Sabtu, 27 November 2010

Hatta Kecipratan Kencing Soekarno

Iwan Kamah - Jakarta


Kalau menyebut Soekarno, pasti mutlak akan menambahkan dengan kata Hatta dibelakangnya. Sebaliknya pun begitu. Keduanya seperti senyawa. “Soul mate”, kata orang menjuluki. Soekarno tanpa Hatta, seperti ban tanpa mobil. Mobil tanpa ban, ya ‘gak ada gunanya juga. Seperti Hatta tanpa Soekarno. Begitu senyawanya hubungan kedua orang itu, hingga menjadi satu individu: SOEKARNO HATTA.


‘Dikenali’ 

Tak banyak diantara kita yang ingin tahu, kapan sebenarnya Mohammad Hatta bertemu Soekarno pertama kali. Mereka diperkenalkan bukan dalam sebuah sekolah/institusi atau ketemu di jalan. Atau pun ngobrol kebetulan lagi antri, sambil tukar kartu nama atau pun saling barter nomor telepon. Mereka bertemu secara maya melalui argumentasi perang kata dalam berbagai tulisan. Meski beda watak dan pembawaan, ekspresi mereka sama: anti penindasan. Bukan kemerdekaan! Lho koq?  Soal ini mereka beda mata angin.

“Pendidikan rakyat dulu, baru merdeka”, pendapat Hatta. “Oh tidak! Merdeka dulu baru pendidikan”, Soekarno ngotot. “Jalan Bung (Hatta) akan tercapai kalau hari kiamat”, tegas Soekarno memberi alasan. Analoginya, kabur dulu dari penjara. Masalah pakai baju atau tidak, mau lari kemana, setelah itu makan apa, itu urusan no. 17. Yang penting, kabur dulu! Merdeka. Keduanya sama-sama benar. Yang salah siapa? Ya kita sekarang! Kenapa nggak mau pinter-pinter meski sudah merdeka dibebaskan Soekarno Hatta sebagai bangsa,



Hatta bertemu pertama kalinya dengan manusia yang bernama Soekarno di Bandung. Dia diantar oleh seorang nasionalis yang juga kawan Soekarno pada tahun 1933. Masa itu mereka lagi getol-getolnya melawan penindasan dengan ketajaman berpikir. Pertemuan itu membuat mereka berada dalam satu perahu, tapi lain pemandangan. Hatta memandang ke kanan, Soekarno ke kiri, tapi perahu tetap ke depan. Ke arah kebebasan bangsa.

Soekarno sangat memerlukan Hatta dan begitu sebaliknya. Waktu pulang dari pembuangan di Bengkulu tahun 1942 (sebelumnya di Flores), tak ada yang menjemput Soekarno di Pasar Ikan, sebuah pelabuhan kapal kayu di Jakarta. Dengan pertolongan seorang nelayan, Soekarno minta dipanggilkan Anwar Tjokroaminoto, yang memang bekas iparnya. Anwar itu saudara kandung Utari, istri pertama Soekarno, yang juga putri dari pejuang Haji Oemar Said Tjokroamninoto (Maia Ahmad Dhani juga cicitnya Oemar Tjokroaminoto, tapi saya ‘gak tahu dari anak Pak Tjokro yang mana). Lalu Soekarno juga minta dipanggilkan Mr. Sartono, pengacara yang pernah membelanya melawan penguasa kolonial di pengadilan yang tak adil di Bandung beberapa tahun lalu. Tapi ada satu orang lagi yang dimohon Soekarno untuk datang menjemput, ya Hatta.
Bahkan ketika Jumat pagi hari tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno yang sedang demam meriang sambil  tidur-tiduran di kamarnya, hanya menunggu Hatta untuk membacakan naskah proklamasi. Untungnya Hatta orang yang super super super disiplin, jadi dia datang tepat waktu. ‘Gak kebayang kalau Hatta molor dan baru datang pukul 1 siang. Alasan ngantuk atau ketiduran misalnya (saat itu bulan puasa dan Hatta pulang pagi abis begadang menyusun naskah proklamasi). Kalo Hatta telat datang, detik-detik bersejarah proklamasi kita mungkin bukan pukul 10, tapi pukul 1 siang, sesuai datangnya Hatta. Begitu pentingnya Hatta bagi Soekarno.




‘Dikencingi’ 

Hari Rabu, 8 Agustus 1945, dr. Soeharto, dokter kesayangan Soekarno, mendapat perintah dari majikannya. “To, besok kita pergi ke luar negeri. Sama Bung Hatta!”, ajak Soekarno. Sang dokter panik dan ketakutan. Hari gini ke luar negeri? Pikir dr. Soeharto yang gundah dengan ajakan yang penuh bahaya, di saat Indonesia masih menjadi teater perang antara Jepang dan Sekutu.

Kemana”, tanya dokter penasaran.

“Rahasia. Pokoknya ke luar negeri”, jawab Soekarno singkat. 

Esoknya, Soekarno, bersama Hatta dan KRT Radjiman Wediodiningrat (saat itu tokoh senior dalam gerakan kemerdekaan), juga dr. Soeharto pergi menemui Marsekal Hisaichi Terauchi, panglima tentara Jepang yang menguasai Asia Tenggara. Mereka berempat ke Dalat, markas Terauchi, di pinggiran kota Saigon (sekarang Ho Chi Minh City), Vietnam, dalam rangka pembentukan sebuah badan yang mempersiapan kemerdekaan.
Tanggal 13 Agustus 1945, mereka kembali ke Jakarta dengan mampir ke Singapura terdahulu, menggunakan sebuah pesawat pembom bermesin ganda. Tanpa kursi. Tanpa toilet. Yang ada cuma kursi untuk tiga orang di belakang pilot. Dinding pesawat pun bolong-bolong bekas terkena peluru tentara Sekutu, sehingga bisa membekukan orang bila sedang di udara.

Nah, dalam perjalanan ke Singapura itu, Soekarno kebelet mau pipis. Wah, gawat! Gak ada toilet atau apa saja dech yang bisa dijadikan “toilet darurat”. Terpaksa, Soekarno melepas hajat kecilnya yang gak bisa ditahan lagi, dekat lubang yang bolong di bagian belakang pesawat. Angin pun sedang bertiup kencang di atas ketinggian udara. Byuuuur… air seni Soekarno nyiprat kemana-mana, dan butir-butiran halus air seni itu tampias terkena tiupan angin kencang yang mengenai Hatta dan penumpang lain.


‘Dinikahkan’ 

Kalau saja Hatta itu perempuan atau sebaliknya Soekarno seorang perempuan, mungkin mereka berpacaran dan menikah. Sebuah perumpamaan untuk melukiskan hubungan yang mesra seirama tapi tetap berbeda. Ya beda, dua orang yang berasal dari kultur sosial jauh saling berseberangan. Soekarno luwes (kalo mau ‘gak dibilang genit) sama wanita. Hatta sebaliknya, kaku dan bisa merah mukanya bila berhadapan dengan wanita, apalagi yang manis sebaya.




Saking kakunya dengan lawan jenis, Hatta yang tersita pikiran cemerlangnya untuk kebebasan Indonesia, lupa dengan perempuan. Mikirin pacaran intens saja tidak, apalagi berumah tangga. “Nanti saja dech kalau Indonesia sudah merdeka”, kata Hatta kalau ditanya kapan menikah.

Akhirnya Indonesia merdeka juga. Tanda-tanda Hatta mau melirik perempuan belum nampak. Sekitar sebulan setelah dia dan Soekarno memerdekakan Indonesia, Soekarno kepikiran juga dengan partnernya, yang akhirnya bersedia menepati janji kawinnya. Hatta sudah punya incaran gadis, tapi kurang berani untuk melamar.

Pada menjelang tengah malam di kota Bandung yang diselimuti udara dingin, Soekarno kebetulan sedang di kota itu. Jarum jam menunjuk angka 11. Artinya sudah larut untuk ukuran Bandung kala itu. Orang pun sudah siap bermimpi pulas di tempat tidur. Tiba-tiba saja, Soekarno mengajak sahabat karibnya dr. Suharto, untuk pergi ke rumah keluarga Abdul Rahim. Rumahnya kalo sekarang di Jalan Pajajaran no 11.

Malam begini bertamu?”, tanya sang dokter keheranan.

“’Gak apa-apa. Mereka kenalan lama saya sejak dulu”, jawab Soekarno enteng. Dokter Suharto masih penasaran diajak bertamu larut malam. Pasti ganggu tuan rumah, pikirnya Apalagi saat itu tentara Jepang masih berkeliaran yang mencekam warga. Sepertinya ada yang kepepet untuk dibicarakan Soekarno dengan pasutri Abdul Rahim.

“Tentang Bung Hatta”, akhirnya Soekarno menjelaskan alasannya bertamu malam-malam ke rumah orang. Waktu Hatta bersama Soekarno meninjau Instituut Pasteur di Bandung, Hatta kesemsem dengan seorang gadis yang bekerja disitu. Gadis itu setelah diselidiki Soekarno, ternyata anaknya pasutri Abdul Rahim. Namanya Rahmi. “Ya, Hatta memilih anakku sendiri”, ujar Soekarno yang sudah mengental kenal lama orang tua Rahmi.

Begitu Soekarno mengetuk pintu dan berdiri di depan rumah, Ibu Rahim (ibunda Rahmi) segera keluar. Prat! Soekarno didamprat tuan rumah! Iyalah, malam-malam koq ganggu  orang mau tidur, apalagi orang Bandung masih ngeri kalo-kalo yang datang itu tentara Jepang. Maklum, Indonesia baru sebulan merdeka. Jadilah Ibu Abdul Rahim, sebagai warga negara Indonesia pertama yang mendamprat Presiden Republik Indonesia! Kebetulan sekali saya sekantor dengan cicitnya yang cantik dari Ibu Rahim, si “wanita pemberani’ itu.





Setelah memeluk Ibu Rahim, Soekarno menjelaskan kedatangannya. “Saya melamar Rahmi untuk Hatta”, katanya. Akhirnya Soekarno dipersilahkan menemui yang bersangkutan di kamarnya. Soekarno berbincang serius secara singkat dengan Rahmi. Namun sebelum Soekarno masuk ke kamar, adik kandung Rahmi, Titi, mencegahnya. “Jangan mau, dia (Hatta) jauh lebih tua dari kamu”. Hatta beda usia 24 tahun dengan Rahmi. Titi kelak jadi istri Soebijakto, KSAL 1974-1978 dan juga ibunda dari koreografer Jay Soebijakto.

Sebelum pamit, Soekarno memeluk hangat Rahmi dan Titi, dua gadis yang sudah seperti anaknya sendiri.
Bagai kisah HC Andersen, akhirnya Hatta menikahi Rahmi bulan November 1945 di vila Hatta yang sejuk di Megamendung, Jawa Barat, hanya disaksikan keluarga dekat, dan sahabat sejatinya, Bung Karno dan Fatmawati. Nah, untuk pertama kalinya Presiden RI menjadi mat comblang. “Aku adalah satu-satunya kepala negara yang juga menjadi calo dalam mengatur perkawinan”, kata Soekarno yang juga menjodohkan Ir. Rooseno, teman kuliahnya yang mendapat julukan Bapak Beton Indonesia, serta serentetan daftar orang yang ingin menunggu dijodohkannya.


‘Dijauhi’ 

Hatta dan Soekarno seperti koin bermuka ganda. Satu tapi beda. Kenyataan ini sudah diketahui publik dan Soekarno sendiri sering menggembar-gemborkan pertentangan antara mereka. Tapi bukan perbedaan sebagai sahabat dan pribadi. “Hatta sering tidak seirama denganku”, kata Soekarno menilai sahabat kentalnya. Perbedaan dalam pandangan politik itu, kian lama menggunung dan mudah dilihat orang. Hasilnya, Hatta tak mau lagi mendampingi Soekarno menjadi nakhoda Indonesia. Hatta mundur sebagai wakil presiden pada akhir tahun 1956. Padahal meski berbeda, Hatta menyukai Soekarno. Buktinya, ketika ibukota Indonesia pindah ke Jogjakarta, Hatta lebih senang ikut Soekarno dan membiarkan PM Sutan Sjahrir sendirian di Jakarta. Padahal Sjahrir dan Hatta banyak se-ide, bahkan se-kampung.

Sejak Hatta mundur, Soekarno berjalan sendirian. Tak ada lagi orang sebagai “second opinion-nya” Soekarno.  Dan ini secara perlahan mengantarkan Soekarno ke ujung jalan akhir kekuasaannya. Hatta makin menjauhi Soekarno dan menghiasi keretakan itu dengan tulisan dan opini yang kritis pedas kepada sahabatnya. Kritik santun untuk menuntun sahabatnya agar berjalan sesuai idealisme yang pernah mereka bangun bersama. Pernah sebuah majalah keagamaan dilarang terbit Soekarno, karena memuat tulisan Hatta yang mengkritik Soekarno. Sejak itu dwitunggal menjadi dwitanggal. Berakhirlah Dynamic-Duo yang pernah dimiliki Indonesia. Tapi sekali lagi, mereka tidak berpisah sebagai sahabat. Sebagai pribadi mereka tetap berkawan akrab. Dengan sangat elegan, mereka berdua bisa membedakan wilayah pribadi dan wilayah politik. Beda jauuuuh dengan kita sekarang.


‘Dihormati’ 

Begitu hormatnya Soekarno dengan Hatta, dia memerintahkan pengawal kepresidenan untuk tetap menjaga keselamatan keluarga Hatta, meski tidak lagi sebagai wakil presiden. “Jaga Bung Hatta baik-baik”, pesan Soekarno kepada kepala pengawalnya, Mangil Martowidjojom setelah Hatta mundur. 




Bila Hatta sakit, Soekarno sigap membesuknya dan kadang bercengkrama di rumah Hatta di Jalan Diponegoro, yang cuma 25 meter jaraknya dari rel kereta api. Bahkan sering Soekarno pamit dulu ke Hatta, bila ingin berkunjung ke luar negeri. Saling hormat kedua orang ini, menular sampai ke keluarga. Kedua keluarga mereka sudah seperti sedarah, padahal belum ada perkawinan antara anggota keluarga mereka.

Ketika Soekarno sudah tak berdaya, Hatta-lah yang mewakili keluarga Soekarno untuk urusan keluarga, seperti pernikahan. Hatta juga yang membela mati-matian Soekarno yang sudah tiada, bila ada pemutarbalikan sejarah yang sering dilakukan ‘sejarawan pesanan’, yang mencoba ‘membunuh’ atau menghilangkan peran Soekarno dalam drama sejarah Indonesia. Suatu hari, pernah Hatta menulis kesaksian alibi sejarah di atas kertas bermaterai, untuk membela sahabatnya itu. Hatta sosok tegas yang lembut super sopan. “Bung Hatta orangnya tenang tapi menghanyutkan”, komentar Guntur tentang sahabat ayahnya itu.

Julukan yang mereka dapat pun aneh dan unik: PROKLAMATOR. Tidak pernah akan ada orang Indonesia dapat predikat itu. Pahlawan nasional bisa membludak. Presiden dan wakil presiden akan membengkak jumlahnya. Tapi proklamator, hanya punya SOEKARNO dan HATTA (ada juga sich ‘proklamator lain’ di Indonesia, seperti upaya separatis kemerdekaan di beberapa daerah Indonesia).  Lucunya, gelar itu baru diberikan secara resmi oleh pemerintah, 41 tahun setelah Indonesia merdeka. “It’s too late”, kata orang. “Ngapain aja pemerintah semala ini?”, begitu segelintir komentar.


Hatta dan Soekarno ibarat malam dan siang. Beda, Tapi dua-duanya berguna. Kita tak bisa hidup tanpa tidur di malam senyap. Namun tak mungkin pula menjalani seluruh hidup hanya dengan tidur-tiduran di kegelapan hari.

Sebagai sahabat sejati, ada awal bagi Soekarno dan Hatta membangunnya. Tapi persahabatan sejati mereka tidak akan pernah berakhir. Tidak akan pernah! Sampai kapanpun… Mereka SATU. 

________________________________________________________
CATATAN Z : FOTO-FOTO DOK HARIAN KOMPAS DAN GETTY Images
MODERATOR - Penggagas KoKi : ZEVERINA

Sumber: community.kompas.com

1 komentar:

  1. Oh, Soekarno, Bung betul-betul "nakara" ya, [dialek teman saya dari Jepang, maksudnya "nakal ya!" Kasihan Bung Hatta, bau ah...

    Sekarang sesudah setengah abad, baru saya ingat Pak M. Natsir bercerita pribadi kepada saya, mengutip kalimat Pak Hatta dalam Bahasa Minang, "Soekarno ko latah!"

    --Nyit Sungut
    Di Seberang Laut March 2, 2011

    BalasHapus