Senin, 08 November 2010

Gunung Prahu


  

Gunung Prahu


Curug Sewu
Untuk survival, satu set perlengkapan memasak di lapangan dan beberapa bilah pisau rimba dan kapak genggam tidak pula ketinggalan, selalu berada di pinggang. Maklum, medannya sangat berbahaya dan masih banyak binatang buas yang mengintai.
 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiViWiCgFA9ubPPjV11RTmjdWHm9C2pR_HbYlKscHK4cPkwNa7o5Sd3Z0_ZxcXsG4fc1_tCeIfIwFZ_jth-kT_s8dgbUk7KfUsrPrHqdu46PVyyFbGg5qCpY5xoGyG0q4Sel2Xljezc1To/s400/c1000.jpg
Curug Sewu

Setelah sampai di lereng perahu, tepatnya di desa Sukorejo, Kendal pula kami sempat mampir ke air terjun yang sangat fantastik. Curug Sewu namanya, terhitung ada sekitar 6 air terjun yang tinggi di daerah ini. Jaraknya hanya 7 km dari kota Sukorejo. Sewaktu kecil, hampir tiap minggu kami mengunjungi tempat ini. Sayang hutannya sudah rusak, dan populasi ayam hutan hijau (galus galus) dan merak hijau jawa (Pavo muticus) sudah lenyap dari hutan ini. Hanya tinggal Macaca fasicularis yang masih banyak bergelantungan di dahan pohon hutan.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigzjs_i-DYIjtgswL35-lxT4Se8KrZi0c-OZrvgfZ2R7fQddSUVMey8zsKYbqS4jemeN5eJobEKJqyVQ68cgt3VhTElZtQ90V8ZBRgKWRh__Gf5QMF7ZdbMufJgeVQzriAvOub38MW8xw/s400/IMG_1978.JPG

http://sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash1/hs516.ash1/30401_396316534914_84217899914_4248414_4842158_n.jpg


Gunung Prahu-Sindoro-Sumbing
Dalam ekspedisi kali ini, tercatat kami melakukan pendakian sebanyak ke pegunungan perahu dengan melewati 6 titik jalur. Dan benar-benar memutari gunung yang bentuknya sesuai namanya.
Ada banyak gunung di gugusan gunung Prahu ini. Salah satu gunung yang menjadi lokasi favorit adalah gunung Sikunir. Gunung ini juga menjadi favorit bule-bule penggemar wisata alam.
Pendakian ke gunung ini pertama kali kami lakukan lewat desa Kenjuran. Dari Sukorejo ke desa Kenjuran kami berangkat tepat pukul 04.00 WIB. Agak kurang beruntung rupanya kali ini, baru kurang lebih ¼ perjalanan, kabut tebal sudah menghadang kami. Alhasil kamipun menghentikan perjalanan dan menjerang teh serta menikmati tembakau. Baru satu sruputan teh kami nikmati, suara auman macan sedang berkelahi terdengar di dasar jurang di samping kami. Tidak jelas dari jenis apa suara auman ini, yang jelas tidak berapa lama kemudian kami segera menuruni lereng jurang. Maklum yang punya hutan yang akan kita datangi. Agak bergetar juga rasanya ketika menuruni lereng jurang sambil membayangkan sosok carnivora ini.

Suara auman dan teriakan macan sedang berkelahi masih saja terdengar ketika kami menuruni lereng dengan kemiringan hampir 90 o. Tingginya saja menurut ukuran kami lebih dari 100 m. Jejak-jejak macan sangat jelas terlihat di tanah, dan kamipun terus mengikuti jejak yang lebarnya + 8 cm ini. Ketika hampir mencapai lembah yang sangat gelap (kanopi pohon yang sangat rapat menghalangi sinar matahari) terlihat jelas jejak-jejak bekas perkelahian. Namun sampai di dasar lembah yang terdapat aliran sungai, kami hanya menemui aliran sungai yang kosong tanpa adanya hewan buruan satu ekor pun. Rupanya angin gunung yang bertiup ke bawah membawa bau kami sampai ke hidung si raja hutan dan memaksanya kabur. Karena kecewa, jejak-jejak kaki dan bekas perkelahiannya (mungkin latihan berkelahi) tidak sempat kami rekam. 

Di dasar jurang kami masih mendata beberapa jenis tanaman langka yang kami temui. Selesai dari aliran sungai ini, kami menuruni gunung dengan mengikuti aliran sungai yang jernih ini. Kira-kira 100 m kami menyusuri sungai, jalan kami terhenti, kami terhadang oleh jurang yang sangat dalam. Kira-kira hampir 50 m dalamnya. Tepat disini air sungai mengalir ke bawah menuju lembah berbatu, menciptakan pemandangan sebuah air terjun yang sangat indah.

Setelah terhenti disini, kami terpaksa kembali menaiki lereng yang berseberangan dari lereng yang tadi kami turunin. Sama terjalnya rupanya, apalagi kami hanya mengandalkan akar-akar pohon untuk pegangan naik. Dibawah kami sedalam puluhan meter, batu-batu vulkanik siap menanti tubuh kami jika terpeleset dan jatuh, terjun bebas. Setelah berjuang semala ½ jam barulah kami mendapati jalanan hutan yang agak rata. Tempat seperti ini memaksa kami untuk berhenti dan menghisap lintingan tembakau dan meneguk air gunung yang segar.

Selama perjalanan ini tak lupa kami selalu jelalatan matanya bila menemukan gerumbulan pohon pakis. Di gerumbulan pohon seperti ini biasanya carnivira plant atau kantong semar tumbuh. Namun dari pagi kami berjalan, sosok Nephents sp. ini tidak juga menampakkan batang kantongnya. Rupanya eksploitasi besar-besaran sudah menurunkan secara drastis populasi tanaman langka ini.
Sampai di puncak sebuah lereng, setelah menemukan tempat yang datar kamipun menggelar peralatan masak dan logistik kami. Beras pun dimasak oleh Demit. Sambil menunggu makan siang (yang kami masak sudah sore), berdua dengan Paulus kamipun mencari obyek di dekat kami berhenti. Puluhan pencari kayu bakar, yang lebih banyak kaum perempuannya, sedang membabat hutan secara perlahan-lahan akhirnya terjerat oleh dua lensa kami.
Selesai mengumpulkan foto dan makan siang dengan menu ayam goreng dan pepes ikan peda + petai, kami masih enggan beranjak sebelum akhirnya menjerang kopi arabika. Sambil menikmati caffein kami ngobrol dengan para pencari kayu bakar. Rupanya secara rutin mereka mencari kayu ke hutan. Maklum saja makanan pokok mereka adalah nasi jagung. Perlu diketahui, proses pembuatan nasi jagung relatif lama dan rumit serta banyak menghabiskan bahan bakar, hingga kayu bakar merupakan salah satu bahan bakar yang paling efisien dan efektif buat mereka. Akhirnya kami pulang ke kampung penduduk mengikuti iring-iringan pencari kayu.
Di rumah salah satu penduduk, kami memberi penyuluhan kepada salah satu anggota karang taruna tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan. Namun agaknya rusaknya hutan tadi karena berujung dengan urusan perut. Suatu hal yang sangat susah dilawan.
Akhirnya sebagai jalan keluar, kami akan membuat konsep PHBM (pengelolaan hutan bersama masyarakat, hutan sendiri dikelola dibawah Perhutani) dengan membuat hutan wisata di sekitar kampung penduduk. Caranya dengan membuat jalur pendakian melewati air terjun yang baru saja kami temukan dan terus menanjak ke arah puncak teletubies. Sebagai sumber pendapatan lain, kami mengajari masyarakat untuk memperbanyak tanaman obat dan tanaman langka dari hutan (terutama tanaman kantong semar) untuk dijual tanpa merusak ekosistim. Selesai membuat konsep bersama masyarakat, akhirnya acara yang kami tunggu-tunggu pun tiba. Kami dijamu makan sore dengan nasi jagung, sayur cabai dan kentang dengan minuman teh buatan tradisional penduduk Kenjuran. Makannya pun langsung di dapur, dengan tungku super besar yang terbuat dari tanah liat. Dalam hati saya berkata “ini dia rupanya alat yang menghabiskan pohon di hutan.”

Setelah dari sini, kami sempat hunting di beberapa daerah di sekitar Kendal. Lokasi pertama yang kami tuju adalah di sekitar hutan desa Sidodadi. Disinilah babi hutan, ayam hutan hijau (Galus galus), dan merak hijau jawa (Pavo muticus), masih gampang ditemui. Di desa Pilangsari, ketika menemui beberapa kenalan petani, Hardtop kami sempat dipenuhi jagung, kacang tanah, pisang raja nangka, pisang kawista, dan beberapa hasil bumi lain. Suatu bentuk penghargaan yang mereka berikan atas kerja keras kami 10 tahun yang lalu di desa ini. Selesai dengan obyek hutan dataran rendah selama kurang lebih 6 kali trip, akhirnya kami kembali ke gunung Perahu.

Rute yang kami tempuh adalah lewat kota Ngadirejo dan naik ke arah selatan melewati obyek wisata Jumprit. Di jumprit inilah mata air kali progo berasal. Menetes dari sebuah goa bagaikan air hujan. Mata air ini juga merupakan salah satu tempat penting bagi umat Budha. Setiap perayaan Waisak yang dilakukan di Candi Borobudur, selalu diawali dengan prosesi mengambil air suci dari mata air ini. Disini pula terdapat makam Panembahan Ciptaning Ki dan Nyi Nujum Majapahit. Makam yang terletak di bawah goa mata air ini berupa bangunan rumah. Ketika memasuki makam ini sempat kaget juga saya, ternyata terdapat 3 sosok manusia, 2 laki-laki dan 1 perempuan sedang bergelesotan di lantai berselimut sarung dan selimut tebal. Pencari berkah dan pesugihan rupanya.

Dari mata air yang banyak dipenuhi oleh kera ekor panjang ini, kami melanjutkan perjalanan. Mengikuti celah diantara gunung Sindoro dan Gunung Prahu. Jalannya berliku dengan tanjakan yang sangat curam. Bahkan sampai terpaksa memindah tuas transfer case pada tunggangan kami ke posisi Low di beberapa tanjakan. Di obyek wisata agro Tambi, kami membeli beberapa kg “teh tambi”, salah satu teh khas lereng Sindoro dengan rasanya yang sangat nikmat. Dari tambi kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Dieng, dan sampai di hotel “Bu Joyo” di dataran tinggi Dieng menjelang magrib. Mandi air hangat dan minum teh tambi yang pertama kali kami lakukan. Selanjutnya kami mendatangi beberapa industri pengolahan keripik kentang di Kec. Batur.
Pagi-pagi sekitar pukul 03.00 WIB, kami mulai berkemas dan menuju gunung Sikunir (2506 m dpl). Di di puncak gunung ini pemandangannya sangat bagus. Kami sampai tepat ketika ufuk timur mulai memerah oleh sinar matahari. Tampak gunung sindoro, sumbing, merbabu, merapi, dan gunung ungaran di kejauhan.

Selesai dengan gunung Sikunir, kamipun turun ke desa Siterus dan sikunang. Target perburuan kami adalah anak-anak berambut gimbal dengan aktivitasnya. 
Dari siterus kamipun melacak keberadaan tanaman purwoceng (Pimpinela fruatjan) yang banyak tersebar di Sekunang. Di habitatnya tanaman ini sudah jarang, namun beberapa petani banyak yang punya di ladangnya. Tanaman ini merupakan salah satu tanaman endemik yang mempunyai khasiat sebagai aphrodisiac. Dalam mitologi Jawa, konon, tanaman inilah yang menjadi jamunya Arjuna.

View gunung Sindoro dan Sumbing dari puncak Gunung Prahu

Sumber: www.fotografer.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar