Selasa, 09 November 2010

Awal Mula Campur Tangan Amerika Serikat di Indonesia

Red Drive Proposal, Awal Mula Campur Tangan Amerika Serikat di Indonesia













 
Red Drive Proposal, diyakini merupakan usulan pemerintah Amerika Serikat kepada pemerintah Indonesia pimpinan Perdana Menteri Mohammad Hatta, untuk menumpas habis Partai Komunis dan seluruh elemen kelompok sayap kiri di Indonesia. Inikah awal mula campur tangan Amerika Serikat di Indonesia? Kesaksian mantan Gubernur Militer Sumarsono sudah selayaknya digali lebih lanjut oleh para sejarawan Indonesia.

Banyak literatur sejarah di zaman Pemerintahan Soeharto mengatakan bahwa awal keterlibatan Amerika Serikat (AS) bermula ketika pecah konflik di dalam negeri, yakni PRRI (di Sumatera Barat) dan Permesta (di Sulawesi Utara) dekade 50-an. 

Namun, jika ditelusur ke belakang lagi, justru mulanya AS berkepentingan langsung untuk turut campur tangan dalam menentukan masalah dalam negeri Indonesia bermula tiga tahun setelah Indonesia merdeka pada 1945. 

Adalah konflik senjata yang meletus di Solo, Jawa Tengah dan Madiun, Jawa Timur, pada 1948, yang menyeret langsung AS untuk turun tangan. Sebagai bagian dari pengaruh perang dingin antara dua kutub kekuatan dunia: AS di blok Barat dan US di blok Timur, setelah merambah daratan Eropa, kemudian yang menjadi medan pertarungan adalah kawasan Asia Tenggara.

Indonesia yang memiliki kekayaan alam berlimpah dan geografisnya begitu strategis, menjadi pertimbangan khusus bagi kebijakan Pemerintahan Harry Truman. Belum lagi, pasca Perang Dunia II, konflik yang merebak di Burma, Singapura, Thailand dan Malaysia dengan sponsor dari blok Komunis, membuat AS dengan “politik pembendungannya” (containment policy) merasa kecams jika Indonesia pun menjadi sulit dikontrol dan akhirnya masuk dalam orbit negara-negara komunis seperti Uni Soviet. 

Sebuah ulasan yang sangat bagus dan detil ada di buku “Indonesia Merdeka Karena Amerika”, yang ditulis oleh sejarawan Belanda Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg (2008), dimana mereka mengamati kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia sejak 1920 hingga 1949. 

Intinya, dalam buku ini, digambarkan bahwa Konferensi Meja Bundar (KMB) akhir 1949 di mana Indonesia mendapat pengakuan secara internasional, adalah berkat peran besar AS.

Namun, akan lebih tepat jika melihat KMB tersebut secara sebab-akibat. Karena, KMB lahir dari akibat perang pengaruh kekuatan adidaya di masa itu (AS versus Soviet) yang menyeret ke alam Nusantara. Pemicu yang digunakan adalah konflik berdarah di Solo dan Madiun pada 1948.

Masyarakat Indonesia yang dipelopori para pemuda dari berbagai golongan, pada intinya tidak ingin menghirup udara kemerdekaan hasil dari pemberian pihak kolonial. 

Itu sebabnya, saat  Jepang menjajah Indonesia dan kemudian negara Matahari Terbit ini dijatuhkan bom atom oleh AS awal Agustus, para pemuda menghendaki segera mungkin Indonesia merdeka. Sayangnya, Soekarno-Hatta saat itu sedang diundang ke Dalat (Vietnam) oleh petinggi militer Jepang yang menjanjikan bahwa kemerdekaan Indonesia “pada saatnya” akan diberikan.

Berbekal dari janji politik tersebut,  Soekarno-Hatta saat tiba kembali ke Jakarta dan dipaksa oleh para pemuda untuk segera memproklamirkan Indonesia karena Jepang sudah takluk, belum yakin seratus persen. 

Meletuslah Peristiwa 16 Agustus 1945, di mana Soekarno-Hatta diculik oleh sekelompok pemuda ke Rengasdengklok, Jawa Barat. Meski di momentum itu Soekarno-Hatta belum bersedia juga, namun makna dari penculikan tersebut berdampak sehari sesudahnya. Jam 10 pagi tanggal 17 Agustus, Indonesia pun resmi memproklamirkan kemerdekaannya.

Tiga tahun kemudian, setelah melewati masa sulit awal pemerintahan dengan jatuh-bangunnya kabinet karena kekuatan kolonial Belanda terus ingin menguasai Indonesia, di tubuh pemerintahan pun mulai terjadi perpecahan. 

Kubu Amir Syarifuddin yang menjabat sebagai Perdana Menteri dan didukung oleh gerakan Sosialis-Komunis tak menghendaki adanya kompromi dengan Belanda. Sementara Soekarno-Hatta di kubu lain lebih memilih cara praktis, yakni bersedia berunding. 

Akibatnya, Amir Sjarifuddin yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri dan menjadi ketua perundingan Renville akhir 1947 merasa terjepit. Sebagian partai politik seperti Masyumi dan PNI, yang semula menentang kebijakan yang ditempuh Amir saat menandatangani Perjanjian Renville, tapi Amir setelah meletakkan jabatan sebagai Perdana Menteri – lalu digantikan oleh Mohammad Hatta – malah kedua partai tersebut justru mendukung pemerintahan yang baru dalam melakukan negosiasi dengan Belanda melalui jasa Komisi Tiga Negara (Amerika Serikat, Belgia dan Australia).

Yang menjadi menarik adalah, mengapa sikap Pemerintahan Hatta dan pendukungnya lalu melunak untuk melakukan negosiasi dengan Belanda melalui jasa KTN? Di sinilah sikap AS yang mulai tampak untuk campur tangan secara langsung dalam konflik internal di Indonesia. Masalah ini kian memanas dengan iklim perang pengaruh AS versus Soviet di berbagai wilayah dunia umumnya dan Asia Tenggara khususnya. Dan, peristiwa penting sepanjang 1948, terutama di dua kota besar Jawa (Solo dan Madiun), tak bisa dilepaskan dari perang pengaruh kekuatan raksasa dunia di masa itu.


Kesaksian Sumarsono, Mantan Gubernur Militer Madiun
“Belanda, Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat berusaha keras menguasai Asia Tenggara sehabis Perang Dunia kedua. Tapi kebangkitan kekuatan rakyat, dan munculnya Partai-Partai Komunis di Indocina, Malaya, Birma, Indonesia dan Filipina merupakan tantangan berbahaya bagi kekuasaan pembela kolonialisme,” tulis Suar Suroso, dalam bukunya Bung Karmo: Korban Perang Dingin” (2008).

Tak berlebihan, analisa seperti itu. Banyak pengamat asal Barat pun sepakat tentang hal tersebut.  Tragisnya, banyak temuan baru yang mengarah pada sebuah upaya kolaborasi antara pihak Barat dengan elit pemerintah di dalam negeri pada waktu itu. 

Misalnya saja, kesaksian Soemarsono, 88 tahun, mantan Gubernur Militer Madiun dari unsur Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) ketika pecah perang saudara tahun 1948. 

Dalam kisahnya, Sumarsono mengemukakan adanya konspirasi yang kemudian dikenal dengan sebutan “Pertemuan Sarangan” atau “Red Drive Proposals.” Intinya,  pada 21 Juli 1948 di Sarangan (daerah perbukitan di Utara Madiun, perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah),  diadakan konferensi rahasia yang dihadiri oleh Merle Cochran (wakil dari AS untuk Komisi Tiga Negara), Hopkins (Penasehat Presiden Truman), serta dari Indonesia adalah Bung Karno, Hatta, Sukiman, Natsir, Moh Rum dan Sukamto.

Maksud dari pertemuan tersebut adalah upaya menyingkirkan kekuatan “kelompok kiri”. Ketika itu, Muso, kader PKI yang lama hijrah ke Uni Soviet, juga telah tiba ke Tanah Air dan mulai menarik simpati masyarakat untuk bergabung ke dalam PKI. Sayap PKI pun saat itu meluas, seperti di Pesindo, Front Demokrasi Rakyat (FDR), Partai Sosialis, Barisan Tani Indonesia (BTI) hingga Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Kekuatan “kelompok kiri” ketika itu berkonsentrasi di Solo (Gubernur Militer Wikana) dan Madiun (basis dari Pesindo).

Semenjak posisi Perdana Menteri beralih dari Amir Sjarifuddin beralih ke Hatta, maka program sapu bersih pun berjalan. Hatta, yang memberikan peluang besar bagi pihak Barat – khususnya Amerika Serikat – untuk berunding, telah memberikan banyak kelonggaran agar posisi Indonesia lebih cepat diakui secara internasional. Itu sebabnya, dalam “Pertemuan Sarangan”, khabarnya, program “sapu bersih” untuk “kelompok kiri” yang ditekankan oleh Amerika Serikat kepada Pemerintahan Hatta disepakati. 

Meski sampai saat ini bukti otentik tentang isi dari “Pertemuan Sarangan”  belum dijumpai, tapi indikasi yang menguatkan adanya campurtangan AS ketika sebelum meletus Peristiwa Solo-Madiun begitu nyata.  

Seperti dikupas dalam buku Indonesia Merdeka Karena Amerika?, dikemukakan bahwa Cochran diberikan wewenang penuh untuk memainkan peran AS yang sesungguhnya dalam membendung pengaruh komunisme internasional. Cochran, juga dibantu oleh Atase Konsuler J. Camphell ketika di Indonesia, yang merupakan agen ruguler CIA pertama bertugas di Indonesia. Cochran pun memiliki akses langsung ke Wakil Menteri Luar Negeri AS Robert Lovett yang sangat berkuasa.

Alhasil, setelah adanya kesepakatan antara AS dan Indonesia, keluarlah keputusan untuk merampingkan tentara, yang disebut dengan Program Re-Ra (Reorganisasi dan Rasionalisasi).  

Yang paling terpukul dari program ini adalah kesatuan dari “Kelompok Kiri”, yang di masa itu pasukannya paling banyak dan lengkap persenjataannya, yakni Pesindo di Madiun dan Divisi Panembahan Senopati di Solo. Tiba-tiba lagi, awal Juli 1948, Komandan Divisi tersebut, Kolonel Soetarto yang sangat dikagumi dan disegani oleh pasukan manapun, ditembak mati tanpa diketahui pelakunya.

Sejak itulah, kota Solo mulai mencekam. Aksi saling culik dan bunuh pun merebak.  

Mulanya Madiun tidak terpancing. Lambat laun, pasukan dari Siliwangi yang telah masuk ke Solo, pun mulai memasuki  Madiun dan pecahlah perang saudara. 

Presiden Soekarno turun tangan, dan menjatuhkan ultimatum tegas: pilih dirinya atau Muso? “Kelompok Kiri” akhirnya dipihak yang kalah. Dan yang paling tragis, pada tengah malam 19 Desember 1948, bekas Menteri Penerangan I dan Perdana Menteri ke-2 RI, Amir Sjarifuddin beserta 10 pengikutnya, dieksekusi mati oleh tentara Indonesia sendiri tanpa melalui proses peradilan. 

Berdasarkan kesaksian Sumarsono yang cukup penting tersebut, sudah selayaknya para sejarawan mulai menggali lebih lanjut Red Drive Proposal yang diajukan pemerintahan Amerika Serikat kepada pemerintahan Perdana Menteri Hatta. Sebab jika kesaksian Sumarsono memang benar adanya, maka tak pelak lagi Red Drive Proposal bisa disebut sebagai tonggak-tonggak yang mengawali adanya campur tangan Amerika Serikat dalam urusan dalam negeri Indonesia. 

Alhasil, campur tangan Amerika dalam membantu para pemberontak PRRI di Sumatera Barat dan Permesta di Sulawesi Utara, serta keterlibatan Amerika dalam membantu fron anti komunis dalam membasmi  PKI berikut para petinggi partai pada 1965, justru merupakan kelanjutan logis dari fondasi yang telah ditanam melalui Red Drive Proposal.  

Penulis: M. Abriyanto, Research Associate Blobal Future Institute (GFI) 

Sumber: www.theglobal-review.com
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar