Sabtu, 30 Oktober 2010

Yang Lucu dan Yang Aneh: SRIMULAT, Sebuah Sejarah


What a sad business being funny.
(Charlie Chaplin)


Cerita lucu bisa jadi merupakan kisah kesedihan yang dipupur oleh banyak kepura-puraan. Di televisi Indonesia sekarang, kita bisa melihat banyak tokoh-tokoh yang dulu dikenal sebagai ‘tukang hibur orang’ meringkuk di penjara karena kasus obat-obatan terlarang, narkotika, dan persoalan-persoalan lainnya. Kadang, ‘para penghibur’ ini mengalami hidup yang tragis karena kesepian, ditinggalkan penggemar, atau terkait persoalan poligami dan semacam itu. Di antara ‘para penghibur’ itu mungkin kita telah begitu hafal wajah-wajahnya karena mereka dulu sering muncul di televisi, tergabung dalam sebuah grup lawak legendaris bernama Srimulat. 

Berbicara tentang Srimulat berarti berbicara tentang sebuah perjalanan panjang yang tak selalu lucu dan manis. Justru kadang, perjalanan itu berisi tragedi-tragedi dan hal-hal yang menjengkelkan. Sebagai sebuah kelompok hiburan, Srimulat didirikan oleh RA Srimulat dan Teguh Slamet Rahardjo pada tahun 1950, lima tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. 

Kelompok lawak ini mengakhiri masa ‘tugas’-nya sebagai kelompok penghibur pada tahun 1989. Meski demikian, Srimulat tetap bertahan sebagai legenda. Meski banyak konsep komedi dan lawakan ditampilkan, meski generasi baru pelawak datang dan pergi memenuhi wacana kesenian Indonesia, Srimulat tetap bertahan sebagai sebuah kelompok kesenian rakyat. Srimulat tetap memiliki masyarakat pendukung (konstituen) yang cukup kuat dan mampu beradaptasi dalam segala perubahan. 

Tora Sudiro, aktor komedi kontemporer, misalnya, tetap mengidolakan Gepeng (salah satu aktor Srimulat) sebagai aktor favoritnya. Secara spesifik, sebagai kesenian tradisional, Srimulat mengakar di masyarakat kelas bawah, baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan. Tidak seperti kesenian tradisional lain, Srimulat bahkan bisa diterima oleh kalangan atas masyarakat perkotaan Indonesia. 

Padahal kalau diteliti lebih jauh, pola kesenian tradisional Srimulat terkesan sangat sulit beradaptasi dengan ‘kebudayaan modern’ yang menjadi kiblat perkembangan budaya urban di Indonesia. Srimulat selalu menggunakan pola-pola lama yang terus dipertahankannya. Misalnya, penonjolan peran pembantu (batur) yang tak pernah berubah, dan personelnya memiliki karakter dan mimik wajah yang khas –untuk tidak berkata bahwa wajah-wajah orang Srimulat relatif konyol dan ‘tidak tampan’. Pola-pola yang didasarkan pada semboyan, “lucu adalah aneh, dan aneh adalah lucu” ini anehnya tidak membuat masyarakat bosan. 

Sebenarnya mengapa Srimulat bisa menjadi seperti sekarang? Faktor-faktor apa yang membuat Srimulat kini tidak lagi sekadar sebuah grup lawak tapi juga sebuah genre lawakan? Bagaimana sejarahnya? Siapa saja yang berperan di sana? Tulisan ini hendak membahas sejarah dan peranan Srimulat dalam wacana kesenian di Indonesia. Diawali dengan pembahasan sejarah, tulisan ini hendak mengaitkan Srimulat dengan konteks kesenian Indonesia pada umumnya. Tulisan ini juga hendak sedikit mengetengahkan persoalan-persoalan yang dihadapi grup tradisional ini berhadapan dengan perkembangan sosial politik yang bersifat modern. Di akhir pembahasan, tulisan ini hendak sedikit membahas hubungan Srimulat dengan politik Indonesia. 


Lawak: Yang Lama dan Yang Baru.
Srimulat berakar dari tradisi kesenian rakyat, seperti ludruk, lenong, atau pun ketoprak. Tetapi dalam perkembangannya, Srimulat banyak ‘meninggalkan’ tradisi kesenian rakyat.
Dalam Religion of Java, Clifford Geertz membedakan kesenian Jawa menjadi 2 jenis, yakni kesenian klasik dan kesenian rakyat. Kesenian klasik terdiri dari wayang, gamelan, tembang, joged, tembang, serat batik. Kesenian rakyat terdiri dari sandiwara rakyat (wayang orang, ketoprak, ludruk), tayuban, dan penari jalanan (ledek, jaranan, dan janggrung).

Kesenian rakyat memiliki beberapa ciri, antara lain:
  1. penyebarannya melalui media lisan
  2. bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama.
  3. lakon teater rakyat ada dalam versi dan varian yang berbeda-beda. Lakon dapat mudah mengalami perubahan. Tapi bentuk dasarnya tetap.
  4. bersifat anonim, tidak diketahui siapa penciptanya.
  5. mempunyai bentuk berpola. Ia selalu memakai struktur lakon yang sama dan mempergunakan bahasa rakyat pendukungnya.
  6. mempunyai kegunaan atau fungsi dalam kehidupan kolektif.
  7. bersifat pralogis, memiliki logika sendiri, tidak sesuai dengan logika umum.
  8. menjadi milik kolektif masyarakat tertentu.
  9. bersifat polos, gamblang, spontan.
Sementara kesenian beruap teater pop memiliki cirri:
1. masa tayang/pentasnya lebih singkat.
2. sudah disutradarai daengan lebih ketat, bukan bersifat improvisasi lagi.
3. tema-temanya tidak lagi mengenai masyarakat desa atau kampong/agraris.
4. berfungsi politik, untuk menyindir, bahkan menghujat.
5. tujuannya komersial. Semangat kreatif adalah semangat mencari untung yang sebesar-besarnya. Di sini, strategi marketing/pemasaran dipertimbangkan.

Melihat dari pembagian ini, Srimulat bisa dikatakan sebagai kesenian/teater pop yang masih kental sifat-sifat teater rakyatnya. Srimulat sebagai teater pop menyajikan humor/lawakan yang dipentaskan. Dalam hal ini, Srimulat bersifat humoris, karena menertawakan dirinya-sendiri, bukan lelucon yang menjadikan orang lain sebagai bahan tertawaan. Dasar teater Srimulat adalah tradisi dagelan Mataram, dengan tokoh-tokoh terpenting adalah kaum kalangan bawah (batur) dan wandu (waria). Srimulat mengangkat persoalan rakyat kecil dan mementaskannya secara kocak. Tokoh batur sering menjadi tokoh sentral dalam pertunjukan. Pementasan berisi kata-kata plesetan, berlogika salah, dan kebiasaan buruk majikan. Lakon Srimulat sendiri bersifat slapstick (lawakan yang disertai dengan gerak isyarat dan bahasa tubuh kocak dan cenderung kasar). 

Humor Srimulat ini memiliki berbagai sifat, antara lain:
1. sifat kejutan. Humor selalu mengungkapkan sesuatu yang tak terduga.
2. sifat dapat mengecoh orang
3. sifat melanggar tabu. Humor biasanya mengungkapkan kata-kata yang dianggap tidak senonoh dan ‘terlarang’ oleh norma yang berlaku umum.
4. sifat yang aneh karena tidak biasa
5. sifat tidak masuk akal dan tidak logis menurut pemikiran modern
6. sifat kontradiktif dengan kenyataan
7. sifat kenakalan untuk mengganggu orang lain
8. sifat mempunyai arti ganda untuk satu kata yang sama. (teka-teki).

Humor sendiri berciri-ciri sebagai berikut.
1. berbentuk lisan (atau lisan yang sudah ditranskripsikan ke dalam bentuk tulisan)
2. milik kolektif
3. bersifat anonim
4. bersifat aktual dengan kejadian di dalam masyarakat
5. bersifat spontan dan polos
6. mempunyai fungsi dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. 

Menilik dari ciri-ciri di atas, humor memang memiliki berbagai fungsi dan manfaat bagi masyarakat. Pertama, humor bisa jadi merupakan sistem proyeksi, alat pencermin angan-angan suatu kolektif. Kedua, humor juga berfungsi sebagai sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. Ketiga, humor bisa menjadi alat pendidikan (pedagogi). Keempat, humor bisa menjadi alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi oleh kolektifnya. Terakhir, humor bisa menjadi alat protes sosial.
Pada saat awal kelahiran Srimulat, pementasan humor popular tidaklah seramai sekarang sehingga kehadiran Srimulat sesungguhnya memang sangat fenomenal. Meskipun demikian, seniman lawak umumnya lahir secara spontan, tumbuh dan besar di tengah-tengah masyarakatnya. Mereka tidak mendapatkan pendidikan formal melawak.
Srimulat sebagai sebuah grup kesenian mulai tampil permanen di Taman Hiburan Rakyat Surabaya. Cikal bakal tipe lawakan Srimulat adalah suplemen dagelan di seni tradisional ludruk dan kethoprak yang saat itu masih bersifat keliling.
Dengan menjadi populer, seni lawak Srimulat bisa dinikmati tanpa memperlukan prasyarat interpretasi, intelektualitas dan hermeneutika. Pertumbuhan seni lawak di Indonesia berasal dari kesenian rakyat tradisional yang memang tidak pernah hadir secara total sebagai prokreasi dari high culture (seni tinggi atau seni klasik dalam istilah Geertz) dan bukan pula sintesis yang menghasilkan seni adiluhung dari pertarungan antara high dan popular culture. Kesenian tradisional memang mulanya berasal dari dalam keraton, istana raja dan bangsawan tapi kemudian ia merembes keluar untuk menyentuh kehidupan massa. Maka, seni tradisi di Indonesia dikonsumsi massa tanpa mengacu pada batas-batas stratifikasi sosial.
Pada dekade 1980-an, tampil grup lawak Warkop DKI (mulanya Warkop Prambors), beranggotakan Kasino Hadibowo, Wahjoe Sardhono dan Indrodjojo Kusumonegoro, yang berangkat dari kampus/kelas menengah. Setelah beralih ke dunia film, Warkop menyajikan tontonan massa untuk seluruh lapisan masyarakat. Ia hanya menjadi pembawa semangat high culture, bukan pencipta semangat high culture.
Hal ini terjadi karena di Indonesia, elite kebudayaan tidak selalu identik dengan elit sosial. Di sinilah lawak terkondisikan sebagai kanal pelepasan ketegangan dan ketidakpastian. 

  
Srimulat dan Sejarah
Srimulat merupakan kelompok sandiwara tradisional asal Solo yang berkembang di Surabaya serta malang-melintang di dunia panggung seni rakyat sejak tahun 1950. Anggotanya antara lain Asmuni, Tarzan, Basuki, Timbul, Paimo, Beni Bandempo, BAmbang Gentolet, Edi Geyol, Gepeng, dll.
Nama Srimulat berasal dari nama Raden Ayu Srimulat. Tokoh ini hidup antara tahun 1905-1968 sebagai pemain sandiwara panggung dan penyanyi. RA Srimulat adalah anak Raden Mas Adipati Aryo Tjitrosoma, seorang bangsawan, wedana di Bekonang, Solo, Jawa Tengah. RA Srimulat ‘meninggalkan’ keluarganya yang melarangnya terjun dalam dunia kesenian. 

RA Srimulat mengawali kiprahnya sebagai pemain rombongan ketoprak Mardi Utomo di Magelang dan Rido Carito. Di pentas wayang orang, ia tampil di kelompok Srikuncoro. Selain itu, ia juga pernah membintangi film Sapu Tangan (1949), Bintang Surabaja (1951), Putri Sala (1953), Sebatang Kara (1954), dan Radja Karet dari Singapura (1956). 

Pada tanggal 8 Agustus 1950, RA Srimulat telah berusia 42 tahun dan menikah dengan Teguh Slamet Rahardjo (Kho Djien Tiong) yang berusia 24 tahun. Pada saat yang sama, dibentuk rombongan kesenian keliling bernama Gema Malam Srimulat. Gema Malam Srimulat adalah sebuah kelompok kesenian yang menyuguhkan gabungan antara lawak dan nyanyi, terutama lagu-lagu berlanggam Jawa dan keroncong. Penyanyinya waktu itu antara lain Kusdiarti, Suhartati, Ribut Rawit, Maleha, Rumiyati, dan Srimulat sendiri. Teguh menjadi pemain gitar dan biola. Sebelum memasuki tahun 1957, Gema Malam Srimulat berganti nama menjadi Srimulat Review. Memasuki 1957, namanya berubah lagi menjadi Aneka Ria Srimulat. 

Pada waktu itu, panggung pementasan yang digunakan adalah panggung yang bersifat permanent di Taman Sriwedari, Solo. Selain itu, Aneka Ria Srimulat juga mengadakan pentas keliling kota dengan mengunjungi pasar malam dan pusat keramaian. Srimulat melaksanakan dua pola ini selama 10 tahun. Tetapi praktis, Srimulat lebih banyak melakukan pementasan keliling ke Jember, Malang, Blitar, Kediri, Madiun, Semarang, Pati, Kudus, Pekalongan dan beberapa kota di Sumatera dan Kalimantan. Ketika masih nomaden, anggota Srimulat mencapai sekira 28 orang. 

Para pentolan dagelan Mataram seperti Bandempo, Ranudikromo, Sarpin dan Suparni merupakan generasi pertama yang mengawali masuknya lawak dalam Gema Malam Srimulat. Masuknya generasi kedua pelawak dagelan Mataram terjadi pada tahun 1953 ketika Hardjo Gepeng, Djojo Panggung, Karno Willem dan Djiu ikut bergabung. Generasi ketiga datang pada tahun 1956 yang meliputi Johny Gudel, Rusgeger dan Brontoyudo. 

Dagelan Mataram mengubah format dan cetak biru lawakan Srimulat[1]. Dagelan Mataram diperkirakan berasal pada paruh pertama abad 20, yakni sekitar tahun 1925 di Yogyakarta dengan pencetusnya bernama Ki Jayeng Kedung alias Ki Gunopradonggo. Kesenian ini muncul tak lama setelah kethoprak. Dagelan malah disebut sebagai anak kandung kethoprak. 


Bentuk dan cirinya sederhana. Lakon yang dipentaskan pun tentang kehidupan rakyat desa, dengan pakaian, tata rias, tata pentas, bahasa, tembang maupun gamelan yang terhitung sederhana. Awal munculnya lawak dalam masyarakat Jawa terjadi pada pementasan Ketoprak Langen Madyo di Kertanaden, Yogyakarta, dengan judul Menak Abdul Semarasupi. Di pementasan ketoprak ini, muncul acara selingan berupa lelucon untuk menutup blocking tempat/alat. Dagelan ini meluas menjadi lawak yang mencakup bukan hanya ketoprak tapi juga ludruk, dll. 

Karena pengaruh dagelan Mataram ini, porsi lawakan di Aneka Ria Srimulat lebih dominan daripada nyanyi. Dagelan Mataram memiliki keunikan dalam cara penyampaian, yakni berbentuk monolog dan dialog. Dalam monolog (ngudaroso), seorang pelawak secara lisan menyampaikan isi perasan, pemikiran maupun cerita tertentu kepada penonton. Ia bisa berkisah, berpidato atau berdeklamasi.

Selain itu, Srimulat juga mendapat pengaruh ludruk dan ketoprak. Bekas pemain ludruk yang bergabung dengan Srimulat antara lain Kadir Mubarak dan Nurbuat. Sementara yang dari ketoprak adalah Bendot dan Timbul Suradi. Jadi sangat terlihat hubungan yang benar-benar organik antara Srimulat sebagai grup lawak nasional dengan kesenian tradisional Jawa. Bahkan boleh dibilang, lawak Srimulat merupakan puncak dari dagelan atau lawakan yang ada dalam kesenian tradisional Jawa. 

Semakin lama, Aneka Ria Srimulat semakin tumbuh besar. Teguh yang mengambil alih kepemimpinan Aneka Ria Srimulat sejak tahun 1957 semakin merasakan kompleksitas dalam manajemen yang berpindah-pindah tempat. Pada tahun 1961, Aneka Ria Srimulat akhirnya menetap di Surabaya dengan menjadi pengisi tetap Taman Hiburan Rakyat. Sejak itu, para personel Aneka Ria Srimulat hijrah dari Solo ke Surabaya. Dengan kepindahan ke Surabaya, Aneka Ria Srimulat menambah kru, antara lain Budi SR sebagai desainer panggung, A. Rafiq sebagai penyanyi dangdut, Paimo sebagai pemain piano, Udin Zach sebagai peniup klarinet, Gatot Sanyoto sebagai pemain perkusi dan bongo, dan Maryono sebagai pemusik tiup. 

Pada tahun 1968 Teguh mulai melakukan perombakan format pagelaran. Aneka Ria Srimulat mulai mengutamakan tampilnya sandiwara dengan banyolan spontan sebagai sajian utama. Srimulat lalu benar-benar berubah menjadi grup komedi. Dengan perubahan ini, Srimulat membutuhkan dramaturgi lawakan karena dagelanlah yang menjadi roh yang menghidupi seluruh jalinan cerita. Ini merupakan penemuan yang sangat penting dan mendasar. Tadinya lawak hanya jadi selingan (baik di ludruk, ketoprak, bahkan wayang, dan Srimulat sebelum 1968), sekarang ia menjadi satu-satunya tumpuan. Fenomena ini merupakan kali pertama di Indonesia sebuah drama yang diselingi nyanyi dan seluruh alur ceritanya dilawakkan atau dilucukan di atas pentas. 

Sejak September 1972, Srimulat tampil rutin 4 bulan sekali di TIM, Jakarta dengan sambutan luar biasa. Srimulat yanga berasal dari Jawa mulai berekspansi ke level nasional. Hal-hal yang mendorong ekspansi Srimulat ini terdiri dari 2 faktor, yakni:
  1. faktor eksternal, yakni adanya kesempatan bagi Srimulat untuk mengaktualisasikan kemampuan dirinya dalam seni lawak Indonesia.
  2. keinginan Teguh sebagai pemimpin Srimulat untuk memupuk kemampuan dan memperluas pengaruh Srimulat di Indonesia.
Ekspansi ini menyisakan sebuah persoalan yang harus diselesaikan Srimulat, yakni persoalan bahasa. Selama ini, Srimulat yang berakar dari kebudayaan Jawa menggunakan bahasa Jawa sebagai alat ekspresi keseniannya. Setelah pentas di Jakarta, mereka harus menggunakan sosio-linguistik nasional, yaitu bahasa Indonesia. Di tingkat ini, Srimulat akhirnya menyesuaikan diri dengan perubahan itu dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa di atas pentas. Meski demikian, logika berpikir dan logika berbahasa mereka tetap menggunakan logika bahasa Jawa. Bahkan kemedokan bahasa Jawa digunakan sebagai bahan lawakan. Di Srimulat, bahasa Jawa tetap difungsikan sebagai sarana komunikasi, ekspresi dan aktualisasi diri di antara orang-orang Srimulat. 

Pada tahun 1975, Johny Gudel dan beberapa anggota Srimulat (Kardjo AC/DC, Suroto, Subur, Rujilah, Rus Pentil, Sumiati) memisahkan diri dari Srimulat untuk mendirikan grup lawak sendiri. Jumlah total kru yang keluar 43 orang. Ini merupakan gelombang persoalan pertama yang melanda Srimulat. Pada tahun 1976 orang-orang dari grup sandiwara Lokaria bergabung dengan Srimulat. Tahun 1977 Srimulat mengalami zaman keemasannya. Selain mempertahankan yang di Jakarta dan di Surabaya, Teguh mendirikan Aneka Ria Srimulat di Solo untuk Taman Hiburan Bale Kambang. Mulai Oktober 1981, Srimulat tampil secara permanen di Taman Ria Remaja Senayan. 

 

Pada tahun 1982, Srimulat mengalami transformasi yang cukup berpengaruh untuk karir mereka selanjutnya. TVRI Stasiun Pusat Jakarta mulai menampilkan Srimulat sekali dalam sebulan selama 55 menit. Sejak itu, Srimulat mengalami masa kejayaan selama 5 tahun. Setelah menguasai televise (TVRI masih satu-satunya televisi yang boleh mengudara), Srimulat kemudian juga ikut terlibat dalam beberapa produksi film layar lebar.
Pada ulang tahun keempat siaran mereka di TVRI, pada 10 Oktober 1985, jumlah personel Srimulat sudah mencapai 77 orang. Ditambah kru mereka yang di Solo dan Surabaya, jumlah anggota Srimulat mencapai 300 orang. Sebuah jumlah yang mengagumkan. Tahun-tahun itu, Srimulat juga mulai menetapkan Jakarta sebagai pusat kegiata. Hal itu sesuai dengan kondisi ekonomi politik Indonesia yang mulai menjadikan Jakarta sebagai sentral pembangunan.

Pada bulan Agustus 1986, pelawak-pelawak top Srimulat, seperti Gepeng, Basuki, Timbul, Tarzan, Kadir, Nurbuat, dan Rohana menyatakan keluar dari Srimulat. Ini merupakan gelombang kedua eksodus orang-orang Srimulat. Srimulat didera oleh berbagai komplikasi masalah disimak dari wataknya sebagai kesenian tradisional. Ia berbenturan dengan masalah manajemen dan kepemimpinan, dan keluar-masuknya pemain-pemain handal. 

Pada tahun 1988 Srimulat terancam tergusur dari Taman Ria Senayan karena sepi penonton. Srimulat cabang Semarang juga menutup diri pada 6 November 1988. Pementasan di Taman Ria Senayan bubar pada tanggal 1 Mei 1989 dengan menunggak hutang 22 juta rupiah dan menyisakan 40 personel (18 pelawak, 8 musisi, 7 penyanyi, 4 penata dekor, 2 penata cahaya dan suara, 1 orang pengurus pakaian) dalam keadaan menganggur. Srimulat praktis tamat pada tahun 1989 ini. 

Setelah Srimulat bubar, muncullah grup-grup lawak yang berasal dari orang-orang Srimulat. Basuki, Timbul dan Kadir membentuk Batik Group yang berpentas di TVRI. Kampret dan teman-teman membentuk grup Sanjaya. Sumati dkk. membentuk grup Palapa. Mamiek Prakoso membentuk Sumirat, sementara Nurbuat kembali eksis dengan grup Anoraga. Di Pasar Seni Jaya Ancol, muncul Aneka Ria Asmuni (Asmuni, Triman, dan Paul Polii). Di Semarang, Bambang Panuroto mendirikan Atlas. Meski bermacam-macam, grup-grup ini tetap berciri dan menggunakan pola lawakan Srimulat dalam pentas-pentasnya. 

Pada tanggal 24 Oktober 1992, Srimulat tampaknya kembali menggeliat. Tessy (Kabul Basuki), Tarzan, Marwoto (dagelan Mataram), Didik Nini Thowok bersama Tarida Gloria dan Kiki Fatmala muncul di layar RCTI dan SCTV menggantikan posisi Lenong Rumpi. Mereka menampilkan lawakan-lawakan yang sangat kental unsur Srimulat-nya, antara lain lawakan berjudul Sadis tapi Mesra, Kontes Ratu Sejagad, Kau yang Kusuka dan Gosip

Kebangkitan sebagian anggota Srimulat ini disusul pada tahun 1995, yang melibatkan hampir semua anggota lamanya. Jujuk Juariah, istri kedua Teguh dan primadona Srimulat, menghubungi Kadir Mubarak untuk mengumpulkan awak Srimulat agar tampil ke panggung bersama. Kadir merupakan salah satu alumni Srimulat yang relatif sukses, terutama di layar lebar. Berdasarkan kesepakatan dua orang itu, pada tanggal 27-28 Januari 1995 Srimulat menggelar pentas lawak dan kembali muncul di Taman Ria Remaja Senayan dengan bintang tamu Lydia Kandou, Evie Tamala, Doyok dan Eko Ndaru Jumadi. Dari Srimulat, muncul Jujuk, Tarzan, Asmuni, Basuki, Timbul, Bambang Gentolet, Nurbuat, Triman, Paul, Rohana, Rina, Sumiati, Niniek Chandra, Ani Asmara, Mamiek Prakoso, Kadir, Polo, Bendot, dll. Malam pertama mereka menampilkan judul Kadir-Doyok di Sarang Drakula, pada malam kedua pementasan bertajuk Love is Blind

Pementasan itu merupakan reuni besar-besaran setelah Srimulat bubar 6 tahun yang lalu. Meski demikian, Srimulat hanyalah sebuah ‘ajang reuni kebablasan’ yang begitu cair. Ia tidak lagi menjadi payung bagi sebuah grup lawak. 

Pada tanggal 4-10 September 1995, Srimulat sekali lagi merasa perlu menyelenggarakan reuni. Sejak November 1995, Indosiar mulai menayangkan lawakan Srimulat dalam siarannya. Sejak saat itu, Srimulat berpentas secara permanen di Indosiar, setiap Kamis malam, pukul 21.30 sampai 22.30 dengan tajuk Aneka Ria Srimulat. Hingga penghujung 1999, Srimulat tampil rutin di Indosiar dengan rating 9 dan spot iklan mencapai 36.
Momen ini sangat penting bagi ‘Srimulat’ yang sudah bubar. Mereka bertahan karena pasar (industri entertainment). Pasca-bubarnya Srimulat, televisi menjadi factor yang sangat determinan dalam mengumpulkan anggota Srimulat yang tercerai-berai. Di sini, capital/modal bisa memainkan peran yang sangat penting bagi keberlangsungan sebuah kesenian. 

Tahun 1996 masih tetap diwarnai adanya reuni yang kebablasan dari anggota Srimulat. Setelah di Jakarta, pentas reuni diselenggarakan di Solo pada tanggal 8-10 Januari dan di Semarang pada 13-15 Januari 1996. Melalui televisi, kebangkitan Srimulat Reuni semakin terlihat. Pada tahun 1998, Basuki merancang ketoprak humor “Ketoprak Jampi Stress” seperti Timbul yang membuat Ketoprak Humor di RCTI. Ketoprak Jampi Stress menampilkan orang-orang Srimulat ditambah Mandra dan Marwoto, yang tampil rutin setiap Selasa malam di Indosiar sejak 1999. 


Srimulat dalam Konteks Genre Hiburan.
Menurut Anwari, penulis buku Indonesia Tertawa, Srimulat sebagai Sebuah Subkultur (1999), di Indonesia ada 3 genre lawakan, yakni:

  1. Genre lawakan kritis
Cikal bakal dan pertumbuhan genre ini berasal dari stasiun radio swasta, yakni radio Prambors dan Suara Kejayaan (SK) di Jakarta. Pelawaknya antara lain Warkop, Bagito, Patrio, Ulfa, Empat Sekawan, dll. Radio SK menjadi radio humor sejak pertengahan 1980-an. SK didirikan pada tahun 1967 sebagai radio amatir yang bernama Radio Kemenangan. Tahun 1971, SK menjadi radio swasta niaga. Tahun 1984, grup Bagito (Miing/Tubagus Dedi Suwandi Gumelar, Didin/Tubagus Didin Zaenal Abidin, dan Unang/Hadi Prabowo Suwardi) mulai memasukkan unsur-unsur humor dalam siarannya. Tahun 1986 radio SK menjadikan dirinya radio humor. 

Kemunculan genre ini menghadirkan dua fenomena penting. Fenomena pertama, ada sebuah institusi yang bertugas menggodok konsep dan bahan lawakan. Kedua, kehadiran para pelawak dan grup lawak dalam medium radio. Dalam genre lawakan kritis, naskah lawakan bersifat literer. Pelawak biasanya berasal dari kelas menengah/intelektual dan cenderung kritis terhadap hal-hal actual. Lawakan mereka harus relevan dengan masalah sosial dan politik. Fenomena ini didorong oleh kondisi Indonesia saat itu yang sedang menghadapi dunia yang sedang berubah (proses modernisasi dan pembangunan). 

Warkop sendiri lahir di tengah demonstrasi mahasiswa dalam peristiwa Malari 1974. Anggota Warkop adalah aktivis mahasiswa. Lawakan kritis mereka berfungsi sebagai mediator antara rakyat dan penguasa. Patrio tampil di TPI dalam acara Ngelaba, juga berasal dari radio SK. Di grup-grup ini, lawak dikelola sebagai sebuah industri pada tahapnya yang paling awal. Genre lawakan kritis mengalami persoalan saat transformasi dari Orde Baru ke era reformasi karena patokan kritisisme masyarakat berubah. 

  1. Genre lawakan Srimulat
Melawak bagi orang Srimulat adalah melawak yang berjalan begitu saja, mengalir. Melawak tidak memerlukan naskah literer yang rumit. Srimulat tidak berdiri di atas prinsip positivistik, empiris dan tidak pula pragmatis. “Lucu adalah aneh dan aneh adalah lucu,”begitulah semboyan Srimulat. Lawakannya tidak mengungkit soal-soal politik yang rumit sehingga Srimulat relatif luwes dibandingkan yang lain karena agak imun dengan soal politik. 

Menurut Garin Nugroho, Srimulat menandai adanya kelahiran pertumbuhan seni tradisional humor yang bertumbuh mengaktualisasikan diri dalam kerangka modern dengan stereotip dan figure-figur tradisi, tetapi dengan aktualitas yang sangat kontemporer. Pada genre Srimulat, figur dengan segala stereotipnya ternyata jauh lebih penting. Orang-orang Srimulat dan lawakan yang mereka hasilkan merupakan dua hal yang sama sekali tidak berjarak Mereka cenderung menertawakan diri-sendiri (nasib, fisik). 

  1. Genre lawakan alternatif.
Genre ini tidak melakukan kritik politik seperti genre lawakan kritis, namun juga bukan bagian dari subkultur yang lebih kongkret dan jelas seperti Srimulat. Prinsip mereka, melawak tidak boleh mencaci-maki, mengkritik dan menghujat. Lawak adalah science. Di tahun 1990-an, Ateng-Iskak Group (dengan judul acara “Aneka Ria Jenaka” yang sama sekali tidak jenaka), Jayakarta Group dan D’Bodors.
Menurut genre ini, dunia lawak adalah pertunjukan drama yang membuat orang tertawa dan dilakukan oleh beberapa pemain, antara 3-15 orang.
Jayakarta Group beranggotakan Jojon, Tjahjono, Joni dan Uuk, lalu Suprapto Wibowo (Esther). Masa kejayaannya antara tahun 1982-1987. D’Bodors mengkombinasikan lawak dan musik dan berbasis kebudayaan Sunda, beranggotakan Us Us (Achmad Yusuf), Yup Yusuf dan Sambas. Formasi ini lalu berubah menjadi Us Us, Yan Asmi dan Engkus Gusmana. 

Genre merupakan daya saing fundamental. Genre merupakan kekuatan, paradigma dan sisi ideal bagi pelawak, tapi kadang pelawak tidak mampu memenuhi tuntutan genrenya.


Estetika Srimulat.
Srimulat didukung oleh orang-orang yang umumnya berasal dari keluarga miskin dan berpendidikan rendah. Tessy, misalnya, hanya lulusan SD. Tapi Srimulat berhasil diterima kelas menengah perkotaan karena kelas menengah Indonesia memang tidak sepenuhnya berhasil menegakkan estetika seni sesuai dengan logika estetika seni kelas menengah. Srimulat sangat khas. Srimulat memahami tindakan sehari-hari masyarakat urban yang dihasilkan dari proses belajar di antara sesama kaum urban dalam sebuah lingkungan budaya industrial yang bergerak dinamis. Hal ini terlihat dalam lakon-lakon dan karakter yang ditampilkan yang melulu orang-orang desa yang sudah berada di perkotaan. Tidak pernah Srimulat menampilkan setting dan lakon di daerah pedesaan. 

Srimulat sebagai sebuah grup lawak telah berkembang menjadi lingkungan budaya tersendiri atau subkultur bagi kebudayaan Jawa yang lebih luas. Untuk level kesenian tradisional, Srimulat merupakan contoh paling sukses grup kesenian tradisional yang masuk ke dalam lingkungan masyarakat urban. Hal ini sesuai dengan apa yang mereka alami sendiri. 

Srimulat menangkap terjadinya pergeseran cara pandang masyarakat terhadap kesenian panggung. Dramaturgi panggung Srimulat berbeda dengan yang lain. Pada ludruk dan kethoprak misalnya jalinan cerita yang diangkat ke atas pentas adalah mitos, legenda, dan berbagai kisah masa lampau kehidupan manusia, terutama di Jawa. Cerita-cerita ini jarang diangkat oleh Srimulat. Srimulat merancang sendiri tema-tema dan jalinan cerita lawakan dengan cara reproduksi yang campur baur. Bahan baku cerita Srimulat selain dari Teguh yang telah menciptakan sekitar 10.000-an cerita, juga dari para penanggap Srimulat sendiri. Tema-tema yang diangkat hampir semuanya tentang kehidupan di dalam keluarga, ditambah isu-isu yang sedang hangat seperti narkotika, obat-obatan, dll. 

Cerita-cerita khas Srimulat antara lain Bengkel Asmara, Master of Frankenstein, Wonder Eyes of Dracula, Ambassador of Cleopatra, Perkawinan dengan Mayat, Pemburu Jejak Kuntilanak, Hostes Drakula, Roh Cleopatra, Mogok Sex, Relax in Love, Dracula Delapan Penjuru Angin, Janda of Navarone, Dracula Sakit Gigi, dll. 

Mekanisme panggung Srimulat tidak mengizinkan one man show tapi ia bertumpu pada nilai individualistkc. Karakter personal menjadi kekuatan lawakan. Karena tidak ada skrip lengkap, maka masing-masing karakter (Gepeng, Gogon, dll) harus mengeksporasi sendiri bahan lawakannya. Tidak ada yang lebih menonjol atau kurang menonjol, masing-masing orang harus keluar dengan trademark individunya. Misal, Tessy memiliki trademark sebagai tokoh banci. Gogon selalu merupakan orang bodoh. Jadi ide lawakan bukan hasil kerja kelembagaan, tapi lebih hasil kerja individu. 

Tidak adanya naskah/skrip panjang dan lengkap membuat lawakan Srimulat merupakan dan dipupuk oleh budaya oral yang sangat kuat, bukan budaya tulis. Pengalaman jauh lebih penting daripada sudut pandang dan kritik humor. Budaya tulisan membuat orang melakukan abstraksi dan bersifat lebih paradigmatik, hal yang tidak akan ditemukan dalam Srimulat tentunya. 

Skrip bagi Srimulat hanyalah sinopsis atau garis-garis besar cerita yang panjangnya tidak lebih dari satu halaman folio ketik. Bagi Srimulat, lawak itu simply mengungkapkan sesuatu yang aneh. Lawakan mngikuti pemikiran logika sederhana, tidak ada prakonsepsi yang memadai. Maka tidak ada standarisasi baku pelawakan. Spirit dan roh pementasan Srimulat merupakan visi antropologis Teguh.
Di Srimulat, setiap bagian (skrip, penempatan lakon, musik, layar, lighting, suara, dekor, penjualan karcis, penyanyi dan pemain ) memiliki masing-masing koordinator. 

Di panggung Srimulat, ada stratifikasi yang menandai kemampuan dan kecanggihan akting pemain. Dan peran yang paling puncak adalah batur ( yang hampir mirip quasy-director). Batur (pembantu) keluar panggung pertama kali, memegang peran starting point, merupakan figur yang menciptakan pemanasan, serta menjadi juru kunci pembuat sukses lawakan. Dalam konteks seni peran Srimulat, batur adalah centre

Pertunjukan setiap malam selalu terdiri dari 2 babak, setiap babak berisi 6 adegan. Pertunjukan berlangsung selama 90 menit, sehingga setiap babak menghabiskan waktu 45 menit dan setiap adegan 7-8 menit. Cerita pasti selesai. Tapi cerita tidak begitu penting sehingga tidak ada struktur naratif. Yang penting, banyolannya.
Bagian musik sudah memiliki stok musik tersendiri dan tidak selalu orisinal. Musik berfungsi sebentar untuk menciptakan suasana. Pemain musik tinggal membaca skrip, melihat suasana pertunjukan dan isyarat dari sutradara. Dekor juga bukan bagian yang penting dalam manajemen panggung Srimulat. Kadang tidak berfungsi sama sekali selain menunjukkan kelas sosial pemilik rumah (karena temanya kebanyakan keluarga dengan skema indoor/interior). Dekor selalu menggambarkan ruang dalam dari sebuah rumah. 

Pada awal pertunjukan, selalu tampil tokoh batur/pembantu yang bertugas memancing tawa penonton terlebih dahulu dan mengintroduksi seluruh isi cerita. Batur keluar dari panggung sebelah kiri, sehingga bagian kiri panggung menggambarkan bagian dalam rumah. Bagian kanan dan belakang panggung merupakan bagian luar rumah. Jika tuan rumah datang, mereka akan selalu masuk dari sebelah kanan atau belakang panggung. Tuan rumah biasanya langsung berjalan ke sebelah kiri panggung. Majikan perempuan lalu meletakkan tasnya da majikan pria meletakkan tas dan jas di bagian dalam rumah. Pengaturan seperti ini sudah ada sejak tahun 1977. Dan manajemen ini bersifat statis, tidak bergerak dan tidak berubah. 

Panggung diposisikan sebagai aksesori atau kulit pementasan lawak. Kehadiran pelawak (karakter) di dalam panggung menjadi hal yang khas. Pada kebanyakan drama (dan sinetron kontemporer), setting/panggung biasanya bersifat ekstravagansa, manusia berada di bawah pengaruh setting yang luar biasa. Sementara dalam panggung Srimulat, manusia/karakter memegang peranan yang jauh lebih dominant di bandingkan setting/panggung yang terkesan tidak begitu dipentingkan. 

Panggung yang tampak biasa dan tidak berubah (atau kalau pun berubah tidak mengurangi dominasi karakter) sebenarnya sejalan dengan filosofi kebudayaan Jawa sendiri. Dalam pengertiannya yang sublim, manusia Jawa adalah orang yang harus selalu menyesuaikan diri dengan pinesthi yang telah ditetapkan, termasuk panggung kehidupannya. Manusia Jawa harus tetap menjaga harmonisasinya. Meski ide ini bisa sangat subversif jika menilik kecenderungan kontemporer di mana dunia di luar sana (kekuatan kapital/ekonomi dan politik) sangat membentuk manusia Indonesia kontemporer. Dan ini diterima oleh sinetron-sinetron dan film lewat mise en scene yang lebih diutamakan daripada karakter manusianya sendiri.

Ciri ketiga dalam pertunjukan Srimulat adalah nama pemain laki-laki yang selalu bertambah atau mengesankan kelucuan. Nama-nama aneh ini sebagai petunjuk merekalah yang melucu. Contohnya Gepeng, Benny Bandempo, Eddy Geyol, Blontang, Asmuni, dll. Bagi Srimulat, lawak akan semakin lucu jika hanya mendengar nama atau melihat pelawaknya saja orang sudah tertawa.
Srimulat bertumpu pada kebudayaan Jawa. Adopsinya terlihat dari penggunan bahasa, logat, tradisi dan pandangan dunia (world view) masyarakat Jawa sebagai bahan baku lawakan. Penggunaan pattern lawakan tetap, tidak berubah dari waktu ke waktu. 

Srimulat merupakan wajah baru yang lebih mutakhir dari seni dalam kebudayaan Jawa karena kekuasaan dan otoritas dalam perspektif Srimulat dibangun berdasarkan paradigma kekuasaan Jawa.
Dalam panggung Srimulat, tidak ada kaitan antara seni lawak Srimulat dengan realitas sosial politik. Srimulat konsisten pada polanya sendiri yang tak mengalami perubahan berarti.
Kehidupan di dunia merupakan bagian dari kesatuan eksistensi yang meliputi segala-galanya. Perjalanan sejarah dan peristiwa telah ditetapkan sebelumnya dan menempatkan diri dalam hukum kosmis (hukum pinesthi). (Niels Murder, 1985)

Orang Jawa harus mampu menguasai penampakan fisiknya, gerak dan emosinya untuk menuju bentuk kehidupan yang lebih sublim. Di lingkungan Srimulat sebagian besar tanggung jawab dan hak individu merupakan proyeksi atau cerminan dari berlakunya etika Jawa. Mereka memiliki sikap nrimo atas sesuatu di luar dirinya, termasuk pembubaran Srimulat itu sendiri. 

Secara politik estetik, Srimulat tidak akan memasuki wacana sosial politik yang kental dan rumit. Seperti juga kebudayaan Jawa, Srimulat bersifat agak ahistoris. Kebudayaan Jawa merupakan sketsa ahistoris, yakni kemerdekaan maupun penilaian diri manusia Jawa tidak terletak pada upaya untuk mempengaruhi atau mengarahkan kejadian-kejadian melainkan pada upaya untuk melampauinya, untuk hidup dalam kekinian yang abadi (eternal present) dengan cara mawas diri dan identifikasi diri terhadap kesatuan hakiki tatanan abadi yang berada di luar waktu dan hal-hal fana. (hal. 40). 

Srimulat tetap bersikap kritis dengan caranya sendiri yang amat lembut, halus dan tidak menyakitkan. Kritik humornya bersifat reflektif atau merupakan perenungan sublimatif yang dapat dicarikan maknanya dari kerangka konseptual antropologi. Tema yang sering diajukan selain keluarga, adalah mistisisme atau sisi gaib dari kehidupan manusia. Contohnya soal drakula. Hal ini mencerminkan kontradiksi manusia Jawa dalam konteks pembangunan Indonesia yang tidak selalu rasional. 

Seperti yang diungkapkan Timbul, beginilah visi Teguh tentang lawakan.
“Saya pernah dinasehati Pak Teguh, melawak itu boleh dan absah dilakukan. Tetapi kita adalah orang Jawa, yang punya sopan santun sangat tinggi. Jadi, tolong kalau melawak ya melawaklah dengan sopan santun, seperti peran batur dalam pementasan-pementasan Srimulat. Batur itu tidak boleh berani sama majikannya. ….Srimulat tidak membenarkan pelanggaran terhadap sopan santun.”

Visi yang demikian merupakan cerminan dunia ide manusia Jawa. Problem bagi orang Jawa tidak ditanggulangi dengan menciptakan proses sosial dan bukan dengan membangun konstruksi sosial yang logis, tetapi problem itu dilemparkan keluar dari kehidupan manusiawi masa kini yang riil ke kehidupan adikodrati atau spiritual, mistik, dan abstrak. Di balik itu, tumbuh subur pasemon, plesetan dan guyonan yang berisi kritik tajam untuk merespons ketidakadilan sosial dan ekonomi yang terus-menerus direproduksi oleh tatanan kekuasaan. 

Segala bentuk ketidakbenaran dan ketidakadilan sistem itu diatasi melalui cara yang tidak menciptakan benturan. Pandangan hidup orang Jawa bisalah disebut fatalistik. Harmoni sosial sebagai tujuan. Dengan plesetan, humor berada dalam posisi yang konformis. Ini melahirkan sistem dan corak kekuasaan yang otoriter. Hal inilah yang membuat Srimulat cocok dengan ‘ideologi’ Orde Baru karena mengabadikan harmoni, menyarukan perbedaan kelas, mempertahankan struktur sosial yang timpang. 

Selain persoalan politik estetik, perubahan medium pementasan dari panggung ke televisi juga menjadi tantangan cukup kuat bagi pergulatan estetika Srimulat. Pelawak melakukan penyesuaian diri terhadap televisi sebagai medium yang relatif baru untuk menampilkan lawakan. Televisi sendiri sedang memantapkan dirinya sebagai industri. 

Maka Srimulat mulai memperhitungkan pentingnya penyutradaraan dan tim kreatif. Di panggung, mereka berhadapan dengan penonton secara langsung, di medium televisi mereka berhadapan dengan kamera. Di tingkatan otoritas, televisi memberlakukan kontrak kerja, adanya koordinator dan hitungan ekonomi sehingga masuklah Srimulat ke dalam bisnis hiburan. Dalam industrai hiburan, capital/modal adalah raja dari seluruh perdagangan. Maka Srimulat mau tak mau menyesuaikan ini dengan misalnya, menyunting terlebih dahulu lawakannya sebelum ditayangkan. Dampak positif dari perubahan medium ini adalah khalayak penonton (pasar) lawakan Srimulat semakin meluas/bertambah.


Internal Affairs
Hubungan internal di dalam Srimulat bergerak seperti keluarga besar (extended family). Sebagai kelompok, Srimulat memiliki landasan teori menyamai sebuah keluarga besar. Bukan hubungan rasional dan dispersonal. Srimulat sebagai sebuah kelompok penghibur belum sepenuhnya tertransformasikan menjadi sebuah industri hiburan dalam pengertiannya yang modern. Kepemimpinan, manajemen dan hirarki kekuasaan bealum bersifat legal-rasional. Sistem kontrak kerjanya tidak ketat dan lebih didasarkan pada semangat dan prinsip gentleman agreement, adanya struktur atas dan struktur bawah berdasarkan kepercayaan/hegemoni. Struktur organisasi dan hubungan antarorang mencerminkan sebuah keluarga besar Indonesia [baca: Orde Baru] yang bersifat sangat Jawa dan patriakal. 

Srimulat berhadapan dengan persoalan-persoalan kompleksitas pengaturan personel, panggung, naskah, penyutradaraan dan sarana-prasarana lain. Dan di atas semua itu, Teguh adalah big boss Srimulat, seorang legenda yang memiliki hak veto atas seluruh keputusan Srimulat, baik yang bersifat artistik maupun manajerial. Teguh berlaku seperti raja, dengan mandate bersifat otoritarian. Teguh sendiri sengaja menutup pintu bagi tampilnya kepemimpinan alternatif pada seluruh jagad Srimulat karena dialah pencetak blue print (auteur) lawakan Srimulat. 

Teguh memang mampu melakukan restrukturisasi dagelan Mataram menjadi sesuatu yang baru. Dagelan kata-kat berubah menjadi komedi yang digerakkan menurut narasi dengan tetap mempertahankan dialog dan monolog. Dalam posisi ini, Teguh berperan sebagai:
1.sosok sentral Srimulat
2. kukuhnya kepemimpinannya ditentukan lingkungan dan kondisi tertentu.
3. orang yang memiliki jiwa/kepribadian dalam situasi. 

Teguh sendiri dilahirkan dari keluarga miskin. Ia lahir di Bareng, Klaten, Jawa Tengah, 8 Agustus 1926, dari pasangan Ginem dan Go Bok Kwie. Ia bersahabat akrab dengan seorang pembuat gitar bernama Wiro Kingkong. Teguh menyelesaikan pendidikan dasarnya di Tiong Hwa Hwee Koan (THHK) Purwoningratan, Solo. Pada tahun 1942, Teguh mulai membantu ayahnya bekerja di percetakan. Bersama temannya, Tan Tiang Ping, ia kemudian membentuk grup keroncong Asli di Kampung Perawit. Lalu bergabunglah Lie Tjong Yan, Liem Swie Hok, Liew Houw Wan, The Kit Liong, Kho Djien Tik dan Yo Thio Im. Di sini, Teguh mulai belajar bermain gitar dan biola. Bersama Supardi, ia menjadi anggota grup musik di Gedung Kakio Sokai, Purwoningratan. Di sinilah ia berpentas musik untuk umum untuk pertama kalinya. 

Pada tahun 1943, ia terlibat dalam pesta para pembesar tentara Jepang di Gedung Gajah, Solo. Teguh lalu menerima tawaran dari Thio Tek Djien-Miss Ribut untuk bergabung dalam rombongan sandiwara Miss Ribut’s Orion yang setiap malam menggelar pertunjukan di Gedung Shonan, Pasar Pon, Solo. Dua bulan kemudian, grup ini bubar. Pada tahun 1946, ia menerima tawaran R. Supomo untuk bergabung dengan Orkes Keroncong Bunga Mawar. Di grup ini ia bersama Gesang, Hendroyadi, Hardiman, Ndoro Griwo, dll. Orkes ini sering pentas ke berbagai kota di Jawa Tengah dan lagu-lagunya disiarkan RRI Solo. 

Dalam pementasan Orkes Keroncong Bunga Mawar di Purwodadi, Teguh berjumpa dengan Raden Ayu Srimulat. Inilah titik awal kebersamaan mereka di rombongan Orkes Bintang Timur pimpinan Djamaluddin Malik serta dalam Orkes Keroncong Bintang Tionghwa yang dipimpin oleh Kho Tjay Yan. Tahun 1949, RA Srimulat mendirikan Orkes Keroncong Avond dengan Teguh sebagai pendukung utama. Setahun kemudian, tanggal 8 Agustus 1950, mereka menikah dan mendirikan Gema Malam Srimulat. Teguh sendiri menjadi pimpinan Srimulat sejak 1957 hingga 1985. Teguh menikah lagi dengan Jujuk Juariah, primadona kelompok Srimulat, pada tahun 1970, 2 tahun setelah RA Srimulat meninggal. Teguh meninggal dunia pada tanggal 22 September 1996.

Selama memimpin Srimulat, Teguh menggunakan corak kepemimpinan kharismatik. Pengaruhnya bersifat personal dan mendapat pengakuan luas dari pengikutnya. Hal ini terjadi karena sifat Srimulat yang masih kekeluargaan dan bersifat komunal. Pendidikan anggota yang umumnya rendah juga membuat kepemimpinan bersifat paternalistik. Seluruh mekanisme ide lawakan, manajemen keuangan, penyusunan cerita, samapi keputusan untuk mengembangkan usaha diserahkan pada Teguh. 

Pola kepemimpinan seperti inilah yang kemudian menghasilkan berbagai persoalan di internal Srimulat. Kepemimpinan paternalisitik bersifat:
  1. tidak bisa dijadikan landasan untuk memecahkan masalah secara rasional-modern
  2. tidak adanya pembagian kekuasaan
  3. otoritas terpusat pada satu orang
  4. tidak adanya merit system/sistem reward yang jelas
  5. persoalan suksesi dan munculnya hegemoni di pelawak senior

Faktor-faktor inilah yang menjadi sebab utama runtuhnya Srimulat di tahun 1989. Selama Teguh berkuasa sebagai pemimpin Srimulat, seluruh persoalan di atas diselesaikan di tangannya, terutama soal regenerasi dan kaderisasi, tetapi setelah Srimulat bubar dan tidak adanya sistem pendukung, maka runtuhlah bangunan Srimulat sebagai sebuah organisasi/lembaga. Meski dari segi nilai, Srimulat telah melampau hakekatnya sendiri. 

Setelah bubar di tahun 1989 akibat berbagai konflik internal seperti yang telah diceritakan di atas, tahun 1992-1993 Srimulat sudah melakukan berbagai reuni. Tetapi reuni-reuni ini bahkan acara Aneka Ria Srimulat yang tayang di televisi hingga tahun 1999 tidak bisa menolong kebangkitan dan restrukturisasi Srimulat sebagai sebuah organisasi. ‘Reuni’ ini sendiri memang lebih didorong oleh motif-motif ekonomi dan bisnis karena pasar lawakan yang masih terbuka lebar, daripada motivasi dan spirit untuk merekstrukturisasi Srimulat sebagai organisasi lawak modern. Ditinjau dari segi ini, Srimulat ternyata gagal menerapkan manajemen perubahan. Kuatnya ‘ideologi’ konservatif ke-Jawa-an mereka membuatnya sangat sulit menjadi organisasi rasional modern yang berorientasi bisnis-profesaional. 

Ironinya, kelemahan ini menjadi kekuatan kreatif Srimulat yang telah disebarkan oleh alumni-alumninya di berbagai acara baik di panggung maupun medium baru, terutama televisi dan film. Alumni-alumni Srimulat yang sempat berkumpul lagi di Aneka Ria Srimulat kini benar-benar terintegrasi sebagai sebuah industri hiburan. Di sini, faktor kapital menjadi penentu dari keberadaan mereka di bisnis hiburan. TV menjadi satu-satunya penentu kehidupan alumni Srimulat sekarang. 


Srimulat dan Politik
Meski berkali-kali mengatakan bahwa Srimulat tidak akan dan bukanlah partisipan aktif dalam politik Indonesia, tetapi tak bisa dipungkiri Srimulat hadir sebagai salah satu alat politik Orde Baru, dalam artian otoritatif maupun secara hegemonik. 

Kebanyakan anggota Srimulat terutama yang senior memiliki afiliasi dengan tentara sebagai kekuatan utama Orde Baru. Asmuni pernah menjadi anggota laskar Angkatan Darat di tahun 1950, lalu menjadi Pembina kesenian di Dinas Angkatan Laut, Surabaya sebelum terjun secara professional sebagai pemain lawak. Bambang Gentolet bergabung dengan AJEN (Divisi Kesenian Korem 072 Angkatan Darat) di Yogyakarta pada tahun 1967. Pada usia 21 tahun, Nurbuat bergabung dengan kelompok ludruk ‘Anoraga’ milik Batalion 513 Kesatuan Brawidjaya, Malang. Paul Polii juga bekas tentara meski tidak jelas kesatuannya. Pelawak senior lainnya, Tarzan pernah menjadi anggota Brigade Mobil Batalion 412 Jawa Timur. Sementara pelawak yang selalu identik dengan peran-peran banci, Tessy (Kabul Basuki), menjadi tentara setelah lulus SR. Sesuatu yang sulit dipercaya. Anggota lainnya, Triman juga masuk korps tentara. 

Apa hubungan asal anggota Srimulat ini dengan afiliasi politiknya? Sejarah Srimulat mulai dari cikal-bakal hingga kebertahanannya selama hampir 40 tahun tak lepas dari peran serta tentara. Merupakan hal yang aneh sebuah korps tentara memiliki peran serta dalam kehidupan kesenian, dalam hal ini lawak. Tetapi inilah yang terjadi di Indonesia. 

TNI atau Tentara Nasional Indonesia (sebelumnya bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, ABRI) lahir dari 3 angkatan ketentaraan. Pertama, tentara-tentara yang berasal dari bekas tentara KNIL. Mereka mendapat pendidikan tentara a la Barat dari Belanda. Kedua, tentara-tentara bekas anggota PETA yang dididik oleh fasisme Jepang dan sekarang menguasai korps tentara Indonesia. Dan ketiga, adalah tentara-tentara yang berasal dari laskar rakyat yang turut berjuang selama kemerdekaan. Tentara yang berasal dari KNIL dan laskar rakyat mulai tersingkir setelah adanya rasionalisasi tentara oleh kabinet M. Hatta. 

Maka tersisalah tentara-tentara dengan pola pendidikan fasis Jepang yang kemudian dikuatkan oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto pasca-trageadi 30 September 1965. Mengacu pada tradisi fasisme, tentara Indonesia mulai menerapkan kredo Dwifungsi ABRI yang berisi ujaran bahwa militer bisa masuk ke ranah sipil. Dan dalam kasus Orde Baru, tentara inilah yang menguasai kehidupan rakyat sipil, termasuk dunia kesenian. Tak heran banyak jenderal dan pejabat tentara menjadi payung bagi organisasi kesenian dan olahraga. Salah satunya, Letjend TNI (purn) Agum Gumelar yang bertindak sebagai pembina Srimulat.

Jauh sebelum ini, saat Orde Baru berkuasa, Srimulat seperti juga kesenian lain, tak lepas dari hegemoni pemerintah. Meski tidak sevulgar Aneka Ria Jenaka yang jelas-jelas menjadi corong rezim, Srimulat mau tak mau berkompromi dengan penguasa untuk mengamankan dirinya. Tak heran, hegemoni dan kompromi ini masuk sampai ke tingkat tema lakon yang dibawakan. Srimulat ditekan dan mau tak mau harus menyampaikan pesan-pesan pembangunan pemerintah. Salah satu isu yang pernah diusung Srimulat adalah tentang Keluarga Berencana (KB).

Orde Baru sendiri menyadari kekuatan Srimulat sebagai kekuatan yang bisa berbahaya untuknya, tapi juga bisa menguntungkan rezim karena keterjangkauannya pada publik/massa. Seperti yang telah diungkap dalam bagian estetika Srimulat di atas, Srimulat merupakan dunia kecil kebudayaan Jawa yang mau tak mau juga merupakan dasar pemerintahan Orde Baru. Tak bisa dihindari, ideologi ke-Jawa-an Orde Baru sebenarnya berkaitan erat dengan ‘ideologi’ estetika Srimulat. Keengganan Srimulat untuk mengajukan kritik dan kesediannya menjaga ‘unggah-ungguh’ Jawa tentu merupakan hal yang diharapkan oleh pemerintah Orde Baru. Bisa dibilang Srimulat menjadi “government ‘s darling” saat itu meski hubungan kedua belah pihak bersifat saling mencurigai. Pada tahun 1983, Srimulat tampil di tengah keluarga Soeharto di Cendana, Jakarta. Dan ini menjadi salah satu rekor yang dibanggakan oleh orang-orang Srimulat sendiri. 

Pada zaman Orde Baru, kekangan terhadap pelawak, tidak hanya berasal dari Negara, tapi juga dari masyarakat. Masyarakat telah mengambil alih logika kekuasaan negara, mulai memancang berbagai perintang guna menghadapi terlontarnya berbagai humor kritis dari pelawak. Selama Orde Baru, hubungan antara Negara dengan lawak sesungguhnya penuh dengan ketegangan. Penguasa takut akan ambruknya sistem otoriter jika lawak diberi keleluasan dan kebebasan sebesar-besarnya.Pelawak takut ditindas. Maka muncullah self-censorship dalam diri pelawak.

Dalam kasus Srimulat, saat tampil di TVRI, hubungan antara Srimulat dan TVRI adalah hubungan patron-client. TVRI sebagai patron, pelawak sebagai client. Hubungan ini tidak hanya hubungan demi mempertahankan dan mengembangkan seni lawak, tapi hubungan politik yang cukup kental. Karena TVRI berdiri di atas garis kebijaksanaan dan program pembangunan pemerintah, maka para pelawak sebagai client boleh tampil di TVRI dengan sejumlah tabu untuk tak mempersoalkan dan mengkritik kebijakan serta program pembangunan. Kalau perlu, pelawak justru menjadi alat propaganda pembangunan pemerintah. 


Penutup
Demikianlah sekelumit sejarah dan peran serta posisi Srimulat dalam panggung kesenian dan kebudayaan Indonesia. Dalam perjalanannya yang cukup panjang itu, Srimulat ternyata telah mengalami berbagai macam hal yang membuatnya tetap menjadi legenda dunia perlawakan di Indonesia. 

Referensi
Anwari, Indonesia Tertawa, Srimulat sebagai Sebuah Subkultur, LP3ES, 1999
Homo ludens
Denys Lombard, Nusa Jawa
Internet dan kliping Koran.


[1] Menurut Herry Gendut Janarto dalam bukunya, Teguh Srimulat: Berpacu dalm Komedi dan Melodi (Jakarta, 1990), Dagelan Mataram kemungkinan berasal dari pengembangan kesenian kraton oleh Kraton Yogyakarta dari tahun 1913-1933. Para pangeran dan putrid raja, seperti P. Suryoatmodjo, P. Suryodiningrat, P. Tejokusumo, P. Hangabei, dan P. Mangkukusumo ikut dalam pengembangan karawitan, pedalangan dan mocopat serta lawak. Mereka mengundang banyak orang untuk berolah krida di kraton. Para seniman ini lalu menjadi abdi dalem yang bertugas menghibur keluarga kraton. Mereka disebut abdi dalem oceh-ocehan. Pada tahun 1921, beberapa abdi memohon untuk mengembangkan ketrampilan kesenian mereka di luar kraton. Sejak itu, dagelan Mataram berkembang di kalangan masyarakat. 

Sumber: www.pravdakino.multiply.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar