Jumat, 26 November 2010

Peran Soekarno Dalam Perpecahan Perpolitikan Islam

Sungguh mengherankan, umat Islam pada masa lampau mampu bersatu padu dan sehati dalam memperjuangkan kemerdekaan. Namun umat Islam hari ini, justru mengisi kemerdekaan dengan perpecahan antar golongan dan konflik kepentingan…”

 


























PENDAHULUAN

Setelah partai politik di Indonesia dibekukan pada masa pendudukan Jepang, maka melalui Maklumat Pemerintah 3 November 1945 telah dibangkitkan kembali.1 Maklumat tersebut mendapat sambutan secara meluas oleh kalangan tokoh politik, tidak terkecuali tokoh politik muslim. Bahkan sambutan tersebut meluas pada kalangan, yang sebelumnya termasuk kalangan yang masih awam dalam perpolitikan, turut mendirikan partai.

Selanjutnya eforia politik ini terhenti dengan adanya Agresi Militer Belanda II yang juga dikenal sebagai clash II. Tenaga rakyat lebih banyak disalurkan dalam perang melawan Belanda. Setelah Belanda dan Sekutu hengkang dari bumi Indonesia, pada akhir 1949 negara Indonesia memilih sistem pemerintahan parlementer yang beranggotakan wakil-wakil daerah, anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, dan anggota-anggota yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno berdasarkan perkiraan kekuatan partai politik. Oleh karena itu terdapat beberapa partai politik mendapattkan jumlah kursi cukup signifikan disebabkan klaim massa yang cukup besar.2

Pada masa perjuangan kemerdekaan umat Islam telah bersatu padu memerdekakan bumi Indonesia. Kemudian pada masa kemerdekaan mereka pun bahu membahu mengisinya. Perjuangan politik Islam pada masa awal masih menunjukkan persatuan yang kokoh. Namun menjadi bercerai berai pasca pecahnya Masyumi. Penyebab mayor perpecahan tersebut telah banyak diketahui khalayak dalam berbagai media publikasi berupa buku, jurnal, dan media terkait yang sepadan lainnya. Makalah ini akan lebih menitik beratkan kepada permasalahan minor, yaitu penelusuran peran Soekarno dalam perpecahan perpolitikan Islam di Indonesia. Permasalahan minor bukan berarti diabaikan layaknya bukan masalah. Bahkan bukannya tidak mungkin justru permasalahan minorlah yang sebenarnya merupakan akar permasalahan sesungguhnya.


SOEKARNO DAN PERPOLITIKAN ISLAM

Dalam pandangan politik Soekarno, hanya ada tiga aliran politik yang kuat di Indonesia dan ketiga-tiganya memiliki sejumlah kesamaan. Dengan demikian kekuasaan hanya akan diperoleh dengan mengendalikan ketiga aliran tersebut. Obsesi Soekarno tentang sebuah Negara merupakan sinkretisme antara Nasionalisme, Marxisme, dan Islamisme. Pertama aliran Nasionalisme telah dipegang, khususnya yang bernaung dibawah Partai Nasional Indonesia (PNI), yang menghormati Soekarno sebagai salah satu sesepuhnya.

Pada saat Partai Komunis Indonesia (PKI) dibawah kepemimpinan Muso berusaha menggulingkan kekuasaan pemerintahan,3 maka Soekarno dengan lantang, dalam salah satu siaran orasinya di radio pada tanggal 19 Desember 1948, berusaha untuk mematahkan kekuatan Muso dengan membujuk rakyat untuk kembali setia terhadap pemerintahannya dengan mengingatkan terhadap jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.4 Dengan melakukan manuver politik demikian maka sudah tentu Soekarno mendapatkan dukungan secara meluas baik dari rakyat luas maupun dari kalangan partai Islam. Sebagian besar rakyat masih memandang nama Soekarno sebagai bapak kemerdekaan sedangkan dari kalangan Partai Islam memang sejak semula telah menjadi ganjalan bagi Partai Komunis sehingga dengan demikian sangat mudah dirangkul oleh Soekarno.

 



















Tentu dalam pandangan Soekarno, dirinya akan tetap bisa berkuasa apabila terjadi balance of power. Dengan demikian maksud Soekarno tentu bukan untuk membubarkan PKI namun lebih kepada upaya untuk melemahkan pengaruh politiknya saja. Setelah gagal melakukan coop d’etat, PKI kemudian mengubah strategi. Soekarno dalam pandangan PKI masih merupakan tokoh yang memiliki wibawa politik cukup besar di mata rakyat. Maka mau tidak mau mereka harus mengubah haluan dan memasukkan Soekarno dalam mensukseskan program partainya. Dengan demikian terjalin kedekatan antara Soekarno dan PKI.

Dalam tataran selanjutnya, Soekarno melihat bahwa partai politik Islam, Masyumi, merupakan sandungan sebab sejak masa Revolusi partai tersebut telah tumbuh besar menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Hingga awal tahun 1950 Masyumi masih merupakan kekuatan yang dominan di parlemen, oleh karena Soekarno pernah menunjuk formatur kabinet dari Masyumi sebanyak dua kali berturut-turut. Salah satu peristiwa penyerahan formartur kepada Masyumi sangat mungkin justru merupakan upaya memecah kekuatan dalam tubuh Masyumi. Dalam salah satu dari ketiga penyerahan pemilihan formatur kepada Masyumi tersebut, Soekarno memilih Sukiman sebagai formatur tanpa meminta pesetujuan Natsir sebagai ketua eksekutif Masyumi. Tindakan Sukiman tetap melaksanakan tugas sebagai formatur tanpa persetujuan eksekutif partai Masyumi tersebut dianggap sebagai tindakan indispliner dalam kepartaian. Peristiwa ini menunjukkan bahwa dalam tubuh Masyumi sendiri terdiri dari kelompok-kelompok.5 Pada saat pemerintahan berada di bawah Masyumi itulah maka Soekarno melihat kelemahan intern Masyumi terutama berkaitan dengan perebutan pengaruh jika tidak bisa dikatakan sebagai kekuasaan antara Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.6

Dalam kongres Masyumi yang berlangsung pada akhir tahun 1949 terjadi perombakan kedudukan Majelis Syura, yang berisi para kyai atau ulama, yang sebelumnya merupakan majlis yang memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan Masyumi menjadi setingkat dengan badan penasehat saja. Dengan adanya perubahan struktur tersebut maka ulama dari kalangan NU merasa posisinya tergeser sebab arahan kerja dari badan yang terbentuk selanjutnya tersebut kurang mampu mempengaruhi kebijakan partai.

Keresahan NU semakin memuncak ketika beredar isu bahwa jabatan Menteri Agama akan diserahkan kepada Muhammadiyah. KH. Wahab Hasbullah, Rais ‘Am Majlis Syuriah NU, menuntut agar kursi menteri agama tetap diserahkan kepada NU. Tuntutan KH. Wahab Hasbullah antara lain adalah agar perdana menteri tetap dipercayakan kepada Sukiman, sedangkan Abu Hanifah dicalonkan sebagai Menteri Luar Negeri, Zainul Arifin sebagi Menteri pertahanan, dan Wachid Hasyim menduduki jabatan sebagai menteri agama. Tuntutan NU tersebut jelas menggoyahkan kedudukan formatur Sidik dan Prawoto yang telah berhasil menyelesaikan penyusunan programnya.

Sementara itu dari kalangan Muhammadiyah juga telah mengajukan Fakih Usman sebagi menteri agama dan pada giliran selanjutnya organisasi massa ini menolak secara tegas tuntutan NU. Alasan Muhammadiyah menolak usulan KH Wahab Hasbullah disebabkan NU telah memegang jabatan kementrian agama selama tiga kali berturut-turut, maka perlu adanya penyegaran kembali. Argumentasi Muhammadiyah tersebut ditampik balik oleh NU dengan menyatakan bahwa refreshing kabinet hanya akan menghambat upaya penanaman pengaruh dan dakwah Islam dalam birokrasi kementrian agama.

 

















Kemungkinan besar NU pada saat itu merasa bahwa jika kementrian Agam jatuh ke tangan Muhammadiyah maka massa NU yang cukup besar menyokong Masyumi hanya akan menjadi ‘sapi perah’ bagi kekuasaan yang didominasi oleh orang-orang Muhammadiyah. Maka kemudian KH. Wahab Hasbullah juga mengajukan calon lain untuk menduduki jabatan sebagi Menteri Agama yaitu KH. Masykur, KH. Faturrachman, H. Mustari, dan M. Machien.7 Namun pada akhirnya kementian agama tetap jatuh ke tangan Muhammadiyah sehingga pada giliran selanjutnya terbetik isu keluarnya NU dari tubuh Masyumi. Sampai kemudian dalam kongres ke 19 NU, kejelasan sikap NU telah nyata bahwa organisasi massa tersebut menyatakan keluar dari tubuh Masyumi.

Pada Kongres PKI V tahun 1954, PKI telah merumuskan strategi baru perjuangannya untuk “meng-Indonesiakan Marxisme-Leninisme” dengan menempuh taktik kalsi berupa “front persatuan nasional” yaitu bekerja sama dengan golongan-golongan non-komunis dan mendukung kabinet nasional walaupun dianggap sebagai “borjuasi nasional”.8 Strategi ini mirip jika tidak dapat dikatakan mengadopsi strategi terbaru Uni Sovyet yang berusaha menggandeng Negara-negara yang baru merdeka di Asia,9 guna mensukseskan agenda penyebaran paham negaranya. Untuk menghadapi Pemilu 1955, PKI bahkan bersedia menggandeng Partai NU yang merupakan pecahan dari Masyumi.10

Langkah awal yang dilakukan oleh PKI tersebut terkait dengan agenda politiknya untuk mencegah kemungkinan adanya kerjasama antara Masyumi (dan pecahannya) dengan PNI. Maka kemudian PKI mengeluarkan statemen bahwa Masyumi merupakan golongan borjuis besar yang melayani kepentingan kapitalis luar negeri dan mengemukakan adanya hubungan yang erat antara Masyumi dengan gerakan Darul Islam di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Aceh.11 Dalam percaturan politik pada masa ini, PNI di bawah kepemimpinan Sidik Djojosukarto lebih memilih bekerja sama dengan PKI dibandingkan dengan Masyumi. Dapat ditelusur bahwa alasan utamanya tentu karena Masyumi lebih merupakan saingan utama dibandingkan PKI dalam Pemilu 1955 dan pengaruh Masyumi yang agamis akan dinetralisasi dan mendapatkan lawan PKI yang berideologi komunis. Terbukti pula salah satu akibat pertarungan politis tersebut telah memecah kelompok-kelompok dalam tubuh Masyumi, dengan ditandai oleh keluarnya NU sebagi ormas utama dalam partai berhaluan Islam tersebut.


KALEIDOSKOP SUARA UMAT ISLAM

Berikut ini data-data pencapaian dan penguasaan perpolitikan Indonesia yang dapat memberikan gambaran tentang sejauh mana muslim mempengaruhi sejarah bangsa :12


Data Perolehan Suara dalam Pemilu 1955
Nama Partai
Perolehan Suara
Persentase
Kursi Parlemen
PNI
8.434.653
22,3 %
57
Masyumi
7.903.886
20,9 %
57
NU
6.955.141
18,4 %
45
PKI
6.176.913
16,4 %
39
Lain-lain
8.314.705
22,0 %
39
Total
37.785.298
100 %
257


Perolehan Kursi dalam Pemilu Pada Masa Orde Baru
Tahun
Golkar
PPP
PDI
ABRI
Total
Jml
%
Jml
%
Jml
%
Jml
%
Jml
%
1971
236
51,30
94
20,44
30
6,52
100
21,74
460
100
1977
232
50,43
99
21,52
29
6,31
100
21,74
460
100
1982
246
53,47
94
20,44
24
5,21
96
20,88
460
100
1987
299
59,80
61
12,20
40
8,00
100
20,00
500
100
1992
282
56,40
62
12,40
56
11,20
100
20,00
500
100
1997
325
65,00
89
17,80
11
2,20
75
15,00
500
100



Suara Partai Berbasis Massa Islam Dalam Pemilu 1999
No
Partai
Jumlah Suara
% dari Total Suara Sah
Kursi di DPR
% dari Total Kursi di DPR
1 P. Kebangkitan Bangsa
13.336.823
12,62
51
10,2
2 P. Persatuan Pemb.
11.329.905
10,72
58
11,6
3 P. Amanat Nasional
7.448.956
7,12
34
6,8
4 P. Bulan Bintang
2.069.708
1,94
13
2,6
5 P. Keadilan
1.436.563
1,36
7
1,4
6 P. Nahdlatul Ummah
679.178
0,64
5
1,0
7 Lain-lain
3.417.592
3,21
4
0,8
TOTAL
39.758.725
37,61
172
34,4


PENUTUP

Dengan demikian, Soekarno memiliki peran secara tidak langsung terkait dengan perpecahan dalam tubuh partai politik Islam. Peran tersebut lebih didorong oleh upaya dan kepentingan politiknya, termasuk dalam rangka mempertahankan kekuasaan. Sementara telah terjadi friksi dalam tubuh umat Islam sehingga kondisi demikian mampu ditangkap dan dimanfaatkan guna melemahkannya.
Sungguh mengherankan, umat Islam mampu bersatu padu dan sehati dalam memperjuangkan tegaknya kemerdekaan dan cita-cita keadilan serta kemandirian dalam berbangsa dan bernegara. Namun mereka kini justru bercerai berai dalam mengisinya. Perpolitikan Islam lebih banyak dilanda konflik internal yang memakan sumber daya energi sementara hasil yang diharapkan masih jauh dari jangkauan.

-----------------------
1. Prof. DR. Jimly Asshiddiqie,. SH. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi. (Konstitusi Press, Jakarta, 2005). Hal. 174
2. Prof. DR. Jimly Asshiddiqie,. SH. Ibid. Hal. 174
3. PKI sempat melakukan pemberontakan di Madiun pada bulan September 1948. Lihat Dahlan Ranuwihardjo, SH. 50 Tahun Sejarah Perjuangan HMI Turut Menegakkan dan Membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pengantar Ramli HM Yusuf (editor). 50 Tahun HMI Mengabdi Republik. (Lembaga Studi Pembangunan Indonesia, Jakarta, 1997). Hal. 3
4. Pidato Soekarno yang disiarkan RRI adalah sebagai berikut : “ Rakyatku yang tercinta, atas nama perjuangana kemerdkaan Indonesia saya berseru kepada saudara-saudara untuk membuat pilihan antara mengikuti Muso dengan Partai Komunisnya yang akan menghalangi kemerdekaan Indonesia, atau mengikuti Soekarno Hatta, yang dengan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa akan memimpin Republik ini menjadi Indonesia merdeka yang tidak tunduk pada negara mana pun … ”. Lihat Abdul Razak. Apakah Soekarno Berperan dalam perpecahan Masyumi ?. Dalam Al Muslimun No. 355 Th. XXVIII/ 1998. Hal. 44-45
5. Reaksi Natsir atas peristiwa tersebut digambarkan oleh Herbert Feith sebagai berikut : “ Hanya beberapa jam sebelum formatur menyampaikan susunan cabinet kepada Presiden, Dewan Eksekutif Masyumi (Pimpinan Natsir) mengeluarkan pendapat bahwa tindakan Sukiman sebagai formateur tidak atas nama Masyumi ”. Lihat Cosmas Batubara. Sejarah Lahirnya Orde Baru, Hasil dan Tantangannya. (Yayasan Prahita, Jakarta, 1986). Hal. 4
6. Abdul Razak. Ibid. Hal. 45
7. Kemungkinan besar hal ini diakibatkan calon sebelumnya yang diajukan oleh KH. Wahab Hasbullah, yaitu KH. Wahid Hasyim, pernah tersandung dengan kasus kegagalan pemberangkatan haji akibat korupsi dalam tubuh Kementerian Agama. Korupsi tersebut sebenarnya merupakan kesalahan dalam sistem kabinet parlementer, namun sebagai menteri agama yang mengurusi keberangkatan haji beliau ikut tersangkut dengan perkara tersebut.
8. Lihat Pusat Sejarah dan tradisi ABRI. Bahaya Laten Komunisme di Indonesia. Jilid III. (Markas Besar angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pusat Sejarah ABRI, Jakarta, 1995). Hal. 39
9. Kolonel D. Soegondo. Komunisme di Indonesia. (Lembaga Pertahanan Nasional, Jakarta, 1981). Hal. 20
10. Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI. Ibid. Hal. 42
11. Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI. Ibid. Hal. 43
12. Data tersebut berasal dari tulisan Kamarudin. Siklus Kekalahan Partai Islam. Dalam SABILI Edisi Khusus. Sejarah Emas Muslim Indonesia. No. 9 Th. X. (Bina Media Sabili, Jakarta, 2003). Hal. 93

Penulis: Susiyanto (Mahasiswa Pasca Sarjana Peradaban Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Dipublikasikan ulang seizin penulis dari www.susiyanto.wordpress.com


Sumber: www.muslimdaily.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar