallaf.

Bersama para jamaahnya, saat ini ustadz yang bermukim di Masjid Agung Al Mujahidin Atambua NTT ini sedang membangun beberapa masjid untuk menjadi pusat dakwah mereka. Diantaranya masjid Al Falah Kletek yang dibangun berkat gotong royong para jamaah. Meskipun sampai sekarang belum selesai seratus persen, setidaknya masjid itu bisa menjadi tempat menunaikan shalat lima waktu secara berjamaah dan pusat pembinaan bagi para muallaf.

Untuk berdakwah ke suatu desa, ia tidak datang dengan tangan hampa. Ust. Achwan harus membawa oleh-oleh buat mereka, semacam perlengkapan shalat dan sebagainya. Hal ini adalah sebagai wujud dari dakwah bilhal, tidak hanya cukup dengan berceramah, tapi memberikan solusi nyata untuk mengimplementasikan keislaman mereka.

Beberapa waktu lalu, Ust. Achwan bersama Ust. Achmad Attubel (Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Kabupaten Belu) dan Ust. Ir. Ali Attamimi (Sekretaris Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Kabupaten Belu) bersilaturahim ke masyarakat muallaf yang berada di daerah itu. Dengan didukung LAZIS Dewan Dakwah, mereka membagikan perlengkapan shalat bagi para muallaf di sana.

Sampai saat ini, dana dakwah yang ia dapatkan secara rutin hanya berasal dari sumbangan masjid. Selain itu, ia juga rutin mendapatkan mukafa’ah dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, meskipun masih terbilang kecil. Ia kerap kali membiayai prosesi kematian ketika ada jamaahnya yang meninggal. Ia juga yang membantu secara finansial ketika ada seorang ibu yang melahirkan. Singkat kata, ia menjadi tumpuan umat ketika ada jamaahnya yang mengalami kesulitan.

Dalam berdakwah, ujian dan rintangan adalah sebuah keniscayaan. Apalagi berdakwah di wilayah pedalaman, tentu rintangannya lebih keras lagi. Diperlukan para dai yang bermental baja, alias tiada kata menyerah dalam menyampaikan risalah Islam. Menurut penuturan para dai, justru di dalam kesusahan itu terdapat manisnya sebuah perjuangan. Tatkala kesulitan datang menghadang, keyakinan akan pertolongan Allah semakin mereka rasakan.
Ia sangat yakin terhadap firman Allah, "Hai orang-orang Mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS Muhammad: 7)

Semoga kita semua memiliki azzam untuk mendukung dakwah di pedalaman yang pelik dan penuh dengan rintangan. Tentu saja sesuai dengan potensi dan kemampuan kita masing-masing. Siapakah lagi yang paling baik ucapannya daripada orang yang menyeru kepada Allah (QS. Fushilat: 31).

(Saeful Rokhman/sabili)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar