Rabu, 15 Desember 2010

Yogyakarta Pasca “Revolusi Kecil”















Apa yang terjadi kemarin (Senin, 13/12/10) di Yogyakarta tidak bisa dikatakan lain kecuali satu kata: Melawan. 
Rakyat Yogyakarta melawan total untuk menjaga eksistensi sistem pemerintahan yang selama ini mereka hormati.
Hampir seluruh komponen kota itu tumpah ruah ke Gedung DPRD untuk menegaskan sikap mereka bahwa keistimewaan Yogyakarta harus dipertahankan apa adanya. Yogyakarta dipimpin sultan yang juga menjabat gubernur dan ditetapkan, bukan dipilih. Itulah keistimewaan Yogyakarta yang dibela rakyat mati-matian.

Perlawanan rakyat Yogyakarta ternyata searah dengan kesepakatan fraksi-fraksi DPRD DIY. Semua fraksi, kecuali Fraksi Partai Demokrat, menyatakan setuju Gubernur DIY ditetapkan, bukan dipilih. Menangkah perlawanan rakyat Yogyakarta? Belum! Karena keputusan terakhir masih menunggu pembahasan RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta antara pemerintah pusat dan DPR di Jakarta.

Menteri Dalam Negeri dan Partai Demokrat adalah dua pihak yang ngotot bahwa Gubernur DIY harus dipilih, bukan ditetapkan. Menangkah sikap pemerintah dan Partai Demokrat? Belum tentu. Bila tren hari ini bertahan, besar kemungkinan pemerintah akan kalah di DPR karena mayoritas fraksi, termasuk anggota koalisi, mendukung penetapan.

Banyak yang bertanya tidak habis pikir. Apa begitu gentingnya Yogyakarta bagi Indonesia saat ini dan ke depan sehingga keistimewaannya perlu diubah? Pada sisi manakah Daerah Istimewa Yogyakarta bertentangan dengan demokrasi dan konstitusi?

Keistimewaan Yogyakarta adalah pada kesepakatan dan penghargaan kita pada sistem pemerintahan yang menggabungkan jabatan sultan dan gubernur di satu tangan. Sama halnya kita memberi keistimewaan Aceh dengan membolehkan sistem hukum syariah yang berbeda dari sistem hukum nasional. Juga sama dengan keistimewaan Papua yang membolehkan perwakilan adat dalam sistem pemerintahan lokal.

Kalau Aceh boleh memperoleh keistimewaan memberlakukan hukum kanun, mengapa Yogyakarta tidak dibolehkan mempunyai gubernur yang menyatu di tangan sultan? Pemerintah membuka perdebatan untuk perkara yang sangat tidak perlu untuk dipersoalkan. Penghargaan atas keistimewaan adalah bagian yang indah dan kaya dari sistem demokrasi dan hukum di Indonesia. Adalah kekeliruan besar menuduh Yogyakarta menganut sistem monarki yang bertentangan dengan demokrasi.

Bila keistimewaan Aceh dan Papua ternyata berongkos mahal, Yogyakarta justru istimewa karena mengongkosi Republik ketika masih belia. Apakah negara kemudian begitu jahatnya untuk memereteli keistimewaan DIY? Inilah yang menyakitkan rakyat Yogyakarta sampai detik ini.
Harus ada kebesaran jiwa para pemimpin dan elite untuk menyelesaikan kontroversi Yogyakarta. Rakyat Yogyakarta tidak menuntut yang aneh-aneh.

Mereka hanya ingin mempertahankan sebuah sistem yang selama ini terbukti tidak bertentangan dengan demokrasi dan konstitusi.Jangan anggap remeh rakyat Yogyakarta. Mereka memiliki tradisi perlawanan yang gagah berani.

Sehari setelah rapat paripurna terbuka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Daerah Istimewa Yogyakarta yang digelar Senin kemarin, kantor DPRD hari ini Selasa 14 Desember 2010 terlihat lengang. Dari total 55 orang anggota dewan, tak kurang dari lima orang anggota saja yang tampak batang hidungnya Selasa pagi ini. Bahkan jadwal agenda dewan yang biasa terpampang di dinding juga tak terlihat. "Wah, ya (kami) kecapekan," kata Sekretaris Dewan, Bambang Hermanto kepada Tempo.

Alasannya, usai menggelar rapat paripurna terbuka yang dimulai pukul 13.17 WIB hingga pukul 15.53 WIB Senin kemarin, malam harinya dilanjutkan dengan rapat paripurna penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi DIY untuk tahun 2011.

Saat menggelar rapat paripurna terbuka kemarin, gedung DPRD DIY juga didatangi puluhan ribu massa dari warga Yogyakarta yang pro penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Rapat tersebut akhirnya menghasilkan keputusan suara mayoritas fraksi DPRD DIY mendukung mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dengan penetapan. Ruangan Fraksi Partai Demokrat yang dalam pandangan fraksinya tidak memberikan sikap yang tegas , juga tampak sepi.

emerintah belum akan bergeser pada posisinya yang menginginkan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih langsung oleh rakyat. Pemerintah masih akan memantau perkembangan situasi dan aspirasi dari masyarakat Yogyakarta. "Sekarang masih berlangsung maka kita tunggu dulu hasilnya seperti apa, karena sekarang kan sedang di proses di DPRD," kata Juru bicara Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha di Istana Presiden, Senin 13 Desember 2010.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kata Julian, terus memantau perkembangan situasi yang terjadi di Yogyakarta. "Ya (Presiden) sempat memantau melalui televisi," katanya.

Sebelumnya, pemerintah mengajukan naskah Rancangan Undang Undang Keistimewaan Yogyakarta yang akan dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam rancangan itu pemerintah memisahkan pemilihan kepala daerah di Yogyakarta dengan posisi Sultan maupun Pakualam. Kepala daerah di Provinsi itu akan dipilih lewat pemilihan langsung. Hal inilah yang mendapat tentangan dari msyarakat Yogyakarta. Sementara itu Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi mengatakan RUU Keistimewaan Yogyakarta akan disampaikan ke DPR. "Mudah-mudahan," katanya. RUU tersebut sudah diterima dari Kementerian Dalam Negeri sejak pekan lalu. "Sudah (masuk)," ujarnya.

Sikap fraksi Partai Demokrat (FPD) yang dibacakan juru bicaranya Agung Prasetyo menimbulkan reaksi keras para warga yang berkumpul di halaman DPRD DIY, kawasan Malioboro. Mereka menilai sikap fraksi Demokrat tidak jelas alias mengambang. Ramai-ramai, warga meneriakkan " huuu ' panjang beberapa kali. Banyak dari warga yang berdiri di jalan, ramai-ramai pulang karena menganggap sikap partai penyokong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak jelas. 

Polisi pun bereaksi. Agar tidak terjadi sesuatu, usai membacakan sikap fraksinya di depan podium, Agung Prasetyo dievakuasi dari kantor Dewan. Agung dibawa dengan Nanan dengan mobil rantis. Di luar ribuan warga masih membanjiri halaman kantor DPRD DIY. Sebagian lagi berada di sepanjang Jalan Malioboro.
Fraksi Demokrat sendiri mengumumkan sikapnya kalau tidak keberatan kalau Sultan HB X dan Pakualam sebagai gubernur dan wagub seumur hidup. Namun jika pemerintah pusat menetapkan pemilihan, maka Demokrat akan turut memikirkan mekanisme pemilihan itu. Namun FPD juga memilih untuk mengikuti keputusan forum sidang paripurna.

Sidang pleno DPRD sendiri dipimpin Ketua DPRD Yoeke Indra Samawi didampingi tiga Wakil Ketua DPRD DIY yaitu Tutuk Widyo, Danu Ismadi, dan Sukadi. Hasil sementara enam fraksi menyatakan setuju dengan penetapan. Enam fraksi itu adalah PDIP, PAN, Golkar, PKD, PKB, dan Fraksi Gabungan.

Sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Daerah Istimewa Yogyakarta, serta "Sidang Rakyat" yang diikuti puluhan ribu warga Yogyakarta hari ini, Senin 13 Desember 2010 tak akan berpengaruh pada sikap pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang tentang Keistimewaan Yogyakarta. Hal ini ditegaskan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Menurut dia, pemerintah bersama DPR akan membuat undang-undang, bukan peraturan daerah atau Perda.

"Kita akan buat undang-undang, bukan Perda. DPRD Yogya bisa saja seperti itu, tapi memang tidak ada mekanismenya (pembuatan undang-undang) dengan DPRD," kata Gamawan di sela-sela rapat dengan Komisi I DPR, hari ini.

Pemerintah, kata Gamawan, akan tetap dalam posisinya yakni Gubernur DIY dipilih secara langsung oleh rakyat, dan bukan melalui jalur penetapan. Menurut dia, sidang yang digelar DPRD Yogyakarta juga tak akan berpengaruh, karena bisa saja suara fraksi-fraksi yang ada di daerah berbeda dengan sikap fraksi partai di DPR pusat. Karena itu pihaknya meminta masyarakat menanti pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta yang akan berlangsung di DPR. "Kita lihatlah nanti di DPR," ujarnya. Draft RUU Keistimewaan Yogyakarta saat ini telah disampaikan ke Sekretariat Negara. Dia berharap dalam waktu dekat draft itu akan segera diserahkan ke DPR.

Sumber: indonesian.irib.ir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar