Rabu, 17 November 2010

Ironi: Kemiskinan Rakyat dan Penguasa yang Bermewah-mewahan

Seperti yang dilansir sejumlah media, jumlah orang miskin makin merisaukan seiring kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) per 1 Juli 2010. Pasalnya, kenaikan TDL memberikan efek domino berupa kenaikan harga sembako, ancaman PHK dan pengangguran.
Berdasarkan standar BPS (Maret 2007), kategori miskin di antaranya seorang dengan penghasilan di bawah Rp 167.000,-/bulan/orang atau Rp 5.500,-/hari/orang. Dengan stadar BPS, angka kemiskinan saat ini hanya sekitar 13 persen atau sekitar 30 juta orang. Namun, menurut Bank Dunia, salah satu kriteria orang miskin di Indonesia adalah mereka yang berpenghasilan di bawah 2 dolar/Rp 19.000,- perhari (sekitar Rp 500 ribu/bulan). Jika menggunakan ukuran World Bank ini, angka kemiskinan di Indonesia bisa di atas 43 persen dari sekitar 240 juta penduduk Indonesia; kira-kira mendekati 100 juta jiwa. Inilah fakta keseharian kehidupan rakyat yang amat menyedihkan. Padahal bukankah mereka hidup di sebuah negeri yang subur serta kaya dengan kandungan mineral dan sumber daya alam lainnya?



Pemerintah Tak Peduli
Di negeri ini, penerapan sistem ekonomi Kapitalisme-yang akhir-akhir ini makin mengarah pada liberalisme ekonomi-menjadi akar munculnya kemiskinan yang terus meningkat. Dalam sistem ekonomi liberal, Pemerintah tidak lagi memerankan fungsinya sebagai pemelihara urusan-urusan dan kebutuhan dasar rakyatnya. Bahkan di tengah kemiskinan rakyat, Pemerintah sering mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang makin membebani rakyat. 
Mulai April lalu, misalnya, Pemerintah menaikkan harga pupuk urea isi 50 kilogram sebesar 50 persen, yakni dari Rp 60 ribu menjadi Rp 90 ribu. Kenaikan ini muncul karena anggaran subsidi yang semula Rp 11,3 triliun dikurangi menjadi Rp 4,2 triliun. Padahal tahun 2009 lalu, besarnya subsidi pupuk mencapai Rp 17,6 triliun. Dampak dari kenaikan harga pupuk ini sudah terasa Juni lalu. Harga produk pertanian melambung tinggi, sementara pendapatan masyarakat malah turun karena harga pokok produksi hanya naik 10 persen. Bagaimana para petani bisa untung?
Namun, masalahnya tidak hanya berhenti di sini. Pasalnya, dalam sistem ekonomi liberal, saat Pemerintah melepaskan tanggung jawabnya terhadap nasib rakyat, Pemerintah justru lebih berpihak kepada para pemilik modal, termasuk pihak asing. Contoh: terkait kenaikan tarif listrik. Kasus terbaru menunjukkan bagaimana Pemerintah negeri ini mengelola Proyek Gas Donggi Senoro. Pemerintah memutuskan bahwa untuk proyek gas Donggi Senoro, 30% dialokasikan untuk kebutuhan dalam negeri, sedangkan 70% untuk ekspor. 
Padahal yang 30% itu saja belum cukup untuk memenuhi kebutuhan gas PT PLN. Artinya, kebutuhan dalam negeri untuk PLN dan industri lainnya seperti industri pupuk sesungguhnya masih sangat besar. Sungguh ironis, saat kebutuhan akan gas di dalam negeri begitu besar, Pemerintah justru mengalokasikan 70% untuk ekspor. Padahal jika kebutuhan pasokan gas domestik mendapat prioritas maka kekurangan pasokan gas untuk PLN, pabrik pupuk dan pabrik lainnya akan terpenuhi. Hal ini secara pasti akan membuat harga produksi listrik turun sehingga harga TDL tidak perlu dinaikkan, bahkan bisa diturunkan. Lebih dari itu, dengan ketersediaan bahan bakar pembangkit yang jauh lebih murah dan sangat besar, seperti batu bakar dan gas, Pemerintah melalui PT PLN dapat segera memperbesar kapasitas produksi listrik dan ini akan segera dapat mengatasi kekurangan pasokan serta menambah luasnya jangkauan pelayanan listrik kepada masyarakat.
Kebijakan Pemerintah ini tentu patut dipertanyakan. Apakah karena ada kepentingan para pemungut rente yang tidak ingin kehilangan penghasilannya dari pasokan BBM ke PT PLN selama ini? Juga apakah ada kepentingan pemungut rente karena komisi dari penjualan ekspor gas keluar negeri? Hal ini menjadi sangat mungkin mengingat besarnya rente yang akan dinikmati para makelar yang mengatasnamakan kebijakan negara. Kalau ini benar, inilah dampak nyata dari sistem kapitalis yang menyuburkan kolusi antara pengusaha dan pengusaha, dengan mengorbankan rakyat banyak.
Penguasa dan Pejabat Bermewah-mewahan
Presiden SBY mengajak warga masyarakat Indonesia agar tetap berhemat dalam menggunakan energi, baik energi listrik, gas, maupun minyak bumi serta energi lainnya. “Kita sama-sama lakukan hemat energi, jangan boros, dan sejak anak-anak harus sudah mulai berhemat energy, apapun bentuknya,” ujarnya dalam sebuah kesempatan.
Ajakan itu sebenarnya sudah basi. Pasalnya, penghematan di jajaran pemerintahan tak pernah terlihat. Masyarakat masih ingat bagaimana uang Rp 22.55 miliar untuk tahun anggaran tahun 2009 dihamburkan hanya untuk merenovasi pagar Istana. SBY sendiri tak memberikan contoh bagaimana dirinya melakukan hemat energi itu; misalnya ia naik kendaraan umum saja ke Istana atau seluruh listrik Istana dimatikan pada malam hari. Itu tidak terjadi. Inilah sikap ‘munafik’ penguasa.
Pada tahun 2011, Pemerintah pun berencana membeli pesawat kepresidenan jenis Boeing 737-800 NG, dengan harga dipatok US$ 84,5 juta, sekitar Rp 800 miliar lebih. Selain itu, dalam kurun waktu 2001-2011 Presiden SBY menghabiskan Rp 1,173 triliun untuk anggaran “plesiran”-nya ke luar negeri. Anggaran “jalan-jalan” Presiden SBY tahun 2011 saja dipatok sebesar Rp 181 miliar. Ini jauh di atas anggaran presiden sebelumnya di era GusDur yang total menghabiskan Rp 48 miliar dan semasa Megawati Rp 48,845 miliar. Lalu untuk kebutuhan baju Presiden saja, anggarannya mencapai Rp 893 juta pertahun atau Rp 74 juta perbulan atau sekitar Rp 18 juta perminggu. Padahal gaji Presiden Indonesia saat ini saja sudah amat besar, hanya terpaut sedikit saja dari gaji tertinggi sejumlah kepala negara di dunia, terutama jika dikaitkan dengan tingkat kemakmuran rakyatnya. Sebagaimana diketahui, total gaji Presiden SBY saat ini adalah sebesar Rp 62.740.000,-. Adapun kepala negara dengan gaji tertinggi di dunia adalah Presiden Singapura, Hongkong, Amerika Serikat, Irlandia dan Prancis. (Http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3409487).
Sebelumnya, DPR meloloskan proyek gedung megah yang nilainya Rp 1,8 triliun. Ini menunjukkan bahwa penguasa, baik kalangan eksekutif maupun legislatif, betul-betul telah hilang kepekaannya terhadap rakyat. Mereka lebih mementingkan diri sendiri daripada rakyatnya.
Selain itu, wajah APBN kita pun tidak pro rakyat. Ini bisa disimak dari APBN Perubahan 2010. Di sana tergambar jelas bahwa APBN itu lebih ditujukan untuk kepentingan pragmatis elit politik dan pejabat, ketimbang untuk rakyat. DPR, misalnya, berhasil mengajukan anggaran fantastis sebesar Rp 1,8 triliun untuk pembangunan gedung barunya. Angka ini lebih besar dari anggaran program keluarga harapan yang hanya senilai Rp 1,3 triliun untuk 810 ribu Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Padahal anggaran Rp 1,8 triliun ini bisa dimanfaatkan oleh 1,1 juta RTSM melalui program keluarga harapan, dibandingkan untuk gedung baru DPR yang hanya dinikmati 560 anggotanya.
Pemerintah juga kembali mengajukan tambahan anggaran untuk remunerasi (kenaikan gaji pejabat) senilai Rp 3,3 triliun sehingga total menjadi Rp 13,9 triliun. Padahal terbukti kenaikan gaji pejabat tidak mampu menghentikan kebiasaan korupsi yang bercokol di birokrasi. Di sisi lain, triliunan uang tersebut bisa digunakan untuk 76,4 juta Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin selama 3 tahun, atau 1,9 juta balita gizi buruk dan 1,8 miliar liter beras.
berikut bentuk kerja keras mereka,
ketika mereka berkonsentrasi,
pada saat rapat membahas rakyat










Saatnya Hentikan Sistem/Rezim Tak Amanah
Gaya hidup penguasa kaum Muslim saat ini yang menampilkan kemewahan, dari mulai gaji yang tinggi hingga mobil dinas yang mahal, tidak bisa dilepaskan dari cara pandang mereka terhadap jabatan. Bagi mereka, jabatan identik dengan prestise, martabat, kehormatan, bahkan ladang penghasilan yang subur. Wajar jika mereka berebut untuk mendapatkan jabatan/kekuasaan.
Sikap mereka ini berbeda dengan para khalifah (kepala negara Khilafah) dulu. Bagi para khalifah, jabatan adalah amanah. Karena itu, jabatan/kekuasaan benar-benar dimaksudkan untuk menunaikan apa yang menjadi hak rakyatnya. 
Bagi mereka, martabat dan kehormatan justru terletak pada ketakwaan, dan salah satu ukuran ketakwaan terletak pada sikap amanah dalam mengurus rakyat, bukan pada kemewahan. Karena itu, kesederhanaan mereka tidak membuat mereka kehilangan martabat dan kehormatan. Wajar jika kisah kesederhanaan para khalifah kaum Muslim pada masa lalu banyak menghiasi sejarah peradaban Islam nan agung ini. Imam as-Suyuthi menuturkan dalamTarikh al-Khulafa’-nya tentang kisah kesederhanaan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., misalnya, yang tidak pernah malu berpakaian dengan banyak tambalan, bukan dengan kain yang sama, tetapi dengan kain yang berbeda, bahkan dengan kulit hewan. Khalifah Umar ra. juga biasa tidur nyenyak di atas hamparan pasir, dengan berbantalkan pelepah kurma di sebuah kebun kurma, tanpa seorang pun pengawal. Namun, di balik kebersahajaan itu, Khalifah Umar dan para khalifah kaum Muslim itu mempunyai prestasi yang luar biasa. 
Mereka berhasil memakmurkan rakyatnya sekaligus menjadikan Islam dan Khilafah Islam memimpin dunia selama berabad-abad dengan segala kemuliaan dan keagungannya. Bandingkanlah dengan para penguasa kaum Muslim saat ini, termasuk di negeri ini. Mereka hidup mewah, tetapi miskin prestasi, bahkan menjadi musibah bagi rakyatnya.
‘Ala kulli hal, umat belum terlambat untuk menyadari bahwa sistem sekular-kapitalis-liberal inilah yang menjadi penyebab hilangnya karakter para pemimpin yang sederhana dan zuhud, sekaligus yang menjadi penyebab suburnya para pemimpin yang tamak akan ‘sekerat tulang’ dunia.
Karena itu, umat belum terlambat untuk segera menerapkan sistem (syariah) Islam sebagai wujud ketakwaan mereka kepada Allah SWT. Hanya dengan ketakwaanlah Allah SWT menjamin keberkahan hidup bagi mereka, sebagaimana firman-Nya:
وَلَو أَنَّ أَهلَ القُرىٰ ءامَنوا وَاتَّقَوا لَفَتَحنا عَلَيهِم بَرَكٰتٍ مِنَ السَّماءِ وَالأَرضِ وَلٰكِن كَذَّبوا فَأَخَذنٰهُم بِما كانوا يَكسِبونَ

Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi (QS al-A’raf [7]: 96).
Sebaliknya, jika umat ini tetap berpaling dari peringatan Allah SWT, enggan menerapkan syariah-Nya secara total dalam seluruh aspek kehidupan dalam institusi Khilafah, maka kesempitan akan selalu menjadi ‘hiasan hidup’ mereka, sebagaimana firman-Nya:
وَمَن أَعرَضَ عَن ذِكرى فَإِنَّ لَهُ مَعيشَةً ضَنكًا وَنَحشُرُهُ يَومَ القِيٰمَةِ أَعمىٰ

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam Keadaan buta (QS Thaha [20]: 124).
 
Sumber: amiryess.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar