Senin, 08 November 2010

Gunung Muria

Gunung Muria memiliki beberapa puncak yang sangat eksotis. Diantaranya adalah puncak 29, puncak 27, puncak argo piloso, puncak argojombangan, puncak trumulus dll. 
Jalur Argo Piloso
Salah satu puncak yang cukup menantang adalah Puncak Argo Piloso. Jalur pendakian yang masih alami memberikan nilai tersendiri bagi kita yang ingin mencoba melakukan pendakian ke puncak argo piloso. Jalur yang paling mudah adalah dari Air Terjun Montel, kita naek terus menuju Air Tiga Rasa. Daerah ini dinamakan Rejenu. Disini kita dapat melakukan persiapan terakhir sebelum melakukan pendakian, biasanya para pendaki akan mengambil persediaan air disini sebelum melakukan pendakian.

Start awal pendakian kita melewati sumber air terus naik ke atas sampai kita menemukan sebuah latar ombo. Jalur dari start pendakian sampai latar ombo terus menanjak naek dan ini memerlukan kesiapan fisik kita agar bisa melewatinya. Sesampai di latar ombo kita dapat beristirahat sebentar untuk melepas lelah. Di latar ombo ini kita dapat menemukan sebuah petilasan yang sampai saat ini kurang jelas milik siapa petilasan itu. Dari latar ombo perjalanan dilanjutkan terus naik sampai kita sampai pada jalan 90 derajat. Dinamakan demikian karena jalannya tegak lurus 90 derajat melewati akar-akar pohon yang cukup licin. Jadi bisa dibayangkan seperti climbing. Para pendaki diharapkan berhati-hati karena dibawahnya adalah jurang.

Setelah melewati jalan 90 derajat perjalanan dilanjutkan menuju puncak. Bagi teman-teman pendaki diharap berhati-hati karena sebelum puncak kita akan melewati kebun pohon pisang. Disini jalannya sangat lembab dan licin dan banyak sekali pacet atau lintah. Saya sendiri juga heran kenapa sebelum puncak ditemui banyak pohon pisang. Sepengetahuan kita selama baru kali ini menemukan sebelum puncak  gunung, banyak sekali ditumbuhi pohon pisang. Hal ini tanyakan kepada penjaga sumber air di Rejenu, tidak ada yang mengetahui tentang asal-usul terjadinya kebun pisang sebelum puncak argo piloso tersebut. Perjalanan menuju argo piloso dapat kita tempuh selama 2,5-3 jam. Bisa lebih tergantung kekuatan fisik kita masing-masing. 
Sesampai di puncak kita dapat menemukan sebuah petilasan sisa peninggalan zaman dahulu. Satu hal yang tidak kalah menariknya adalah dari puncak Argo piloso kita dapat menyaksikan pemandangan alam yang sangat menakjubkan apabila kabut tidak tebal. Di sebelah selatan kita dapat melihat puncak Argojombangan, sedangkan di sebelah barat kita dapat melihat puncak songolikur 29. Sementara itu nun jauh disebelah utara kita dapat melihat puncak trumulus di balik kabut. Sedangkan di sebelah timur kita dapat melihat laut jawa, kota Kudus, Pati, Jepara dan sekitarnya. Bagi yang belum pernah kesini silahkan di coba, tetap semangat dan selalu jaga alam ini yang telah dititipkan Allah kepada kita untuk kita pelihara dan lestarikan. 


Puncak Gunung Muria

Bagi pendaki gunung, tidak terlalu sulit menggapai puncak Gunung Muria yang berketinggian 1.602 meter di atas permukaan laut (dpl), bila dibanding mendaki Gunung Merbabu (3.142 m dpl), Gunung Slamet (3.428 m dpl), atau gunung lain di Pulau Jawa. Karena, Gunung Muria merupakan gunung yang "pendek".
Akan tetapi, bagi masyarakat biasa tetap tidak dapat dengan mudah mendaki Gunung Muria. Karena itu, Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Mardiyanto memberikan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jateng untuk membangun jalan tembus membelah Gunung Muria.

Jalan tembus itu mulai digarap sejak awal April lalu dari Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, dengan dana Rp 1,2 miliar menuju Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus. Sejumlah alat berat disertai puluhan tenaga kerja, mengepras batu dan cadas di Desa Tempur. Sedangkan dari arah Desa Medani, Kecamatan Cluwak, Kabupaten Pati. 

Di puncak Gunung Rahtawu (1.522 meter dpl), satu dari tiga puncak Gunung Muria, Balai Arkeologi Nasional (BAN) menemukan prasasti Rahtawu tahun 1990. Dari prasasti itulah Prof. Dr. Gunadi menyimpulkan, seputar Gunung Rahtawu pernah dijadikan permukiman di abad kelima atau keenam.
Penemuan itu memperkuat temuan Prof Dr Hasan Ambari tahun 1978 yang meneliti padang oro-oro gabug Bukit Begawan. Di tempat ini ditemukan berbagai perabot rumah tangga dari tanah liat, membuktikan pernah dihuni manusia.

Mengingat luasnya padang ilalang tersebut, diduga kuat tempat itu merupakan lokasi Kerajaan Rahtawun. Namun, penemuan dan penelitian ini tak ada kelanjutannya sama sekali.

Di puncak Gunung Rahtawu, tepatnya di puncak songo likur, dijumpai empat arca terdiri dari arca Betara Guru, Narada, Togog, dan Wisnu, yang menempati lahan 10 x 12 meter. Tempat ini bisa ditempuh dari dua arah dengan waktu sekitar dua-tiga jam dari Dukuh Semliro. Namun sebagian besar berupa jalan setapak. Bahkan sekitar 700 meter menjelang puncak songo likur, tidak ada jalan sama sekali. Hanya berupa sulur dan kayu gelondongan yang berfungsi sebagai pengganti jalan.


Satwa Langka Gunung Muria Terancam Punah


Gunung Muria, 18 kilometer utara kota kudus. Memiliki kekayaan alam yang tidak sedikit, sebenarnya cukup banyak jenisnya namun diduga aneka jenis flora & fauna Gunung setinggi 1602 mdpl tersebut terancam punah.

Adapun kekayaan Gunung Muria yang dicatat oleh perum perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pati, antara lain berupa sekitar 80 jenis pohon, palem-paleman dan rumput-rumputan.
Juga jenis pohon hasil penanaman, seperti mahoni (Swetenia mahagony) yang ditanam tahun 1942, tusam (pinus merkusii) yang ditanam tahun 1944, sengon (Albizza falcate) yang ditanam sporadis, Eucalyptus deglupa, dan kopi yang mulai ditanam tahun 1942.


Dari sisi fauna, dijumpai paling tidak lima jenis ular senduk (kobra jawa), sanca hijau, welang, weling, kera, landak, tupai, trenggiling, babi hutan, musang, ayam hutan, kijang, macan tutul, burung trucuk, kutilang, kacer kembang, lutung, cucak hijau, cucak kembang, ledekan, elang, rangkong, plontang tekukur, gelatik, kuntul,, prenjak, perkutut, ciblek, burung madu, truntung, pelatuk bawang, branjangan, burung hantu, dan brubut. Jenis burung masih banyak lagi.
Namun saat ini, yang masih sering kita lihat adalah bebrapa jenis burung dan 2 eor burung Elang yang menghiasi langit Muria.


Kawasan Gunung Muria ditetapkan sebagai hutan lindung berdasarkan surat keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda Nomor 34, tangggal 24 Juni 1916 di Bogor (Jawa Barat).
Kawasan memiliki banyak puncak gunung, diantaranya adalah puncak Songolikur, puncak Argopiloso, puncak Argojembangan dan puncak Saptorenggo.



Adapun jenis tanah Gunung Muria berdasarkan peta tanah hijau TWG Dames tahun 1955, terdiri dari andasol dan laktosal coklat dan merah. Iklimnya, menurut Schmidt & Ferguson, termasuk tipe A dan tipe B yang dipenuhi angin Muson Barat dan angin Muson Timur, serta rata-rata curah hujan 2.494 milimeter per tahun.
Meskipun banyak kekayaan Gunung Muria yang mulai punah, sisa kekayaan yang berupa masjid & makam Sunan Muria, air tiga rasa di dukuh Rejenu, air terjun montel, wisata “kejawen” di puncak songolikur di Desa Rahtawu masih tetap ramai dikunjungi masyarakat. Apalagi sekarang di kawasan Colo telah dibangun sarana & prasarana yang lebih nyaman daripada dua atau tiga tahun sebelumnya. Seperti Graha Muria, Taman Ria Colo. Perjalanan menuju Air Tiga Rasa yang dulunya hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekarang dapat dilalu sepeda motor dengan jalan yang cukup mulus, namun pengendara harus tetap berhati-hati sebab sebelah kiri jalan adalah jurang.


Sumber Air Tiga Rasa

Kalau nama Gunung Muria dan Makam Sunan Muria salah satu penyebar Islam Walisongo di tanah Jawa hampir sebagian besar dari kita mengenalnya bahkan pernah mengunjungi makam para wali tersebut. Namun sumber air tiga rasa yang lokasinya berdekatan dengan makam Sunan Muria masih relatif jarang dikunjungi.
 
Siang itu sengaja kami meluncur kearah Gunung Muria untuk menkmati sejuknya udara pegunungan setelah mengelilingi Kota Kudus dengan udara yang cukup panas. Jalanan mulai berkelok dan terus mendaki kearah shelter terakhir pemberhentian mobil, namun udara pegunungan siang itu kurang terasa sejuk karena panasnya kemarau. Setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih empat puluh menit sampailah kami di Pesanggrahan, tempat dimana kami akan bersantai dan menikmati wisata pegunungan Muria. Begitu turun dari mobil langsung saja mata kami tertuju pada pisang tanduk dan ganyong yang dijual oleh para penjaja makanan disekitar situ. Kali ini pisang tanduknya memang beda rasanya, begitu legit, tidak terlalu kenyal dan manis sekali. Begitupun dengan rasa ganyongnya, legit, berserat, manis dan krispi.
 
Beberapa tempat wisata di kawasan Gunung Muria adalah Makam Sunan Muria, Air Terjun Monthel dan yang belum begitu banyak dikunjungi adalah Sumber Air Tiga Rasa. Sumber air tiga rasa yang terletak kurang lebih enam kilometer dari Pesanggrahan juga menjadi salah satu tujuan kami. Karena untuk mencapai tempat ini tidak bisa dicapai dengan mobil, maka ojek pun menjadi transportasi utama agar bisa mencapai lokasi. Untuk ukuran Muria memang ongkos ojeknya lumayan mahal, dua puluh lima ribu rupiah per motor untuk sekali jalan, namun tak apalah yang penting kami bisa sampai di lokasi.
 
Melewati rumah-rumah penduduk yang nampak tertata rapi dengan hiasan berbagai jenis bunga di depannya. Dan yang menjadi cirri khas daerah sekitar sini adalah tanaman jeruk bali, pisang tanduk dan delima yang hampir terlihat disetiap depan rumah yang kami lewati. Setelah deretan rumah penduduk mulailah kami melewati jalur pendakian motor. Walaupun jalurnya sudah dibeton, namun karena sempit dan kanan-kiri merupakan jurang yang dalam membuat hati cukup was-was. Dengungan motor dengan gigi rendah terus meraung-raung tuk melewati tanjakan-tanjakan tajam yang kami lewati. Kurang lebih dua puluh menit setelah melewati tanjakan-tanjakan tersebut sampailah kami di Sumber Air Tiga Rasa.
 
Menuju Sumber Air Tiga Rasa
Gerbang utama menuju sumber air tiga rasa
 
Hawa sejuk dan suasana tenang begitu terasa begitu kami memasuki pelataran sumber air tiga rasa karena lokasi ini berada di ketinggian kurang lebih seribu meter di atas permukaan air laut. Di tempat ini terdapat beberapa lokasi utama yaitu, Makam Syeh Sadzali Rejenu, Masjid dan Air Tiga Rasa itu sendiri. Langsung saja kami menuju air tiga rasa tersebut. Terdapat tiga buah tempat air yang berbentuk setengah lingkaran yang dikelilingi batu bata dengan dasarnya adalah tanah. Kedalamannya hanya sekitar dua puluh sentimeter dan diameter sekitar tiga puluh sentimeter. Konon jumlah air yang terdapat ditempat tersebut tetap sama walaupun diambil atau tidak diambil. Dan sumber air ini dipercaya dapat mengobati berbagai penyakit, tergantung keyakinan kita masing-masing.
 
Masjid Syeh Sadzali Rejenu
 
Kalau kita rasakan secara baik-baik memang terdapat perbedaan rasa antara ketiga sumber air tersebut walaupun lokasinya hanya berjarak satu meter antara satu dengan yang lain walaupun berasal dari sumber air yang sama, barangkali inilah salah satu keunikan air tiga rasa. Karena khasiat dan keunikannnya banyak masyarakat sekitar, Jawa Tengah bahkan luar jawa datang mengunjungi tempat ini untuk sekedar melihat, ingin tahu khasiat airnya dan bahkan menginap untuk tujuan-tujuan tertentu. Tapi yang jelas untuk menginap ditempat ini harus ada izin khusus dari pengelola setempat untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Tidak ada sumber khusus yang ditemui dilokasi yang bisa menjelaskan asal-usul air tiga rasa tersebut, namun yang jelas keberadaan Makam Syeh Sadzali Rejenu sangat erat kaitannya dengan keberadaan sumber air ini.
 
Sumber air tiga rasa
Sumber air tiga rasa
 
Perjalanan masih kami lanjutkan ke Makam Sunan Muria yang masih berada dalam satu kawasan wisata Gunung Muria. Kalau Air Tiga Rasa berada di sisi utara namun makam Sunan Muria berada di sisi selatan. Untuk menuju Makam Sunan Muria bisa ditempuh lewat dua cara, yaitu dengan ojek dan jalan kaki menaiki tangga dimana kurang lebih ada sekitar empat ratusan anak tangga yang harus dilalui dengan kemiringan sekitar lima puluh derajat. Untuk memacu andrenalin, kami menuju makam dengan jalan kaki dan naik tangga saja. Dengan terengah-engah sampai juga kami di kawasan makam Sunan Muria. Cuaca sore yang cerah dengan udara yang sejuk betul-betul menghilangkan rasa capai kami setelah menaiki tangga. Pemandangan Kota Kudus dan sebagian desa-desa perbatasan Jepara-Kudus juga sangat jelas terlihat dari atas. Setelah cukup puas menikmati Indahnya Muria dan seiring datangnya senja barulah kami semua meninggalkan keelokan dan keunikan Muria. 
 

8 komentar:

  1. ada yang masih pernah burung rangkong nggak di gunung muria?

    yogajiwanjaya@yahoo.com
    085740786899

    minta tolong untuk informasinya....suwun...

    BalasHapus
  2. boleh minta info rute2nya dan transportasi apa yg harus diambil. start dr jepara atau dr kudus?
    bisa tlg diinfo ke susy.kurniafikri@gmail.com
    terimakasih sblmnya

    BalasHapus
  3. Apakah macan tutul di gunung muria tidak membahayakan pengunjung?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makan tutulnya sudah habis dimakan orang! Ada ada saja yang dinyatakan. Yang ada burung2 dan kera dan kebun kopi (kalau lewat daerah Keling, Jepara)

      Hapus
  4. Sayang sekali..Tuh jalan malah akan mengancam kelestarian macan tutul..

    BalasHapus
  5. Kalo ke puncak 29 harus pake guide pa ada rutenya sendiri,
    terima kasih

    BalasHapus
  6. Lebih jelas tentang hutan muria
    Gabung adja di komunitas pecinta alam muriAdventure

    BalasHapus
  7. kera ekor panjang banyak di wilayah mana 089562115889 ada arca kera atau monyet gak

    BalasHapus