Rabu, 01 Desember 2010

Demokrasi di Indonesia Semakin Mahal



Aktivis Politik Penggerak Malari 1974, Hariman Siregar, mengatakan demokrasi di Indonesia semakin mahal dan menjauh dari ideal sehingga ia meragukan demokrasi bisa bertahan. "Saya ragu demokrasi bisa bertahan. Tidak tahu kapan, tapi saya yakin kejatuhan demokrasi akan terjadi," kata Hariman, yang juga Pendiri Nextlead Indonesia dalam diskusi di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, hal itu dipicu oleh demokrasi di Indonesia yang semakin mahal dan tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat. "Proses-proses demokrasi tidak lagi ada hubungannya dengan rakyat. Rakyat hanya untuk mengeruk popularitas yang dilakukan melalui cara yang mahal, pemilu yang mahal, kampanye ala Amerika Serikat yang mahal, semua dengan uang dan ini jelas tidak mendorong demokratisasi sebenarnya," katanya.

Ia menambahkan, banyak kandidat yang tidak memiliki akar di masyarakat namun hanya mengandalkan popularitas yang dibeli melalui beragam media dan juga politik uang maju dalam pemilu."Partai hanya menjadi fungsi legitimasi, pemberi cap, dan gagal menjalankan fungsinya sebagai pengkader para pemimpin," katanya.

Kondisi ini, menurut dia, cepat atau lambat akan membuat demokrasi semakin kehilangan daya dukungnya.
Mantan Anggota KPU Mulyana W Kusumah mengatakan, dirinya juga meragukan keberlanjutan demokrasi di Indonesia.

Menurut Mulyana, patologi demokrasi di Indonesia sudah tampak. Banyak proses pemilu lokal yang kemudian gagal diselesaikan dalam sistem demokrasi di tingkat daerah. Al hasil, menurut dia, Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga terakhir dari peradilan pemilu dipenuhi dengan kasus sengketa pemilu.Ia mengatakan, pada 2010 setidaknya ada 264 pemilihan kepala daerah, dan hingga saat ini sekitar 165 pemilu di daerah telah terlaksana.

Hasilnya, menurut dia, lebih dari 130 pemilu atau lebih dari 80 persen, terjadi kasus sengketa yang dibawa ke MK. "Bagaimana membayangkan pemilu yang telah dilaksanakan akhirnya hanya ditentukan oleh sembilan orang hakim MK, berapa juta suara rakyat hilang karenanya," katanya.

Sumber: republika.co.id

2 komentar:

  1. kalau begitu lebih baik ga usah ada demokrasi toh nantinya yang milih juga MK, lebih baik dikumpulkan kayak PNS di test and propper siapa yang pantas menjadi kepala kemudian di tunjuk dan rakyat tinggal tunggu pengumuman siapa yang jadi kepala di daerah masing2 dengan begitu biaya pemilu berkurang, biaya percetakan berkurang, biaya gaji kpu ga dikorupsi masyarakat tenang ga terjadi calon kepala daerah stress/gila cuma gara2 mengeluarkan uang banyak, tidak perlu adanya inisiatif "kerja sebagai kepala daerah hanya untuk mengenmablikan uang yang di hamburkan saat pemilu"
    bagaimana dengan usul seperti ini khan lebih baik, toh masyarakat pun tidak mengetahui dengan pasti siapa calon DPR, Gubernur, Bupati atau bahkan kepala negara, masyarakat tahu setelah mereka menjabat .....

    BalasHapus
  2. Inilah demokrasi yg sesungguhnya terjadi di negeri ini. Negeri besar yg sdg menuju perbaikan dr keterpurukan. Dan resikonya banyak, salahsatunya spt yg anda sebutkan di atas.
    Banyak hal yg hrs diselesaikan, satu dg yg linya saling berkaitan. Kalo negeri ino sukses menghadapi masalh2 yg terjadi, maka indonesia akn mjd negeri terbesar yg paling demokrasi di dunia, neri ini paling banyak suku bangsanya. Bisaah? Hanya kita yg menjawab nya.

    BalasHapus