Senin, 29 November 2010

Sejarah Syarekat Islam (2)

” Dan manakala kamu diberi posisi (politik) di muka bumi (haruslah) menegakan sholat, membayar zakat, memerintah yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Dan kepunyaan Allah-lah hasil terakhir dari segala peristiwa” (QS Surat Al-Hajj : 41)
Langkah strategis yang dilakukan Tjokroaminoto, menampakkan hasil yang luar biasa. Beberapa tahun sejak kemunculannya di panggung politik, telah menggoncangkan seluruh lapisan masyarakat dan membuat panik para pejabat Belanda dalam menghadapi gelombang tuntutan perubahan diberbagai aspek kehidupan. Perkembangan situasi politik yang terus berkembang positif, cenderung berpihak kepadanya. Berbagai lapisan masyarakat mengerang menuntut kebebasan, persamaan hak, dan pemerintahan mandiri. Dengan kata lain Tjokroaminoto telah mengintegrasikan potensi dan komponen bangsa, menuju suatu jaman baru yaitu era kemerdekaan.
 

Thomas McVey dalam The Rise of Indonesian Communism, menyatakan bahwa periode tahun 1918, kalangan Sarekat Islam memberikan perhatian ekstra kepada perjuangan bidang ekonomi, menyusul situasi ekonomi yang buruk pasca Perang Dunia I. Dan pada tahun tersebut di Dewan Rakyat, SI menyerukan kepada pemerintah untuk mengurangi lahan penanaman tebu dan memberi tempat bagi penanaman padi untuk mengatasi bahaya kelaparan. Ini juga merupakan sebab bagi petani dan pekerja lain untuk memperkeras tuntutan mereka melalui serikat-serikat mereka agar hidup mereka lebih diperhatikan untuk diperbaiki.[1]
S.M. Kartosuwirjo dalam brosur hijrah memberikan analisis kuatitatif[2] terhadap pergerakan S.I untuk masa waktu 1912 – 1923 sebagai Zaman Qauliyah, dengan ciri-ciri
  • Zaman pertama PSII mengalami hidup Hissy
  • Orang hanya mementingkan keperluan dunia
  • Pergerakan pada waktu itu hidup sebagai tangga untuk mencari keuntungan kebendaan.
  • Tidak sadar dan tidak insaf akan Islam dan ke-Islaman sejati
  • Mementingkan suara daripada kelakuan
  • Menghargakan kulit daripada isi
 
Periode 1923 – 1930
Penangkapan dan penahanan terhadap Tjokroaminoto selama tujuh bulan, melenyapkan kepercayaan kalangan Sarekat Islam terhadap pemerintah Belanda. Sebagai akibatnya pada tahun 1923 M berkembang tentang sikap terhadap Volksraad. Ide pemikiran yang digagas oleh Agus Salim tentang sikap hijrah yang diartikan non kooperatif (NONKO). Sumber pemikiran ini mengadopsi dari ajaran Mahatma Gandhi ‘SWADESHI’ (independen/mandiri: suatu gerakan yang menganjurkan agar menggunakan sumber kekuatan sendiri). Jadi SI (PSIHT) berkembang 2 (dua) yakni Cooperatif dan NonCooperatif.
Pada kongres Sarekat Islam yang diselenggarakan di Madium, di samping memutuskan bahwa CSI dirubah menjadi Partai Sarekat Islam, juga dibicarakan mengenai kemungkinan PSI tidak akan berpartisipasi dalam Voksraad. Kongres CSI yang berlangsung  17-20 Pebruari 1923 di Madiun ini  menghasilkan keputusan-keputusan penting antara lain :
  1. Menetapkan disiplin partai terhadap P.K.I.
  2. Menetapkan sikap Non-Cooperation terhadap Pemerintahan Belanda
  3. Mengganti SI menjadi Partai Syarikat Islam Hindia Timur
  4. Memperbaharui formulir Bai’at.[3]

Pada kongres tersebut Agus Salim menyinggung masalah politik non-koperasi yang dijalankan Mahatma Gandhi di India dengan gerakan Swadeshi nya, beliau kemudian menyarankan agar politik ini diterapkan untuk melawan pihak Belanda. Partisipasi PSI dalam Volksraad menurut kongres itu tergantung dari kemauan pihak Belanda untuk mengembalikan nama baik Tjokroaminoto. Kalangan Sarekat Islam menganggap bahwa pembebasan Tjokroaminoto tidaklah cukup untuk mengembalikan citra  ketuanya, oleh sebab itu sebagai kompensasi yang dapat diterima oleh Sarekat Islam adalah pengangkatan Tjokroaminoto di Volksraad.[4]
Pada tahun 1926 Bung Karno (Soekarno) dikeluarkan dari SI/PSIHT, karena terbukti mempunyai ideologi Marhaenisme[5] dan kemudian lahirlah PNI. Perkenalan Bung Karno dengan HOS Tjokro sejak Soekarno mondok (Kost) di rumah HOS Tjokro yang pada saat itu menyediakan pemondokan bagi siswa-siswa yang bersekolah MULO, HBS dan MTS[6].

Arena politik yang diciptakan oleh pergerakan nasional sejak tahun 1927 terisi oleh forum-forum yang diciptakan oleh rapat-rapat umum, kongres-kongres, dan pelbagai bidang kegiatan ekonomi dan sosial. Media massa kemudian mengkomunikasikan segala kegiatan itu secara luas kepada khalayak ramai. Dalam hal ini sangat menonjolkan peranan non-kooperasi, khususnya PNI dan kemudian Partindo dan PNI Baru. Proses yang terjadi ialah pendidikan politik dan sosialisasi politik bagi anggota partai. Dengan demikian terjadilah proses pemahaman dan penyadaran terhadap konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah kebangsaan, kerakyatan,kemerdekaan, swadaya, swadesi dll. Secara khusus Soekarno memasukan konsep Marhaenisme, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. 

Pada tahun 1929 PSIHT dirubah menjadi PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) dan definitif nama tersebut secara resmi lewat Kongres Nasional 1930.  Sesungguhnya mulai nampak betul sifat, maksud dan tujuan Partai S.I. Indonesia ketika sudah ditetapkan Program Asasnya (Beginsel-program) yang pertama-tama dan Program Pekerjaan (Program van Actie) di dalam Kongresnya tahun 1917 di Jakarta (Betawi), yang kemudian Program asas dan Program Pekerjaan itu diubah di dalam Kongres di Kota Mataram (Yogyakarta) pada tahun 1920 dan akhirnya di ubah lagi di dalam Kongres di Mataram pada tahun 1930, yang mana Program asas itu ditambah dalam dan luas fahamnya, dan Program Pekerjaan yang biasanya hanya berlaku buat beberapa tahun saja lamanya diganti menjadi Program Tandhim (Program Perlawanan) berisikan persandaran pergerakan, jalan atau haluan, dan daya upaya yang harus dilakukan untuk mencapai maksud. Program Tandhim ini  kekuatannya hampir sama kekalnya sebagai Program Asas.

S.M.K  memberikan analisis kuatitatif terhadap pergerakan S.I untuk masa waktu 1923 – 1930 sebagai Zaman Fi’liyah, dengan ciri-ciri :
  • Terjun dalam hidup Ma’nawy
  • Menuntut sebanyak-banyaknya amal
  • Orang yang masih hidup pada zaman pertama, yang tak pandai mengikuti gelombang zaman, dari dirinya sendiri mulai ketinggalan. Ada yang keluar karena sukanya, ada pula yang terpaksa dikeluarkan, karena tak pandai mencukupkan wajib, yang menjadi tuntutan zaman kedua


 
Periode  1930 -1936
Mengenai masalah-masalah organisasi, tahun 1933 mencatat suatu penyelesaian struktur partai; juga dasar partai yang dihasilkan dalam tahun ini dianggap sebagai sesuatu yang telah sempurna dan tidak diubah-ubah lagi sampai masa merdeka. Struktur pimpinan pusat yang dibagi dua : Dewan Partai yang terbentuk oleh kongres partai atau Majelis Tahkim, dan Lajnah Tanfidziyah yang bertanggung jawab kepada Dewan Partai dalam masa-masa antara dua kongres[7] [8].

Pada tahun 1933 inilah disaat struktur partai telah sempurna, Dr. Soekiman termasuk salah seorang elit pengurus di PSII[9] , karena tidak bisa dipertanggung jawabkan secara administratif dibidang keuangan, ia diskorsing dan dipecat dari kepengurusan. dan mendirikan PII (Partai Islam Indonesia).  Alasan pemecatan Dr. Soekiman, Surjopranoto beserta empat orang lainnya yang merupakan pengurus PSII adalah ketidak sejalanan dalam menyelesaikan permasalahan organisasi[10]. Terlepas dari latar belakang ini, namun kemudian ia (Dr Soekiman) memisahkan diri dari PSII dan mendirikan gerakan politik baru yang bernama “PII” (Partai Islam Indonesia), pada tahun 1933 M.

Di tahun 1927 Dr. Soekiman pernah memberikan dukungan kepada Soekarno dalam mewujudkan persatuan yang bersifat sementara[11]. Ketidak sejalanan dalam hal ideologis jelas terlihat saat Dr. Soekiman Cs mendirikan PII  yang bermula dari beberapa cabang PSII yang tidak setuju atas keputusan pemecatan Soekiman Cs membentuk suatu panitia yang bernama Persatuan Islam Indonesia, dengan dasar Islam, Nasionalisme, dan Swadaya. Panitia ini mencari kerjasama dengan PSII Merdeka yang merupakan fraksi Yogyakarta yang memutuskan hubungan dengan pimpinan pusat membentuk Partai Islam Indonesia (Partii). Tujuan Partii adalah untuk mencapai Indonesia merdeka berdasarkan Islam[12]. PII ini di Sumatera mendapat dukungan kuat dari dari bekas anggota Permi yang dibubarkan Belanda pada tahun 1936. Pembetukan Permi pada tahun 1930 oleh tokoh dan murid sekolah Thawalib berusaha menyatukan dasar Islam dengan Nasionalisme[13], sejalan dengan dasar PII.
Pada tahun 1934 M HOS Cokroaminoto sebagai bapak politik bangsa Indonesia dan pendiri SI yang kemudian menjadi PSII berpulang ke rahmatullah/ wafat.
Perkembangan politik dalam tubuh PSII menemukan gagasan baru pergerakan Islam yaitu dengan lahirnya paradigma politik islam “Sikap Hijrah” dalam konteks metode gerakan. Munculnya gagasan “Sikap Hijrah” di tahun 1923, Pada mulanya tidaklah begitu jelas dalam partai itu sendiri apakah itu disebut non-kooperasi ataupun hijrah. Mulanya Salim sendiri menganggap kedua nama itu sama, ketika ia berkata bahwa swadesi akan menghasilkan “Hijrah yaitu non-kooperasi”. Dan ini diartikannya sebagai suatu sikap untuk “ menjauhkan diri dari urusan pemerintah”. Kemudian ia membedakan istilah ini ketika dikatakan bahwa “faham non-kooperasi dalam PSI (SI) diganti dengan faham hijrah”. Maksudnya bahwa sikap menolak kerjasama dengan pihak lain yaitu Belanda diganti menjadi “bekerjasama menyusun diri, menyebuahkan suara dan mempersatukan buatan di dalam kalangan sendiri pada seluruh padang kehidupan pergaulan: sosial, ekonomi dan politik”. Hijrah tidak sama dengan mentalitet pasif melainkan merupakan sikap “aktif’[14].

Paradigma baru yang bisa memperjelas pemahaman tentang hijrah dapat kita lihat dalam Brosur Sikap Hijrah PSII. Sikap Politik PSII seringkali disebut “Sikap Hijrah”, padahal sesungguhnya “Sikap Politik” itu hanyalah salah satu bagian dari Sikap Hijrah. Sehingga pendirian PSII dalam Bagian Politik yaitu Politik Islam adalah Sikap Hijrah di dalam Politik, dan Sikap Politik di dalam Hijrah.[15]

Paradigma Islam dalam metode gerakan politik Sikap Hijrah tersebut diangkat/dibahas melalui Kongres PSII tingkat Nasional ke XXII di Batavia tanggal 8 Juli 1936 – 12 Juli 1936 M tema pokok tentang metode/pola Perjuangan Politik Islam : CO(Cooperatif), NONCO(Non Cooperatif) atau Pola Hijrah. Beberapa keputusan pokok dan strategis adalah
  • Presiden PSII terpilih adalah : Abikoesno.
  • Sekjen merangkap wakil adalah : SMK Kartosoewirjo, dan dengan tugas amanat Kongres membuat Brosur Hijrah.
  • Kongres memutuskan, menetapkan bahwa : Sikap Hijrah merupakan Pola Perjuangan PSII.
S.M.K  memberikan analisis kuatitatif terhadap pergerakan S.I untuk masa waktu 1930 –…  sebagai Zaman I’tiqodiyah, dengan ciri-ciri :
  • Hidup Ma’any
  • Sadar dan Insaf akan kehidupan, tahu akan kewajiban, amal sholeh yang sebanyak-banyaknya.
  • Sementara orang yang masih memegang kehidupan kedua, mulai ketinggalan dalam langkahnya, dan jika mereka itu tidak lekas-lekas menyesuaikan dirinya dengan syarat-syarat hidup yang ketiga ini, tentulah tidak akan menyusul saudara-saudaranya yang sudah hidup di dalam zaman ketiga itu.
 
Periode  1936-1939
Tokoh PSII Agus Salim yang berada pada kubu mempertahakan sikap CO/NONCO pada kongres PSII ke XXII 1936 bahkan memiliki pandangan untuk kooperasi dengan pemerintahan Belanda didasarkan atas pertimbangan bahwa pada waktu itu telah timbul Nazi Jerman I, Fasis Italia dan Fasisme Jepang yang menyulut Perang Dunia II, karena itu bagi Agus Salim perlu kerjasama dengan Belanda untuk menolak Fasisme[16] , maka dengan keputusan : Sikap Hijrah PSII (hasil suara terkuat). Pada tahun 1937 (setahun setelah kongres) ia (Agus Salim) keluar dari PSII baru dengan nama BPPSII (Badan Penyadar Partai Syarikat Islam Indonesia)[17].  Selain Agus Salim, Tokoh Penyadar lainnya adalah A.M. Sangaji, Sabirin dan Mohammad Roem[18].

Pada Kongres ke-23 tanggal 19 –23 Juli 1937 di Bandung, dihasilkan keputusan untuk mencabut pemecatan atas diri anggota-anggota yang dalam tahun 1933 sudah dikeluarkan dari PSII yang membentuk PII (Parii) dan memberikan kesempatan kepada mereka itu masuk ke PSII kembali. Sebelum PII di dirikan kembali, Pengurus PSII menerima surat dari DR. Sukiman, Wali Al-Fatah , K.H. Mansur dll yang menerangkan, bahwa mereka itu akan masuk PSII kalau partai ini :
  1. Mau melepaskan asas hijrah sebagai asas perjuangan dan hijrah hanyalah taktik perjuangan
  2. PSII hanya mengurus masalah aksi politik (pekerjaan sosial dan ekonomi haruslah diserahkan kepada perkumpulan yang lain-lain)
  3. Mencabut disiplin partai yang sudah dilakukan terhadap Muhammadiyah.
PSII membalas surat ini dengan menolak permintaan itu; hanya disiplin partai terhadap Muhammadiyah yang bisa dibicarakan kembali.

Atas Penolakan usulan Dr. Sukiman Cs oleh PSII, maka pada awal Desember 1938 di Solo didirikan kembali PII (Partai Islam Indonesia)[19]. Ketuanya mula-mula adalah R.M. Wiwoho (Anggota Dewan Rakyat, pemimpin Jong Islamieten Bond). Selanjutnya partai ini bergabung dengan GAPPI[20].
Pada Kongres yang ke-24 PSII diadakan pada tanggal 30 Juli – 7 Agustus 1938 di Surabaya. Oleh S.M. Kartosuwiryo dijelaskan, bahwa ‘Hijrah” yang jadi sikap politik partai itu haruslah jangan diartikan sama dengan non-kooperasi yang diadakan oleh partai-partai lain terhadap Pemerintahan. Ia menunjukan bahwa sikap non-kooperasi itu adalah suatu sikap yang negatif; sikap hijrah itu adalah suatu sikap yang positif dan bersifat pembangun”. Sebab katanya, hijrah itu sesungguhnya suatu sikap penolakan, akan tetapi disamping itu dijalankan usaha dengan sekukat-kuatnya untuk membentuk kekuatan hebat, yang menuju kepada Darul Islam”[21].

Pada tahun 1938 M terjadi situasi baru, sebuah tuntutan politis bagi bangsa Indonesia, untuk membuat pemerintahan sendiri terdiri dari unsur unsur kekuatan politik /organisasi-organisasi massa yang ada, lahir wadah organisasi tersebut, yakni : ‘GAPPI’. Abikoesno sebagai pimpinan/presiden partai; Telah menggabungkan PSII ke dalam wadah nasional tersebut. Berarti tidak konsisten terhadap keputusan Kongres dan mengkhianati amanat ummat. Yang termasuk anggota GAPPI selain PSII Abi Koesno adalah : Parindra, Gerindo, Pasundan, Persatuan Minahasa dan PII serta PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) yang terdiri dari Budi Utomo, Pasundang, Serikat Sumatra, Serikat Ambon, Timors Verbonds, Partai Serikat Selebes, Partai Indonesia dan PNI Baru (Moh. Hatta)[22].

Tujuan GAPPI adalah mempersatukan semua partai politik Indonesia Raya. Dasar aksinya adalah hak mengatur diri sendiri, kebangsaan yang bersendikan demokrasi menuju cita-cita bangsa Indonesia[23].

Pada tahun 1939 M tepatnya Januari “39 S.M. Kartosoewirjo menolak bergabung dengan GAPPI dan menyatakan dengan tegas tetap konsisten terhadap amanat kongres, Commited dengan sikap Hijrah PSII, maka secara resmi SMK menyatakan keluar dari PSII yang telah berintegrasi dengan GAPPI melalui kongres PSII tahun 1939, dimana dalam pidatonya sempat menyatakan : ‘‘bahwa sikap hijrah melahirkan kekuatan luar biasa untuk mewujudkan Darul Islam’ dengan didukung oleh 7 cabang lahirlah Komite Pembela Kebenaran PSII (KPK PSII). Dari pihak PSII Abikoesno mengeluarkan pemecatan kepada SMK melalui Kongres PSII 1940 M.  Perlu diketahui bahwa akhir tahun 1938 atau sebulan sebelum Kongres PSII tahun 1939, SMK telah mendirikan lembaga Suffah (pusat pendidikan kaderisasi gerakan). Pada bulan Maret 1940 M di Malangbong/Jawa barat, KPK PSII dengan mendapat dukungan 21 cabang PSII mengadakan rapat dan menyatakan kebulatan tekad : ‘melanjutkan politik Hijrah’ (Brosur Hijrah).

Penutup

Kemampuan menegakan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar merupakan prasyarat tegaknya tata sosiopolitik yang berorientasi pada keadilan.[24] Ibnu Taimiyah dalam as-Siyasa asy-Syar’iyyah (gagasan Ibnu Taimiyah abad-13) menulis : “Wilayah (Organisasi Politik) bagi persoalan (kehidupan sosial) manusia merupakan keperluan agama yang terpenting. Tanpa topangannya, agama tidak akan tegak kokoh. Dan karena Allah SWT mewajibkan kerja amar ma’ruf nahi munkar, dan menolong pihak yang teraniaya.  Semua yang Dia wajibkan tentang jihad, keadilan dan menegakan hudud , tidak mungkin sempurna kecuali dengan kekuatan dan kekuasaan“. Dr. Abdul Karim Zaidan menyimpulkan pendapat Ibnu Taimiyah : “Maka menegakan Daulah Islamiyah merupakan perkara yang wajib untuk melaksanakan hukum-hukum syariat.”[25]

Dengan memberikan landasan Islam pada organisasi SDI kemudian berubah menjadi Syarekat Islam atau selanjutnya Partai Syarekat Islam Indonesia , maka pemikiran politik pada pendahulu  memberikan refresentasi terhadap pemikiran yang Quranis. Organisasasi yang didirikan tidak dilandasi oleh etnis kesukuan, warna kulit, strata sosial masyarakat dll tetapi oleh Islam yang rahmatan lil alamiin. Spirit para pendahulu inilah yang mesti di tauladani oleh generasi sekarang dalam kiprah sosial apapun juga.

Sumber gambar :  wikiwak.com


[1] Ibid, hal. 211
[2] Sebagai levend organisme (satu tubuh yang hidup),  Pergerakan Party Sjarikat Islam Indonesia menjalani berbagi-bagi hidup dalam perbagai zaman, Hidup PSII (dalam ukuran kualitas bukan kuantitas) itu melalui ketiga tingkat , menurut harkat derajat orang-orang yang tergabung di dalam pergerakan itu.
[3] H.O.S. Tjokroaminoto Hidup dan Perjuangan, Amelz, Bulan Bintang (Jilid 1) Untuk diketahui bunyi bai’at PSII adalah sbb.:
Asyhadu allailaha illallah wa asyhadu anna –Muhammadan rasulullah
Wallahi. Demi Allah !, sesungguhnya saya masuk menjadi anggota Partai Syarikat Islam Indonesia dengan ikhlas dan suci hati, tidak karena sesuatu keperluan diri saya sendiri, atau karena megharapkan pertolongan dalam suatu perkara dari sebelum saya menjadi anggota.
Selama-lamanya saya akan meninggikan Agama Islam diatas segala apa-apa yang dapat saya pikirkan, maka saya akan tetap mengerjakan segala perintah Allah dan perintah Rasul Allah dan menjauhi segala larangan-Nya

Saya hendak mengusahakan diri dengan sekuat-kuat ketakutan saya kepada Allah Ta’ala dan dengan sekuat-kuat fikiran dan tenaga saya hendak menyampaikan maksud Partai Syarikat Islam Indonesia dan sekali-kali tidak akan membuat bencana atau khianat atas Partai Syarikat Islam Indonesia.

Saya hendak memperhatikan dan menurut dengan sungguh-sungguh ketentuan-ketentuan Peraturan Dasar dan keputusan-keputusan Majelis Tahkim Partai Syarikat Islam Indonesia dan selalu membela Partai Syarikat Islam Indonesia dari pada bencana fihak mana saja.
[4] Neratja 1 Maret 1923, menulis bahwa Partai Sarekat Islam tidak segera memutuskan hubungan dengn pemerintah, tetapi memutuskan bahwa ia hanya dapat diwakili dalam volksraad oleh Tjokroaminoto, suatu pertanda betapa pahitnya perasaan partai terhadap penahanan Tjokroaminoto.  Kemudian sebagai bentuk kekecewaan partai terhadap sikap pemerintah yang telah menahan Tjokroaminoto, diperlihatkan oleh Agus Salim dengan mempergunakan bahasa Melayu dalam pidatonya di Volksraad, hal itu merupakan kejadian pertama kalinya di dalam sidang Dewan. Beliau menyatakan bahwa penunjukkan jokroaminoto sebagai anggota Volksraad dianggap sebagai suatu kemestian agar dapat dibersihkan nama Ketua Sarekat Islam yang menurutnya telah dinodai orang karena penahahan itu. Ia pun menyatakan kemungkinan politik non koperasi dengan pihak pemerintah, karena pengawasan menurutnya dapat dilakukan di luar Volksraad. Neratja 17 November 1923, dalam Deliar Noer, op.cit. .hal. 150.
[5] Menurut pandangan Soekarno jalan untuk menghadapi kolonialisme dengan kapitalisme tidak lain adalah dengan menggerakan massa yang paling menderita sebagai korban sistem kolonial. Maka dari itu ideologi Nasionalisme sewajarnya mencakup aksi massa dari Rakyat menjadi sosio-nasionalisme. (Sartono)
[6] Dalam HOS Tjokroaminoto Hidup dan Perjuangan ditulis bahwa Raden Aju Tjokroaminoto (Istri Pak Tjokro) menyediakan rumahnya di Surabaya sebagai pondokan (kost) yang diisi lebih dari duapuluh orang yang juga berfungsi sebagai induk semang. Mereka yang pernah mondok dirumah HOS Tjokroaminoto diantaranya : Soekarno, Alimin, Moesodo (dikenal Moeso), Hermen Kartowisastro, Abikoesno dan banyak lagi.
Pada saat HOS bepergian mempropagandakan Sarekat Islam, biasanya seorang-dua orang diantara mereka mendapat giliran untuk diajak serta dianataranya Soekarno dan Abikoesno yang sering kebagian. Didalam bukunya “Sarinah” yang terbit di Yogya (1947), Bung Karno memuji-muji Tjokroaminoto. Ketika bertemu Moeso pada  13 Agustus 1948 Bung Karno Mengakui bahwa beliau adalah Muridnya Tjokroaminoto.
[7] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, LP3S, Jakarta
[8] Kedudukan dan fungsi Kongres : Dalam perjalanan pergerakan politik terutama SI selanjutnya PSII, Kongres memiliki arti yang sangat penting. Kita akan melihat konseptualisasi gerakan politik yang menyangkut (a). Mata rantai politik dan masyarakat (Umat) (b). tingkah laku politik (c). konsensus mengenai struktur politik.  Setidaknya pengkajian dalam teori sosio-politik meliputi – sosialisasi politik – partisipasi politik – rekrutmen politik dan komunikasi politik terlihat dan terbuktikan pada apa yang terjadi dalam kongres.
Kongres yang dilakukan oleh gerakan politik  islam (SI) sejak awal berdiri sampai berubah menjadi PSII di tahun 1930 dan selanjutnya pekembangan sampai tahun 1939 memiliki arti penting terhadap tampak nyatanya sifat, maksud dan tujuan gerakan. Keputusan-keputusan kongres secara organisatoris bukan hanya menunjukan sebagai gerakan politik yang modern tetapi secara substansial melahirkan perkembangan gerakan politik ke arah kesempurnaan. Cita-cita bathiniyah yang telah di ikrarkan sejak berdirinya SDI bahwa Islam adalah Rahmatan lil Alamin terus “dikayuh”  sampai di tahun 1936 memiliki komitmen ideologis yang disepakati sebagai amanat ummat bahwa gerakan politik  islam PSII dalam konteks metode gerakannya adalah berpola Sunnnaturrosul yaitu Hijrah.
Tumbuh nyatanya sifat, maksud dan tujuan gerakan politik islam tersebut secara indah dan elegan adalah hasil dari legitimasi kongres sebagai media Musyawarah Ummat Islam Bangsa Indonesia. Sehingga cita-cita batiniyah pada pendiri dan pendahulu gerakan politik  islam membuahkan cita-cita i’tiqodiyah yang siap untuk dibela dan diperjuangkan oleh mereka yang konsisten dan commited terhadap amanat umat dan keputusan Kongres.
[9] Dr. Soekiman pada Kongres PSII Januari 1930 diangkat menjadi Ketua Muda PSII sementara Ketua Ladjnah Tanfidhyah adalah A.M. Sangadji. HOS Tjokroaminoto sebagai Ketua Dewan Partai dengan anggota Agus Salim, Surjopranoto dan 4 orang lain).
[10] AK. Pringgodigdo
[11] Rifkecf
[12] Deliar Noer
[13] Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Grafity
[14] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, hal 159-160
[15] Brosur Sikap Hijrah PSII
[16] Mukayat, Haji Agus Salim, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1985, hal 51
[17] Barisan Penyadar PSII ini bertujuan untuk menyadarkan Partai bahwa kehendak jaman sudah berubah (???)
[18] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam.
[19] Para pimpinan PII banyak dari kalangan Muhammadiyah dan JIB. Kongres pertama pada tanggal  11 April 1940 di Yogya melahirkan pengurus besar terdiri dari : Dr. Soekiman sebagai Ketua, Wiwoho, K.H. Hadikusumo, Wali Al-Fatah, Farid Ma/ruf, H.A.Hamid, Dr. Kartono. A. Kahar Muzakir, Mr. Kasmat. Sedang K.H. Mansur sebagai Penasihat.
[20] AK. Pringgodigdo, Hal 147-148
[21] A.K. Priggodigdo
[22] AK. Pringgodigdo, Hal 162.
[23] Ibid
[24] QS Surat Al-Hajj : 41 :” Dan manakala kamu diberi posisi (politik) di muka bumi (haruslah) menegakan sholat, membayar zakat, memerintah yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Dan kepunyaan Allah-lah hasil terakhir dari segala peristiwa”.
[25] DR. Syafii Ma’arif. Hal 190. 1996

Sumber: serbasejarah.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar