Senin, 29 November 2010

Tragedi Nasional dan Konflik Internal Indonesia

Kemerdekaan yang berhasil diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 bukanlah akhir dari perjuangan kita. Mengisi dan mempertahankan kemerdekaan merupakan perjuangan tersendiri. Ada dua musuh yang harus dihadapi bangsa Indonesia. Dari luar, kita harus menghadapi Belanda yang masing ingin menjajah kembali Indonesia. Sementara itu, dari dalam kita menghadapi beragam konflik politik dan ideologis. Ancaman Belanda bisa kita patahkan dengan kembalinya Irian Barat. Bagaimana bangsa Indonesia menghadapi dan menyelesaikan konflik dalam negeri?


1. Kehidupan Politik Nasional sampai Tahun 1960-an

Kedudukan Presiden Ir. Soekarno dan TNI AD semakin kuat setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Inilah periode sejarah yang dikenal dengan sebutan demokrasi terpimpin. Presiden memegang kekuasaan mutlak untuk membentuk front politik yang mampu menopang kekuasaannya. Di sinilah Bung Karno dan PKI membangun kerja sama yang saling menguntungkan. Sementara itu, TNI AD pun semakin ambil bagian dalam kancah politik setelah dijalankannya doktrin kekaryaan (cikal bakal dwifungsi ABRI). Jenderal A.H. Nasution membentuk badan-badan kerja sama tentara dan sipil untuk mengimbangi manuver politik Bung Karno. PKI telah menggunakan kedekatannya dengan Bung Karno untuk menyusun kekuatan. Konflik elite terjadi antara TNI AD, PKI, dan Bung Karno.

a. Dampak Hubungan Pusat-Daerah
Konflik yang terjadi di pemerintahan pusat pun berdampak ke daerah. Upaya Nasution untuk membersihkan pemerintahan sesuai undang-undang darurat, menyebabkan banyak pejabat yang lari ke daerah. Banyak anggota kabinet yang menjalin hubungan dengan dewan-dewan militer di daerah.

1) Pembentukan Dewan-Dewan Daerah
Ketidakpuasan daerah pada pemerintah pusat melatarbelakangi pembentukan dewandewan daerah. Kolonel Achmad Husein membentuk Dewan Banteng di Padang, Sumatra Barat tanggal 20 Desember 1956. Kolonel Mauludin Simbolon membentuk Dewan Gajah di Medan tanggal 22 Desember 1956.
Kolonel Ventje Sumual membentuk Dewan Manguni di Manado tanggal 18 Februari 1957.
Beberapa pejabat militer di daerah yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah pusat mengadakan gerakan. Kolonel Simbolon, Kolonel Sumual, dan Kolonel Lubis bertemu dengan PM Ali Sastroamidjojo dan Bung Hatta. Tuntutannya adalah dilaksanakannya pemilu, diberlakukannya otonomi, PKI dilarang, dan digantikannya Nasution. Di tengah negosiasi antara pemerintah pusat dengan dewan-dewan tersebut, terjadi pengambilalihan pemerintahan di daerah. Ketegangan pun muncul. Para panglima daerah tersebut kemudian dipecat dari dinas militer.

2) Nasionalisasi Aset Belanda
Kegagalan PBB memaksa Belanda untuk menyelesaikan masalah Irian Barat meningkatkan ketegangan politik. Anggotaanggota PKI dan PNI serta rakyat di berbagai daerah mengambil alih aset Belanda. Kabinet Djuanda tidak mampu menyelesaikan kasus tersebut. Gerakan rakyat di berbagai daerah semakin tidak terkendali. Nasution kemudian tampil dan memerintahkan tentara untuk mengelola perusahaan Belanda yang disita. Nasution perlahan-lahan mengendalikan panglima-panglima daerah dan TNI AD semakin diperhitungkan.

b. Persaingan Ideologis
Dominannya PKI dalam kehidupan politik nasional mendapat reaksi dari partai dan organisasi lainnya. Ideologi komunisme yang dikembangkan PKI bertentangan dengan keyakinan bangsa Indonesia. Pada bulan September 1957 Masyumi memelopori Muktamar Ulama seIndonesia di Palembang. Muktamar mengeluarkan fatwa bahwa komunisme diharamkan bagi kaum muslim. Muktamar juga meminta agar aktivitas PKI dibekukan dan dilarang di seluruh Indonesia. Perdebatan Islam dan PKI pun merembet dalam persidangan konstituante.
Perdebatan terjadi antara pihak yang mendukung Islam dan Pancasila sebagai dasar negara. Macetnya konstituante menyebabkan krisis pemerintahan dan ketatanegaraan. Dengan didukung TNI, Bung Karno kemudian mengeluarkan dekrit yang memberlakukan kembali UUD 1945. Dekrit ini selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

c. Pergolakan Sosial Politik
Pada masa demokrasi terpimpin Bung Karno menggalang kekuatan dengan negara-negara sosialis dan komunis. Dampak kebijakan ini adalah terbukanya kesempatan bagi PKI untuk memperkuat basis dukungan. Administrasi pemerintahan pun menjadi tidak terkendali. Pemerintah kurang memperhatikan aspirasi daerah dan para bekas pejuang. Terjadilah kesenjangan antara pemerintah pusat dan daerah. Di kalangan TNI sendiri sering terjadi perpecahan. Sementara itu, beberapa negara luar juga turut campur tangan dalam masalah Indonesia. Akumulasi dari kondisi tersebut mengakibatkan munculnya pergolakan di berbagai daerah.

1) Piagam Perjoangan Rakyat Semesta
Pada tanggal 2 Maret 1957 Panglima Tentara Teritorium VII Makassar Letkol Ventje Sumual mengumumkan darurat perang di daerahnya. Dengan pengumuman itu maka Sumual berwenang mengambil alih seluruh kekuasaan di Indonesia bagian timur. Letkol Ventje Sumual kemudian memproklamasikan Piagam Perjoangan Rakyat Semesta (Permesta). Piagam Permesta tersebut ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat di Indonesia bagian timur.
Peristiwa tersebut benar-benar mengancam persatuan Indonesia. Amerika Serikat terlibat dalam gerakan ini. Salah satu pilotnya (A.L. Pope) tertembak di Ambon. Kabinet Ali Sastroamidjojo gagal mengatasinya dan tanggal 14 Maret 1957 mengembalikan mandatnya. Presiden Soekarno kemudian membentuk Kabinet Karya dengan Perdana Menteri Ir. Djuanda.

2) Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
Pada awal tahun 1958 terjadi pertemuan antara beberapa tokoh militer dan sipil di Sumatra. Kolonel Simbolon, Kolonel Lubis, dan kawan-kawan bertemu dengan Moh. Natsir, Sjafrudin Prawiranegara, Sumitro Djojohadikusumo, dan lain-lain. Hasil pertemuan tanggal 10 Februari 1958 berupa beberapa ultimatum yaitu Kabinet Djuanda dibubarkan, Hatta dan Hamengkubuwono IX ditunjuk membentuk kabinet sampai dilaksanakan pemilu, dan Bung Karno harus kembali ke posisi konstitusionalnya.
Ultimatum tersebut ditolak oleh pemerintah. Kolonel Lubis, Kolonel Simbolon, Kolonel Acmad Husein, dan lain-lain dipecat dari dinas militer. Tanggal 15 Februari 1958 dibentuklah Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Perdana Menteri PRRI adalah Mr. Sjafrudin Prawiranegara. Anggota kabinetnya antara lain Moh. Natsir, Burhanuddin Harahap, Sumitro Djojohadikusumo, dan Simbolon. PRRI juga didukung oleh Kolonel D.J. Somba di Sulawesi Utara tanggal 17 Februari 1959. Itulah beberapa pergolakan yang terjadi hingga awal tahun 1960-an. Upaya pemerintah untuk menghadapi pergolakan ini dengan diplomasi dan operasi militer. Pemerintah menggelar musyawarah nasional antara tokoh pusat dan daerah tanggal 14 September 1957. Gerakan Permesta dihadapi dengan Operasi Sapta Marga. PRRI dihadapi dengan menggelar Operasi 17 Agustus.


2. Pemberontakan PKI dan Konflik Dalam Negeri

Doktrin komunis adalah merebut kekuasaan negara yang sah dengan cara apa pun. Setiap peluang dan kesempatan yang ada akan digunakan oleh orang-orang komunis untuk mengembangkan ideologinya. Mereka akan menjalankan aksinya bagaimanapun kondisi yang dihadapi bangsa. Ini harus kita pahami dan waspadai bersama. Coba buka kembali sejarah pergerakan bangsa. Saat pergerakan nasional tengah berkembang, PKI mengadakan pemberontakan pada tahun 1926/1927. Organisasi pergerakan lainnya pun terkena dampaknya. Saat itu, pemerintah Belanda sangat menekan kaum pergerakan.

a. Pemberontakan PKI Madiun
PKI berkembang pesat sekitar tahun 1948. Bangsa Indonesia baru merapatkan barisan untuk menghadapi agresi Belanda. PKI membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang terdiri atas PKI,
Partai Sosialis, PBI, Pesindo, dan SOBSI. Front ini di bawah Amir Sjarifuddin. Mereka merongrong keutuhan bangsa. PKI memobilisasi kaum buruh dan rakyat untuk mengadakan pemogokan di berbagai daerah di Indonesia.

1) Musso dan Perubahan Gerakan PKI
Gerakan PKI semakin radikal setelah Musso kembali dari Moskow (Uni Soviet/Rusia) pada bulan Agustus 1948. Musso bermukim di Moskow sejak tahun 1926. Dia mengadakan perombakan di tubuh PKI dengan membentuk Politbiro PKI. Musso berpendapat bahwa hanya orang-orang PKI yang bisa menyelesaikan revolusi. Musso menempatkan orang-orang baru seperti D.N. Aidit, M.H. Lukman, Njoto, dan Sudisman. Setahap demi setahap, Musso menyerang beragam kebijakan pemerintahan Kabinet Hatta. Musso kemudian menyampaikan gagasan-gagasannya melalui rapat-rapat raksasa. Pada tanggal 20 Agustus 1948 berlangsung rapat raksasa yang dihadiri 50.000 orang di Yogyakarta. Musso mengemukakan pentingnya mengganti Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Front Nasional. Kata Musso, demi kepentingan revolusi nasional maka Indonesia harus menggalang kerja sama dengan dunia internasional (Soviet).
Hatta tetap menjalankan kebijakan rasionalisasi Angkatan Perang, meskipun mendapat serangan PKI. Rasionalisasi itu bertujuan menyingkirkan unsur-unsur revolusioner dan progresif dalam kalangan militer serta mempersiapkan militer dalam menghadapi perundingan mengenai militer dengan Belanda. Kabinet Hatta mendapat dukungan dari Masyumi dan PNI serta beberapa badan perjuangan. Musso sangat keberatan dengan kebijakan Hatta karena banyak kadernya yang bersenjata akan terkena dampaknya.

2) Proklamasi Republik Soviet Indonesia
Konflik ideologis antara PKI dan TNI yang didukung beragam elemen perjuangan meningkat tajam pada tahun 1948. Berbagai insiden terjadi antara TNI dan PKI/FDR.  PKI dihadang TNI Divisi Siliwangi di bawah Kolonel A.H. Nasution di Surakarta. PKI kemudian mundur ke Madiun dan mengadakan pemberontakan tanggal 18 September 1948. Pemberontakan ditandai dengan proklamasi berdirinya Republik Soviet Indonesia. Kolonel Djokosuyono diangkat sebagai Gubernur Militer Madiun. Letnan Kolonel Dahlan sebagai komandan komando pertempuran.
PKI menguasai Madiun dan menduduki radio Gelora Pemuda.
Propaganda dan provokasi pun dilakukan PKI. Mereka mengatakan tentara (TNI) sebagai kepanjangan tangan kolonial. Kabinet Hatta mereka sebut akan menjual tanah air dan bangsa kepada Belanda. Demikianlah, PKI senantiasa memprovokasi rakyat agar menentang pemerintahan yang sah.

3) Penumpasan PKI Madiun
Pada tanggal 19 September 1949 sekitar dua ratus kader PKI ditangkap di Yogyakarta. Bung Karno kemudian berpidato untuk mengecam pemberontakan Musso. Beliau meminta kepada rakyat agar bergabung dengannya dan Bung Hatta. Penumpasan kemudian dilakukan pemerintah dengan Gerakan Operasi Militer I. Penumpasan dilakukan oleh TNI dari Divisi Siliwangi.
Dalam waktu dua minggu, Kota Madiun berhasil direbut kembali dari tangan PKI. Aidit dan Lukman melarikan diri ke Vietnam dan Cina. Musso akhirnya tewas tertembak tanggal 31 Oktober 1948. Amir Sjarifuddin dan sekitar tiga ratus pendukungnya ditangkap oleh Divisi Siliwangi pada tanggal 1 Desember 1948. Penangkapan kader-kader PKI pun dilakukan pemerintah. Pemberontakan PKI Madiun di bawah Musso pun gagal. Keinginan untuk mendirikan negara Republik Soviet Indonesia bisa dipadamkan oleh persatuan TNI dan rakyat. Namun, ideologi komunisme yang dibawa PKI masih laten di Indonesia.

b. Pemberontakan APRA
Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) terjadi di Bandung tanggal 23 Januari 1950. Pemberontakan ini dipimpin oleh Raymond Westerling dengan delapan ratus serdadu. Latar belakang pemberontakan ini adalah keinginan Belanda untuk mengamankan kepentingan ekonominya di Indonesia dan mempertahankan serdadu Belanda dalam sistem federal. Pada pagi hari tanggal 23 Januari 1950 gerombolan APRA menyerang anggota Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS/TNI). Bahkan, Markas Staf Divisi Siliwangi berhasil mereka rebut. Letnan Kolonel Lembong dan lima belas pasukannya tewas setelah diserang 150 gerombolan APRA. Akibat pemberontakan APRA ini sekitar 79 tentara APRIS tewas. Pemerintahan Hatta mengadakan perundingan dengan Komisaris Tinggi Belanda dan mengirimkan pasukan ke Bandung. Akhirnya, Komandan Tentara Belanda Mayor Jenderal Engels mendesak Westerling agar pergi. Gerombolan APRA pun berhasil dilumpuhkan oleh APRIS dengan dibantu rakyat.

c. Pemberontakan Andi Azis
Andi Azis adalah perwira KNIL di Makassar. Saat terjadi rasionalisasi tentara, ia bergabung dengan APRIS di Indonesia bagian timur di bawah Letkol Ahmad Junus Mokoginta. Namun, ia bersama kelompoknya menolak pengiriman pasukan oleh TNI ke Makassar saat terjadi pergolakan anti-federal. Kapten Andi Azis kemudian membentuk ”Pasukan Bebas” dan gerombolannya melakukan pemberontakan.
Makassar berhasil mereka kuasai karena terbatasnya pasukan APRIS. Bantuan APRIS kemudian datang dengan dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang dan Mayor H.V. Worang. Pertempuran pecah antara tentara KNIL dan APRIS/TNI tanggal 15 Mei 1950. Perundingan kemudian diadakan antara APRIS (Kolonel A.H. Nasution) dan KNIL (Kolonel Pereira). Hasil perundingan adalah akan dilakukan penjagaan bersama oleh Polisi Militer dari kedua belah pihak. Pertempuran pecah kembali setelah perwira APRIS Letnan Jan Ekel ditembak KNIL tanggal 5 Agustus 1950. Tentara KNIL terkepung dan menyerah. Mereka akhirnya mau berunding tanggal 8 Agustus 1950. Indonesia diwakili A.E. Kawilarang dan Belanda diwakili Mayjen Scheffelaar. KNIL akhirnya meninggalkan Makassar.

d. Pemberontakan RMS
Republik Maluku Selatan (RMS) didirikan oleh Christian Robert Soumokil. Dia adalah bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur (NIT) semasa RIS. Latar belakang pemberontakan RMS adalah ketidaksenangannya untuk kembali ke negara kesatuan sesuai keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB). Untuk memperjuangkan misinya, Soumokil mengintimidasi, meneror, dan membunuh lawan-lawan politiknya. Misalnya terhadap Kepala Daerah Maluku Selatan J. Manuhutu. Teror dilakukan oleh bekas pasukan Westerling yang berjumlah dua ratus KNIL. Ketua Persatuan Pemuda Indonesia Maluku Wim Reawaru tewas terbunuh. Pemerintah menerapkan dua cara untuk menghadapi pemberontakan ini. Cara diplomasi ditempuh dengan mengirimkan dr. Leimena, tetapi ditolak Soumokil. Selanjutnya, digelar Gerakan Operasi Militer III. Operasi ini dipimpin oleh Kolonel Kawilarang. Pasukan dibagi menjadi tiga, yaitu Grup I dipimpin Mayor Achmad Wiranatakusumah, Grup II dipimpin oleh Letkol Slamet Riyadi, dan Grup III dipimpin Mayor Surjo Subandrio. RMS dengan mudah dipadamkan, tetapi Letkol Slamet Riyadi tewas tertembak dalam sebuah kontak senjata di depan benteng Nieuw Victoria.


3. Peristiwa DI/TII

Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) resmi berdiri tanggal  7 Agustus 1949. Namun, akar sejarahnya telah ada sejak zaman Jepang, saat muncul keinginan untuk membentuk negara berdasarkan Islam. Dewan Imamah (Penasihat) DI/TII adalah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo.

a. DI/TII Jawa Barat
DI/TII sempat menguasai Jawa Barat setelah Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah akibat Perjanjian Renville. Namun, Kartosuwirjo bersama empat ribu tentaranya tetap bertahan. Beliau bahkan mengobarkan perang suci melawan Belanda. Pada tanggal 25 Januari 1949 terjadi kontak senjata antara DI/TII dengan TNI. Gerakan DI/TII sulit dipadamkan karena mereka menyatu dengan penduduk. Selain itu,  gerombolan DI/TII sangat paham dengan kondisi alam daerah Jawa Barat. Mereka tidak segan untuk mengadakan ”teror” terhadap rakyat dan kepentingan pemerintah daerah.
Ajakan damai pernah dilontarkan Moh. Natsir sebagai wakil pemerintah. Namun, belum bisa meluluhkan perjuangan Kartosuwirjo. Wilayah Jawa Barat hampir seluruhnya berada di bawah pengaruh Darul Islam. Gerakan DI/TII mampu bertahan selama 13 tahun. Gerakan DI/TII baru berakhir setelah Kartosuwirjo tertangkap pada bulan Juni 1962. Pasukan Kujang II/328 Siliwangi dipimpin Letda Suhanda, menangkapnya di Gunung Rakutak, Kecamatan Pacet Majalaya, Kabupaten Bandung.

b. DI/TII Jawa Tengah
Perjuangan DI/TII memperoleh dukungan dari Jawa Tengah. Tokoh utamanya adalah Amir Fatah. Beliau sebelumnya adalah pejuang dan komandan laskar Hizbullah. Selanjutnya ia berhasil mempengaruhi laskar Hizbullah yang mau bergabung dengan TNI di Tegal. Amir Fatah kemudian memproklamasikan diri dan bergabung DI/TII Kartosuwirjo tanggal 23 Agustus 1949. Mereka menciptakan pemerintahan tandingan di daerahnya. Gerakan yang sama muncul di Kebumen. Pemimpinnya adalah Mohammad Mahfu’dh Abdulrachman atau yang dikenal dengan Kiai Sumolangu. Gerakannya juga merupakan penerus DI/TII Kartosuwirjo dengan basis di Brebes dan Tegal. Gerakan ini kuat setelah Batalion 423 dan 426 bergabung dengan mereka.
Pembelotan ini merupakan pukulan bagi TNI saat itu. Pemerintah kemudian membentuk pasukan Banteng Raiders untuk menghadapi gerakan tersebut. Dengan pasukan ini, pemerintah menggelar operasi Gerakan Banteng Negara. Sisasisa gerakan DI/TII di Jawa Tengah kemudian berhasil dipatahkan oleh pemerintah melalui Operasi Guntur.

c. DI/TII Sulawesi Selatan
Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Beliau sebelumnya adalah pejuang bersama-sama Andi Mattalatta dan Saleh Lahade. Mereka membentuk Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS). Ide itu disetujui Panglima Besar Jenderal Sudirman tanggal 16 April 1946. Setibanya di Sulawesi Selatan, Kahar membentuk Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS).
Namun, Kahar menolak ketika pemerintah hendak mengadakan perampingan organisasi ketentaraan. Kahar ingin membentuk Brigade Hasanuddin dan menolak bergabung dengan APRIS. Dengan pasukan dan peralatan, Kahar lari ke hutan pada bulan Agustus 1951. Mereka memproklamasikan diri sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwirjo. Bahkan, mereka sering meneror rakyat dan tentara APRIS. Gerakan ini baru bisa dipadamkan bulan Februari 1965. Lamanya penanggulangan gerakan ini disebabkan mereka sangat menguasai medan.

d. DI/TII Aceh
Gerakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh oleh Daud Beureuh. Latar belakang gerakan ini terjadi saat Indonesia kembali ke negara kesatuan pada tahun 1950. Beureuh tidak puas dengan status Aceh yang hanya menjadi satu keresidenan di bawah Provinsi Sumatra Utara. Hal ini dianggap mengurangi kekuasaannya. Beliau kemudian mengeluarkan maklumat tanggal 21 September 1953. Isinya adalah Aceh merupakan bagian dari DI/TII Kartosuwirjo.
Gerakan Beureuh sulit dipatahkan karena menyatu dengan rakyat dan memahami kondisi wilayah Aceh. Beureuh berhasil mempengaruhi rakyat Aceh. Selain menyadarkan rakyat agar percaya kepada pemerintah, TNI juga melakukan operasi militer. Pangdam I Kolonel Jasin berinisiatif mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh tanggal 17–28 Desember 1962.
Daud Beureuh pun kembali ke tengah-tengah masyarakat.
Itulah beberapa peristiwa yang sempat mengganggu jalannya pemerintahan hingga tahun 1960-an. Ada beragam latar belakang yang menyebabkan meletusnya peristiwa tersebut. Pemerintah melakukan perundingan dan operasi militer untuk menghadapinya. Sebagian besar perlawanan dan permasalahan bisa teratasi meskipun ketidakpuasan terhadap pemerintah masih muncul.


4. Keadaan Politik, Ekonomi dan Sosial Budaya Pra G30S/PKI

Krisis ketatanegaraan dan pemerintahan yang terjadi pada tahun 1950-an memuncak dengan keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Presiden Soekarno membubarkan Kabinet Djuanda dan membentuk Kabinet Kerja. Presiden Soekarno juga membubarkan DPR hasil pemilu 1955 karena menolak anggaran belanja negara yang diajukan pemerintah. Bung Karno kemudian membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) tanggal 24 Juni 1960.
Perbandingan keanggotaan DPRGR yang seluruh anggotanya dipilih Bung Karno adalah nasionalis (94), Islam (67), dan komunis (81). Dengan demikian, PKI memperoleh banyak keuntungan dari kebijakan Bung Karno. DPRGR dilantik Bung Karno tanggal 25 Juni 1960. Tugasnya adalah melaksanakan manipol, merealisasikan amanat penderitaan rakyat, dan melaksanakan demokrasi terpimpin. Presiden Soekarno benar-benar menjadi inisiator dan operator politik tunggal demokrasi terpimpin. Garis kebijakannya tentang demokrasi terpimpin tertuang dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita. Langkah yang ditempuh adalah membentuk Front Nasional, menggabungkan lembaga tinggi dan tertinggi negara di bawah kendalinya, serta membentuk Musyawarah Pembantu Pemimpin Revolusi (MPPR). Dampak kebijakan Presiden Soekarno bagi kehidupan bangsa dan negara sebagai berikut.

a. Kehidupan Politik
PKI berusaha keras berada di belakang pengaruh Bung Karno. PKI senantiasa memainkan peranan sebagai golongan yang paling Pancasilais. Gagasan Bung Karno tentang Nasakom jelas menguntungkan gerakan PKI. Bahkan, D.N. Aidit pada tahun 1964 berani berkata, ”bila kita telah mencapai taraf hidup adil dan makmur dan telah sampai kepada sosialisme Indonesia, maka kita tidak lagi membutuhkan Pancasila.” Gerakan PKI ini dihadang golongan Islam dan TNI AD. Bahkan, sejak pembentukan DPRGR kedua kelompok ini telah menentang secara keras.
Namun, upaya itu mendapat rintangan karena Bung Karno memang melindungi keberadaan PKI.
Kondisi politik saat itu benar-benar panas karena PKI melakukan beberapa aksi dan kerusuhan.
Konflik antara PKI dan TNI AD pun tidak terhindarkan.

b. Kondisi Perekonomian
Selama demokrasi terpimpin Bung Karno menempatkan politik sebagai panglima. Beragam kebijakan dan pengaturan menjadi sia-sia karena besarnya anggaran untuk proyek-proyek mercusuar. Bung Karno saat itu sangat getol membangun jaringan dengan negara-negara sosialis komunis. Beliau memelopori pembentukan Conferences of the Emerging Forces (Conefo). Oleh karena itu, dibangunlah gedung Conefo yang kini menjadi gedung MPR/DPR. Untuk keperluan Games of the New Emerging Forces (Ganefo), Bung Karno membangun Istora Senayan.


Selain untuk proyek tersebut, anggaran pemerintah juga dihabiskan untuk membiayai politik konfrontasi. Saat cadangan anggaran habis, pemerintah menghimpun dana-dana revolusi dan memperbanyak utang luar negeri. Dampak dari kebijakan tersebut adalah tingginya inflasi, melonjaknya harga kebutuhan masyarakat, dan tergencetnya perekonomian rakyat. Bukan pemandangan yang aneh apabila selama demokrasi terpimpin banyak terjadi antrean beras dan minyak.

c. Kehidupan Sosial
Doktrin Nasakom yang disuarakan Bung Karno mempengaruhi kehidupan sosial kemasyarakatan. Hal ini terlihat sekali dalamkehidupan pers. Surat kabar yang menentang Nasakom atau PKI diberedel. Misalnya Pedoman, Nusantara, Keng Po, Pos Indonesia, dan Star Weekly. Sebaliknya, surat kabar PKI merajai dunia penerbitan pers saat itu, seperti Harian Rakyat, Bintang Timur, dan Warta Bhakti. Mereka juga menerbitkan surat kabar Bintang Muda, Zaman Baru, dan Harian Rakyat Minggu. Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) milik pemerintah didominasi oleh golongan komunis.Surat kabar milik PKI melakukan propaganda dan agitasi terhadap lawan-lawan politiknya. Dengan jalan itu, PKI berhasil mendominasi kehidupan sosial politik masyarakat.
Untuk memurnikan ajaran Bung Karno dari pengaruh komunis, beberapa tokoh membentuk Barisan Pendukung Soekarnoisme (BPS). BPS diketuai oleh Adam Malik dibantu oleh B.M. Diah, Sumantoro, dan kawan-kawan. Berdirinya BPS mendapat tekanan dari PKI. Bahkan, PKI memfitnah bahwa BPS merupakan bentukan Amerika. Bung Karno kemudian mendukung PKI dengan melarang kegiatan BPS.

d. Kehidupan Budaya
Saat PKI merajai kehidupan politik, semua kegiatan kebudayaan terpengaruh. Sejak tahun 1950 PKI telah membentuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan tokoh utamanya Pramoedya Ananta Toer. Lekra dengan kejam menindas dan meneror kaum intelektual dan sastrawan Indonesia yang tidak mau bergabung dengannya. Pada saat yang sama, Lekra mempropagandakan misi dan kepentingan PKI terutama berkaitan dengan penyebaran ideologi komunis. Para mahasiswa PKI bergabung dalam Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Mereka meneror mahasiswa lain yang tidak mau bergabung.
Para sastrawan dan cendekiawan penentang Lekra membuat Manifes Kebudayaan tanggal 17 Agustus 1963. Mereka mendukung Pancasila, tetapi menolak bergabung dengan Nasakom. Para sastrawan dan intelektual itu menghendaki suatu kebudayaan Indonesia yang tidak didominasi oleh ideologi tertentu. Tokoh manifes ini adalah H.B. Jassin. PKI kemudian menggunakan kekuasaan Bung Karno untuk melarang kegiatan manifes kebudayaan. Akhirnya, Bung Karno benar-benar melarangnya tanggal 8 Mei 1964. Bahkan H.B. Jassin kemudian dipecat sebagai dosen di Universitas Indonesia Jakarta. Demikianlah cara PKI menciptakan suasana yang menguntungkan kepentingan politiknya. Mereka menempel setiap kebijakan Bung Karno dengan membentuk lembaga-lembaga pendukung. Teror dan fitnah mereka jalankan untuk menghadapi kelompok antikomunis. Berkat dukungan dan perlindungan Bung Karno, PKI mampu memasuki seluruh sendi kehidupan bangsa. Oleh karena itu, PKI tinggal menunggu waktu untuk merebut kekuasaan sesuai dengan doktrin komunisme.


5. Peristiwa G30S/PKI

PKI merupakan partai terbesar di dunia di luar negara komunis. Pada tahun 1964 PKI telah berubah menjadi kekuatan yang besar dan agresif dalam perpolitikan Indonesia. PKI mengusulkan kepada Bung Karno agar dibentuk ”Angkatan Kelima”. Yang dimaksud PKI adalah agar rakyat yang di bawah pengaruhnya dipersenjatai. Oleh karena itu, para gerilyawan PKI memperoleh latihan kemiliteran di pangkalan udara Halim Perdanakusuma. Jumlah kader PKI yang ikut kursus dan latihan hingga bulan September adalah dua ribu orang. Mendekati akhir bulan September 1965, ribuan tentara berkumpul di Jakarta. Orang menduga bahwa itu dilakukan untuk menyambut hari ABRI tanggal 5 Oktober. Dengan kedudukan dan potensi itu, PKI mempersiapkan perebutan kekuasaan. Persiapan dilakukan secara matang dilakukan oleh Biro Khusus yang dipimpin Sjam Kamaruzzaman.

Biro Khusus menyarankan kepada pimpinan PKI D.N. Aidit untuk mengadakan perebutan kekuasaan (pemberontakan). Hal ini diputuskan dalam rapat pimpinan biro tersebut pada bulan Agustus 1965. Keputusan itu ditindaklanjuti dengan rapat rahasia secara maraton.



Setelah melalui serangkaian rapat, PKI kemudian mengambil keputusan akhir. Keputusannya adalah komandan gerakan dijabat Letkol Untung (Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa). Resimen ini sehari-hari bertugas mengawal presiden.

a. Pemberontakan G 30 S /PKI
PKI kemudian benar-benar melakukan pemberontakan dan pengkhianatan kepada bangsa Indonesia. Operasi pemberontakan dipimpin oleh Letkol Untung dengan melibatkan satu batalion Divisi Diponegoro dan Divisi Brawijaya. Mereka dibantu oleh Pemuda Rakyat PKI. Pusat gerakan di Lubang Buaya, dekat Halim Perdanakusuma.

PKI kemudian berhasil menculik dan membunuh para perwira TNI AD. Mereka adalah Letjen Ahmad Yani, Mayjen R. Soeprapto, Mayjen Harjono M.T., Mayjen S. Parman, Brigjen D.I. Pandjaitan, dan Brigjen Soetojo Siswomihardjo. Jenderal A.H. Nasution berhasil meloloskan diri. Namun, putrinya (Irma Suryani Nasution) dan ajudannya (Lettu Pierre Andries Tendean) tewas tertembak. Korban PKI lainnya adalah Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun yang mengawal rumah Wakil Perdana Menteri II dr. J. Leimena.

Selain melakukan pembunuhan, PKI juga merebut RRI Pusat dan gedung Telekomunikasi di Jalan Medan Merdeka. Keduanya digunakan Letkol Untung untuk menyiarkan pengumuman G 30 S. Pukul 07.20 WIB Letkol Untung mengumumkan bahwa gerakan mereka ditujukan kepada Dewan Jenderal yang katanya mau melakukan perebutan kekuasaan. Namun, kedok mereka terbongkar pada siang harinya pukul 13.00 WIB. Pemberontakan PKI juga berlangsung di Jawa Tengah dipimpin oleh Kolonel Sahirman (Asisten I Kodam VII/ Diponegoro). Setelah menguasai Markas Kodam VII/Diponegoro, mereka merebut RRI, telekomunikasi, dan Korem-Korem di Jawa Tengah. Korem 071/Purwokerto dikuasai Letkol Soemitro, Korem 072/Yogyakarta dikuasai Mayor Mulyono, Korem 073/ Salatiga dikuasai Letkol Idris, dan Brigif 6 dikuasai oleh Kapten Mintarso.

Akibat pemberontakan ini, Danrem 072 Kolonel Katamso dan Kasrem 072 Letkol Sugiyono diculik dan dibunuh secara keji. PKI juga membunuh para perwira TNI AD di lingkungan Brigade Infanteri 6/Surakarta dan merebut RRI, telekomunikasi, bank negara, dan mendukung G 30 S/PKI. Rakyat Surakarta benar-benar ketakutan dengan teror PKI.

b. Penumpasan G 30 S/PKI
Penculikan dan pembunuhan para jenderal oleh PKI segera tersiar. Panglima Komando Strategi Cadangan TNI AD (Pangkostrad) Mayjen Soeharto segera  mengambil alih komando TNI AD. Sesuai tradisi di lingkungan TNI AD apabila Men/Pangad berhalangan segera digantikan oleh Pangkostrad.
Mayjen Soeharto mengoordinasi penumpasan mulai tanggal 1 Oktober 1965. Pasukan Resimen Para Komando TNI Angkatan Darat (RPKAD) dipimpin Letkol Sarwo Edhie Wibowo merebut RRI dan gedung Telekomunikasi. Jakarta dengan mudah bisa direbut TNI. Mayjen Soeharto kemudian mengumumkan telah terjadinya perebutan kekuasaan oleh Gerakan 30 September.

Pengumuman dilakukan pukul 20.00 WIB tanggal 1 Oktober 1965. Beliau juga mengumumkan bahwa Presiden Soekarno dan Menko Hankam/KASAB Jenderal A.H. Nasution dalam keadaan selamat.
Antara Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan kepolisian sepakat untuk menumpas G 30 S. Operasi kemudian dilanjutkan ke kawasan Halim Perdanakusuma. Kawasan ini merupakan basis PKI yang pernah digunakan untuk melatih Gerwani dan Pemuda Rakyat. Kawasan ini dengan mudah dikuasai kembali pukul 06.10 tanggal 2 Oktober 1965. Operasi kemudian dilanjutkan untuk menemukan jenderal-jenderal korban penculikan. Jenazah keenam perwira TNI AD ditemukan di dalam sumur tua di Lubang Buaya. Penemuan ini berkat petunjuk Ajun Brigadir Polisi Sukitman yang berhasil meloloskan diri dari penculikan PKI. Setelah disemayamkan di Markas Besar TNI AD, jenazah keenam pimpinan TNI AD tersebut dimakamkan di Kalibata bertepatan dengan hari ABRI tanggal 5 Oktober 1965.

Upaya penumpasan terhadap sisa-sisa G 30 S/PKI terus dilakukan. Sementara itu, rakyat mengekspresikan kemarahannya dengan membakar kantor PKI di Kramat Raya. Demonstrasi dan aksi mahasiswa anti-PKI pun mulai berlangsung di Jakarta. Pada tanggal 9 Oktober 1965.

Kolonel A. Latief berhasil ditangkap di Jakarta. Letkol Untung juga berhasil ditangkap di Tegal tanggal 11 Oktober 1965 saat hendak melarikan diri ke Jawa Tengah. Jawa Tengah merupakan basis kedua PKI setelah Jakarta. Penumpasan dipimpin oleh Pangdam VII/Diponegoro Brigjen Surjosumpeno dengan dibantu RPKAD. Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo membentuk Komando Operasi Merapi dan berhasil menembak para pimpinan pemberontak.

Ketua PKI D.N. Aidit tertangkap tanggal 22 November 1965 dan Jawa Tengah berhasil dibersihkan dari pemberontak pada bulan Desember 1965. Operasi penumpasan PKI juga dilakukan di Blitar, Jawa Timur. Sisa-sisa G 30 S/PKI berhasil diringkus dengan Operasi Trisula yang dilancarkan mulai tanggal 3 Juli 1968. Sekitar 850 kader PKI berhasil ditangkap, 13 orang di antaranya adalah anggota Central Comite PKI Pusat. Operasi Kikis dilaksanakan TNI di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sekitar dua ratus kader PKI juga berhasil ditangkap. Sementara itu, sisa-sisa PKI mendirikan Merapi Merbabu Complex (MMC). Namun, dalam operasi TNI di daerah ini berhasil ditangkap tokoh Biro Khusus PKI yang bernama Pono.

Itulah tragedi politik yang terjadi di Indonesia. Selain dilatarbelakangi oleh perbedaan ideologi, tragedi nasional tersebut juga disebabkan banyak hal. Apabila kamu belum memahaminya, coba baca kembali deskripsi sejarah tentang tragedi nasional di depan. Selanjutnya, ikutilah kegiatan berikut ini.

Sumber: Wismuliani, Endar dkk, 2009, IPS : untuk SMP dan MTs Kelas IX, Jakarta : Pusat perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, h. 163 – 181.
gurumuda.com

3 komentar:

  1. thanku infonya. really helps me doing school task c;

    BalasHapus
  2. nice sekali, kalimatnya mudah dimengerti. sebelum nya emak saya cerita begini tapi kurang masuk ke otak gyahhaha

    BalasHapus
  3. Syukur dech semoga bermanfaat untuk menambah wawasan sejarah kebangsaan kita semua...

    BalasHapus