Senin, 29 November 2010

Kasus Talangsari Lampung

Peristiwa Talangsari adalah salah satu dari sekian tragedi kemanusiaan yang terjadi selama pemerintah Orde Baru berkuasa. Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila yang termanifetasi dalam UU No.3 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya serta UU No 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Atas dasar tersebut pemerintah tidak akan mentolelir setiap aktivitas yang dianggap bertentangan dan membahayakan Pancasila.

Pemerintah melalui aparat setempat baik sipil maupun militer mulai mencurigai dan melontarkan berbagai stigma terhadap aktivitas Jema’ah yang tinggal di dusun Talangsari III Desa Rajabasa Lama Kecamatan Way Jepara Kabutapen Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Situasi menjadi tidak menentu setelah pemerintah lebih mengedepankan pendekatan represif. Berturut-turut pada tanggal 5 Februari 1989 terjadi penculikan terhadap 5 orang jema’ah yang sedang meronda di Pos Kamling. Kemudian Tanggal 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kampung (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) menyerang dusun Talangsari III tanpa didahului proses dialog. Kapten Soetiman melakukan penembakan membabibuta terhadap jema’ah dan setelah kehabisan peluru, jema’ah yang tadinya bertahan balik menyerang hingga akhirnya menewaskan Kapten Soetiman.

Kemudian pada tanggal 7 Februari 1989 terjadi penyerbuan oleh pasukan yang dipimpin Kolonel AM Hendropriyono (Danrem Garuda Hitam Lampung). Dampak dari penyerangan tersebut banyak jatuh korban diantarnya pembunuhan langsung 45 orang, penculikan 5 orang, penghilangan paksa 88 orang, penyiksaan 36 orang, peradilan rekayasa 23 orang, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang 173 orang. Hampir seluruh rumah beserta perabotannya didusun tersebut habis dibakar oleh ABRI. Setelah peristiwa itu, digelar peradilan untuk mengadili para jama;ah yang tertangkap dan ditahan. Peradilan diantarnya digelar di Tanjung Karang Lampung, Jakarta, Jawa Tengah dan Lombok Nusa Tenggara Barat. Rata-rata Jema’ah ditahan di Tahanan Kodim Metro Lampung, Korem Garuda 043 Garuda Hitam Bandar Lampung, LP Rajabasa, Kodam Diponegoro, Nusakambangan dan tempat-tempat lainnya. Hukuman tertinggi adalah seumur hidup dan sejak reformasi bergulir 1998 seluruh tahanan sudah dibebaskan.
 
selokartojaya.blogspot.com


Para Santri Tak Juga Kembali




















"Empat santri saya ikut pengajian di Talangsari. Tanggal 5 berangkat, tanggal 6 ikut pengajian, tapi sampai hari ini tiga santri tidak pulang." Kalimat itu tersendat di bibir Sonaji, salah seorang pemimpin pondok pesantren Al Islam di Labuhan Ratu I, Way Jepara, Lampung Tengah (sekarang Lampung Timur). Sudah 19 tahun dia mencari tiga santrinya yang hilang saat Dusun Talangsari, tempat pengajian Warsidi, diserbu tentara.


Jarak pesantren Al Islam dari tempat pengajian Warsidi sekitar 8 kilometer. Di pesantren kecil itulah bocah Mohammad Toha, Ahmad Rianto, Mohammad Natsir, dan Nurudin nyantri. Menurut Sonaji, tidak semua santrinya berasal dari Lampung. Kakak beradik Natsir dan Nurudin dari Labuhan Ratu I, Way Jepara, Lampung Tengah. Sedangkan Toha dan Rianto asal Kecamatan Secang, Magelang.


Suatu hari Usman, salah satu ustad pesantren Al Islam, memutuskan berhenti. Dia memilih bergabung dengan salah satu pesantren di Talangsari. Pada 5 Februari 1989 keempat santri kecil itu juga meminta izin berangkat ke Talangsari mengikuti Ustad Usman. Sonaji tidak menyangka perpisahan itu untuk selamanya. "Karena Ustad Usman guru mereka, si anak juga ikut. Jadi mereka mengikuti Pak Usman. Saya tidak punya hak melarang," katanya.

Pada 6 Februari 1989 Sonaji mendengar kabar komunitas pengajian di Talangsari diserbu tentara. Dia gelisah dan khawatir. Bagaimana nasib keempat santrinya di sana? Ustad ini pun bergegas mencari bocah-bocah tersebut.


Tiga hari kemudian Sonaji menemukan Nurudin yang ketakutan. Namun, tiga santri lain hilang. "Waktu Nurudin ditemukan, dia stres. Tidak berani ngomong dan kelihatan sekali sangat tertekan akibat peristiwa itu," ujarnya.


Menurut penuturan Nurudin, saat terjadi penyerbuan penyerangan dia melarikan diri ke barat kira-kira sejauh 2 kilometer. Namun tiga temannya tertinggal di lokasi kerusuhan, di tengah-tengah Dusun Talangsari.

Perasaan bersalah terus menghantui Sonaji. Apalagi seminggu setelah kejadian, ibu ketiga santri itu menemui dirinya menanyakan nasib anak-anak mereka. "Kalau ingat saat itu, sulit menjelaskan," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.























Sebagai ustad sekaligus bapak asuh, Sonaji merasa bertanggung jawab atas keselamatan para santrinya. Pencarian harus terus dilakukan, meski terhambat penjagaan ketat tentara di sekitar Talangsari. "Bayangkan saja, seorang guru kehilangan muridnya yang masih belia. Kita cari ke mana-mana, susah ditemukan. Saat itu kita bingung mencarinya ke mana, karena di Talangsari sudah banyak tentara entah dari mana. Jadi bingung mencarinya."


Sonaji terus mengumpulkan berbagai informasi dan mendapat kabar Ustad Usman tewas dalam penyerbuan tersebut. Di tengah pencarian Sonaji, pesantren di Talangsari mengeluarkan perintah larangan memulangkan anak- anak Way Jepara ke keluarga mereka. Alasannya, kondisi keamanan tidak juga berangsur reda. Setelah dirasa aman, para santri dari Way Jepara baru diperbolehkan pulang. Setidaknya 28 santri dari Way Jepara meninggal dalam penyerangan itu. "Namun saya belum juga menemukan ketiga santri saya," ujarnya.

Sonaji beserta para korban dan keluarga korban pembantaian Talangsari kini mencari keadilan ke Jakarta, ibu kota negara. Hal itu dilakukan setelah dirasa tidak mungkin mencari keadilan di daerah. Pejabat daerah, termasuk anggota DPRD, sudah menyatakan tragedi Talangsari bukan kasus pelanggaran hak asasi manusia.


Bahkan, warga Dusun Talangsari III sampai saat ini dikucilkan oleh pemerintah daerah. Desa-desa lain mulai mendapatkan fasilitas jalan aspal, listrik, dan sarana umum lain. Namun, tidak demikian dengan Dusun Talangsari III. "Ketika warga menuntut perbaikan sarana umum, salah satu syarat yang diminta lurah adalah melupakan kasus Talangsari," kata Sonaji.


Harapan menemukan keluarga yang hilang, kembali muncul ketika Komnas HAM berencana memeriksa para petinggi militer yang diduga mengetahui kasus penyerbuan Talangsari. Namun asa itu kembali pupus, sebab para petinggi militer itu menolak diperiksa.


Padahal, ketika mendengar Komnas HAM berencana memeriksa AM Hendropriyono, Sonaji memaksakan diri datang ke Jakarta. "Saya mau melihat dan mendengarkan penjelasan. Paling tidak mendengarkan keterangan Pak Hendro kepada Komnas HAM," ujarnya.

Bagi Sonaji, keterangan Hendropriyono dibutuhkan untuk memperjelas duduk perkara di balik peristiwa berdarah tersebut. Mungkin saja sang Komandan Korem Garuda Hitam 043 yang menyerbu Talangsari saat itu tahu keberadaan ketiga santrinya kini.



Yang Paling Bertanggung Jawab

Berkaitan dengan tanggung jawab Hendropriyono atas kasus Talangsari, bekas Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Sudomo menegaskan, Korem 043 Garuda Hitam adalah pihak yang paling bertanggung jawab dan mengetahui peristiwa tersebut. Pernyataan itu disampaikan Sudomo ketika dimintai keterangan seputar kasus Talangsari di Komnas HAM 26 Februari lalu. Sudomo mengatakan, tugasnya sebagai Menkopolkam hanya sebatas berkoordinasi dengan para menteri dan pejabat bawahannya.

















Ketika rapat dengan menteri terkait, Sudomo mengaku sempat memberikan perintah untuk segera melakukan pengecekan atas peristiwa tersebut. "Masalahnya, Panglima ABRI kan tidak tahu. Yang tahu KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat), itu pun belum tahu secara detail dan hanya dianggap tahu. Yang lebih tahu Komandan Korem," katanya.


Menurut purnawirawan Angkatan Laut ini, alasan itu didasarkan pada struktur komando keamanan di darat. Dari koramil dan korem, melaporkan ke kodam untuk kemudian dipertanggungjawabkan ke KSAD dan Panglima ABRI. "Itu ketentuan keamanan di darat."


Sudomo menyayangkan penyelidikan kasus Talangsari baru dimulai sekarang. Seharusnya penyelidikan dilakukan sejak dulu, karena ketika itu ada semacam ketentuan agar segera dibentuk tim investigasi kasus itu. Dia berjanji memberikan kesaksian jika kasus Talangsari dibawa ke pengadilan. "Terserah. Kalau bisa diungkap kembali dan dibawa ke persidangan, saya siap memberi keterangan sejauh yang saya ketahui," ujarnya.





Penyelidikan Tetap Jalan


Ketua Tim Ad Hoc Kasus Talangsari Johny Nelson Simanjuntak, dari tujuh petinggi militer yang diperiksa, hanya bekas Panglima ABRI Try Sutrisno, bekas Komandan Korem Garuda Hitam 043 Lampung AM Hendropriyono, dan bekas Panglima Kodam IV Diponegoro Wismoyo Arismunandar yang belum memenuhi panggilan Komnas HAM.


Surat pemanggilan terhadap para petinggi militer itu justru ditanggapi dingin oleh Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono. Dia mempertanyakan kewenangan pemanggilan oleh Komnas HAM. Menurut dia, sepanjang belum dibentuk pengadilan HAM ad hoc, komisioner tidak punya hak memanggil meskipun sebatas meminta keterangan.


Badan Pembinaan Hukum TNI sebagai kuasa hukum para jenderal itu juga menggunakan alasan yang sama untuk menolak menghadirkan para jenderal ke ruang pemeriksaan Komnas HAM.


Peryataan itu dikuatkan Koordinator Forum Komunikasi Purnawirawan TNI/Polri Saiful Sulun. Dia memastikan para purnawiran tidak akan memenuhi panggilan Komnas HAM terkait kasus pelanggaran HAM berat. Mereka mengaku tidak takut jika para korban pelanggaran HAM membawa kasus ini ke pengadilan internasional. "Silakan saja. Percuma juga, kok. Yang jelas, mau sekali, dua kali, atau sepuluh kali, mau apa kalau tidak datang? Itu (kasus Talangsari) hanya kriminal biasa," katanya.


Menurut Johny Simanjuntak, keterangan para petinggi militer itu sangat diperlukan dalam penyelidikan. Apalagi Panglima TNI Djoko Santoso mendukung upaya penyelidikan Komnas HAM selama sesuai hukum. "Pemanggilan sudah memenuhi syarat. Buktinya Sudomo dan M Ritonga (bekas Kapolda Sumatera Bagian Selatan) datang. Jadi, menurut saya bukan masalah prosedur, tapi kemauan," ujarnya.


Perdebatan soal kewenangan memeriksa para petinggi militer itu seperti tak berujung. Namun Johny mengaku tetap akan menuntaskan penyelidikan kasus Talangsari yang telah selesai 60%, meski tanpa keterangan dari para purnawirawan. "Pertama, kami tidak merasa terpengaruh dengan peristiwa ini. Karena (penyelidikan) Talangsari sudah berjalan jauh sebelumnya. Kedua, prinsipnya maju terus, sesuai prosedur hukum. Ketiga, karena panggilan kedua mereka tidak datang juga, kami akan mempelajari fasilitas yang dimiliki Komnas, apakah akan memanggil kembali atau melakukan pemanggilan paksa."


Kurniawan Tri Yunanto
mrpresidenri2020.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar