Selasa, 30 November 2010

Keistimewaan Yogyakarta

 

RUUK DIY, kependepakan dari Rencana Undang Undang Keistimewaan DIY sampai hari ini belum tuntas. Karena memang belum dibahas di DPR RI, bahkan draf RUUK DIY belum diserahkan ke DPR RI, sehingga pihak legislative tidak bisa mengagendakan pembahasan. Draf RUUK DIY masih ada di Kementrian Dalam Negeri.

Polemik yang muncul dalam RUUK adalah mengenai pemilihan dan penetapan. Apakah gubernur DIY dipilih langsung sebagaimana pemilihan gubernur di daerah lain, atau penetapan seperti selama ini, setidaknya sejak Sultan HB IX dan Paku Alama VIII, dan diteruskan oleh penggantinya. Muncul juga alternatif ketiga, yakni pemilihan internal dikalangan DPRD, bukan pilihan langsung. 

Namun karena RUUK DIY belum ada, sehingga tidak ada rujukan untuk memilih gubernur DIY. Masa jabatan gubernur sudah habis dan sudah diperpanjang lagi. Perpanjangan masa jabatan gubernur DIY (dan wakilnya), sebenarnya mengindikasikan, pihak pusat ‘tidak mau’ adanya penetapan. Apabila perpanjangan pertama habis dan RUUK DIY belum ada, perpanjangan kedua kemungkinan akan dilakukan lagi. Andai hal ini dilakukan pemerintah pusat, indikasi ‘tidak mau’ penetapan semakin kuat.

Berbagai macam upaya elemen masyarakat untuk mendorong RUUK DIY segera disyahkan sudah dilakukan. Bermacam demonstrasi, termasuk dengan seminar/diskusi dan memperingati ‘Maklumat 5 September’, namun ketidakelasan dari pusat masih terus dilakukan. Beberapa elemen masyarakat menghendaki agar Sultan HB X dan Paku Alam IX segera ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur. Namun, lagi-lagi, tidak ada informasi yang pasti dari pemerintah pusat dan RUUK DIY masih terkatung-katung belum dibahas.

Ada alternatif lain yang tiba-tiba muncul dari Sultan Hamengku Buwana X, alternatif yang selama ini, hampir-hampir, tidak pernah disuarakan, ialah referendum. Sultan HB X minta diadakan refendum mengenai Keistiemwaan DIY dengan bertanya pada rakyat Yogya. Jadi, pilihannya hanya ada dua, yakni Ya (Keistimewaan) dan tidak (pilihan langsung).


Usulan dari Sultan Hamengku Buwana X ini, rasanya merupakan jalan keluar dari kebuntuan, sekaligus merupakan ‘tamparan’ untuk pusat. Karena, pemerintah pusat hanya janji-janji terus, tetapi belum ada tindak lanjutnya. Atau, pemerintah pusat tidak menganggap penting DIY, dalam hal ini Keistimewaan DIY. Pemerintah pusat, agaknya, akan menjalankan UU Pilkada, yang melakukan pemilihan langsung untuk kepala daerah, tak terkecuali DIY. Hanya saja, pemerintah pusat tidak mau terus terang mengatakannya. Hanya menunda-nunda RUUK-DIY.

Barangkali, perlu mengambil pilihan lain, yang tidak melepaskan status Keistimewaan DIY, tetapi sekaligus menjalankan UU Pilkada. Yakni, status Keistimewaan dengan menempatkan Sultan HB X dan Paku Alam IX, dalam pemilihan langsung kepala daerah, mewakili masyarakat Yogya, yang dicalonkan oleh Kraton dan Kadipaten Pakualaman. Bukan calon dari partai. Partai-partai boleh mempunyai calon sendiri, dan dengan sendirinya bukan mewakili masyarakat Yogya, melainkan mewakili partainya masing-masing. Partai-partai boleh memberikan dukungan atas calon dari Kraton dan Pakualaman, tetapi tidak mencalonkannya. Hanya sebatas mendukung.

 

Pillihan seperti disebutkan diatas, bisa diakomodasikan di UU Pilkada pada poin calon independent. Andai dalam pemilihan ini Sultan HB X terpilih, artinya dia akan terus menjadi gubernur sampai beliau tidak mampu menjalankan tugas-tugas sebagai gubernur.

Dalam kata lain, status Keistiemwaan DIY ‘dikembalikan’ seperti sebelumnya, hanya memerlukan modifikasi sesuai perkembangan jaman. Jadi, pilihannya tidak hanya dua, ialah pilihan langsung atau penetapan. Pada pilihan pertama sekaligus menghapuskan status Keistimewaan DIY. Pada pilihan kedua mempertahankan status sebelumnya. Seolah status Keistimewaan ‘datang dari langit’, yang tidak lagi bisa diubah. Menggabungkan keduanya, kiranya mengikuti jejak reformasi.

Namun, kalau pilihan penetapan tidak bisa ditawar lagi, akan ada jalan buntu yang tidak lagi bisa ‘dilewati’. Masing-masing pihak bersikukuh dengan pilihan tanpa ada alternatif yang lain. Jika ini terus terjadi, artinya politik lokal di Yogya mengalami jalan buntu. Tidak ada perubahan sesuai semangat jaman.
Menggabungkan antara keduanya, seperti telah disebut diatas, kiranya merupakan jalan keluar yang baik.

Ons Untoro

Sumber: sudarjanto.multiply.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar