Selasa, 30 November 2010

Otonomi Khusus Dalam Hukum Internasional (Catatan Kritis untuk Keistimewaan Yogyakarta)

Pendahuluan

Otonomi khusus adalah salah satu bagian dari apa yang dinamakan Hak untuk menentukan nasib sendiri. Dalam praktek hukum internasional dijabarkan dalam Pasal 1 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik dan juga Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Rumusan pasal 1 dari kedua kovenan ini ditujukan pada:
1. Masyarakat yang telah mendapatkan kemerdekaannya
2. Masyarakat yang tinggal di wilayah yang berlum mendapat kemerdekaan
3. Masyarakat yang tinggal di sebuah negara yang berada di bawah pendudukan militer asing.

Istilah otonomi sendiri muncul dalam berbagai konteks hukum. Dalam hukum nasional otonomi adalah bagian dari pemerintahan sendiri dari sebuah institusi dan organisasi publik. Dalam hak ini termasuk kewenangan membuat peraturan perundang-undangan, yang menyatakan bahwa pemerintahan otonomi berhak mengatur urusannya sendiri melalui pengesahan sebuah Undang-undang. Dalam hukum internasional, otonomi berarti bahwa sebagian dari wilayah suatu negara diberikan kewenangan untuk mengatur urusannya sendiri yang dalam beberapa hak dengan cara mengesahkan suatu undang-undang tanpa diikuti pembentukan usatu bangunan kenegaraan yang baru[1]

Menurut Lapidoth yang dikutip oleh Hans-Joachim Hentze terdapat beberapa konsep dari otonomi dalam konstruksi hukum yaitu :
1. as a right to act upon one’s own discretion in certain matters;
2. as a synonym of independence
3. as a synonym of decentralization
4. as exclusive powers of legislation, administration, and adjudication in specific areas of an autonomous entity

Secara prinsip, otonomi diberikan sebagai perolehan suatu wilayah berpemerintahan sendiri (internal-self government), sebagai pengakuan kemerdekaan parsial dari pengaruh pemerinthan pusat. Kemerdekaan ini hanya dapat ditetntukan melalui tingkatan otonomi dalam proses pengambilan keputusan politik.

Perolehan otonomi khusus dalam konteks hukum internasional pada umumnya didasarkan pada suatu perjuangan untuk memperoleh status politik dalam suatu negara yang telah merdeka. Hukum Internasional memang secara khusus membatasi hak untuk menentukan nasib sendiri yang berujung pada terbentuknya negara baru pada tiga kategori yaitu:
1. Masyarakat yang berada di bawah penguasaan (penjajahan) dari negara lain
2. Masyarakat yang berada dibawah pendudukan pemerintahan asing
3. Masyarakat yang masih tertindas oleh suatu pemerintahan yang otoriter.

Otonomi khusus dalam hukum internasional telah diakui sebagai salah satu jalan untuk menghindari proses disintegrasi dari suatu negara. Oleh karenanya Hukum internasional memberikan penghormatan terhadap perlindungan dari suatu kelompok bangsa atau etnis untuk mempertahankan identitasnya. Untuk itu salah satu keuntungan dari penerapan otonomi adalah sebagai salah satu sarana penyelesaian konflik. Perkembangan dari prinsip-prinsip otonomi ini sebagai hasil dari perkembangan hukum internasional secara umum yang didasarkan pada perlindungan terhadap hak asai manusia yang secara langsung berdampak pada pemajuan standar umum bagi kepercayan terhadap demokrasi, kesetraan, dan partisipasi rakyat dalam bidang ekonomi, social, budaya, politik, dan hukum dari suatu negara.

Adanya daerah otonomi dalam suatu negara (a self-governing intra state region) sebagai suatu mekanisme penyelesaian konflik adalah suatu tindakan pilihan bagi penyeleisan konflik internal, sehingga memaksa pemerintah pusat utnuk menciptakan daerah otonomi sebagai suatu intra state region with unique level of local self-government[2]. Untuk itu daerah otonomi harus mendapatkan pengakuan konstitusional dari negara induk yang didasarkan pada prinsip pemerintahan sendiri yang derajat kemandiriannya lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya dalam suatu negara.


Isi Dari Otonomi

Otonomi dapat berarti keseimbangan yang dibangun dengan konstruksi hukum antara kedaulatan negara dan ekspresi dari identitas kelompok etnis atau bangsa dalam suatu negara. Secara konstitusional tingkat dari otonomi sendiri dapat ditentukan melalui pengalihan kekuasaan legislative dari organ nefara kepada lembaga dari daerah otonomi tersebut. 

Dengan mendasarkan prinsip kedualatan negara, satu atau lebih wilayah dapat diberikan status khusus sebagai daerah otonomi yang berhak menikmati local self-government yang menurut Lauri Hannikainen mencakup beberapa kewenangan dan isu tertentu yang penting antara lain:
1. Status dari daerah otonomi harus ditentukan dalam konstitusi atau UU yang berada diatas ketentuan perundang-undangan di sutau negara. Ini juga bisa didasarkan pada perjanjian antara pemerintah pusat dan masyarakat di daerah tersebut
2. Daerah otonomi harus mempunyai DPR yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat di daerah tersebut dan memiliki bebarapa kewenangan legislatif yang mandiri
3. Adanya kewenangan ekslusif dari pemerintah otonomi yang meliputi: pendidkan dan kebudayaan, kebijakan kebahasaan, urusan sosial, kebijakan agraria dan sumber daya alam, perlindungan lingkungan, pembangunan ekonomi dan perdagangan daerah, kesehatan, tata ruang, dan transportasi
4. Daerah otonomi mempunyai kemungkinan untuk menjadi salah satu pihak dalam proses pengambilan kebijakan dalam level nasional
5. Peradilan lokal harus menjadi bagian dari otonomi dan dapat menikmati kemandirian dari kekuasaan eksekutif dan legislatif
6. Kewenangan dalam perpajakan akan memberikan dasar kuat bagi pembanguan ekonomi dari daerah otonomi
7. Daerah otonomi juga harus mempunyai hak untuk bekerja sama dengan daerah atau masyarakat lain di negara tetangga terutama dalam hal ekonomi dan budaya[3]

Hukum Internasional memang tidak memberikan pembatasan dalam pengaturan secara konstitusional dalam suatu negara dalam hal bentuk betuk sub sovereign status atau otonomi.

Menurut Husrt Hannum, otonomi yang lebih luas harus diikuti juga oleh perolehan beberapa kewenangan yang diurus secara langsung
1. DPR lokal yang dipilih dengan memiliki kewenangan legislatif yang mandiri
2. Kepala pemerintahan yang dipilih
3. Kekuasaan kehakiman lokal yang mandiri dengan kewenangan penuh untuk melakukan penafsiran terhadap peraturan lokal
4. Adanya perjanjian pembagian kekuasaan antara pemerintah otonomi dengan pemerintah pusat[4]

Suatu wilayah otonomi harus dapat menikmati penguasaan yang efektif atas beberapa masalah-masalah lokal dengan tetap dalam kerangkan norma dasar dari suatu negara. Otonomi tidak sama dengan kemerdekaan dan pemerintah daerah otonomi sulit untuk mengharapkan tidak adanya intervensi dari pemerintah pusat dan pada saat yang sama, negara harus mengadopsi fleksibilitas perlakuan yang akan membuat daerah otonomi mampu untuk mengelola kewenangannya secara nyata.


Yogyakarta, Otonomi Khusus, dan Praktek Indonesia

Dalam konteks Indonesia, daerah otonomi khusus diatur dalam Pasal 18 B ayat (1) Perubahan II UUD 1945 yang menyatakan:

PasaI 18B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

Berdasarkan pengaturan baru ini, ada dua daerah (propinsi) yang diakui kekhususannya berkaitan dengan faktor sejarah ataupun politik, diantaranya adalah Papua melalui UU No 21 tahun 2001 dan Aceh melalui UU No 11 tahun 2006. Namun ada perbedaan mendasar dari perolehan status otonomi khusus yang diperoleh oleh dua propinsi ini, sifat otonomi khusus untuk Papua lebih merupakan tindakan sepihak dari pemerintah pusat sementara untuk Aceh adalah buah kesepakatan dari Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang ditanda tangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Kedua provinsi ini mendapatkan status otonomi khusus dengan sejarah panjang melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat yang otoriter. 

Dalam Konteks Yogyakarta, adalah sebuah keistimewaan karena Yogyakarta secara sepihak menyatakan kemerdekaan serta kedaulatannya dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sekaligus juga mengakhiri serta mengintegrasikan kemerdekaan dan kedaulatannya kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII. Sesudah itu Sri Sultan Hamengkubowono IX dan Paku Alam VII mengeluarkan kembali dekrit kerajaan, yang dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945, yang menyerahkan kekuasaan legislatif kepada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Semenjak saat itu dekrit kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat. Pada 18 Mei 1946, secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan dalam urusan pemerintahan yang dikeluarkan melalui Maklumat No 18 tentang Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Melalui Dekrit Kerajaan ini dinyatakan bahwa hubungan antara Negeri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Negeri Kadipaten Pakualaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung, dan kedua kepala Negeri bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden, yang dikukuhkan dengan piagam kedudukan oleh Presiden Republik Indonesia tanggal 19 Agustus 1945, yang diterimakan pada tanggal 6 September 1945. Secara hukum perkembangan ini sungguh menarik karena meski tidak diatur melalui UU khusus, akan tetapi melalui dekrit kerajaan dapat dinyatakan bahwa Yogyakarta menganut bentuk pemerintahan monarki konstitusional dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Perkembangan Keistimewaan Yogyakarta

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta secara legal formal dibentuk dengan UU Nomor 3 Tahun 1950 yang kemudian diubah menjadi UU No 19 Tahun 1950. Pemerintah DI Yogyakarta berdasarkan UU tersebut menikmati kewenangan antara lain:
1. Urusan Umum
2. Pemerintahan Umum.
3. Agraria.
4. Pengairan, djalan-djalan dan gedung-gedung.
5. Pertanian, Perikanan dan koperasi.
6. Kehewanan.
7. Keradjinan, perdagangan dalam negeri dan perindustrian.
8. Perburuhan.
9. Sosial.
10. Pembagian (Distribusi).
11. Penerangan.
12. Pendidikan, pengadjaran dan kebudajaan
13. Kesehatan.
14. Lalu lintas dan angkutan bermotor.
15. Perusahaan.

Dalam kedua peraturan perundang-undangan ini tidak tampak berbagai kewenangan khusus seperti yang telah dijabarkan oleh Hurst Hannum maupun oleh Lauri Hannikainen. Meski demikian sudah tampak berbagai kewenangan eksklusif dari Pemerintah DI Yogyakarta.

Yang cukup menarik bahwa kedudukan penguasa kerajaan di Yogyakarta justru tidak diatur oleh kedua UU ini, secara politis ini berarti Pemerintah Pusat mengakui keduanya sebagai Penguasa dari DI Yogyakarta. Namun, dengan tidak adanya penjelasan secara hukum tentang posisi keduanya ini yang kemudian rentan dalam penafsiran tentang siapa yang berhak menduduki posisi eksekutif dalam pemerintahan di Yogyakarta. Dilema ini sudah muncul sejak meninggalnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Pakualam VIII sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DI Yogyakarta.

Dilema dari posisi dan keistimewaan dari Yogyakarta ini dicoba dijawab melalui RUU Keistimewaan Yogyakarta yang dirancang oleh DPRD DI Yogyakarta. Untuk itu penting untuk melihat kewenangan yang digagas dalam RUU Keistimewaan Yogyakarta ini.


No
Isi Otonomi
Pengaturan
1
Status Daerah Otonomi
Diatur melalui RUU Keistimewaan Yogyakarta
2
Status dan Kewenangan DPRD
Diatur melalui UU Otonomi Daerah yang umum; tidak mempunyai kewenangan eksklusif
3
Peradilan dan penegakan hukum
Diatur melalui UU nasional yang berlaku; tidak mempunyai kewenangan eksklusif
4
Perpajakan
Diatur melalui UU Otonomi Daerah yang umum; tidak mempunyai kewenangan ekskulsif
5
Kerjasama Internasional
-; tidak mempunyai kewenangan ekskulsif
6
Kewenangan Eksklusif
Pertanahan, Budaya serta kewenangan lain yang telah diatur melalui UU Otonomi Daerah
7
Pembagian Keuangan
Diatur melalui UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah; tidak mempunyai kewenangan ekskulsif
8
Kepala Eksekutif
Penetapan oleh DPRD Propinsi: hanya Sultan/Pakualam dan/atau kerabatnya yang berhak menduduki posisi eksekutif


Dari sisi pengaturan otonomi, tidak tampak adanya perbedaan antara keistimewaan yang akan dipunyai oleh Yogyakarta dengan otonomi yang dinikmati oleh propinsi yang lain yang tidak berstatus istimewa. Hal ini berbeda dengan status yang saat ini dinikmati oleh Aceh dan Papua. Keistimewaan Yogyakarta hanya tampak pada pengisian posisi kepala dan wakil kepala eksekutif di Yogyakarta yang hanya bisa ditempati oleh Sultan/Pakualam dan/atau kerabat kerajaan dan juga kewenangan di bidang pertanahan (yang dikenal dengan sultan grond) dan juga budaya. 

Dari sisi hukum akan sangat sayang apabila keistimewaan Yogyakarta hanya istimewa di tiga isu tersebut, karena sangat banyak kekhasan yang bisa diatur melalui UU Keistimewaan Yogyakarta. RUU Keistimewaan Yogyakarta dapat dinyatakan sebagai low degree of autonomy.


[1] Hans-Joachim Heintze, On The Legal Understanding of Autonomy dalam Autonomy: Application and Implication, Kluwer Law International, Finland, 1997, hal 7
[2] Kjell-Ake Nordquist, Autonomy As A Conflict Solving Mechanism-An Overview dalam Autonomy: Application and Implication Kluwer Law International, Finland, 1997, hal 59
[3] Lauri Hannikainen, Self Determination and Autonomy in International Law dalam Autonomy: Application and Implication Kluwer Law International, Finland, 1997, hal 90
[4] Hurst Hannum, Autonomy, Sovereignty, and Seld Determination: The Accomodation of Conflicting Rights, University of Pennsylvenia Press, Philadelphia, 1996, Hal 467


Sumber: anggara.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar