Rabu, 01 Desember 2010

Menyoal Disintegrasi Bangsa

Dalam sebuah diskusi, Sunyoto Usman (Guru Besar Sosiologi UGM) mengatakan bahwa sistem politik era reformasi dibangun di atas fondasi : pemilihan langsung, keterbukaan pers dan multi-partai. Tuntutan bekerjanya ketiga sistem ini tidak dapat dihindari sebagai akibat politik represif Orde Baru. Pertanyaannya, ketiga pilar ini menjadi solusi ataukah menjadi masalah bagi integrasi bangsa? Mari kita membedah satu per satu.


Pilar pertama, telah banyak pendapat di media cetak maupun elektronik yang membahas kekurangan pemilihan langsung. Di antaranya pemilihan model ini membuat politik uang kian masif dan menjebak kita pada demokrasi berbiaya mahal tanpa membicarakan persoalan substantif berdemokrasi. Akibatnya demokrasi hanya menjadi proses jual beli hak-hak politik. Selain itu, muncul faham kebangsaan dengan sentimen agama, etnis dan ras yang dikenal dengan istilah Etno-nasionalisme. Bekerjanya faham ini cukup merisaukan bagi keberlangsungan bangun NKRI. Faham ini dapat menguat apabila kegagalan konsensus pada tataran elit dalam menjalankan kehidupan demokratis sehari-hari terus-menerus terjadi.

Pilar kedua adalah keterbukaan pers. Dewasa ini publik mendapatkan pendidikan politik berupa perdebatan politik di televisi. Pendidikan politik seperti ini dalam beberapa hal menjadi tidak sehat. Mengingat publik mendapatkan pendidikan politik secara ‘liar’, ditambah lagi macetnya peran partai politik. Pendidikan politik model seperti ini berpotensi melahirkan publik yang apatis politik. Publik terus disuguhi perdebatan yang tidak jelas pangkal ujungnya.

Pilar ketiga adalah multi-partai. Partai politik saat ini sangat banyak dan beragam. Beberapa di antaranya muncul sekadar sebagai kendaraan sementara untuk mendapatkan kedudukan. Multi-partai ini berusaha diperbaiki dengan memperbesar parliamentary threshold menjadi 5%.
 

Potensi Disintegrasi Bangsa

Gejala disintegrasi bangsa dapat ditarik pada tiga tingkatan : tingkat sosial, individu dan sistem politik. Pada tingkat sosial, gejala diintegrasi dapat kita lihat dari semakin kuatnya etno-nasionalisme, kegagalan konsensus dari para elite mengenai kehidupan demokrasi sehari-hari dan kemerosotan tertib sosial. Celakanya, kemorosotan tertib sosial ini seiring dengan menguatnya etno-nasionalisme sebagai bagian dari Instrument kekerasan untuk mencapai negoisasi politik.

Pada tingkat individu, disintegrasi menguat akibat lemahnya manajemen pemerintahan dan inkonsistensi individu. Kelemahan manajemen pemerintahan berakibat pada lemahnya pelayanan publik.

Pada tingkat sistem politik, kegagalan-kegagalan pengelolaan perbedaan kepentingan menjadi sumber malapetaka. Di sisi lain pergeseran paradigma yang begitu cepat seperti perubahan sistem dari otoritarianisme menjadi demokratis, cukup mengubah pola hubungan politik antara negara dan masyarakat.
 

Integrasi ala Indonesia

Ketiga pilar yang dikemukakan Sunyoto Usman memang tidak dapat dihindari. Ketiga pilar tersebut sudah menjadi aturan main yang dibakukan melalui undang-undang. Ironisnya, ketiga pilar itu-pulalah yang memunculkan beberapa potensi disintegrasi bangsa.

Terdapat beberapa model integrasi. Model pertama dengan membentuk norma bersama, namun masing-masing memiliki jati diri. Model kedua, semua suku bangsa melupakan jati dirinya dan membuat jati diri bersama yang baru. Model ketiga, menyatukan unsur-unsur yang kuat untuk menjadi satu nilai utama, sementara unsur-unsur lain diabaikan.

Melihat ketiga corak tersebut, corak bangsa kita lebih dekat dengan model yang pertama. Model inilah yang paling dekat dengan kebangsaan yang menjadi spirit Pancasila. Model integrasi inilah yang paling memungkinkan bangun NKRI tetap terjaga.Integrasi bangsa sangat tergantung pada fleksibilitas sistem politik untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang berubah.

Integrasi bangsa harus dimulai dari kesadaran masyarakat untuk mulai tidak menjualbelikan hak-hak politiknya. Proses ini memang tidak dapat dilakukan sepihak dari rakyat, perlu dukungan dari pihak-pihak yang peduli dengan perkembangan demokrasi yang sehat dan integrasi bangsa.

Pemilihan langsung, kebebasan pers dan multi-partai yang menjadi aturan main saat ini dapat dimanfaatkan rakyat dengan memilih pemimpin yang benar-benar peduli dengan keberlangsungan NKRI, memiliki kemampuan manajemen konflik serta memiliki komunikasi politik yang baik. Tanpa kesadaran dan kemampuan menyelesaikan konflik. Sangat mungkin bangsa kita masuk ke dalam jurang disintegrasi yang lebih dalam. Nauzubilah Minzalik
 
Rafif Pamenang Imawan SIP,
Peneliti Pusat Studi Pancasila UGM,
Alumnus Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM
 
www.rafifimawan.blogspot.com
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar