Rabu, 17 November 2010

Kelaparan di Surga Koruptor




















Di tengah gencarnya pemberitaan “derivatif” Gayus Tambunan serta kasus korupsi lainnya, terselip berita yang nyaris kurang mendapat perhatian serius, yakni kelaparan.

Bayangkan, “hari gini” masih ada kelaparan, apa kata dunia? Ya, kelaparan itu terjadi di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.

Dunia pun berkata, “Hemm... Indonesia yang konon gemah ripah loh jinawi masih juga dilanda kelaparan, di manakah pemerataan?” Tiga dari empat kabupaten di sana, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Timur, mengalami krisis pangan.

Hanya satu kabupaten yang relatif makmur, yakni Kabupaten Sumba Barat Daya. Krisis itu ini dipicu oleh gagal panen akibat musim kemarau yang datang lebih cepat.

Ini seolah menjadi langganan di sana. Beberapa portal berita (7/4) melaporkan di Kabupaten Sumba Timur, misalnya, sekitar 30.000 warga 121 desa— dari seluruhnya 140 desa di kabupaten itu—kini memakan pisang karena tidak memiliki beras.

Pisang masih mendingan karena ada karbohidrat, tetapi yang sudah kehabisan pisang mulai mengonsumsi putak, yang sebenarnya lebih sering dijadikan pakan binatang.

Kasus kelaparan itu menjadi ironi, lantaran pada bagian lain belahan Nusantara ini ada orang-orang kaya mendadak lantaran menggerogoti uang rakyat, tetapi di belahan timur ada rakyat kelaparan lantaran uang mereka dikorup.

Coba, seandainya korupsi bisa ditekan, setidaknya upaya menekan rakyat miskin bisa dipercepat. Daya Rusak Setidaknya kasus kelaparan ini menjadi pembuktian bahwa korupsi itu sungguh-sungguh merugikan rakyat.

Uang pajak yang semustinya bisa digunakan untuk menyejahterakan rakyat, malah dibelokkan untuk memperkaya diri.

Inilah daya rusak korupsi yang acap dinafi kan oleh kebanyakan dari kita. Sering korupsi dianggap sekadar perbuatan memperkaya diri sehingga tidak merugikan rakyat.

Orang banyak mengambil contoh bahwa yang punya daya rusak adalah terorisme. Ini tidak benar sama sekali. Keduanya sama-sama memunyai “daya rusak”.

Terorisme maupun korupsi memiliki daya rusak yang luar biasa dan menebar ketakutan ke mana-mana. Namun, lantaran ada anggapan keliru itu, maka yang dikutuk masyarakat adalah teroris. Mereka ini (teroris) layak diburu sampai ajalnya.

Sementara koruptor relatif tidak diburu sehingga mereka nyaman hidup di negeri ini. Sungguh, negeri ini menjelma menjadi surga koruptor lantaran tingkat hujatan masyarakat kepada koruptor lebih kecil dibandingkan teroris.

Celakanya, negara pun ikut memberi rasa nyaman kepada koruptor. Tak jarang para koruptor itu menikmati ketiadaan sanksi hukum. Atau kalaupun dihukum, koruptor hanya beberapa bulan saja di penjara.

Keluar dari penjara, koruptor masih bisa hidup nyaman dengan harta hasil korupsi itu. Maka, banyak yang nekat, biarlah badan di penjara beberapa bulan, tetapi harta hasil korupsi bisa untuk hidup tujuh turunan.

Lihatlah, para koruptor masih berani tampil di publik. Seolah predikat koruptor tak mengganggu pergaulan sosialnya. Sang koruptor masih bisa mengendalikan organisasi olah raga yang kelimpahan dana besar.

Sang koruptor masih bisa ikut pemilihan kepala daerah bahkan memenanginya. Sang koruptor masih bisa mengurusi partai politik untuk menyalurkan hasrat kekuasaan.

Inilah surga koruptor bernama Indonesia. Jangan terkejut jika prestasi korupsi di negeri (yang konon) tercinta ini terus naik peringkat.

Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) 2010 memosisikan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia-Pasifik dengan nilai 9,07 (sebelumnya 7,69).

Dengan skor 9,07 itu, PERC menyimpulkan bahwa korupsi di Indonesia semakin parah, terjadi di semua lembaga dan semua level. Mengapa masyarakat lebih menganggap korupsi tak memuyai daya rusak? Sebab, ada jarak antara keputusan dan korban.

Misalnya begini, ketika koruptor menggerogoti anggaran penghijauan, orang tak melihat pengaruh seketika yang langsung dilihat kasat mata.

Baru ketika banjir menghancurkan permukiman dan menewaskan puluhan orang, sadarlah bahwa akibat anggaran penghijauan dikorup, maka penanaman kembali pada hutan gundul jadi terbengkalai, selanjutnya banjir pun meluap.

Kalau saja dana penghijauan itu tidak dikorup, banjir memungkinkan dicegah dan korban manusia bisa dihindari.

Begitupun dalam kasus kelaparan di NTT. Seolah tak ada kaitan dengan korupsi di mana-mana, tetapi logika sederhana saja meyakinkan bahwa hubungan itu sangat signifikan.

Semakin banyak uang rakyat dikorup, kian banyak pembangunan rakyat terganggu, termasuk ketahanan pangan di NTT.

Akibatnya, ketahanan itu melembek, rakyat di sana pun makan putak. Dan sang koruptor dan keluarga dengan enaknya melahap makanan lezat di Lucky Plaza Singapura! Hentikan! Sekali lagi, patut diluruskan bahwa korupsi memunyai daya rusak: menghancurkan moral, membunuh solidaritas, menggerogoti pilar negara, membinasakan banyak orang, merusak infrastruktur, memarginalkan warga tertentu, merusak tatanan, memperkokoh perbedaan kelas, dan lainnya.

Bahkan yang menyedihkan, justru korupsi itu melahirkan terorisme. Sebab, terorisme merupakan perlawanan kaum tersisih.

Maka, hentikan korupsi ! Ganyang korupsi! Dan kenapa musti takut memberikan sanksi hukuman mati kepada para koruptor? Toh para petinggi institusi hukum sudah memberi sinyal menyetujui hukuman mati koruptor.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, Ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro Muqqodas , dan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, berkata serempak, “Hukum mati koruptor!” Lantas, kenapa para hakim tak punya nyali? Apakah musti menunggu kelaparan lebih hebat lagi?

Toto Suparto

Penulis adalah pengkaji etika pada Pusat Kajian Agama dan Budaya (Puskab), Yogyakarta.
koran-jakarta.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar