Minggu, 07 November 2010

Gunung Malabar



















Gunung Malabar terbentuk akibat aktivitas pembentukan gunung api kala Plistosen Awal ( 5 juta tahun yang lalu). Bersamaan dengan gunung api lainnya yang membentuk deretan gunung api diantaranya Gunung Kamojang-Guntur, Gunung Cikuray, Gunung Wayang, Gunung Malabar, Gunung Papandayan, dan Gunung Patuha.
Seperti gunung-gunung di Jawa lainnya, Gunung Malabar dahulunya merupakan tempat pemujaan dengan patung Hindunya. Tidak mengherankan bila nama Malabar berasal dari nama pantai Malabar di India. Tradisi dan kebudayaan Hindu dahulu memang sangat kental di wilayah Jawa Barat, seperti tradisi wayang yang masih tersisa hingga saat ini.
Untuk menuju ke gunung Malabar dari Bandung ambil jurusan ke Banjaran, melintasi jalan pegunungan dengan pemandangan sawah-sawah yang bertingkat, sekitar 5 km berbelok ke kiri menuju Kawsan Bumi Perkemahan.

Bumi Perkemahan terletak di dekat perkebunan Teh. Sangat baik untuk melakukan jalan santai menuju air terjun, atau melakukan perjalanan yang lebih serius yaitu mendaki gunung Malabar.

Patahan yang lebar terbentuk ketika terjadi letusan jaman purba yang besar. Pada jaman pemerintahan kolonial Belanda di lokasi ini didirikan pemancar radio Malabar. Untuk berkomunikasi antara pemerintahan Jawa dengan pemerintahan pusat di Belanda yang berjarak 12.000 km. Pada tanggal 5 mei 1923 Radio Malabar mengudara dengan kekuatan yang sangat besar yakni 1.800 KWatt. Pemancar radio ini di suplay oleh pembangkit listrik tenaga air Lamajan.


Transportasi

Untuk menuju ke gunung Malabar dari Bandung ambil jurusan ke Banjaran, melintasi jalan pegunung an dengan pemandangan sawah-sawah yang bertingkat, sekitar 5 km berbelok ke kiri menuju Kawsan Bumi Perkemahan.
Bumi Perkemahan terletak di dekat perkebunan Teh. Sangat baik untuk melakukan jalan santai menuju air terjun, atau melakukan perjalanan yang lebih serius yaitu mendaki gunung Malabar. 


Misteri dan Legenda
Seperti gunung-gunung di Jawa lainnya, Gunung Malabar dahulunya merupakan tempat pemujaan dengan patung Hindunya. Tidak mengherankan bila nama Malabar berasal dari nama pantai Malabar di India. Tradisi dan kebudayaan Hindu dahulu memang sangat kental di wilayah Jawa Barat, seperti tradisi wayang yang masih tersisa hingga saat ini.
 Sumber: id.merbabu.com





Gunung Malabar, Melebar ke Semua Arah


Bila pandangan diarahkan ke selatan Kota Bandung, akan terlihat gunung yang membentengi cekungan ini dari sisi selatan. Karena wujudnya yang mengagumkan, Gunung Malabar mempunyai arti yang sangat strategis dalam kehidupan masyarakat, baik estetika, religi, sosial, maupun ekonomi.

Hawa yang dingin dengan limpahan hujan yang cukup, lereng gunung ini memberikan keberkahan yang luar biasa. Setiap bagian dari lerengnya menyajikan kesempatan pada berbagai tanaman untuk tumbuh subur.
Keberlimpahan alam ini dimanfaatkan dengan baik oleh penjajah Belanda untuk membuka perkebunan teh di lereng-lerengnya. Karena pengelolaannya dilakukan dengan kesungguhan hati dan pengetahuan, hasilnya pun sangat menggembirakan.


Selimut halimun membungkus permadani hijau pucuk-pucuk teh yang terhampar berbukit-bukit. Perkebunan teh tumbuh subur di lereng Gunung Malabar, berkembang pesat di tangan Karel Albert Bosscha (15 Méi 1865 – 26 November 1928), pengusaha dermawan yang kematiannya ditangisi banyak orang. Hatinya sebening embun pagi yang bergelantungan di halusnya pucuk-pucuk teh. Kenangan akan Bosscha abadi, kebaikannya terasa hadir bersama dinginnya halimun putih yang melayang-layang di perkebunan.
Kualitas teh dari perkebunan ini sangat istimewa sehingga nama Malabar yang menempel pada nama perkebunan itu semakin termasyhur ke seantero jagat.



Nama Malabar yang menempel pada nama Perkebunan Teh Malabar semakin dikenal di dunia dengan dibuatnya film dokumenter oleh Andre de la Varre yang berjudul “The Story of Tea” tahun 1937, berselang 9 tahun setelah K.A. Bosscha wafat. Film bisu hitam putih yang asli dibuat pada film 35 mm. Ini menceritakan tentang proses pabrikasi teh, mulai dari kebun, para pemetik teh di kebun, pekerja di pabrik, prosesnya, hingga pengiriman ke pelabuhan dan pengapalannya dari pelabuhan Cirebon untuk menuju kota-kota dunia.
Film ini diakhiri dengan gambaran laut yang luas, di atas dek kapal terdapat kursi-kusi santai yang di mejanya terdapat cangkir-cangkir berisi air teh.



Nama Malabar bertambah terkenal ketika radio komunikasi Malabar memancar dari lembah kompleks Gunung Malabar, memperlancar komunikasi antara penjajah dan negara jajahannya di Hindia Belanda.


Namun, sesungguhnya jauh sebelum bangsa Eropa datang di Tatar Sunda, nama Malabar sudah dikenal dan diabadikan dalam nama kerajaan. Kerajaan Malabar (abad IV-V M) adalah satu di antara 46 kerajaan wilayah di bawah Kerajaan Tarumanagara, seperti yang tercantum dalam pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara, yang merupakan prosiding seminar yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta dari Keraton Cirebon tahun 1677 M.

Di mana lokasi bekas kerajaan Malabar itu? Ini pekerjaan rumah yang belum pernah dijawab. Tampaknya untuk berhipotesis di mana lokasi bekas Kerajaan Malabar pun kita tak mampu.

Nama Malabar sudah sangat terkenal pada saat itu, boleh jadi di puncak-puncaknya ada tempat-tempat yang disucikan sehingga seorang Bujangga Manik, rahib Kerajaan Sunda pada abad ke-15 sudah sangat mengenali gunung ini. Bujangga Manik menulis gunung ini dengan sebutan Bukit Malabar, seperti yang ditulisnya dalam perjalanan sucinya mengelilingi Pulau Jawa dan Pulau Bali.

“….Sadari aing ti inya,
cunduk ka Mandala Beutung,
ngalalar ka Mulah Beunghar,
landeuheun ka Tigal Luar,
ka tukang Bukit Malabar,
ka gédéng Bukit Bajogé….”

Lalu, apa arti kata malabar yang sangat termasyhur melewati rentangan zaman? Kata malabar sesungguhnya tidak biasa terdengar dalam ucapan bahasa Sunda sehingga orang selalu menghubungkan kata ini dengan nama tempat yang ada di India.

Namun, Jonathan Rigg. (1862) berpendapat lain. Bisa jadi malabar berasal dari kata labar-lébér atau lébér-labar, yang berarti meluber, melebar ke semua arah. Penambahan awalan ma, yang sekarang menjadi tidak produktif dipergunakan dalam bahasa Sunda, namun dalam bahasa Sunda lama hal itu sudah biasa sehingga menjadi kata yang menggambarkan keadaan atau peristiwa yang terjadi, dan menjadi enak diucapkan. Seperti kata lébér menjadi malébér, labar menjadi malabar, rieus – marieus, seuseup – manyeusep, dan lain-lain.
Tampaknya, penamaan itu erat kaitannya dengan geomorfologi, bentuk muka bumi gunung ini yang besar, yang lereng-lerengnya meluber, melebar ke semua arah. Letusannya pada masa prasejarah, laharnya meluber mengisi lembah-lembah hingga jauh ke utara mengisi bagian tengah dari Cekungan Bandung. Pastilah saat letusan dahsyat terakhir itu pun, manusia Bandung belum menghuni tempat ini.

Gunung yang berada pada garis lintang 7.13°S-7°8`0″S dan garis bujur 107.65°E-107°39`0″E ini menjulang setinggi 2.321 m dpl, tidak digolongkan ke dalam gunung api aktif karena gunung ini tidak diketahui letusannya dan sudah lama padam, atau sedang beristirahat menghimpun kembali energinya untuk kembali meledak?



Bila dilihat dari Kota Bandung, lereng-lerengnya sudah teriris-iris oleh kekuatan air. Dalam jangka waktu yang panjang, kekuatan air itu telah mengerosi lereng membentuk lembah-lembah yang dalam dan lebar. Kenyataan ini menunjukkan bahwa umur Gunung Malabar sudah tergolong tua.

Kapan Gunung Malabar aktif dan kemudian ambruk, masih menyimpan teka-teki. Banyak pendapat mengenai hal ini, tetapi belum ada yang menyintesiskan dengan baik, masih berupa kepingan-kepingan yang terpisah. R. Soeria-Atmadja, et al. (1991) dalam tulisannya, The Tertiary Magmatic Belts in Java, menulis bahwa gunung ini aktif antara 4,4 – 2,6 juta tahun yang lalu. Kemudian, Edy Sunardi (1996) dalam disertasinya, “Magnetic Polarity Stratigraphy of the Plio-Pleistocene Volcanic Rocks around the Bandung Basin, West Java, Indonesia”, diketahui umur aliran lava di kaki Gunung Malabar, yaitu di tiga tempat di Gunung Koromong, Baleendah, hasilnya menunjukkan bahwa lava di sana berumur 3,40, 3,07, dan 2,87 juta tahun yang lalu.

Dalam peta geologi lembar Garut dan Pameungpeuk yang dibuat M. Alzwar, N. Akbar, dan S. Bachri (1992), dapat kita amati penampang yang memotong Gunung Malabar, di sana terlihat bahwa gunung ini terbangun di antaranya oleh aliran lava yang mengalir hingga ke utara, seperti yang diukur oleh Edy Sunardi, kemudian diikuti letusan yang menghasilkan material yang berupa perselingan lava, breksi, dan tuf yang ketebalannya antara 500 – 1.000 meter lebih dengan radius 15 km, yang terjadi pada awal Plistosen.

Selang beberapa ratus ribu tahun kemudian, terjadi patahan yang memanjang lebih dari 25 km arah barat – timur, dengan bagian selatannya yang turun. Pada Plistosen tengah, gunung ini aktif kembali dengan dahsyatnya, material letusannya mengisi lembah patahan, terdiri dari tuf dan breksi yang mengandung sedikit batu apung dan lava dengan ketebalan antara 100 – 1.000 meter lebih dengan radius 10 km.

Untuk mengetahui kronologi dan besaran letusan Gunung Malabar secara terperinci dan akurat memang perlu penelitian khusus. Tampaknya harus ada penelitian untuk disertasi yang mengambil judul ini sehingga akan diketahui sejarah gunung ini dengan baik, seperti yang pernah dilakukan Mochamad Nugraha Kartadinata (2005) untuk kronologi letusan Gunung Sunda.

Minggu terakhir Maret dan awal April 2008, jalanan di Majalaya dipenuhi lumpur selutut tebalnya. Ini semua terbawa dari lereng-lereng di selatan kota itu. Tidak mungkin lumpur itu turun dengan sendirinya. Pada lima tahun terakhir, hujan juga mengguyur kawasan itu, tetapi tidak membawa lumpur sebanyak ini. Lalu apa yang salah dengan banjir lumpur yang menimbun persawahan, perkampungan, mendangkalkan sungai, dan menguruk jalan-jalan serta menyengsarakan masyarakatnya? Jawabannya pasti, pengelolaan lahan di lereng-lereng Gunung Malabar sudah tak akrab lingkungan lagi. Inilah fakta yang tak terbantahkan!


Padahal, kawasan seluas 8 ha yang berada di Kabupaten Bandung pada ketinggian rata-rata 1.600 m dpl itu sudah menjadi Cagar Alam Gunung Malabar berdasarkan SK Mentan 523/Kpts/Um/10/73 tanggal 20-10-1973. Cagar Alam ini memiliki keindahan alam yang luar biasa dengan kekayaan botani yang menarik. Sayangnya, cagar alam yang didominasi oleh hutan pegunungan ini kondisinya menyedihkan, di sana terjadi penebangan hutan dan perburuan. Perlu perencanaan untuk memperluas daerah perlindungan sehingga mencakup wilayah Gunung Malabar yang lebih luas.

Sumber : Harian Umum Pikiran Rakyat 3 Juni 2008


Gunung Salak


Gunung Salak, dilihat dari arah Bogor
Gunung Salak merupakan sebuah gunung berapi yang terdapat di pulau Jawa, Indonesia. Gunung ini mempunyai beberapa puncak, di antaranya Puncak Salak I dan Salak II. Letak astronomis puncak gunung ini ialah pada 6°43' LS dan 106°44' BT. Tinggi puncak Salak I 2.211 m dan Salak II 2.180 m dpl. Ada satu puncak lagi bernama Puncak Sumbul dengan ketinggian 1.926 m dpl.
Secara administratif, Gunung Salak termasuk dalam wilayah Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengelolaan kawasan hutannya semula berada di bawah Perum Perhutani KPH Bogor, namun sejak 2003 menjadi wilayah perluasan Taman Nasional Gunung Halimun, kini bernama Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

 

Vulkanologi dan geologi

Gunung Salak merupakan gunung api strato tipe A. Semenjak tahun 1600-an tercatat terjadi beberapa kali letusan, di antaranya rangkaian letusan antara 1668-1699, 1780, 1902-1903, dan 1935. Letusan terakhir terjadi pada tahun 1938, berupa erupsi freatik yang terjadi di Kawah Cikuluwung Putri.

Menurut Hartman (1938) Gunung Salak I merupakan bagian gunung yang paling tua. Disusul oleh Gunung Salak II dan kemudian muncul Gunung Sumbul. Sedangkan Kawah Ratu diperkirakan merupakan produk akhir dari Gunung Salak. Kawah Cikuluwung Putri dan Kawah Hirup masih merupakan bagian dari Kawah Ratu.



Jalur pendakian

Gunung Salak dapat didaki dari beberapa jalur pendakian. Puncak yang paling sering didaki adalah puncak II dan I. Jalur yang paling ramai adalah melalui Curug Nangka, di sebelah utara gunung. Melalui jalur ini, orang akan sampai pada puncak Salak II.
Puncak Salak I biasanya didaki dari arah timur, yakni Cimelati dekat Cicurug. Salak I bisa juga dicapai dari Salak II, dan dengan banyak kesulitan, dari Sukamantri, Ciapus.

Jalur lain adalah ‘jalan belakang’ lewat Cidahu, Sukabumi, atau dari Kawah Ratu dekat Gunung Bunder.
Selain itu Gunung Salak lebih populer sebagai ajang tempat pendidikan bagi klub-klub pecinta alam, terutama sekali daerah punggungan Salak II. Ini dikarenakan medan hutannya yang rapat dan juga jarang pendaki yang mengunjungi gunung ini. Juga memiliki jalur yang cukup sulit bagi para pendaki pemula dikarenakan jalur yang dilewati jarang kita temukan cadangan air kecuali di Pos I jalur pendakian Kawah Ratu, beruntung di puncak Gunung ( 2211 Mdpl ) ditemukan kubangan mata air.Gunung Salak meskipun tergolong sebagai gunung yang rendah, akan tetapi memiliki keunikan tersendiri baik karakteristik hutannya maupun medannya.



Tutupan hutan

Hutan-hutan di Gunung Salak terdiri dari hutan pegunungan bawah (submontane forest) dan hutan pegunungan atas (montane forest).
Bagian bawah kawasan hutan, semula merupakan hutan produksi yang ditanami Perum Perhutani. Beberapa jenis pohon yang ditanam di sini adalah tusam (Pinus merkusii) dan rasamala (Altingia excelsa). Kemudian, sebagaimana umumnya hutan pegunungan bawah di Jawa, terdapat pula jenis-jenis pohon puspa (Schima wallichii), saninten (Castanopsis sp.), pasang (Lithocarpus sp.) dan aneka jenis huru (suku Lauraceae).
Di hutan ini, pada beberapa lokasi, terutama di arah Cidahu, Sukabumi, ditemukan pula jenis tumbuhan langka yang bernama Rafflesia rochussenii yang menyebar terbatas sampai Gunung Gede dan Gunung Pangrango di dekatnya.
Pada daerah-daerah perbatasan dengan hutan, atau di dekat-dekat sungai, orang menanam jenis-jenis kaliandra merah (Calliandra calothyrsus), dadap cangkring (Erythrina variegata), kayu afrika (Maesopsis eminii), jeunjing (Paraserianthes falcataria) dan berbagai macam bambu.



Margasatwa

Aneka margasatwa ditemukan di lereng Gunung Salak, mulai dari kodok dan katak, reptil, burung hingga mamalia.

Hasil penelitian D.M. Nasir (2003) dari Jurusan KSH Fakultas Kehutanan IPB, mendapatkan 11 jenis kodok dan katak di lingkungan S. Ciapus Leutik, Desa Tamansari, Kab. Bogor. Jenis-jenis itu ialah Bufo asper, B. melanostictus, Leptobrachium hasseltii, Fejervarya limnocharis, Huia masonii, Limnonectes kuhlii, L. macrodon, L. microdiscus, Rana chalconota, R. erythraea dan R. hosii. Hasil ini belum mencakup jenis-jenis katak pohon, dan jenis-jenis katak pegunungan lainnya yang masih mungkin dijumpai. Di Cidahu juga tercatat adanya jenis bangkong bertanduk (Megophrys montana) dan katak terbang (Rhacophorus reinwardtii).

Berbagai jenis reptil, terutama kadal dan ular, terdapat di gunung ini. Beberapa contohnya adalah bunglon Bronchocela jubata dan B. cristatella, kadal kebun Mabuya multifasciata dan biawak sungai Varanus salvator. Jenis-jenis ular di Gunung Salak belum banyak diketahui, namun beberapa di antaranya tercatat mulai dari ular tangkai (Calamaria sp.) yang kecil pemalu, ular siput (Pareas carinatus) hingga ular sanca kembang (Python reticulatus) sepanjang beberapa meter.

Gunung Salak telah dikenal lama sebelumnya sebagai daerah yang kaya burung, sebagaimana dicatat oleh Vorderman (1885). Hoogerwerf (1948) mendapatkan tidak kurang dari 232 jenis burung di gunung ini (total Jawa: 494 jenis, 368 jenis penetap). Beberapa jenis yang cukup penting dari gunung ini ialah elang jawa (Spizaetus bartelsi) dan beberapa jenis elang lain, ayam-hutan merah (Gallus gallus), Cuculus micropterus, Phaenicophaeus javanicus dan P. curvirostris, Sasia abnormis, Dicrurus remifer, Cissa thalassina, Crypsirina temia, burung kuda Garrulax rufifrons, Hypothymis azurea, Aethopyga eximia dan A. mystacalis, serta Lophozosterops javanica.

Sebagaimana halnya reptil dan kodok, catatan mengenai mamalia Gunung Salak pun tidak terlalu banyak. Akan tetapi di gunung ini jelas ditemukan beberapa jenis penting seperti macan tutul (Panthera pardus), owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata) dan trenggiling (Manis javanica).



Pemandangan Gunung Salak
Pemandangan Gunung Salak

Bagi masyarakat yang hobi dan suka alam bebas, Gunung Salak merupakan salah satu tujuan mereka guna memenuhi kepuasan untuk bagaimana caranya menghargai dan mencintai alam. Gunung Salak mempunyai pemandangan dan pesona alam yang masih asri. Bila Anda ingin mencoba wisata petualangan dengan mendaki Gunung Salak, Anda dapat menggunakan beberapa jalur pendakian, salah satunya melalui Jalur Girijaya dan Jalur Kutajaya (Cimelati).


Gunung Salak sejak jaman dahulu sudah sering dikunjungi oleh para pejiarah, karena terdapat patung pemujaan di puncak gunung Salak. Selain itu terdapat juga makam Embah Gunung Salak yang sering dikunjungi para pejiarah. Sedangkan di kaki Gunung Salak banyak terdapat tempat-tempat keramat, salah satunya adalah makam keramat dan ada juga pura dengan sebutan Kuil Prabu Siliwangi.

Pendakian sebaiknya dilakukan pada musim kemarau, karena pada musim penghujan jalur menjadi becek seperti rawa dan licin sekali. Selain itu angin seringkali bertiup kencang. Sebenarnya gunung ini dapat didaki dari beberapa jalur, di antaranya jalur yang umum sering dipakai adalah jalur dari Wana Wisata Cangkuang Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi. Dari Cangkuang ini ada dua jalur yakni jalur lama yang menuju puncak Gunung Salak 1 dan jalur baru yang menuju Kawah Ratu. Jalur yang penuh dengan nuansa mistik untuk berziarah adalah jalur dari Wana Wisata Curug Pilung, Desa Giri Jaya, Kecamatan Cidahu, Desa Kutajaya / Cimelati.

Di sekitar pintu masuk Wana Wisata ini terdapat tempat-tempat yang nyaman untuk berkemah, juga banyak terdapat warung-warung makanan. Untuk menuju ke Kawah Ratu diperlukan waktu sekitar 3-5 jam perjalanan, sedangkan untuk menuju ke puncak Gunung Salak I diperlukan waktu sekitar 8 jam.
Dari bumi perkemahan menuju shelter I, jalur awalnya cukup curam, berupa batu-batuan yang ditata rapi. Kemudian akan memasuki kawasan hutan tropis yang lebat dengan pohon-pohon yang besar, sekitar 1/2 jam kemudian Anda akan melewati jalur yang bervariasi, datar, naik dan turun.

Menuju shelter II, jalur mulai lembab dan basah. Beberapa sungai kecil akan Anda lewati, namun bila musim kemarau sungai ini akan kering. Anda akan menyusuri jalur yang banyak ditumbuhi pohon-pohon pisang, namun jangan berharap menemukan buah pisang yang matang karena daerah ini banyak di huni monyet. Bila hari menjelang sore kita akan menyaksikan monyet-monyet bergelantungan di sarang mereka di sekitar jalur ini.

Di shelter II ini terdapat tempat yang cukup luas untuk mendirikan tenda, dengan pemandangan hutan tropis yang masih lebat, dan di dekat shelter II ini juga terdapat sungai. Menuju shelter III, Anda akan melewati jalan-jalan yang becek dan berlumpur. Bahkan di beberapa tempat, jalur berupa tanah licin yang curam, namun Anda masih agak tertolong adanya akar-akar pohon.

Untuk menuju shelter IV jalur semakin curam terutama di musim hujan licin sekali karena berupa tanah merah. Di beberapa tempat Anda akan melewati tempat-tempat becek yang kadang kedalamannya mencapai dengkul kaki. Anda akan melewati dua buah sungai yang jernih airnya, sebaiknya Anda mengambil air bersih disungai tersebut karena di sanalah sumber air bersih terakhir yang bisa dijumpai.
Shelter IV merupakan persimpangan jalan. Untuk menuju ke Kawah Ratu ambil jalan ke kiri, sedangkan untuk menuju ke puncak Gunung Salak ambil jalur ke kanan. Di shelter IV yang cukup luas ini Anda juga dapat mendirikan tenda.

Bagaimana, cukup seru bukan? nah buat Anda yang hobi wisata petualangan, tidak ada salahnya jika mencoba mendaki Gunung Salak, selain untuk memuaskan hati, Anda juga bisa merasakan keindahan alam yang tak ternilai harganya.





sumber: wikipedia & bogoronline.com

Gunung Ceremai

Gunung Ceremai dari arah Cigugur, Kuningan
 
Gunung Ceremai (seringkali secara salah kaprah dinamakan "Ciremai") secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Posisi geografis puncaknya terletak pada 6° 53' 30" LS dan 108° 24' 00" BT, dengan ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut. Gunung ini merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat.
Gunung ini memiliki kawah ganda. Kawah barat yang beradius 400 m terpotong oleh kawah timur yang beradius 600 m. Pada ketinggian sekitar 2.900 m dpl di lereng selatan terdapat bekas titik letusan yang dinamakan Gowa Walet.

Kini G. Ceremai termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), yang memiliki luas total sekitar 15.000 hektare.
Nama gunung ini berasal dari kata cereme (Phyllanthus acidus, sejenis tumbuhan perdu berbuah kecil dengan rada masam), namun seringkali disebut Ciremai, suatu gejala hiperkorek akibat banyaknya nama tempat di wilayah Pasundan yang menggunakan awalan 'ci-' untuk penamaan tempat.


Vulkanologi dan geologi

G. Careme di awal abad ke-20. Foto koleksi Tropenmuseum Amsterdam.

Gunung Ceremai termasuk gunungapi Kuarter aktif, tipe A (yakni, gunung api magmatik yang masih aktif semenjak tahun 1600), dan berbentuk strato. Gunung ini merupakan gunungapi soliter, yang dipisahkan oleh Zona Sesar Cilacap – Kuningan dari kelompok gunungapi Jawa Barat bagian timur (yakni deretan Gunung Galunggung, Gunung Guntur, Gunung Papandayan, Gunung Patuha hingga Gunung Tangkuban Perahu) yang terletak pada Zona Bandung.

Ceremai merupakan gunungapi generasi ketiga. Generasi pertama ialah suatu gunungapi Plistosen yang terletak di sebelah G. Ceremai, sebagai lanjutan vulkanisma Plio-Plistosen di atas batuan Tersier. Vulkanisma generasi kedua adalah Gunung Gegerhalang, yang sebelum runtuh membentuk Kaldera Gegerhalang. Dan vulkanisma generasi ketiga pada kala Holosen berupa G. Ceremai yang tumbuh di sisi utara Kaldera Gegerhalang, yang diperkirakan terjadi pada sekitar 7.000 tahun yang lalu (Situmorang 1991).

Letusan G. Ceremai tercatat sejak 1698 dan terakhir kali terjadi tahun 1937 dengan selang waktu istirahat terpendek 3 tahun dan terpanjang 112 tahun. Tiga letusan 1772, 1775 dan 1805 terjadi di kawah pusat tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Letusan uap belerang serta tembusan fumarola baru di dinding kawah pusat terjadi tahun 1917 dan 1924. Pada 24 Juni 1937 – 7 Januari 1938 terjadi letusan freatik di kawah pusat dan celah radial. Sebaran abu mencapai daerah seluas 52,500 km bujursangkar (Kusumadinata, 1971). Pada tahun 1947, 1955 dan 1973 terjadi gempa tektonik yang melanda daerah baratdaya G. Ciremai, yang diduga berkaitan dengan struktur sesar berarah tenggara – barat laut. Kejadian gempa yang merusak sejumlah bangunan di daerah Maja dan Talaga sebelah barat G. Ceremai terjadi tahun 1990 dan tahun 2001. Getarannya terasa hingga Desa Cilimus di timur G. Ceremai.

Jalur pendakian

Puncak gunung Ceremai dapat dicapai melalui banyak jalur pendakian. Akan tetapi yang populer dan mudah diakses adalah melalui Desa Palutungan dan Desa Linggarjati di Kab. Kuningan, dan Desa Apuy di Kab. Majalengka. Satu lagi jalur pendakian yang jarang digunakan ialah melalui Desa Padabeunghar di perbatasan Kuningan dengan Majalengka di utara. Di kota Kuningan terdapat kelompok pecinta alam "Akar (Aktivitas Anak Rimba)" yang dapat membantu menyediakan berbagai informasi dan pemanduan mengenai pendakian Gunung Ceremai.

Keanekaragaman hayati

Vegetasi

Hutan-hutan yang masih alami di Gunung Ceremai tinggal lagi di bagian atas. Di sebelah bawah, terutama di wilayah yang pada masa lalu dikelola sebagai kawasan hutan produksi Perum Perhutani, hutan-hutan ini telah diubah menjadi hutan pinus (Pinus merkusii), atau semak belukar, yang terbentuk akibat kebakaran berulang-ulang dan penggembalaan. Kini, sebagian besar hutan-hutan di bawah ketinggian … m dpl. dikelola dalam bentuk wanatani (agroforest) oleh masyarakat setempat.

Sebagaimana lazimnya di pegunungan di Jawa, semakin seseorang mendaki ke atas di Gunung Ciremai ini dijumpai berturut-turut tipe-tipe hutan pegunungan bawah (submontane forest), hutan pegunungan atas (montane forest) dan hutan subalpin (subalpine forest), dan kemudian wilayah-wilayah terbuka tak berpohon di sekitar puncak dan kawah.

Lebih jauh, berdasarkan keadaan iklim mikronya, LIPI (2001) membedakan lingkungan Ciremai atas dataran tinggi basah dan dataran tinggi kering. Sebagai contoh, hutan di wilayah Resort Cigugur (jalur Palutungan, bagian selatan gunung) termasuk beriklim mikro basah, dan di Resort Setianegara (sebelah utara jalur Linggarjati) beriklim mikro kering.

Secara umum, jalur-jalur pendakian Palutungan (di bagian selatan Gunung Ciremai), Apuy (barat), dan Linggarjati (timur) berturut-turut dari bawah ke atas akan melalui lahan-lahan pemukiman, ladang dan kebun milik penduduk, hutan tanaman pinus bercampur dengan ladang garapan dalam wilayah hutan (tumpangsari), dan terakhir hutan hujan pegunungan. Sedangkan di jalur Padabeunghar (utara) vegetasi itu ditambah dengan semak belukar yang berasosiasi dengan padang ilalang. Pada keempat jalur pendakian, hutan hujan pegunungannya dapat dibedakan lagi atas tiga tipe yaitu hutan pegunungan bawah, hutan pegunungan atas dan vegetasi subalpin di sekitar kawah. Kecuali vegetasi subalpin yang diduga telah terganggu oleh kebakaran, hutan-hutan hujan pegunungan ini kondisinya masih relatif utuh, hijau dan menampakkan stratifikasi tajuk yang cukup jelas.

Margasatwa

Keanekaragaman satwa di Ceremai cukup tinggi. Penelitian kelompok pecinta alam Lawalata IPB di bulan April 2005 mendapatkan 12 spesies amfibia (kodok dan katak), berbagai jenis reptil seperti bunglon, cecak, kadal dan ular, lebih dari 95 spesies burung, dan lebih dari 20 spesies mamalia.
Beberapa jenis satwa itu, di antaranya:
a:
    • Bangkong bertanduk (Megophrys montana)
    • Percil Jawa (Microhyla achatina)
    • Kongkang Jangkrik (Rana nicobariensis)
    • Kongkang kolam (Rana chalconota)
    • Katak-pohon Emas (Philautus aurifasciatus)
    • Bunglon Hutan (Gonocephalus chamaeleontinus)
    • Cecak Batu (Cyrtodactylus sp.)
    • Elang Hitam (Ictinaetus malayensis)
    • Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus)
    • Elang Jawa (Spizaetus bartelsi)
    • Puyuh-gonggong Jawa (Arborophila javanica)
    • Walet Gunung (Collocalia vulcanorum) [masih perlu dikonfirmasi]
    • Takur Bultok (Megalaima lineata)
    • Takur Tulung-tumpuk (Megalaima javensis)
    • Berencet Kerdil (Pnoepyga pusilla)
    • Anis Gunung (Turdus poliochepalus)
    • Tesia Jawa (Tesia superciliaris)
    • Ceret Gunung (Cettia vulcania)
    • Kipasan Ekor-merah (Rhipidura phoenicura)
    • Burung-madu Gunung (Aethopyga eximia)
    • Burung-madu Jawa (Aethopyga mystacalis)
    • Kacamata Gunung (Zosterops montanus)
  • Tenggiling (Manis javanica)
  • Tupai kekes (Tupaia javanica)
  • Kukang (Nycticebus coucang)
  • Lutung Surili (Presbytis comata)
  • Lutung Budeng (Trachypithecus auratus)
  • Ajag (Cuon alpinus)
  • Teledu Sigung (Mydaus javanensis)
  • Kucing Hutan (Prionailurus bengalensis)
  • Macan Tutul (Panthera pardus)
  • Kancil (Tragulus javanicus)
  • Kijang (Muntiacus muntjak)
  • Jelarang Hitam (Ratufa bicolor)
  • Landak Jawa (Hystrix javanica)


Gunung ini berada pada posisi geografis 6°53 1/2' LS dan 108°24' BT. Diantara tiga kabupaten, Cirebon, Majalengka dan Kuningan. Tertinggi di Jawa Barat yaitu 3078m. Dipuncak gunung ini terdapat beberapa kawah, diantaranya Kawah Barat, Kawah Timut, dan Goa Walet. Air agak susah ditemukan di gunung ini, terlebih lagi jika pendakian dimulai dari Linggarjati. Sebaik anda membawa perbekalan air yang cukup untuk perjalanan anda. Dari Jakarta gunung ini bisa dicapai dengan menggunakan bus kearah Kuningan atau Cirebon. Dan dari Cirebon kita mempunyai beberapa rute pendakian. Digunung ini banyak sekali kita jumpai monyet yang kadang-kadang melopat dari dahan kedahan mengikuti para pendaki. Dimusim hujan suhu dipuncak gunung Cereme bisa mencapai 2°c.
Rute Pendakian

AKSES TRANSPORTASI
Rute Apuy
Dari Jakarta naik bus menuju Kuningan (Rp. 20.000) lalu turun di pertigaan Palimanan. Dari pertigaan Palimanan naik mobil minibus (ELF/L300) jurusan Kadipaten dan turun di terminal Kadipaten (Rp.5.000), kemudian disambung lagi dengan menumpang minibus (ELF/L300) jurusan Talaga dan turun di terminal Maja (Rp.5.000). Terakhir angkutan disambung dengan memakai kendaraan pick-up menuju Apuy dengan tarif Rp.2.500.

Alternatif lain menuju Maja
Dari perapatan Palimanan naik minibus (ELF/L300) menuju Rajagaluh dan turun di terminal Rajagaluh Rp.3.000. Dari terminal Rajagaluh dilanjutkan naik colt menuju Majalengka dan turun di Cikasong, (Rp.2.000) dan disambung dengan menyetop minibus L300 yang dari Kadipaten menuju Maja (Rp.2.000)
Bisa juga dari pertigaan Palimanan menuju Maja mencarter minibus (ELF/L300) harga tergantung tawar menawar, biasanya Rp.110.000 per satu mobil.

Rute Palutungan
Dari Jakarta naik bus menuju Cirebon atau bias juga naik kereta api, kemudian dilanjutkan dengan naik angkot menuju Cigugur. Kemudian naik Ojek ke Palutungan.

Rute Linggajati

Dari Jakarta naik bus menuju Kuningan dan turun di Pertigaan Cilimus. Kemudian dilanjutkan dengan naik angkot atau naik ojek menuju Desa Linggajati, yang hanya berjarak 4 -5 km.


JALUR PENDAKIAN DARI JALUR APUY:

Rute Apuy adalah rute yang terpendek dibanding dengan dua rute lainnya yang umum dipakai. Akan tetapi untuk pencapaian ke Desa Apuy masih terbentur masalah kendaraan yang masih menggunakan mobil pick-up sayur. Berikut ulasan mengenai jalur Apuy:

Desa Apuy
Desa ini terletak pada ketinggian 1204m dpl dan berada pada Kecamatan Argapura, desa kecil ini merupakan desa terakhir untuk pendakian Gn. Ciremai melalui rute ini. Didesa ini juga terdapat sebuah objek wisata alam berupa sebuah air terjun bertingkat dua. Air terjun ini bernama Curug Muara Jaya. Para pendaki biasanya menginap di rumah Pak Kuwu atau Pak Kepala Desa. Desa ini berada pada koordinat 06° 54’ 38.9” LS dan 108° 21’ 20.0” BT.

Desa Apuy – Pos I ( Blok Arban)
Dari Apuy ke Pos I atau yang disebut juga dengan Blok Arban ini berjarak sekitar 2 jam berjalan kaki, dengan melewati perkebunan penduduk dan banyak sekali jalan bercabang. Alternatif menuju Pos I adalah dengan mencarter mobil Pick-up L300. Di pos ini merupakan tempat untuk mendapatkan air yang terakhir. Pos ini berada pada ketinggian 1.614m dpl dan pada posisi 06° 54’ 50.3” LS dan 108° 22’ 43.4” BT.

Pos I – Pos II (Simpang Lima)
Pos I ke Pos II atau Pos Simpang Lima ini berjarak sekitar 1 jam jalan kaki. Pos ini berada pada ketinggian 1.915m dpl dan pada koordinat 06° 54’ 47.1” LS dan 108° 23’ 10.0” BT. Pos ini tidak begitu luas bisa menampung sekitar 2-3 tenda. Dan dilokasi ini ada tenda terpal yang ditinggalkan pemiliknya, kondisinya masih bagus hanya tidak dipasang sebagaimana mestinya.

Pos II – Pos III (Tegal Wasawa)
Dari Pos II ke Pos III yang dikenal juga dengan Pos Tegal Wasawa, bias ditempuh dengan waktu lebih kurang satu jam. Pos III berada pada ketinggian 2.400m dpl dan pada posisi 06° 54’ 44.1” LS dan 108° 23’ 36.1” BT. Pos ini cukup sempit dan hanya bisa menampung 2 tenda dalam posisi yang cukup rapat.

Pos III – Pos IV (Tegal Jamuju)

Dari Pos III ke Pos IV atau Tegal Jamuju ini berjarak sekitar 50 menit. Pos IV berada pada ketinggian 2.600m dpl dan pada posisi 06° 54’ 33.4” LS dan 108° 23’ 46.9” BT. Pos IV ini cukup luas dan bisa menampung 5-6 tenda.

Pos IV – Pos V (Sanghiang Rangkah)
Pos V atau Sanghiang Rangkah ini berjarak lebih kurang 1.5 jam perjalanan dari Pos IV. Pos Sanghiang Rangkah ini adalah pos yang terluas, disini juga terdapat pertigaan jalur ke Palutungan. Dari Pos V ini keadaan medan sudah terbuka. Pos ini berada pada ketinggian 2.800m dpl dan pada posisi 06° 54’ 17.9” LS dan 108° 23’ 58.7” BT. Pertigaan ke Palutungan juga bisa kita temui setelah kira-kira 30 menit pendakian dari Pos V atau pada posisi 06° 53’ 59.2” LS dan 108° 24’ 08.1” BT.

Pos V – Pos VI (Goa Walet)
Pos VI berada persis diatas Goa Walet dan kita bisa mendapatkan air di Goa Walet yang berasal dari rembesan air dari atap goa. Akan tetapi perlu diingat dimusim kemarau kadang kala airnya kering. Pos VI berada pada ketinggian 2.950m dpl dan pada posisi 06° 53’ 53.1” LS dan 108° 24’ 11.6” BT. Pos ini medannya terbuka serta cukup luas dan bisa menampung 3-4 tenda. Selain di Pos ini kita juga bisa mendirikan tenda di areal Goa Walet dan lebih terlindung dari angin.

Pos VI – Daerah Puncak.

Dari Pos VI ke daerah puncak tidak begitu jauh, kira-kira memakan waktu 30-50 menit. Tanjakan cukup curam. Sampai didaerah puncak bisa mengitari kawah dengan waktu tempuh sekita 2.5 jam. Didaerah puncak ini kita bisa menemukan tiga titik trianggulasi. Jika kita memulai kearah kiri maka titik pertama yang kita temui adalah tiang 2.866m dpl pada posisi 06° 53’ 46.6” LS dan 108° 24’ 15.3” BT yang merupakan titik tertinggi ketiga, kemudian tiang trianggulasi yang sudah rubuh ini adalah titik tertinggi yaitu 3.073m dpl yang dikenal dengan nama Sunan Cirebon terletak pada posisi 06° 53’ 35.0” LS dan 108° 24’ 24.9” BT berikutnya titik ketinggian kedua tertinggi yang dikenal juga dengan nama Sunan Mataram dengan ketinggian 3.056m dpl serta posisi 06° 53’ 40.9” LS dan 108° 24’ 42.3” BT. Tiang Sunan Mataram ini berada persis dekat jalur turun ke Linggar Jati.


JALUR PENDAKIAN LINGGAJATI

Jalur Linggajati ini sangat terjal dan kondisinya hampir bisa dibilang hancur, jika hendak melewati jalur ini, kondisi fisik dan mental harus prima, karena medan Linggajati ini sangat tidak dianjurkan untuk pemula, maupun untuk yang jarang naik gunung. Menurut penduduk setempat jumlah pos jalur ini sampai puncak adalah 28 Pos, karena pos-pos kecil atau daerah kecil yang datar juga dihitung sebagai pos. Highcamp hanya membahas pos-pos yang besar dan umum. Berikut uraian singkat mengenai jalur Linggajati.

Desa Linggajati
Desa ini berada pada ketinggian 700m dpl berada dalam ruang lingkup Kecamatan Cilimus. Titik awal pendakian berada pada akhir jalan aspal dari Desa Linggajati didekat sebuah Villa yang benama Gajah Barong. Pada posisi 06° 52’ 54.1” LS dan 108° 27’ 48.8” BT.

Linggajati – Pos I Cibunar

Linggajati – Pos I atau Cibunar ini jalan setapaknya lebar berbatu dan bisa ditempuh olah mobil bergardan ganda atau motor. Disepanjang jalur hingga pos Cibunar banyak terdapat warung, yang beroperasi pada musim pendakian tapi ada juga yang beroperasi setiap harinya. Pos Cibunar berada pada ketinggian 863m dpl dan pada posisi 06° 53’ 01.19” LS dan 108° 27’ 25.0” BT.

Pos I – Pos II Condang Amis
Pos II atau Condang Amis terdapat sebuah pondok warung yang hanya beroperasi pada musim pendakian tahun baru. Pos ini sangat luas berada pada ketinggian 1.212m dpl dan pada posisi 06° 53’ 11.5” LS dan 108° 26’ 40.5” BT. Keadaan jalan setapak dari Pos Cibunar hingga Pos Condang Amis bertanah licin dengan kemiringan 30 – 50 derajat, hutannya rapat.

Pos II – Pos III Kuburan Kuda

Pos Kuburan kuda atau Pos III ini terletak pada ketinggian 0.000m dpl dan pada posisi 06° 52’ 58.7” LS dan 108° 26’ 21.1” BT. Pos III ini cukup luas bisa menampung 3-4 tenda.

Pos II – Pos IV Pangalap

Pos IV atau disebut juga dengan Pos Pangalap terletak pada ketinggian 1.673m dpl dan pada posisi 06° 53’ 00.9” LS dan 108° 26’ 07.1” BT. Pos ini luas bisa menampung 8-10 tenda.

Pos IV – Pos V Tanjakan Seruni

Pos V atau Pos Tanjakan Seruni ini berada pada ketinggian 1.812m dpl dan pada koordinat 06° 53’ 07.5” LS dan 108° 25’ 53.4” BT. Pos ini juga cukup luas untuk mendirikan tenda.

Pos V – Pos VI Bapa Tere
Pas VI atau Pos Bapa Tere ini berada pada ketinggian 2.146m dpl dan pada koordinat 06° 53’ 21.4” LS dan 108° 25’ 39.4” BT. Pos ini cukup luas akan tetapi Banyak permukaan tersebut yang sedikit miring.

Pos VI – Pos VII Batu Lingga

Pos ini terkenal dengan sebutan tempat keramat, pada pos ini terdapat sebuah batu besar, akan tetapi sekarang sudah tidak ada. Menurut penduduk setempat batu tersebut hilang secara misterius. Pos Batu lingga ini cukup lebar dan berada pada ketinggian 2.365m dpl dan pada koordinat 06° 53’ 24.6” LS dan 108° 25’ 29.9” BT

Pos VII – Pos VIII Sangga Buana 1

Pos Sangga Buana 1 ini cukup luas, bisa menampung 3-4 tenda dan berada pada ketinggian 2.491m dan pada koordinat 06° 53’ 26.5” LS dan 108° 25’ 16.5” BT.

Pos VIII – Pos IX Sangga Buana 2
Pos IX atau Pos Sangga Buana 2 ini tidak begitu besar dan terletak pada ketinggian 2.648m dpl dan pada posisi 06° 53’ 31.2” LS dan 108° 25’ 05.7” BT.

Pos IX – Pos X Pangasinan.
Pos Pangasinan ini adalah merupakan pos yang terakhir menuju daerah puncak. Pos ini berada pada ketinggian 2.842m dpl koordinat 06° 53’ 34.7” LS dan 108° 24’ 55.5” BT. Pos ini cukup lebar dan posisinya terbuka. Permukaannya sedikit miring.


JALUR PENDAKIAN PALUTUNGAN:


Jalur Palutungan adalah jalur yang terpanjang, dan tidak begitu curam karena kondisi konturnya yang landai. Jalur ini sangat cocok untuk dijadikan sebagai jalur turun. Berikut ulasan singkat mengenai jalur Palutungan:

Desa Palutungan
Desa Palutungan ini terletak pada ketinggian 1.100m dpl. Desa ini adalah awal pendakian untuk jaluir Palutungan

Palutungan – Pos I (Pos Cigowong)

Pos satu atau Pos Cigowong ini berada pada ketinggian 1.450m dpl, dan terdiri dari dua pelataran dan masing-masing pelataran terdapat bekas bangunan pos yang tinggal rangka. Disini terdapat sebuah sungai kecil dan dari sini menuju puncak berjarak sekitar 5.6 km.

Pos I – Pos II (Pos Kuta)
Pos Kuta berada pada ketinggian 1.575m dpl, cukup luas untuk mendirikan dua tenda.

Pos II – Pos III (Pos Pangguyangan Badak)
Pos III atau Pos Pangguyangan Badak ini berjarak 4.5 km. Dan berada pada ketinggian 1.800m dpl.

Pos V – Pos VI ( Pos Pasanggrahan)

Pos Pasangrahan ini cukup luas bisa menampung 3 – 4 tenda. Berada pada ketinggian 2.450m dpl serta jarak kepuncak dari pos ini sekitar 1.6 km.

Pos VI – Pos VII (Pos Sanghiang Ropoh)

Pos Sanghiang Ropoh atau Pos VII untuk jalur Palutungan ini berada pada ketinggian 2.650m dpl dan berjarak lebih kurang 1.1 km. Pos ini merupakan pos terakhir pada jalur Palutungan setelah itu jalur Palutungan akan bergabung dengan jalur dari Apuy pada tanjakan batu-batu. Selanjutnya akan bertemu dengan Goa Walet.
Perijinan

ngurusan perijinan untuk rute Apuy tidak begitu berbelit-belit. pengurusan bisa dilakukan dikantor kepala desa yang merupakan kantor PHPA juga atau jika bermalam dirumah bapak Kepala Desa kita bisa langsung mendaftar dirumah kepala desa. Biaya retribusi per orang adalah Rp.4.500,- sudah termasuk asuransi, dengan menuliskan jumlah anggota, alamat dan rencana pendakian pada buku tamu. Dan jika anda membawa radio komunikasi jangan lupa untuk meminta frekweksi yang mereka pakai.

Puncak Ceremai

Untuk perijinan rute Linggajati bisa dilakukan di Pos PPGC Linggajati. Dahulu sebelum adanya pos PPGC, para pendaki mendaftar dirumah penduduk yang merupakan juru kunci gunung ini yaitu Almarhum Pak Ahmad. Pada Pos PPGC ini para pendaki harus mendaftarkan nama dan alamatnya serta membayar asuransi perlindungan wana artha. Biaya pendaftaran Rp.3000 (update unknown) sudah termasuk asuransi. Gunung Cereme adalah gunung yang terberat untuk wilayah Jawa Barat, jadi pendaki dituntut untuk mempunyai kondisi fisik yang baik serta jangan lupa untuk membawa persedian air yang cukup. karena anda tidak akan menemukan air disepanjang jalur linggarjati ini.

Untuk perijinan rute Palutungan dilakukan didesa palutungan tepatnya di pos PPGC Perhutani yang berada diseberang jalan tempat awal pendakian. Tatacara dan biaya sama dengan rute Apuy.
Tempat Menarik

Air Terjun Curug Muara Jaya
Air terjun ini terletak persis didesa Apuy. Dan sudah dikelola dengan baik desa Apuy. Air terjun ini bertingkat dua, tingkat pertamanya setinggi 50m dan tingkat keduanya setinggi 10m. Lokasinya terletak didasar sebuah lembah hasil dari aliran sungai Muara Jaya yang berair bening dan sejuk. Selain sarana pendukung yang sudah tersedia lengkap. Dilokasi ini juga terdapat sebuah camping ground. Air terjun ini selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan pada saat libur ataupun akhir pekan.

Jika melewati jalur Linggajati, ada banyak tempat menarik yang biusa dikunjungi, diantaranya wisata sejarah berupa bangunan bersejarah tempat berlangsungnya perjanjian Linggajati antara pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda. Selain itu juga terdapat kolam pemandian air panas. Untuk akomodasi didesa Apuy tidak ada penginapan, biasanya para pendaki menginap di rumah kepala desa. Sedang di rute Linggajati, terdapat sebuah villa penginapan persis di dekat perbatasan jalan aspal dan jalan menuju Cibunar. Villa ini bernama Villa Gajah Baron.


Sumber: wikiedia & www.piyusahabatalam.co.cu

Gunung Pangrango

Gunung Pangrango

Gunung Pangrango merupakan sebuah gunung yang terdapat di pulau Jawa, Indonesia. Gunung Pangrango mempunyai ketinggian setinggi 3,019 meter.
Gunung Pangrango juga merupakan gunung tertinggi kedua di Jawa Barat setelah Gunung Cereme, dan berada didalam kawasan Taman Nasional Gede Pangrango, tepatnya terletak persis bersebelahan dengan Gunung Gede.
Gunung Pangrango mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.


Gunung Pangrango tegak dengan ketingian 3019 m dpl, gunung merupakan gunung yang kedua tertinggi di Jawa Barat setelah Gunung Cereme dan berada dalam pengawasan Tmana Nasional Gede Pangrango. Pangrango berdiri berdampingan dengan Gunung Gede, akan tetapi tidak seperti Gunung Gede yang selalu dipenuhi oleh pedaki, jumlah pendaki yang mendaki Pangrango tidak terlalu banyak ini membuat gunung ini sedikit lebih bersih dibandingkan dengan Gunung Gede. Ini terlihat dari keadaan jalan setapak yang menuju puncak Pangrango lebih bersih dibandingkan dengan jalan setapak yang menuju puncak Gede. Akses untuk sampai ke gunung ini sama dengan Gunung Gede yaitu dari Cibodas. Bisa juga dari Gunung Putri, hanya saja harus melewati puncak Gunung Gede terlebih dahulu. Jika hanya mau mendaki Pangrango, maka sebaiknya masuk lewat Cibodas. Jalur kepuncak Pangrango dan Gede akan terpisah di Kandang badak. Kekiri merupakan jakur menuju puncak Gede dan kekanan menuju puncak Pangrango.


Rute Pendakian

Keadaan jalan setapak di punggungan Pangrango sangat menantang, sepanjang jalan kita akan disuguhkan oleh tanjakan-tanjakan yang cukup memeras keringat ditambah lagi dengan banyaknya batang kayu yang memalangi jalan setapak membuat para pendaki harus membungkuk dan tak jarang merangkak. Selain itu kadang-kadang kita menemukan jalan setapak yang lama yang melingkar-lingkar naik sudah dipenuhi oleh semak-semak dan tumbuhan perdu karena jarang dilewati, sebagai gantinya muncul jalan setapak yang tegak lurus membelah jalan setapak yang lama dan tetntu saja kondisinya lebih curam dari jalan setapak yang aslinya.

Sampai di ketinggian sekitar 2600 m dpl, jika cuaca cerah tanpa kabut maka akan terlihat jelas puncak Gunung Gede dengan kawahnya. Mendekati daerah puncak jalan setapaknya mulai melingkar dan sedikit landai. Dipuncak sendiri terdapat sebuah tiang dari semen beton yang menujukan daerah puncak. tapi sudah penuh dengan coretan tangan vandalis. didepat tiang tersebut terdapat sebuah pondok yang hanya tinggal tiang dan separuh atap. seperti halnya tiang ketinggian, pondok ini juga tak luput dari tangan-tangan vandalis. Keadaan puncak sedikit kotor dan pemandangan terhalang oleh tumbuhan sub alpine yang tumbuh tinggi. Diareal puncak ini ditemukan beberapa area yang datar yang cocok dijadikan untuk mendirikana tenda. Hanya saja disini tidak terdapat air.

Disebelah kiri belakang pondok terdapat beberapa jalan setapak yang mengarah ke alun-alun Mandala Wangi. Setelah menuruni jalan setapak tersebut kita akan sampai di keheningan lembah Mandala Wangi. Disini banyak sekali dijumpai tumbuhan edelweiss yang tumbuh subur hingga pohonnya tinggi dan rimbun. Luas Mandala Wangi tidak begitu luas seperti Suryakencana di Gunung Gede. Tempat ini sangat cocok untuk mendirikan tenda. Air bisa didapatkan diarah kiri dari alun-alun.

Suhu pada malam hari di Mandala Wangi cukup dingin terlebih lagi di musim kemarau. Saking dinginnya pernah ditemukan bongkahan-bongkahan es disekeliling mata air diwaktu pagi hari serta embun salju yang menempel di flying sheet tenda.


Gunung Pangrango

Sumber: piyusahabatalam.co.cc

Gunung Gede

Gunung Gede Pangrango adalah salah satu taman nasional yang dimiliki Indonesia yang berada di Jawa Barat. Gunung ini merupakan gunung di Jawa Barat dengan ketinggian 2958 m di atas permukaan laut (dpl) untuk Gunung Gede dan 3019 mdpl untuk Gunung Pangrango. Gunung Gede Pangrango dapat dicapai dari Jakarta melalui tol Jagorawi, dan masuk jalur Puncak dan memakan waktu sekitar dua jam (jika tidak macet).


Gunung Gede Flag of Indonesia.svg

Gunung Gede, dilihat dari arah Cipanas
Ketinggian 2.958 meter (9.705 kaki)
Lokasi
Lokasi Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia
Koordinat 6.78° LS 106.98° BT
Geologi
Jenis Stratovolcano
Letusan terakhir 1957

Gunung Gede merupakan sebuah gunung yang berada di Pulau Jawa, Indonesia. Gunung Gede berada dalam ruang lingkup Taman Nasional Gede Pangrango, yang merupakan salah satu dari lima taman nasional yang pertama kali diumumkan di Indonesia pada tahun 1980. Gunung ini berada di wilayah tiga kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi, dengan ketinggian 1.000 - 3.000 m. dpl, dan berada pada lintang 106°51' - 107°02' BT dan 64°1' - 65°1 LS. Suhu rata-rata di puncak gunung Gede 18 °C dan di malam hari suhu puncak berkisar 5 °C, dengan curah hujan rata-rata 3.600 mm/tahun. Gerbang utama menuju gunung ini adalah dari Cibodas dan Cipanas.
Gunung Gede diselimuti oleh hutan pegunungan, yang mencakup zona-zona submontana, montana, hingga ke subalpin di sekitar puncaknya. Hutan pegunungan di kawasan ini merupakan salah satu yang paling kaya jenis flora di Indonesia, bahkan di kawasan Malesia.

Objek Penelitian

Gunung Gede mempunyai keadaan alam yang khas dan unik, hal ini menjadikan Gunung Gede sebagai salah satu laboratorium alam yang menarik minat para peneliti sejak lama.
Tercatat pada tahun 1819, C.G.C. Reinwardt sebagai orang yang pertama yang mendaki Gunung Gede, kemudian disusul oleh F.W. Junghuhn (1839-1861), J.E. Teijsmann (1839), A.R. Wallace (1861), S.H. Koorders (1890), M. Treub (1891), W.M. Docters van Leeuwen (1911); dan C.G.G.J. van Steenis (1920-1952) telah membuat koleksi tumbuhan sebagai dasar penyusunan buku The Mountain Flora of Java yang diterbitkan tahun 1972.
Gunung Gede juga memiliki keanekaragaman ekosistem yang terdiri dari formasi-formasi hutan submontana, montana, subalpin; serta ekosistem danau, rawa, dan savana.
Gunung Gede terkenal kaya akan berbagai jenis burung yaitu sebanyak 251 jenis dari 450 jenis yang terdapat di Pulau Jawa. Beberapa jenis di antaranya merupakan burung langka yaitu elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan celepuk jawa (Otus angelinae).
Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfir pada tahun 1977, dan sebagai Sister Park dengan Taman Negara di Malaysia pada tahun 1995.


Objek Pariwisata

Gudung Gede maupun kawasan Taman Nasional Gede Pangrango juga merupakan objek wisata alam yang menarik dan banyak dikunjungi oleh wisatawan baik domestik maupun internasional.

Beberapa lokasi/obyek yang menarik untuk dikunjungi

  • Telaga Biru. Danau kecil berukuran lima hektar (1.575 meter dpl.) terletak 1,5 km dari pintu masuk Cibodas. Danau ini selalu tampak biru diterpa sinar matahari, karena ditutupi oleh ganggang biru.
  • Air terjun Cibeureum. Air terjun yang mempunyai ketinggian sekitar 50 meter terletak sekitar 2,8 km dari Cibodas. Di sekitar air terjun tersebut dapat melihat sejenis lumut merah yang endemik di Jawa Barat.
  • Air Panas. Terletak sekitar 5,3 km atau 2 jam perjalanan dari Cibodas.
  • Kandang Batu dan Kandang Badak. Untuk kegiatan berkemah dan pengamatan tumbuhan/satwa. Berada pada ketinggian 2.220 m. dpl dengan jarak 7,8 km atau 3,5 jam perjalanan dari Cibodas.
  • Puncak dan Kawah Gunung Gede. Panorama berupa pemandangan matahari terbenam/terbit, hamparan kota Cianjur-Sukabumi-Bogor terlihat dengan jelas, atraksi geologi yang menarik dan pengamatan tumbuhan khas sekitar kawah. Di puncak ini terdapat tiga kawah yang masih aktif dalam satu kompleks yaitu kawah Lanang, Ratu dan Wadon. Berada pada ketinggian 2.958 m. dpl dengan jarak 9,7 km atau 5 jam perjalanan dari Cibodas.
  • Alun-alun Suryakencana. Dataran seluas 50 hektar yang ditutupi hamparan bunga edelweiss. Berada pada ketinggian 2.750 m. dpl dengan jarak 11,8 km atau 6 jam perjalanan dari Cibodas.

Legenda Rakyat

Sejarah dan legenda yang merupakan kepercayaan masyarakat setempat yaitu tentang keberadaan Eyang Suryakencana dan Prabu Siliwangi di Gunung Gede. Masyarakat percaya bahwa roh Eyang Suryakencana dan Prabu Siliwangi akan tetap menjaga Gunung Gede agar tidak meletus. Pada saat tertentu, banyak orang yang masuk ke goa-goa sekitar Gunung Gede untuk semedhi / bertapa maupun melakukan upacara religius.

Rute Pencapaian

Untuk mencapai lokasi Taman Nasional Gede Pangrango bisa ditempuh melalui rute Jakarta-Bogor-Cibodas dengan waktu sekitar 2,5 jam (± 100 km) menggunakan mobil, atau Bandung-Cipanas-Cibodas dengan waktu 2 jam (± 89 km), dan Bogor-Salabintana dengan waktu 2 jam (52 km).

Gunung Gede Pangrango (tampak dari Villa Ciburial, Puncak)

Gunung Gede sangat cocok bagi para pemula untuk mencoba melakukan pendakian pertamanya. Treknya cukup moderat, tidak terlalu berat tetapi juga tidak terlalu ringan. Gunung Gede memiliki jalur yang berkarakter berbeda-beda dan lengkap. Kami melakukan pendakian agak memutar melalui Gunung Putri karena treknya jauh lebih ringan dibandingkan dengan melalui jalur Cibodas.
Paling tidak ada beberapa trek dengan karakter yang berbeda-beda dalam jalur pendakian Gunung Putri hingga puncak, yaitu:
  • Trek tanah liat dan berbatu
    Trek ini mengawali perjalanan mulai dari villa tempat kami bermalam di Gunung Putri. Jalur ini tanah liat biasa dengan kiri kanan adalah kebun sayur-sayuran. Setelah lepas dari kebun sayur, kami disambut jalur berbatu tajam. Pada waktu berangkat, jalur ini tidak terasa berat, tetapi pada waktu pulang, jalur ini sangat terasa menyakiti kaki.
  • Trek Tangga Berundak-undak
    Setelah menyeberangi sungai kecil, deretan tangga berundak yang cukup curam menyambut kami hingga gerbang taman nasional Gede Pangrango. Jalur ini waktu naik adalah yang paling ringan, tetapi pada waktu turun menjadi yang paling berat.
  • Trek tanah dalam hutan
    Jalur pendakian berikutnya berkarakter tanah liat dengan kemiringan sekitar 10 hingga 30 derajat dengan hutan lebat di kiri kanan. Hawanya sejuk. Pandangan terbatas karena kabut sering terjebak di situ. Banyak tempat licin — saya dua kali terpeleset dan hampir terperosok. Jalur ini berakhir di shelter bernama Buntut Lutung.
  • Trek akar-akaran dengan kemiringan 40 derajat
    Wajarlah kalau shelter ditempatkan di Buntut Lutung. Setelah Buntut Lutung karakter treknya bertambah berat dan panjang. Jalur dibuat di sela-sela akar-akar pohon yang sangat membantu pendakian. Suasana angker sangat kentara. Saya tak akan berani lewat jalur ini kalau sendirian saja. Porter saya, Mas Mahmud, bercerita kalau malam sebelumnya ada pendaki perempuan kesurupan karena membuang pembalut wanita sembarangan di sini. Jalur ini berakhir di shelter bernama Simpang Maleber.
  • Trek akar-akaran dengan kemiringan 60 derajat
    Jalur setelah Simpang Maleber adalah jalur yang paling berat waktu naik ke atas. Jalur yang menguras tenaga, nafas, sekaligus persediaan air minum. Sebagian besar jalur ini dilalui dengan merangkak dan memanjat melalui akar-akar di kanan kiri. Siapa yang takabur di trek-trek sebelumnya akan dibuat takluk di trek ini.

Alun Alun Surya Kencana
http://ochan182.files.wordpress.com/2009/10/2512947674_ce341be6bd.jpg
Alun-Alun Surya Kencana, Gede Pangrango, Jawa Barat

Lepas dari trek Simpang Maleber, kita akan disambut padang ilalang yang dihiasi bunga Edelweiss (Anaphalis javanica) yang sangat luas. Sejatinya, tempat ini adalah kaldera kuno dari Gunung Gede. Pada salah satu letusan dahsyatnya, kaldera ini tertutup letusannya sendiri. Sedangkan kawah barunya terbentuk di Puncak Gede hingga sekarang.

Di sini kita dapat bermalam di tenda untuk istirahat. Karena daerah ini adalah lembah yang diapit dua puncak (puncak Gede dan puncak Gumuruh), suhu di malam hari sangat dingin dan jatuh hingga 3 derajat Celcius.

Pagi hari selepas selepas Subuh, kita dapat  meneruskan pendakian ke puncak Gede untuk dapat mengejar sunrise.

Puncak Gede 2958 m dpl, Jawa Barat

Puncak Pangrango dan Gunung Salak

Gunung Gumuruh (salah satu puncak gede)
Lokasi: Alun-Alun Surya Kencana, Gunung Gede


Lokasi: Ciburial, Puncak, Kabupaten Bogor


Sumber: www.blog.galihsatria.com