Jumat, 26 November 2010

Menziarahi Batu Nisan Tajdid: Refleksi Jelang Seabad Muhammadiyah

 

Dalam esainya “Mengkaji Ulang Muhammadiyah sebagai Organisasi Berorientasi Pembaharuan” Dawam Rahardjo mengemukakan sejumlah kritik terhadap Muhammadiyah dalam rangka evaluasi perkembangan Muhammadiyah jelang satu abad. Dawam menilai bahwa Muhammadiyah memilih tauhid Wahabisme ketimbang tauhid sosial, hasil perenungan dan pembaharuan Ahmad Dahlan atas tauhid lama.

Dengan memisahkan gagasan wahabisme dari gerakan pembaharuan Ahmad Dahlan, Dawam menegaskan kritiknya bahwa kini Muhammadiyah cenderung fundamentalis. Di akhir tulisan, Dawam memperlihatkan sikap pesimis dengan menyatakan bahwa “Muhammadiyah memang tidak akan menjadi organisasi pembaharu yang liberal dan progressif.”

Sebagai respons atas tulisan Dawam, tulisan ini mengamini bahwa Muhammadiyah di usianya yang ke-100 tidak lagi melirik semangat pembaharuan generasi awal, khususnya Ahmad Dahlan, sebagai prioritas gerakan. Lebih jauh, tulisan ini ingin memperlihatkan bahwa semangat pembaharuan di tubuh Muhammadiyah kini telah terkubur. Muhammadiyah menggunakan kosa kata tajdid atau pembaharuan lebih sebagai beban sejarah ketimbang semangat pergerakan. Pertanyaan yang seringkali muncul adalah jika Muhammadiyah sejak awal berdiri merupakan gerakan tajdid atau pembaharuan, lantas kenapa yang muncul ke permukaan kini adalah wajah puritanisme yang tertutup dan literalistik? Mengapa semangat pembaharuan hanya menjadi batu nisan? Adakah peluang membangkitkan tajdid di lingkuangan Muhammadiyah dari kuburannya?

Untuk sampai pada pertanyaan tersebut, ada baiknya jika kita menilik konsep tajdid pada saat Ahmad Dahlan merumuskan Muhammadiyah. Gagasan pembaharuan Ahmad Dahlan bukan muncul di ruang kosong. Ada situasi sosial, politik, ekonomi dan budaya umat Islam kala itu yang memprihatinkan.
***


 

Gerakan tajdid atau pembaharuan yang dikumandangakn Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah adalah respons atas keterpurukan umat Islam dalam berbagai lapis. Lapis ekonomi, politik dan budaya.

Melacak konteks Muhammadiyah periode awal tidak bisa lepas dari situasi yang menjadi keprihatinan Ahmad Dahlan. Ahmad Dahlan adalah turunan ke-12 Maulana Malik Ibrahim, penyebar agama Islam yang dikenal sebagai wali. Lahir dari keluarga ulama di mesjid kesultanan, Ahmad Dahlan menjalankan ibadah haji pertama di usianya yang ke-15. Selain ibadah haji, ia melanjutkan tinggal di Mekkah untuk menimba ilmu bahasa arab dan agama di sana. Pada periode ini, ia berkenalan dengan pemikiran-perkiran Rasyid Ridlo, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Ibn Taimiyyah.

Smentara itu, situasi umat Islam pasca perang Salib dan Daulah Abbasiyah runtuh di tangan bangsa Mughol dan Tartar, terpuruk. Keterpurukan politik ini didukung oleh penutupan pintu ijtihad oleh ulama. Kekalahan di panggung politik membuat umat Islam tidak dapat berbuat banyak karena tidak mendapat kesempatan melakukan terobosan untuk melawan. Pada masa itu, pemikiran tasawuf yang mengajarkan uzlah atau menyepi dari arena politik menjadi ajaran pavorit akibat tersendatnya pintu ijtihad.

Apalagi kemudian, terjadi okupasi bangsa Eropa terhadap negara-negara yang dihuni umat Islam. Okupasi dilakukan dengan cara kekerasan dan tipu muslihat. Okupasi tidak sebatas merebut kekuasan, tetapi juga mengeruk sumber ekonomi. Untuk menstabilkan penjajahan, dalam kasus penjajahan di Indonesia misalnya, pemerintah Hindia Belanda mengirim orang untuk mempelajari Islam. Dengan begitu, mereka tahu ajaran-ajaran mana dan karakterumat Islam macam apa yang bisa dimanfaatkan agar tidak terjadi pemberontakan.

Salah satu cara pemerintah Hindia Belanda, menurut Buya Hamka (1958), menjinakkan umat Islam adalah dengan memberi gelar kebangsawanan kepada raja-raja kecil. Misalnya, Syaikhul Alam. Di samping gelar, mereka mendapat upah sebagai raja kecil atas jasa mereka menekan rakyat untuk kepentingan ekonomi penjajah. Tekanan juga muncul melalui jasa ulama yang dibayar untuk mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan kebutuhan penjajah. Mereka adalah ulama yang mengabdikan dirinya pada kehidupan pragmatis. Sehingga kepekaan terhadap penderitaan umat tidak masuk daftar perenungannya. Di lain pihak, terdapat ulama yang muak dengan intrik dan perkawinan antara penjajah dan ulama pragmatis. Mereka memilih ajaran tasawuf yang lari dari kehidupan dunia untuk mendapat kebahagiaan di akhirat. Ajaran tasawuf yang banyak dianut umat islam saat itu membekukan ajaran Islam. Melalui mereka, Islam tidak bisa melahirkan jalan keluar bagi situasi tersebut.

Dalam tradisi fiqih, umat dibutakan dengan keharusan taqlid atau manut atas apa yang difatwakan ulama. Siapa saja yang keluar dari ajaran fiqih yang ada mendapat cap murtad atau apostasi, bahkan kafir. Alih-alih terbuka atas terobosan tafsir baru, sikap kritis saja adalah perkara tabu. Kritis berarti melawan kiayi dan menguarangi berkah serta kwalat. Di sinilah konteks tahayul menjadi salah satu sumber keterpurukan umat Islam Indonesia. Untuk menyembuhkan penyakit, umat lebih percaya dukun ketimbang pengobatan moderen. Selain mahal, cara-cara dokter dinilai haram sebab ia datang dari Barat dan mereka adalah penjajah.
Di tengah keterpurukan umat Islam, pemerintah Hindia Belanda memberi akses masuk kepada kelompok Kristen dan Katholik. Mereka menyebarkan ajaran dan memperlebar wilayah melalui Zending dan Missie. Cara yang mereka tempuh sistematis dan tertata dengan baik. Selain pendirian rumah ibadah, mereka mendirikan sekolah berbasis agama dan layanan kesehatan. Sementara itu, umat Islam masih saja sibuk dengan perkelahian dalam masalah-masalah khilafiyah. Lebih jauh umat Islam menganggap tata tertib organisasi haram lantaran datang dari Barat.

Oleh karena itu, Ahmad Dahlan memandang bahwa gerakan pembaharuan amat mendesak bagi umat Islam. Namun ia sadar bahwa gerakan pembaharuan tidak bisa dilakukan sendirian. Untuk mengimbangi gerakan kelompok kristen dan katolik, Ahmad Dahlan bersama teman-temannya perlu memikirkan strategi yang sistematis dan orang-orang yang mumpuni menjalankan organisasi dengan efektif dan efisien. Untuk memhami keberhasilan gerakan tajdid Ahmad Dahlan, kita perlu meletakkan Muhammadiyah dalam kerangka teori gerakan sosial.
***


 

Dalam ilmu sosial, belakangan muncul cara baru menjelaskan dinamika sosial, yaitu teori gerakan sosial[1]. Di tengah arus demokratisasi dan keterbukaan politik, muncul berbagai gerakan masyarakat untuk merespons kebijakan negara yang dinilai tidak menguntungkan kelompok yang diwakilinya. Gerakan sosial biasanya terdiri dari sekelompok orang dari berbagai keluarga dengan latar belakang berbeda-beda. Perkumpulan tersebut memiliki agenda politik. Yakni, memperjuangkan hak masyarakat yang diwakilinya yang tidak diberian oleh pemerintah. Meski begitu, gerakan sosial berbeda dari partai politik. Jika partai politik bertujuan merebut kekuasaan dan mengelolanya, gerakan sosial lebih sebagai saluran aspirasi tanpa tujuan hendak menjadi penguasa.

Berdasarkan teori ini, Muhammadiyah generasi awal dan hingga kini dapat dibaca sebagai gerakan sosial. Muhammadiyah bukan organisasi keluarga. Ia terdiri dari perwakilan beberapa keluarga dari berbagai latar belakang yang memiliki keprihatinan yang sama mengenai masa depan umat Islam. Muhammadiyah, pada waktu itu, memiliki agenda politik untuk membuka ruang dan akses pengetahuan agar dapat keluar dari bayang-bayang kolonial Belanda. Lebih dari itu, gerakan ini dapat melahirkan generasi Islam berikutnya yang pintar, sehat dan mandiri. Oleh karena itulah, Muhammdiyah merumuskan sejumlah strategi untuk memperjuangkan agenda tersebut.

Meskipun memiliki sejumlah agenda politik, Muhammadiyah bukan partai politik. Ahmad Dahlan dan kawan-kawannya membentuk Muhammadiyah bukan untuk merebut dan memperoleh kekuasaan dari tangan kolonial. Melalui perserikatan Muhammadiyah, Ahmad Dahlan hendak merebut masa depan umat Islam dari kungkungan sistem sosial, budaya, politik yang tertutup kala itu. Dia bersama kawan-kawannya mengerahkan segala daya upaya untuk kebangkitan umat Islam Indonesia yang masih terbelakang.

Keberhasilan Muhammadiyah sebagai gerakan sosial, waktu itu, didukung oleh tiga unsur. Pertama, struktur kesempatan politik (political opportunity structure). Gerakan sosial hanya akan tumbuh dan berkembang di daerah di mana sistem politik diberi ruang. Di negara yang ruang politik warganya tertutup, gerakan sosial tidak akan tumbuh apalagi berkembang. Gerakan sosial tidak dapat bergerak di negara seperti Arab Saudi. Struktur politik di Arab tidak memberi ruang bagi gerakan yang memperjuangkan hak-hak warganya di luar kehendak pemerintah. Misalnya, sekelompok perempuan memperjuangkan agar perempuan diperbolehkan menyetir sendiri. Nasib mereka kemudian adalah penjara atas nama mengganggu ketertiban umum.

Pada masa-masa akhir masa penjajahannya di Indonesia, Belanda menerapkan sistem politik etis. Di antara politik balas budi tersebut memberi kesempatan kepada warga pribumi, khususnya umat Islam berkumpul dan berserikat. Ahmad Dahlan memanfaatkan kesempatan tersebut mendirikan Muhammadiyah. Pada tahun 1914, dua tahun sejak berdiri, Muhamadiyah mendapat pengakuan dari pemerintah Belanda. Tetapi pengakuan tersebut hanya berlaku untuk wilayah Yogyakarta saja. Belanda, saat itu, khawatir bila organisasi keagamaan semacam Muhammadiyah tumbuh hanya akan mengganggu stabilitas kolonialisasinya. Lebih jauh, pemerintah Belanda mengeluarkan Undang-undang yang membatasi pengajaran agama tidak boleh mengajarkan gagasan tentang kebangkitan Imam Mahdi.

Pengakuan tersebut, bukan berarti pemerintah Belanda memberi kebebasan sama sekali. Mereka khawatir perkumpulan ini berkembang biak. Perkembangan organisasi Islam, disadari pemerintah Belanda, lambat laun bisa melahirkan pemberontakan. Muhammadiyah nyatanya, kala itu, berkembang. Kurang dari 10 tahun, sejumlah daerah menyatakan dukungannya dan membentuk cabang. Untuk mengelabui perkembangan ini di mata Belanda, Ahmad Dahlan mengusulkan kepada sejumlah cabang di luar Jogjakarta menggunakan nama berbeda-beda, meski tujuan dan semangat gerakan sama. Misalnya, pengurus Muhammadiyah di Garut menamai gerakannya dengan nama Ahmadiyah. Sementara Pekalongan menggunakan nama Nurul Islam.
Perkembangan tersebut mendorong Ahmad Dahlan mengajukan permohonan mendirikan cabang Muhammadiyah dengan nama yang sama pada tahun 1922. Perjuangannya tidak sia-sia. Selang beberapa bulan, permohonan tersebut dikabulkan pemerintah Belanda.

Menafaatkan kesempatan politik saja tidak cukup. Gerakan sosial juga perlu memanfaatkan unsur kedua, yaitu mobilisasi sumberdaya (resource mobilization). Kalau unsur pertama lebih menekankan faktor luar, unsur kedua lebih melihat ke dalam. Yakni, sumberdaya apa saja yang dapat dimanfaatkan dalam organisasai untuk membangun dan mengembangkan gerakan. Pertimbangan yang mendasari pemanfaatan sumberdaya tersebut mesti rasional dan strategis. Jika tidak, akan banyak sumberdaya yang terbuang lantaran tidak sesuai dengan kemmpuan dan tempatnya. Menampatkan orang pada posisi yang strategis dan mengalokasikan sumber dana dengan efisien akan mempermudah gerak organisasi. Dengan begitu, agenda gerakan dapat diaktulisasikan dengan efektif.

Ahmad Dahlan adalah seorang pendidik. Ia dipercaya pemerintah Hindia Belanda mengajarkan agama Islam kepada siswa calon pajabat (calon pamongpraja) di OSVIA Magelang dan calon guru di Kweekschool Jatis, Yogyakarta. Hubungan dengan para muridnya tidak ia sia-siakan. Ia memanfaatkan murid-muridnya untuk bersama-sama membangun dan mengembangkan sekolah sendiri. Kala itu, ia mendirikan sekolah dengan nama Hooge School Muhammadiyah, dan selanjutnya, berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah. Kini, sekolah tersebut dikenal dengan nama Muallimin untuk sekolah laki-laki dan Muallimat untuk sekolah perempuan. Inilah sekolah Islam moderen pertama di Indonesia.

Selain pendidik, Ahmad Dahlan juga dikenal sebagai pengusaha batik. Relasinya dengan pengusaha memungkinkan ia mendapat sokongan dana dari mereka. Jiwa enterpreneurship Ahmad Dahlan berpengaruh besar pada Muhammadiyah. Muhammadiyah kemudian dikenal sebagai organisasi mandiri. Yaitu, organisasi yang tidak hanya mengandalkan sumbangan masyarakat, tetapi mengusahakan untuk dapat membiayai diri sendiri. Ahmad Dahlan tahu betul bagaimana memanfaatkan sumberdaya di sekitarnya untuk membangun dan mengembangkan gerakan yang ia rintis.

Dua unsur tersebut sia-sia jika tidak ada ikatan ideasional di antara para aktornya. Unsur ketiga,  framming atau ideologi menjadi amat penting. Dalam gerakan sosial, framming atau unsur ideasional sangat menentukan bagi tumbuh dan berkembangnya sebuah gerakan. Keterbukaan kesempatan politik dan mobilisasi sumberdaya akan berguna jika individu yang tergabung dalam gerakan menyadari makna ia berada di dalamnya. Lebih jauh, gagasan yang mengikat gerakan tersebut juga diartikulasikan dan disebarkan melalui interaksi dalam kehidupan sehari-hari dengan masyarakat untuk mendapat dukungan lebih luas.

Ahmad Dahlan memberi kerangka pada gerakan Muhammadiyah dengan semangat kebangkitan umat Islam di masa mendatang. Keterpurukan umat Islam tidak bisa diatasi tanpa pembaharuan gagasan dan diaktulaisasikan secara kolektif. Inilah semangat dasar pembentukan gerakan Muhammadiyah. Untuk sampai pada tujuan dan semangat tersebut, Ahmad Dahlan, sebagaimana pembaharu pada masanya, mengadopsi gagasan purifikasi akidah. Purifikasi yang diadopsi adalah strategi merebut otoritas penafiran keislaman dari otoritas Islam ortodoks.

Otoritas keislaman orotdoks saat itu sangat dipengaruhi oleh tradisi tasawuf, sebagaimana dijelaskan di bagian awal, cenderung lari dari urusan duniawi. Salah satu doktrin jumud dan pasrah yang menghinggapi masyarakat muslim saat itu adalah mutu qobla antamut, (matilah sebelum mati). Ahmad Dahlan sadar bahwa jika umat tidak lepas dari doktrin tersebut, maka tidak bisa bangkit dan mendapatkan keadilan di dunia. Bagaimana bisa menghadap Allah tanpa pengetahuan, tanpa kesehatan dan di tengah keterbelakangan. Ringkasnya, seruan kembali kepada al-Quran dan Sunnah pertama-tama dilihat sebagai cara untuk melepaskan umat dari kungkungan keterbelakangan cara berpikir lama.

Setelah masyarakat lepas, strategi berikutnya adalah mengisi wajan kosong dengan gagasan dan tafsir baru. Sebab, purifikasi sekalipun tidak bisa melepaskan diri dari aktivitas menafsir. Bahkan tafsir literal sekalipun adalah tafsir. Dalam rangka ini, perenungan Ahmad Dahlan mengenai tauhid sosial dalam konteks ini berkelindan dengan gagasan purifikasi.

Sebagaimana ditunjukkan Dawam, tidak banyak ayat yang menjadi perhatian Ahmad Dahlan. Yang paling terkenal adalah ayat yang terdapat dalam surat al-Ma’un. Melalui surat tersebut, Ahmad Dahlan mengajak warga Muhammadiyah untuk membangun ruang bagi mereka yang tidak beruntung. Misalnya, berdasarkan tafsir tersebut, Muhammadiyah pada masa Ahmad Dahlan memiliki Sekolah, Rumah Sakit, Rumah miskin dan Panti Asuhan sendiri. Ketiga lembaga sosial tersebut mengadopsi sistem barat dan tidak ada di kalangan kelompok Islam lainnya.

Melalui pendidikan, gerakan Muhamamdiyah memberi sumbangan yang amat berati bagi pembangunan umat Islam. Yakni, menyediakan akses pendidikan moderen yang pada masa itu hanya bisa dinikmati oleh anak-anak pejabat. Dengan demikian, pengetahuan agam sekaligus pengetahuan umum dapat dinikmati oleh lebih banyak umat Islam. Akses pengetahuan juga berarti membuka akses pekerjaan dan kesejahteraan sekaligus. Sementara, Rumah sakit membantu mengurangi angka kematian umat Islam akibat penanganan kesehatan yang tidak tepat.

Melalui kacamata teori gerakan sosial, nampak bahwa Ahmad Dahlan merintis gerakan sosial yang moderen dengan perhitungan yang tepat. Ia memanfaatkan ketiga unsur strategi tersebut atas dasar semangat pembaharuan yang mencitakan kebangkitan, kesejahteraan dan keadilan bagi umat Islam. Sebagai strategi, ketiga unsur tersebut bukan tidak mungkin berubah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.
Dengan segala keterbatasan dan tantangan yang dihadapi, Ahmad Dahlan berhasil merumuskan, menggerakkan dan mengembangkan Muhammadiyah. Segala daya, upaya dan pengorbanan harta-beda ia kerahkan atas dasar semangat pembaharuan atau tajdid untuk kemajuan umat. Pembaharuan atau tajdid nampak jelas mendasari upaya mengikis kemunduran umat Islam dari kejumudan dan keterbelakangan umat.
***

Apakah pembaharuan masih melekat pada gerakan Muhammadiyah kontemporer sebagai semangat dasar? Secara normatif, kosa kata tajdid masih muncul dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah pasal Identitas dan daftar prioritas program pada mukhtamat ke-45 lalu. Yakni, identitas Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid. Kemudian, salah satu program prioritas Mukhtamar tersebut adalah “pengembangan tajdid di bidang tarjih dan pemikiran Islam secara intensif dengan menguatkan kembali rumusan-rumusan teologis seperti tauhid sosial, serta gagasan operasional seperti dakwah jamaah, dengan tetap memperhatikan prinsip dasar organisasi dan nilai Islam yang hidup dan menggerakkan.”

Tajdid atau pembaharuan lebih terlihat sebagai beban sejarah ketimbang semangat dasar. Seandainya Ahmad Dahlan tidak mendirikan Muhammadiyah atas dasar tajdid atau pembaharuan, saya tidak yakin kosa kata tersebut masih diketik oleh juru ketik Mukhtamar. Sebab pada tataran praktis, tidak muncul kerangka berpikir sebagai produk dari tajdid tersebut.

Alih-alih tajdid, Muhammadiyah kini seperti telah mengubur hakikat tajdid atau pembaharuan dan menghiasinya sebagai batu nisan. Hakikat tajdid terkubur dan tidak tampak lagi, paling tidak dalam kurun watktu lima tahun terakhir. Misalnya, apa sikap Muhammadiyah terhadap keberadaan Ahmadiyah dalam tata sosial kemasyarakat kita. Muhammadiyah mengutuk penyerangan terhadap kampus Ahmadiyah. Tetapi tidak ada jawaban yang tegas tentang bagaimana seharusnya warga Muhammadiyah bertetangga dengan Ahmadiyah. Yang tegas adalah bahwa Ahmadiyah dinilai sesat. Akibatnya, bolah jadi tidak terjadi penyerangan secara fisik, tetapi membuka peluang diskriminasi kepada warga Ahmadiyah.

Contoh lain, sebagaimana ditulis Dawam, bahwa Muhammadiyah berada di balik fatwa MUI mengenai haramnya liberalisme, sekularisme dan pluralisme. Jika ditilik secara mendalam, ketiga istilah tersebut merupakan prinsip dasar dari demokrasi. Tidak ada makna paten bahwa ketiga istilah tersebut memusuhi agama. Memang diakui bahwa di Prancis, sekularisme yang mereka terapkan sampai pada kebijakan melarang agama di ruang publik. Tetapi, Amerika yang juga merupakan negara sekular mengadopsi agama apapun di ruang publik.

Jika ditilik dari prasyarat keberhasilan gerakan sosial, kesempatan politik dan sumberdaya kini terbuka lebar. Di era reformasi tidak ada hambatan politik apapun bagi Muhammadiyah untuk mengaktulaisasikan terobosan-terobosan baru untuk kehidupan publik yang lebih harmonis dan bermartabat. Sumberdaya manusia dan fasilitas jauh lebih baik daripada pada masa Ahmad Dahlan. Begitu juga dengan semangat pembaharuan sebagai kerangka utama gerakan Muhamamdiyah awal bukan perkara yang tidak disadari oleh elit Muhammadiyah.

Lantas kenapa Muhammadiyah malah menempatkan tajdid sebagai batu nisan belaka. Pertama, terlalu asik dengan isu pemurnian aqidah (purifikasi), ketimbang perubahan. Jika disadari bahwa purifikasi sebagai strategi, maka sudah tidak relevan lagi purifikasi sebagai isu. Sebab Di era teknologi informasi yang sedemikian cepat, konsep tahayul, bid’ah dan khurafat maknanya kian membuncah. Kini untuk tahu satu ajaran murni atau tidak tidak lagi bertanya kepada ulama Muhammadiyah. Mr. Google sudah menyediakan jawaban yang lebih beagam dan luas. Ketimbang melahirkan terobosan dan gagasan baru mengenai bagaimana Islam memberi sumbangan pada kehidupan sosial pada generasi gadget, Muhammadiyah masih asik dengan isu yang orang tidak lagi melirik sebagai sumber jawaban. Bukankah ini situasi yang menjadi sumber keprihatinan Ahmad Dahlan dulu.

Kedua, menikmati kemapanan sebagai organisasi besar. Dalam usianya yang ke 100, tidak kurang dari 10% penduduk Indonesia merasa diri menajdi bagian dari Muhammadiyah. Ratusan bahkan ribuan lembaga pendidikan berdiri di Indonesia yang menamakan diri Muhammadiyah. Begitu juga dengan Universitas, Rumah Sakit, Pom bensin, dan sebagainya. Dari segi aset jumlah pendukung dan ekonomi, Muhammadiyah adalah organisasi mapan. Akibatnya, perubahan radikal, terobosan-terobosan atau “tajdid” dari generasi muda hanya akan merusak tatanan organisasi yang ada. Bukankah kemapanan tanpa perubahan adalah jenis ulama, yang oleh Ahmad Dahlan dulu hendak didobrak.

Ketiga, di balik kemapanan, Muhammadiyah mendapat keuntungan-keuntungan politik. Kembali menjadi lembaga pembaharu, hanya akan mengguncang kepercayaan masyarakat kepada elit Muhammadiyah. Dan bila itu terjadi, klaim organisasi besar tidak bisa “dijual” kepada para politisi baik pusat maupun daerah di era pemilu langsung. Meskipun faktanya, pada pemilu 2009, dukungan elit tidak berbanding lurus dengan dukungan masyarakatnya. Bukankah situasi ini juga tidak dikehendaki oleh Ahmad Dahlan? Alih-alih mendapat keuntungan dari Muhammadiyah, Ahmad Dahlan mengorbankan jiwa, raga dan hartanya untuk membangun dan mengembangkan Muhammadiyah.

Tidakkah pembaharuan tinggal batu nisan yang setiap Mukhtamar dipercantik dalam kata-kata program sembari menguburnya?
***

 

Ahmad Dahlan dikenang bukan hanya lantaran ia pendiri Muhammadiyah, tetapi sebagai ulama yang menghembuskan nafas pembaharuan. Ia kerahkan segala kemampuan untuk masa depan umat Islam lebih baik. Ia mengikis cara berpikir kolot yang tetutup dan menggantinya dengan gagasan baru untuk pengembangan pengetahuan umat Islam. Ia ekspresikan gagsannya tersebut dalam bantuk organisasi yang mandiri dan terbuka. Muhammdiyah namanya. Melalui organisasi tersebut, ia kembangkan sistem pendidikan moderen. Sistem pendidikan yang prinsip efektif dan efisiensinya mengadopsi sistem Barat untuk mengimbangai gerakan Kristen dan katholik yang sedari awal sistematis.

Namun begitu, penelusuran tersebut kemudian menjadi semacam ziarah. Sebab, kini semangat pembaharuan tinggal batu nisan. Semangat dasar pembaharuan terkubur oleh purifikasi yang menjadi grand desain Muhammadiyah yang kini dipilih. Meletakkan purifikasi sebagai dasar hanya melahirkan cara berpikir yang tertutup. dan, Muhamamdiyah tidak lagi menajdi pilihan bagi kemajuan Umat kelak.

Menggali kembali, apalagi membangkitkan semangat pembaharuan di tubuh Muhammadiyah dari kuburnya barangkali sulit. Pertarungan yang harus dilewati pembaharu lebih sulit dari apa yang dialami oleh Ahmad Dahlan pada masanya. Posisi-posisi strategis ditempati oleh orang yang lebih peduli dengan purifikasi ketimbang pembaharuan. Akan tetapi bukan berarti tidak bisa. Pembaharuan melalui struktur organisasi masih terbuka.  Kalau tidak tembus, gerakan kultural melanjutkan cita-cita dan semangat dasar Muhamamdiyah tidak pernah padam. Generasi muda Muhammadiyah yang berdiri atas dasar semangat tajdid terus bermunculan dan tidak akan hilang. Sebab, Ahmad Dahlan menancapkan semangat tajdid begitu kuat.
Selamat melaksanakan Mukhtamar. Selamat membangkitkan tajdid dari kuburnya!!

[Tulisan ini dimuat dalam buku Satu Abad Muhammadiyah: Mengkaji Ulang Arah Pembaharuan (2010), Dawam Rahardjo, dkk.]

[1] Teori Gerakan sosial terutama dikembangkan oleh Charles Tilly. Quintan Wiktorowicz, ilmuan sosial yang mengadopsi pendekatan tersebut untuk memahami gerakan sosial Islam. Lebih lanjut lihat Wiktorowicz, Quintan (ed.) (2004). Islamic Activism: A Social Movement Thoery Approach. Indiana University Pers.

Sumber: acenghusni.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar