Rabu, 01 Desember 2010

Ironi Nasib Pahlawan Devisa

Negara kita dikenal sebagai negara dengan jumlah pekerja migran terbesar. Ada sekitar enam juta Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri dan 80 persen di antaranya adalah perempuan. Dari jumlah itu, 70 persen bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT). 
 
Besarnya jumlah pekerja migran asal Indonesia ternyata tidak sebanding dengan nasib dan masa depan mereka sebagai pahlawan devisa bagi negara. Bahkan, mereka sering mendapat perlakukan tidak adil berupa penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Perlakuan kurang pantas yang dialami tenaga kerja kita mencerminkan kegagalan pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum kepada pahlawan devisa kita. Potret ketidakdilan terhadap tenaga kerja kita yang mengadu nasib di luar negeri semakin menambah luka dan harga diri bangsa kita semakin terinjak-injak oleh bangsa lain. 
 
Walaupun disebut sebagai pahlawan devisa, tenaga kerja kita belum mendapatkan perlakuan yang seimbang sesuai jerih payah mereka dalam mencari nafkah di negeri orang. Julukan semacam itu malah semakin memojokkan para pahlawan devisa kita dengan tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan majikan mereka. Beberapa kasus kekerasan yang meliputi penyiksaan fisik maupun mental telah mewarnai perjalanan buruh migran kita di luar negeri. 
 
Di Malaysia, cerita tragis-pemerkosaan, penyiksaan di luar batas kemanusiaan, misalnya, pernah membuat geger seluruh publik Tanah Air. Cerita yang sama juga pernah menguras rasa kemanusiaan kita di Hong Kong. Cerita memilukan itu ternyata masih terulang di negara-negara Timur Tengah yang menjadi tempat favorit para tenaga kerja wanita (TKW). Rayuan riyal sering berubah menjadi 'bisa ular' yang kemudian menjadikan para TKW seperti budak belian, karena sering diperlakukan di luar batas kemanusiaan. 
 
Kasus penyiksaan tenaga kerja yang mengadu nasib di luar negeri seolah tak pernah berhenti mewarnai hiruk-pikuk persoalan bangsa. Lagi-lagi, TKW Indonesia mengalami penyiksaan sadis yang dilakukan oleh majikan di luar negeri. Kali ini TKW bernama Sumiati asal Dompu Bima, NTB terluka parah akibat (maaf) digunting bibirnya bagian atas oleh majikannya di Arab Saudi. 
 
Kisah ironi itu kini tengah dirajut Sumiati. Empat bulan bekerja di Arab Saudi, bukan kesempatan menabung riyal yang didapatnya. Justru, sebaliknya, Sumiati mengalami peristiwa yang mungkin tak pernah dibayangkan oleh wanita berusia 23 tahun ini. Ia mengalami sebuah penyiksaan yang rasanya semua orang tak kuasa membayangkannya. Penyiksaan sadis yang dialami Suamiati mencerminkan betapa memilukannya menjadi buruh migran yang mengadu nasib di negeri orang. 
 
Sebagai pahlawan devisa, Sumiati seharusnya mendapatkan jaminan keamanan dan perlindungan hukum dari pemerintah. Akibat penyiksaan yang dilakukan secara biadab oleh majikan, kini sekujur punggung Sumiati terlihat penuh bekas luka. Bahkan ada luka yang terlihat belum mengering di beberapa bagian. 
 
Kondisi paling mengenaskan adalah bagian ubun-ubun Sumiati yang sudah tidak ada lagi rambut di kepalanya sehingga yang tersisa hanyalah kulit kepala melepuh. Dan, yang lebih tragis, sang majikan yang sudah kehilangan rasa kemanusiaannya, memotong bibir bagian atas Sumiati. Tindakan penyiksaan semacam itu, sungguh di luar batas kewajaran dan boleh dikatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. 
  
 
 
Jika sudah seperti ini, maka Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) yang mempunyai tugas dan tanggung jawab menyelesaikan kasus kekerasan ini hendaknya memberi perhatian sungguh-sungguh. Pekerjaan rumah yang paling utama adalah memastikan apakah setiap anak bangsa yang bekerja di luar negeri terjamin keselamatannya. Instansi itu mestinya juga memastikan bahwa mereka yang akan bekerja di luar negeri memiliki keahlian, dan memiliki kemampuan bahasa asing. 
 
Kita tidak menginginkan kasus kekerasan yang menimpa Sumiati terulang kembali. Kita ingin agar para pahlawan devisa kita mendapatkan perlindungan secara hukum. Kasus Sumiati seharusnya dijadikan pelecut semangat untuk memastikan bahwa TKI/TKW kita yang mengadu nasib di luar negeri akan mendapatkan perlakuan yang baik. Mereka juga harus memiliki bekal keterampilan dan kemampuan bahasa asing yang cukup sehingga membantu mereka untuk melakukan komunikasi bila kekerasan dan penyiksaan menimpa mereka. 
 
Para TKI, termasuk TKW, sejatinya memerlukan pengawalan khusus dari pemerintah RI. Kalau pemerintah tidak mampu, mestinya distop saja. TKI tampaknya berbeda dengan tenaga kerja Filipina yang memang dikawal secara ketat melalui perlindungan hukum dan peningkatan skills oleh pemerintah di Manila. 
 
Dengan pendekatan seperti ini, Filipina dapat mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang sering dilakukan terhadap TKI kita. Dengan semakin tingginya skills (keahlian) tenaga kerja Filipina, mereka juga masuk dalam pasar kerja yang memiliki jaminan keamanan yang lebih baik, karena tidak lagi masuk di sektor rumah tangga. Menyikapi kasus kekerasan yang menimpa Sumiati, Kikim Komalasari dan TKI/TKW lainnya, pemerintah tampaknya tetap saja menggunakan pendekatan ad-hoc dan bersikap reaktif, sambil mematok biaya tinggi kepada mereka. Pelayanan terhadap TKI/TKW hanya kelihatan bila sedang ada kasus seperti Sumiati muncul, karena hal itu menjadi sorotan publik. Seharusnya pemerintah melakukan pendekatan hukum untuk memberikan perlindungan dan keselamatan bagi TKI/TKW kita yang mengadu nasib di luar negeri. 
 
Jika tidak ada perlindungan hukum yang jelas, maka bisa dipastikan akan muncul "sumiati-sumiati" atau "kikim-kikim" lainnya yang boleh jadi akan menerima perlakuan kekerasan.Penulis pesimis, derita Sumiati dan kawan-kawan di Arab Saudi akan bisa dihentikan dalam tempo yang singkat. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan ke depan akan banyak penyiksaan terhadap TKW kita di rumah-rumah orang Arab Saudi. Bisa jadi mereka lolos dari pantauan kita.
 
Nurul Anam
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Suara Karya
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar