Rabu, 01 Desember 2010

Ironi Pahlawan Devisa

Kita menyadari bahwa negara kita dikenal sebagai negara dengan jumlah pekerja migran terbesar. Harian Kompas menyebut ada sekira enam juta warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri dan 80 persen di antaranya adalah perempuan. Dari jumlah tersebut, 70 persen di antaranya bekerja sebagai pembantu rumah tangga (Kompas, 14 Nopember 2009).
Besarnya jumlah pekerja migran asal Indonesia ternyata tidak sebanding dengan nasib dan masa depan mereka sebagai pahlawan devisa bagi negara. Bahkan, seringkali mendapat perlakukan tidak adil berupa penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Perlakuan kurang pantas yang diperoleh tenaga kerja kita seolah mencerminkan kegagalan pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum kepada pahlawan devisa kita. Potret ketidakdilan terhadap tenaga kerja kita yang mengadu nasib di luar negeri semakin menambah luka dan harga diri bangsa kita semakin terinjak-injak oleh bangsa lain.

Walaupun disebut sebagai pahlawan devisa, tenaga kerja kita belum mendapatkan perlakuan yang seimbang dengan jerih payah mereka untuk mencari nafkah di negeri orang. Julukan semacam itu, malah semakin memojokkan pahlawan devisa itu pada satu tindakan kekerasan yang dilakukan majikan mereka. Beberapa kasus kekerasan yang meliputi penyiksaan fisik maupun mental telah mewarnai perjalanan buruh migran kita di luar negeri.

Di Malaysia, cerita tragis itu pernah membuat geger seluruh publik tanah air. Cerita yang sama juga pernah manguras rasa kemanusiaan kita di Hongkong. Cerita memilukan itu ternyata masih terulang di negara-negara Timur Tengah yang menjadi tempat favorit para TKW. Rayuan riyal sering berubah menjadi bisa ular yang kemudian menjadikan para TKW seperti budak belian karena sering diperlakukan di luar batas kemanusiaan.
 
Kasus penyiksaan tenaga kerja yang mengadu nasib di luar negeri, seolah tak pernah berhenti mewarnai hiruk-pikuk persoalan bangsa. Lagi-lagi tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia mengalami penyiksaan sadis yang dilakukan oleh majikan di luar negeri. Kali ini TKW bernama Sumiati asal Dompu Bima Nusa Tenggara Barat terluka parah akibat digunting majikannya di Madinah, Arab Saudi.

Kisah ironi itu tengah dirajut Sumiati, pekerja migran asal Dompu, Nusa Tenggara Barat. Empat bulan bekerja di Arab Saudi, bukan kesempatan menabung riyal yang didapatnya. Justru sebaliknya, Sumiati mengalami peristiwa yang mungkin tak pernah terbayangkan oleh wanita berusia 23 tahun ini. Ia mengalami sebuah penyiksaan yang rasanya semua orang tak kuasa untuk membayangkannya. Penyiksaan sadis yang dialami Suamiati mencerminkan betap memilukannya menjadi buruh migran yang mengadu nasib di negeri orang.

 
Sebagai pahlawan devisa, Sumiati seharusnya mendapatkan jaminan keamanan dan perlindungan secara hukum dari pemerintah. Akibat dari penyiksaan ini, sekujur punggung Sumiati terlihat penuh bekas luka. Bahkan ada luka yang terlihat belum mengering di beberapa bagian. Kondisi paling mengenaskan adalah bagian ubun-ubun kepala Sumiati yang sudah tidak ada lagi rambut di kepalanya sehingga yang tersisa hanyalah kulit kepala melepuh tanpa rambut. Dan yang lebih tragis, sang majikan yang rasanya sudah kehilangan rasa kemanusiaannya, yaitu memotong bibir Sumiati. Tindakan penyiksaan semacam itu, sungguh di luar batas kewajaran dan boleh dibilang sebagai pelanggaran HAM berat.

 

Perlindungan Hukum yang Jelas

Jika sudah seperti ini, maka Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan BNP2TKI mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk menyelesaikan kasus kekerasan ini dengan sungguh-sungguh. Pekerjaan rumah yang paling utama adalah memastikan setiap anak bangsa yang bekerja di luar negeri terjamin keselamatannya, memastikan mereka yang akan bekerja di luar negeri memiliki keahlian, dan memastikan mereka yang bekerja memiliki kemampuan bahasa asing.

Kita tidak menginginkan kasus kekerasan yang menimpa Sumiati terulang kembali sehingga membuat pahlawan devisa kita terkatung-katung nasibnya karena tidak mendapatkan perlindungan secara hukum. Kasus Sumiati seharusnya dijadikan pelecut semangat untuk memastikan nasib TKW kita yang mengadu nasib di luar negeri mendapatkan perlakuan khusus guna memberikan bekal keterampilan dan kemampuan bahasa asing yang cukup sehingga membantu mereka untuk melakukan komunikasi bila terjadi kekerasan dan penyiksaan menimpa mereka. 

 
Dalam konteks sistem politik dan sosial serta budaya seperti ini, TKI dan TKW Indonesia sejatinya memerlukan sebuah pengawalan khusus dari pemerintah RI, atau kalau memang tidak mampu, harus distop saja. Berbeda dengan tenaga kerja Filipina yang memang dikawal secara ketat melalui perlindungan hukum dan peningkatan skills oleh pemerintah di Manila.

Dengan pendekatan seperti ini, Filipina dapat mengurangi kemungkinan perlakuan seperti yang sering terjadi terhadap TKI. Dengan semakin tingginya skills (keahlian) naker Filipina, mereka juga masuk dalam pasar kerja yang memiliki jaminan keamanan yang lebih baik, karena tidak lagi masuk di sektor rumah tangga.

Menyikapi kasus kekerasan yang menimpa Sumiati dan TKW lainnya, Pemerintah tetap saja menggunakan pendekatan ad-hoc dan reaktif terhadap masalah keselamatan kerja TKW, sambil mematok biaya tinggi kepada mereka. Pelayanan terhadap TKW seringkali hanya kelihatan bila kasus seperti Sumiati muncul, karena hal itu menjadi sorotan publik. Jika perhatian publik tak kelihatan maka jurus “business as usual” pun dipakai. Seharusnya pemerintah perlu melakukan pendekatan hukum untuk memberikan perlindungan dan keselamatan bagi TKW kita yang mengadu nasib di luar negeri.

Jika tidak ada perlindungan hukum yang jelas, maka bisa dipastikan akan muncul Sumiati baru yang akan menerima perlakuan kekerasan. Itulah sebabnya, saya pesimis bahwa derita para Sumiati di Arab Saudi akan bisa dihentikan dalam tempo yang dekat. Bahkan tidak menutup kemungkinan, sebenarnya masih banyak penyiksaan terhadap para TKW kita di rumah-rumah orang Arab yang tersembunyi dan lolos dari pantauan kita.

Nurul Anam
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

okezone.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar