Sabtu, 27 November 2010

Soekarno – Hatta: “Dwitunggal Yang Berbeda”

http://garduopini.files.wordpress.com/2010/03/1hatta111.jpg
Oleh:  Ambrosius Oky Sumantri  

Soekarno dan Hatta merupakan dua tokoh besar yang telah meletakkan dasar-dasar pemikirannya bagi bangsa ini. Keduanya bahkan menjadi symbol persatuan bagi rakyat Indonesia. tidak hanya pada masa awal-awal kemerdekaan, namun jauh sebelum bangsa ini mendapatkan kedaulatannya sebagai negara bangsa yang merdeka.

Meski demikian, keduanya (Soekarno-Hatta) merupakan pribadi yang berbeda dan saling bertolak belakang antara prinsip-prinsip dan pemikiran-pemikiran mereka, terutama dalam membaca serta menanggapi persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini. Bahkan, perbedaan diantara keduanya mencapai puncaknya dengan pengunduran diri Hatta sebagai Wakil Presiden tahun 1956, bahkan dari segala bentuk macam jabatan pemerintahan.

Benih-benih perbedaan ini tampaknya telah ada sejak bangsa ini berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Polemik antara keduanya kembali muncul pada masa-masa awal demokrasi mulai dipraktikkan di Indonesia, dan terus berlanjut hingga masa-masa selanjutnya ketika Soekarno menjadi pemimpin tunggal bangsa ini. Lalu, apa yang melatarbelakangi polemik antara kedua tokoh ini?


Soekarno-Hatta merupakan peletak dasar bagi bangsa Indonesia melalui pemikiran-pemikiran serta perjuangan mereka. Persoalan-persoalan yang dihadapi kedua bapak bangsa ini terutama mengenai perbedaan prinsip dan pandangan soal bangsa Indonesia. Perbadaan yang telah ada sejak bangsa ini berjuang untuk lepas dari belenggu kolonialisme.

Tulisan ini secara singkat, mencoba menelusuri pemikiran-pemikiran antara Soekarno dan Hatta yang menjadi dasar polemik antara keduanya. Jika mencoba dilihat, pertentangan-pertentangan yang terjadi antara Soekarno dan Hatta sebenarnya telah ada atau dimulai sejak era pergerakan nasional hingga kembali muncul pada era awal kemerdekaan (era demokrasi parlementer hingga era demokrasi terpimpin). Benih-benih polemik atau pertentangan-pertentangan antara Soekarno dan Hatta tidak bisa dilepaskan dengan perjalanan bangsa Indonesia dalam kaitannya dengan usaha bangsa ini membangun dan membentuk pemerintahan yang demokratis. Persoalan politik dan pemerintahan menjadi isu yang paling banyak menumbuhkan polemik di antara keduanya. Keduanya mempunyai cara pandang dan strategi politik yang berbeda tentang bagaimana membangun bangsa ini.


Benih-Benih Polemik dan Perbedaan Pandangan.

Secara garis besar dapat dikatakan, bahwa perbedaan-perbedaan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi antara dua bapak bangsa kita (Soekarno-Hatta) lebih ditimbulkan karena keduanya mempunyai perbedaan pandangan yang kerap kali menjadi sumber polemik antara keduanya. Pertentangan kedua tokoh besar ini sangatlah prinsipiil, yakni mengenai dasar-dasar pemikiran, tentang strategi perjuangan pada era pergerakan nasional, dalam memandang soal bentuk negara dan susunan/bentuk pemerintahan, terutama pada masa sistem demokrasi mulai diterapkan di Indonesia (masa demokrasi parlementer sampai masa demokrasi terpimpin). Perbedaan prinsip dan pandangan kedua bapak bangsa ini terhadap bangsa Indonesia sangat mempengaruhi kehidupan bangsa Indonesia sekitar awal-awal kemerdekaan dan era-era 1950-an sampai dengan 1960-an awal, terutama dalam kehidupan bernegara.


“Pasangan bangsa yang lebih dikenal dengan Dwitunggal ini ibarat uang  bermata dua, Dwitunggal tetapi dua sosok yang berbeda.”

Pemikiran-pemikiran keduanya yang mendasar turut mempengaruhi sikap dan karakter keduanya dalam bernegara. Perbedaan diantara keduanya dapat dilihat dari sifat kepemimpinannya masing-masing. Jika Soekarno seorang yang revolusioner, Hatta adalah seorang yang reformis. Soekarno sangat gandrung dengan persatuan, sedangkan Hatta memandang bahwa persatuan hanyalah sebagai alat unruk mencapai cita-cita bangsa. Soekarno menghendaki bentuk negara kesatuan, sedangkan Hatta sangat menginginkan bentuk negara serikat. Soekarno anti dengan model demokrasi parlementer, sedang Hatta adalah seorang pendukung model demokrasi parlementer. Soekarno berpandangan bahwa sistem pemungutan suara (voting) merupakan suatu bentuk tirani mayoritas, namun Hatta menganggap voting merupakan bentuk paling relistis bagi bangsa ini sebagai alat atau jalan untuk mencapai mufakat.
Polemik antara keduanya begitu terasa ketika bangsa ini sedang mencari bentuk yang sesuai soal sistem demokrasi yang akan dijadikan dasar dalam menjalankan pemerintahan. Persoalan politik dan bentuk pemerintahan merupakan wacana yang menjadi sumber polemik di antara kedua bapak bangsa ini. Pertentangan dan perbedaan pandangan antara Soekarno dan Hatta soal pemerintahan dan ide demokrasi menunjukkan betapa berbedanya pemikiran dan prinsip-prinsip dua tokoh ini. Namun, sebenarnya perbedaan antara kedua bapak bangsa ini bahkan telah tampak sejak masa perjuangan, era pergerakan nasional. perbedaan.

Perbedaan pandangan Hatta dengan Soekarno yang pertama muncul sekitar tahun 1930an (antara 1932-1933), ketika dihadapkan dengan bentuk perjuagan bangsa yang cooperativf atau non-cooperatif (co atau non-co) terhadap pemerintah Hindia-Belanda yang ketika itu mulai memberi tekanan terhadap gerakan-gerakan kebangsaan. Hatta maupun Soekarno sebenarnya mempunyai pandangan yang sama soal bentuk dan haluan perjuangan yang harus ditempuh, yakni sikap non-cooperatif. Akan tetapi, yang menjadi sumber polemik adalah ketika Hatta melihat sikap Soekarno dalam praktek politik non-cooperatif yang dilnilai tidak menjalankannya secara konsekuen. Hatta melihat sikap Soekarno yang lunak terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Hindia-Belanda, terutama sikap Soekarno ketika dia dijatuhi hukuman penjara oleh pemerintah kolonial karena tulisan-tulisannya di media massa yang dianggap melawan kebijakan politik non-cooperatif pemerintah Hindia-Belanda, namun Soekarno meminta pengampunan dan minta dibebaskan serta bersedia untuk mengontrol gerakan-gerakan kebangsaan yang semakin besar ketika itu. Hatta menilai bahwa sikap Soekarno tersebut justru menunjukkan sikap perjuangan yang cooperatif dan dinilai dapat melunturkan konsep dan semangat perjuangan bangsa. Bagi Hatta, sikap konsisten dan tegas dalam perjuangan manjadi dasar yang kuat untuk mewujudkan kemerdekaan. Meski harus ditangkap dan keluar-masuk penjara itu bukan persoalan, justru itu merupakan semangat yang harus ada dalam diri jika perjuangan ingin terus berjalan (memang suatu sikap yang ditunjukkan Hatta kemudian ketika di keluar-masuk penjara).

Soekarno menanggapi pandangan Hatta tersebut dengan mengemukakan bahwa menurutnya bentuk non-cooperatif bukan berarti harus bersikap radikal terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial. Menurutnya, sikap seperti yang dilakukannya tersebut justru untuk tetap supaya perjuangan terus berjalan. Pemimpin-pemimpin pergerakan kebangsaan harus lepas dari belenggu penjara kolonial supaya dapat terus melanjutkan perjuangan dengan terus membakar semangat rakyat. Jika kehilangan tokoh-tokoh pemimpin, siapa yang akan melanjutkan perjuangan. Akan tetapi, polemik tersebut dapat segera dihindari oleh kawan-kawan pergerakan supaya tidak menimbulkan perpecahan. Akhirnya, karena keduanya mempunyai tujuan dan kepentingan yang sama, yakni menuju Indonesia merdeka, pertentangan di antara keduanya pun dapat segera dihilangkan.

Meskipun demikian, dengan adanya persoalan tersebut menunjukkan bahwa keduanya mempunyai dasar pemikiran yang berbeda. Dimana dasar pemikiran mereka itu mempengaruhi cara pandang keduanya dalam menghadapi persoalan-persoalan bangsa. Ini dapat menimbulkan adanya benih-benih polemik antara keduanya.


Perbedaan Pandangan Pada Masa Kemerdekaan.

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa benih polemik itu dapat muncul ketika ada suatu momen atau persoalan politik mendasar yang dihadapi bangsa ini dan menuntut adanya jalan keluar. Setelah merdeka, sifat dan karakter yang dipengaruhi oleh perbedaan dasar pemikiran antara Soekarno dan Hatta kembali muncul.
Polemik ini muncul kembali sekitar tahun 1950-an yakni pada masa berjalannya Demokrasi Parlementer. Sumber polemikny adalah dasar demokrasi dan bentuk pemerintahan yang sesuai bagi Indonesia. Antara Hatta dengan Soekarno mempunyai perbedaan dalam memandang soal ide demokrasi dan bentuk demokrasi yang sesuai dalam kaitannya menjalankan pemerintahan. Keduanya mempunyai cara pandang yang berbeda.

Pemikiran Hatta soal demokrasi lebih mendasarkan pada konsep demokrasi kerakyatan yang mendasarkan ide ini pada kebebasan dan kesempatan bagi rakyat di dalam pemerintahan (kedaulatan rakyat). Dimana pada relita dan prakteknya, sistem parlementer menjadi bentuk yang paling tepat bagi pemerintahan Indonesia mengingat pluralitas serta luasnya kewilayahan Indonesia. Sehingga kepentingan-kepentingan rakyat dapat terakomodasi dan terwakili oleh wakil-wakilnya di dalam parlemen. Namun, Hatta menegaskan bahwa sistem parlementer yang diterapkan berbeda dengan sistem parlementer Barat yang mendasarkan pada liberalisme.

Sedangkan bagi bangsa Indonesia sistem parlementer yang diterapkan mendasarkan pada dasar kehidupanmasyarakat Indonesia itu sendiri, yakni kebiasaan hidup musyawarah yang telah menunjukkan sifat demokratis. Sedangkan Soekarno berpandangan bahwa sistem demokrasi yang sesuai bagi bangsa ini adalah demokrasi yang harus menyatukan segala bentuk macam perbedaan dan menyatukan pandangan tentang Indonesia namun tetap di bawah satu pemimpin yang mampu mengakomodasi kepentingan bangsa. Pemikiran Soekarno ini yang nantinya menciptakan konsepsinya tentang demokrasi terpimpin.

Begitulah pertalian Soekarno dengan Hatta, seolah sebuah siklus. Berawal dari dwi-tunggul, kemudian dwi-tunggal, dan akhirnya menjadi dwi-tanggal. Dwitunggul, karena kedua tokoh besar ini masing-masing telah menjadi pelopor atau mempunyai peran besar dalam perjuangan kelompok nasionalis kebangsaan pada masa pergerakan kebangsaan (menjadi tonggak). Keduanya mempunyai tujuan yang sama, yakni mencapai Indonesia merdeka, namun keduanya mempunyai cara dan pandangan yang berbeda di dalam pencapaiannya sehingga keduanya pun sempat berpolemik (adu ilmu, bahkan pengaruh) bahkan terjadi pertentangan politik. Mereka kemudian menjadi Dwitunggal, dimana keduanya dapat bersatu dan menghilangkan segala perbedaan demi cita-cita bersama, Indonesia merdeka. Bahkan keduanya menjadi simbol persatuan bagi rakyat, tidak hanya di masa-masa perjuangan kemerdekaan tetapi hingga masa awal-awal kemerdekaan.

Tetapi, pada akhirnya keduanya pun berakhir dengan menjadi Dwitanggal, ketika keduanya tidak dapat sepaham lagi dalam banyak persoalan, yang dihadapi bangsa ini pada masa-masa berikutnya, seperti yang terjadi pada masa pergerakan.

Hal ini ditunjukkan dengan sikap keduanya yang kerap kali bersilang pendapat dan bahkan saling mengkritik pemikiran-pemikiran atau ide-ide serta sikap masing-masing. Soekarno memandang Hatta seorang yang suka menonjolkan keilmuannya, terlalu teoritis dan terlalu berpandangan atau berorientasi ke Barat. Hatta balik mengkritik Soekarno dengan mengatakan, tujuan Soekarno selalu baik, namun langkah-langkah yang ditempuh untuk mencapai tujuannya itu seringkali justru menjauhkan dirinya dari tujuannya tersebut. Begitulah keduanya sering saling mengkritik.

Meskipun demikian, kedua bapak bangsa ini telah menorehkan sejarah yang luar biasa bagi bangsa ini. Sejarah telah memberikan pelajaran yang sangat berharga atas pemikiran dan tindakan dari kedua tokoh ini.oleh karena itu, pemikiran-pemikiran kedua tokoh ini perlu dilihat, ditelusuri serta dipelajari kembali sebagai sebuah kajian yang menarik. Sebab, bagaimanapun juga Soekarno dan Hatta telah mewariskan ajaran-ajaran mendasar yang penting dan berguna bagi generasi bangsa ini.

Akan tetapi jika dicermati, timbul satu pertanyaan, mengapa pertentangan atau perbedaan pandangan yang menjadi pembahasan dari penulisan ini. Bukan bermaksud untuk mencari siapa yang lebih benar. Bukan pula untuk justru semakin mempertajam pertentangan atau perbedaan di antara keduanya, apalagi di antara penganut-penganut ajaran-ajaran kedua bapak bangsa ini. Melainkan, penulis berupaya menarik suatu pelajaran dari pertentangan kedua bapak bangsa tersebut, untuk melihat suatu proses dialektika guna menghasilkan sebuah sintesa tentang bagaimana seharusnya membangun bangsa ini.


REFERENSI:
Deliar Noer: Biografi Politik Mohammad Hatta
Rikard Bagun: Bung Hatta
Wawan Tunggul Alam: Demi Bangsaku:Pertentangan Soekarno vs Hatta

Sumber: garduopini.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar