Rabu, 15 Desember 2010

Rakyat Yogya marah



Puncak kemarahan rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diekspresikan dengan menggelar sidang rakyat di Alun-alun Utara yang diteruskan dengan long march ke Gedung DPRD DIY untuk mengikuti sidang paripurna yang terbuka untuk umum, Senin (13/12) pagi tadi. Bukan itu saja, kemarahan terhadap pemerintah pusat juga ditunjukkan war­ga DIY dengan mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang. Walikota Yogyakarta Herry Zudianto memelopori pengibaran bendera setengah tiang di kediamannya, kemarin, sebagai bentuk protes atas sikap pemerintah pusat yang dinilai sewenang-wenang dan berlarutnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta.

Sementara itu, untuk menunjukkan ke­seriusan dalam mendukung keistimewaan DIY dengan penetapan Sultan dan Pakualam sebagai gubernur dan wa­gub, pimpinan DPRD DIY menggelar rapat paripurna, Senin (13/12) siang ini, secara terbuka. 

Artinya, rapat untuk membahas keistimewaan sekaligus dukungan terhadap penetapan kepala daerah itu bisa diikuti warga masyarakat. Bahkan untuk mengundang du­kungan agar masyarakat bisa menyaksikan langsung keseriusan para anggota dewan, undangan secara terbuka me­lalui media massa pun telah dirilis sejak tiga hari lalu.

”Kami memang mengundang rakyat Yog­ya untuk mengikuti rapat paripurna ter­buka DPRD yang kami gelar siang ini. Silakan masyarakat mengikuti dan mencermati keseriusan kami dalam mendukung keistimewaan Jogja,” ujar Ke­tua DPRD DIY Yoeke Indra Agung Laksana.




Fraksi Demokrat gamang

Dari seluruh fraksi yang ada, sejak awal mereka telah mendukung keistimewaan termasuk penetapan guna menentukan penjabat gubernur dan wakil gubernur DIY. Kecuali fraksi Partai Demokrat yang belum juga memutuskan secara tegas mendukung penetapan atau pemilihan dalam menentukan kepala daerah di DIY itu.
”Bagi kami, keistimewaan DIY menjadi harga mati. Tapi, untuk persoalan yang lain-lain, seperti penentuan kepala daerah, masih harus dibicarakan secara lebih mendetail. Yang jelas, hingga saat ini fraksi kami pun masih tetap mendukung Sultan Hamengku Buwono X sebagai gubernur,” ungkap Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPRD DIY, Putut Wiryawan.

Dari pembicaraan informal, sebagian anggota fraksi Partai Demokrat memang menyatakan kegamangannya menyikapi keistimewaan termasuk di dalamnya penetapan Sri Sultan dan Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY. Hati kecil menginginkan penetapan, namun garis kebijakan partai menghendaki pemilihan. 

Karena itu, wajar jika kemudian sebagian anggota merasa serba salah. Apalagi beberapa waktu lalu adik Sri Sultan HB X, Gusti Bendoro Pa­ngeran Haryo (GBPH) Prabukusumo telah menyatakan mengundurkan diri dari jabatan sebagai Ketua Partai Demokrat DIY sekaligus sebagai anggota Partai Demokrat. ”Saya tak ingin durhaka kepada orang ­tua (almarhum Sri Sultan Ha­mengku Buwono IX dan Paku Alam VIII.
Sebuah penghinaan besar bagi martabat orang tua saya jika pemerintah pusat bersikukuh menentukan jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY melalui pemilihan langsung, tanpa mengacu pada sejarah yang ada,” ujar Prabukusumo.

Sebagian besar masyarakat DIY pun menghendaki penetapan guna menentukan jabatan gubernur dan wakil gubernur, sebagai salah satu bentuk keistimewaan DIY. Bahkan sejak awal, begitu Presiden SBY melontarkan pernyataan sistem monarki tak lagi sesuai dengan alam demokrasi di Indonesia, warga DIY meradang. Mereka terus menggelar aksi guna menentang keputusan pemerintah pusat yang dituang­kan ke dalam RUUK Yogyakarta itu.

Tak heran jika kemudian warga pun merespon secara antusias undangan DPRD DIY untuk mengikuti Rapat Paripurna yang digelar secara terbuka.  Kendati rapat digelar pukul 13.00 WIB, namun sejak beberapa jam sebelumnya, gelombang massa dari empat kabupaten dan kota Yogyakarta terus berdatangan. Mereka menuju Alun-alun Utara Yogyakarta sebagai titik kumpul. Selanjutnya berbarengan jalan kaki ke utara menuju ke gedung dewan di Jalan Malioboro.



Setengah tiang
 
Bukan hanya warga masyarakat biasa, namun Walikota Yogyakarta Herry Zudianto selaku pribadi pun mengaku sangat prihatin dengan berlarut-larutnya pembahasan RUUK DIY. "Bagi saya, perdebatan seputar RUUK DIY bukan lagi sekadar persoalan keistimewaan, penetapan, maupun pemilihan, tapi sudah menjurus ke arah perpecahan bangsa," katanya.

Sebagai bentuk keprihatinan, Herry dengan busana Jawa lengkap dengan blangkonnya menurunkan bendera Merah Putih di kediamannya menjadi setengah tiang, Minggu (12/12) kemarin. Ia pun sempat membacakan puisi "Jangan Lukai Merah Putih" sebagai bentuk pernyataan sikapnya menanggapi carut-marutnya pembahasan RUUK. "Saya ingin mengungkapkan, statemen saya adalah statemen pribadi sebagai anak bangsa yang ditakdirkan Allah SWT lahir dan menetap di Yogyakarta. Bukan sebagai walikota Yogyakarta.
Amanat 5 September 1945 yang dimaklumatkan oleh HB IX dan Paduka PA VIII dilandasi dan dijiwai dengan hati merah putih kedua beliau. Dengan filosofi beliau "Tahta Untuk Rakyat", bukan karena transaksi politik, bukan karena tunduk regulasi saat itu," ujar Herry di hadapan wartawan.

Masyarakat Yogyakarta, tandasnya, mempunyai hak untuk mengartikulasikan pandangannya dengan caranya sendiri. Ia juga mempersilakan jika masyarakat kota Yogyakarta ingin mengikuti dirinya mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang.

"Bahkan kepada PNS Pemkot Yogyakarta yang ingin mengikuti Rapat Paripurna DPRD DIY, silakan saja. Itu hak mereka. Saya tidak akan memobilisasi massa, tapi saya tidak akan melarang jika PNS maupun warga kota ingin berpartisipasi mengikuti rapat paripurna," tutur Herry.

Sumber: wawasandigital.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar