Senin, 15 November 2010

Surat An Nisa, Islam Memuliakan Islam

http://pokokhijau.files.wordpress.com/2009/05/060924_muslim1.jpg


Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Berbekal pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak sedikit kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk kemudian menelorkan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang ‘bias jender’. Benarkah?
Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam demikian dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan ini. Sampai-sampai ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut Ta`wil, 3/6)

Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita.

1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.
Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً

“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)

Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam ‘alaihissalam. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566)

Dalam hadits shahih disebutkan:
إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ

“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak dan lemahnya akal mereka. Di samping juga menunjukkan dibencinya mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar si wanita terus lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299)

2. Dijaganya hak perempuan yatim.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا

“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3)

Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Wahai anak saudariku1. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” 

Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara wanita, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ
“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang lain:
وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

“Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127)

Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444)

Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

"Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

أُنْزِلَتْ فِي الْيَتِيْمَةِ، تَكُوْنُ عِنْدَ الرَّجُلِ فَتَشْرِكُهُ فِي مَالِهِ، فَيَرْغَبُ عَنْهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا غَيْرَهُ، فَيَشْرَكُهُ فِي ماَلِهِ، فَيَعْضِلُهَا، فَلاَ يَتَزَوَّجُهَا وَيُزَوِّجُهَا غَيْرَهُ.

“Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)

3. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

“Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3)

Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”

Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)

Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.

4. Hak memperoleh mahar dalam pernikahan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)

5. Wanita diberikan bagian dari harta warisan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)

Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا

“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan, “Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579)

Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63)

Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat:
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ

“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)

Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160)

6. Suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)

7. Suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tidak menyukainya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)

Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ (“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.”

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58)

8. Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا. وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

“Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 20-21)

9. Termasuk pemuliaan terhadap wanita adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab ataupun karena penyusuan untuk menikahinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ

“Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/ saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23)

Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16).

Di akhir ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

“(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23)

Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)
Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang menyinggung tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi, namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufik.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Footnote:
1 Karena ibu ‘Urwah, Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma adalah saudara perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anha.
2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.

Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 38/1429H/2008, Kategori: Niswah, hal. 80-85. 
www.asysyariah.com

Hisab atau Rukyat?

 

Di Indonesia, penentuan awal puasa, Idul Fitri, atau Idul Adha adalah masalah klasik yang terus menjadi perdebatan. Di negara tetangga, Malaysia dan Brunei Darussalam, hanya Pemerintah yang mempunyai otoritas untuk menetapkan Ramadhan, Idul Fitri, atau Idul Adha. Karenanya di sana tidak pernah terjadi perbedaan. Jika ada yang berpuasa atau ber-Hari Raya berbeda dengan Pemerintah, mereka bisa ditangkap. 
Di Indonesia, perbedaan terjadi karena organisasi keagamaan diberi kebebasan untuk menentukan puasa dan Hari Raya. Secara mainstream, perbedaan terjadi antara versi Muhammadiyah dengan NU dan Pemerintah. Dalam skala kecil, kelompok keagamaan lain seperti Naqsabandiyah dan Satariyah malah kadang menetapkan puasa atau Hari Raya yang berbeda baik dengan versi Muhammadiyah maupun versi NU dan Pemerintah.

Perbedaan awal Ramadhan, Idul Fitri, atau Idul Adha disebabkan oleh perbedaan metode yang digunakan. Muhammadiyah menggunakan metode hisab, yang didasarkan pada perhitungan matematis ilmu falakh (astronomi) dengan kriteria wujudul hilal. Sedangkan Nahdatul Ulama (NU) dan Pemerintah menggunakan metode rukyatul hilal, yaitu melihat bulan baru (hilal) dengan cara melihat langsung. Namun walaupun antara NU dan Pemerintah sama-sama menggunakan rukyat, kriteria yang digunakan terdapat perbedaan. NU menggunakan kriteria tinggi hilal minimal 2 derajat di atas ufuk sedangkan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama menggunakan kriteria tinggi hilal minimal 2 derajat, jarak matahari dan bulan minimal 3 derajat, dan umur hilal minimal 8 jam (M Zaim Wahyudi, Kompas, 11/8).

Faktor kriteria hilal inilah yang bisa menimbulkan perbedaan dalam penentuan awal puasa dan Hari Raya. Pada penentuan 1 Syawal 1428 H (tahun 2007), perbedaan Idul Fitri terjadi dikarenakan tinggi hilal kurang dari 2 derajat. Muhammadiyah yang menggunakan hisab dengan kriteria wujudul hilal menganggap telah masuk bulan baru (1 Syawal). Faktanya, tinggi hilal 2 derajat hampir tidak mungkin dilihat dengan metode rukyat apalagi rukyat juga bisa terkendala oleh faktor cuaca seperti mendung yang bisa menyebabkan hilal tidak terlihat. Karenanya saat itu, NU dan Pemerintah menggenapkan bulan Ramadhan menjadi 30 hari dan berlebaran 1 hari setelah Lebaran versi Muhammadiyah. 

Faktor mengenai derajat tinggi hilal inilah yang menjelaskan, jika terjadi perbedaan, Muhammadiyah pasti selalu lebih awal dalam penentuan puasa atau Hari Raya dibanding NU dan Pemerintah. Sedangkan bila tidak terjadi perbedaan puasa dan Hari Raya antara versi Muhammadiyah dengan NU dan Pemerintah, itu terjadi karena tinggi hilal minimum 4 derajat karena inilah ketinggian ideal dimana hilal bisa dilihat dengan metode rukyat

Metode mana yang seharusnya diikuti, hisab atau rukyat? Terserah pada keyakinan masing-masing karena dalam Islam kedua metode ini sama-sama diakui dan mempunyai dalil masing-masing. Secara science, seperti yang katakan oleh Ninok Leksono (Kompas 11/8), kolumnis Iptek, hisab dan rukyat adalah 2 metode yang diterima sebagai mahzab dalam ilmu astronomi. Menurut Ninok, semesta bisa dipelajari dengan cara observasi (rukyat) menggunakan teleskop yang makin lama makin canggih atau dengan kekuatan abstraksi yang didukung dengan ilmu matematika yang hebat (hisab). Intinya, baik hisab dan rukyat sebenarnya symbol kecerdasan manusia yang tak perlu dipertentangkan namun menarik untuk didiskusikan.

Sumber: www.fsyofian.wordpress.com


Keistimewaan Air Zam Zam

Sumber Mata Air Zam Zam Mengalir Deras

Keistimewaan air zamzam memang tak terbantahkan. Walau setiap tahun diambil jutaan manusia dari seluruh dunia, sumber air itu tidak pernah surut.


Tak hanya itu, hasil penelitian Dr. Masaru Emoto dari Jepang membuktikan air zamzam memiliki struktur unik dan kemampuan penyembuhan yang luar biasa.
Sejarah telah membuktikan khasiat dan keistimewaan air zamzam dari zaman ke zaman.

Di sebuah cekungan bukit batu hitam gersang, di mana curah hujan hanya 10 sentimeter per tahun, secara teoritis sangat tak masuk akal jika di dalamnya terkandung sumber mata air bersih yang luar biasa deras, berkhasiat, dan kaya mineral.

Meski usianya sudah lebih dari 4.000 tahun (sejak putra Nabi Ibrahim dilahirkan), mata air ini masih dapat dinikmati seluruh umat manusia hingga kini.


Sumur Zam Zam zaman Dulu


Kisah memancarnya air zamzam diawali pada zaman kenabian Ibrahim.

Kala itu Nabi Ibrahim yang harus bertolak ke negeri Syam atas perintah Allah terpaksa meninggalkan istrinya Siti Hajar dan bayinya Ismail di lembah Mekkah yang tandus. Sekantung kurma dan air yang ditinggalkan untuk mereka berdua habis setelah 2 hari berselang. Ketika rasa haus sudah mencapai ubun-ubun dan si kecil Ismail menangis kehausan, bingunglah Siti Hajar.

Berlarilah Siti hajar mencari air melintasi Bukit Shafa lalu kembali ke Bukit Marwah. Namun air yang dicarinya tidak juga ditemukan. Namun pada putaran ke-tujuh setelah bolak-balik Shafa dan Marwah, Siti Hajar terduduk lemas di samping bayinya. Tiba-tiba dari tanah tempat duduk Ismail yang saat itu menangis kuat sambil menghentak-hentakkan kakinya keluarlah air. Sang ibu yang kaget spontan berseru, “Zummi, zummi” (berkumpullah, berkumpullah). Dari cerita inilah kata zamzam berasal.


Keajaiban Air Zam Zam

Sumur air zamzam yang tak pernah kering dan tak tercemar ini terdapat di Gurun Saudi Arabia. Keberadaannya senantiasa mengundang decak kagum. Bayangkan saja, sumber air zamzam saat difoto satelit ternyata terhubungkan dengan Laut Merah atau Laut Mati yang bersatu menuju satu titik di bawah Ka’bah.Tak heran jika air ini tidak pernah habis sepa jang zaman.

Begitu juga seputar kejernihan dan khasiatnya. Siapa nyana jika air zamzam sudah mengalami proses penyaringan sangat unik, yakni melalui bebatuan dan gurun pasir yang berlapis-lapis. Air ini mengandung berbagai mineral dan zat yang dibutuhkan tubuh. Mineral dan elemen-elemen itu jumlahnya amat fantastis, sekitar 2 ribu miligram per liter. Di antaranya, sodium (250), kalsium (200), potassium (20), magnesium (50) sulfur (372), bicarbonate (366), nitrat (273), fosfat (0,25), clan ammonia (6).

Tak hanya itu keajaiban air zamzam. Studi ilmiah Yang dilakukan doktor dari Universitas Yokohama Jepang, Dr. Masaru Emoto membuktikan, kalau air zamzam yang selama berabad-abad mengalir di kawasan tempat peribadatan umat Islam itu memiliki struktur yang unik.

Dalam bukunya The True Power of Water yang laku keras di Jepang dan Amerika tersurat bagaimana air zamzam memiliki kekuatan penyembuhan yang luar biasa. Tak salah jika Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sebaik-baik air di permukaan bumi adalah air zamzam. Padanya ada makanan yang menyegarkan dan penawar bagi segala penyakit”.

Menurut Masaru Emoto, air memiliki sifat sensitif namun juga reaktif. Jika dibacakan padanya kata-kata yang baik, air akan bereaksi positif. Sebaliknya, jika diberikan kata-kata buruk, maka air juga akan bereaksi sifat dan makna kata-kata tersebut.
Keunikan air digambarkan Masaru Emoto sebagai sebuah kristal yang bisa berstruktur indah heksagonal (segienam) atau bahkan kristal pecah tak beraturan. Label baik atau buruk inilah yang pada akhirnya akan menentukan jenis kristal yang akan terbentuk nantinya.


 






Konfigurasi Terindah

Keajaiban struktur air zamzam telah dibuktikan Masaru Emoto dalam sebuah penelitian yang telah dilakukannya sejak 1994. Ia mengungkapkannya saat menjadi pembicara di Malaysia. Saat itu ia membawa beberapa slide mengenai sampel air yang diambilnya dari berbagai sumber, seperti sungai, laut, telaga, mata air, dan sebagainya. Dari sana terkumpullah sebanyak seribu bentuk kristal air.

Beberapa molekul air yang ditelitinya berbentuk tak teratur, kecuali molekul air zamzam. Susunan molekul air zamzam berstruktur sangat indah, teratur, cantik bak berlian yang berkilauan, dan memancarkan lebih dari 12 warna jika dibekukan.

Saat itu Masaru Emoto bertanya pada para peserta seminar, molekul air apakah ini? Di kala suasana senyap, seorang peserta menjawab kemungkinan molekul indah itu adalah molekul air zamzam, sebab air itu merupakan air yang paling mulia di dunia.

Ternyata benar apa yang dikatakan peserta tadi. Penelitian Masaru Emoto terhadap air zamzam menunjukkan, bahwa molekulnya memang paling cantik dan indah di antara air lainnya. Kemudian Masaru Emoto menerangkan bagaimana sebuah kata bisa mempengaruhi bentuk molekul air. Dalam kesempatan itu dia juga meminta peserta menguji sendiri bentuk molekul yang diinginkannya.

Saat salah seorang diminta memberi bacaan buruk ke dalam air mineralnya, tiba-tiba molekul-molekul air membentuk struktur aneh. Sebaliknya, ketika seseorang diminta memberikan bacaan doa pada air tadi, ternyata yang terbentuk kemudian adalah molekul air seperti berlian dan berkilau. Itu membuktikan bahwa bila air diberikan bacaan buruk maka akan bersifat tidak baik. Sebaliknya, bila diberikan bacaan baik, air akan bersifat positif.



8 Fakta Keajaiban Air

1. Tidak semua air sehat dan jernih membentuk struktur kristal jika dibekukan. Hanya air yang sehat dan berada di lingkungan yang menyenangkan dan baiklah yang bisa.
2. Struktur molekul air dipengaruhi oleh getaran, musik, kekuatan pemikiran, doa, kata-kata atau tulisan yang ditempelkan (dilabelkan).
3. Air zamzam dan Mekkah ketika dibekukan dan difoto membentuk kristal segi enam yang jernih dan sempurna.
4. Air bisa memberi pengaruh positif dan negatif. Karena itu sangat disarankan untuk berdoa sebelum meminumnya.
5. Air dari perairan yang tercemar, air ledeng, beracun, dan dipanaskan tidak akan pernah membentuk kristal.
6. Air yang telah diberikan lantunan musik klasik atau doa setelah dibekukan dan difoto di bawah mikroskop akan membentuk kristal segienam berbentuk bunga yang indah. Berbeda jika diperdengarkan musik keras.
7. Meditasi dan doa hanya bersifat sementara mempengaruhi molekul air. Buktinya, upacara ritual dan meditasi yang dilakukan tidak terus menerus di sebuah perairan yang kotor dan berbau, hanya mengubah bau sementara.
8. Lantunan doa yang terus diperdengarkan sepanJang zaman seperti yang terjadi pada sumber air zamzam, dipercaya membuat kualitas molekul airnya bertambah bagus, seperti kristal heksagonal yang berpendar teratur dan berwarna indah.

Molekul Air Zam Zam Sangat indah

Hisab dan Rukyat Menurut Astronomi (Iptek)


       

Setiap menjelang awal Ramadhan, perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri puasa seakan menjadi pertanyaan yang tidak kunjung usai. "Persaingan" antara hisab versus rukyat dalam menentukan awal bulan Hijriah bagaikan menu rutin yang banyak dibicarakan orang. Disadari atau tidak, permasalahan tersebut merupakan bagian dari kehidupan bangsa ini. Oleh karena itu, memahami akar permasalahan yang ada dapat membantu dalam menentukan sikap.
     
Hisab yang berarti menghitung dan rukyat yang berarti melihat, dalam arti sempit, merupakan sebuah cara yang digunakan untuk menentukan masuknya awal bulan Hijriah, seperti Ramadhan dan Syawal.
Dalam pandangan masyarakat luas, keduanya merupakan dua metode yang saling bertolak belakang. Padahal, dari sudut pandang astronomi, hisab dan rukyat bagaikan dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Pandangan masyarakat luas tersebut mungkin dikarenakan kedua konsep tersebut digunakan oleh dua ormas Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dalam pemahaman umum, diakui atau tidak, pendapat/ajaran yang berasal dari kedua ormas tersebut sering kali "bertentangan".
  


     

Sebuah metode

Hisab dalam arti luas dapat diterjemahkan sebagai sebuah metode atau sistem perhitungan yang diperoleh dari penalaran analitik maupun empirik. Sedangkan rukyat dapat diterjemahkan sebagai sebuah pengamatan sistematik yang didasarkan atas data yang ada.
Hisab bukanlah sebuah metode yang muncul secara tiba-tiba. Sebab, adanya hisab diawali dari rukyat yang panjang. Benar tidaknya sebuah hisab tentunya harus diuji secara langsung melalui pengamatan (rukyat) terhadap fenomena alam yang dihisab. Sebagus dan sebaik apa pun sebuah metode hisab, jika tidak sesuai dengan fenomena yang dihisab tentu tidak dapat dikatakan benar.

Demikian juga halnya dengan rukyat. Pelaksanaan rukyat yang tidak pernah menghasilkan sebuah sistem atau metode perhitungan (hisab) yang dapat membantu dalam pelaksanaan rukyat berikutnya merupakan rukyat yang sia-sia. Karena, apa yang dilakukan hari ini tidak lebih baik daripada apa yang pernah dilakukan.
Oleh karena itu, kombinasi hisab dan rukyat merupakan kombinasi harmonis agar ilmu falak di Indonesia dapat berkembang. Sesuai dengan asalnya, ilmu falak yang tidak lain merupakan bagian dari astronomi modern saat ini merupakan observational sains.


      

Sebuah observational sains merupakan sains yang berkembang atas dasar pengamatan. Dengan kata lain, menafikan rukyat yang notabene merupakan proses pengamatan bagaikan menghilangkan ruh dari jasad. Hal ini bahkan dapat mengakibatkan ilmu falak menjadi sesuatu yang tidak menarik dan sulit untuk dipahami.
Kecenderungan itu dapat dilihat dari pandangan kaum santri di pesantren, yang umumnya dari kalangan NU, bahwa ilmu falak merupakan ilmu yang sulit dan tidak menarik. Hal ini bisa diakibatkan karena rukyat jarang bahkan tidak pernah dipraktikkan kecuali ketika menjelang awal dan akhir Ramadhan.

Iptek sesuai dengan watak dan pengalamannya selalu menilai dan mengukur segala sesuatu dari sisi akurasi dan kedekatannya dengan kenyataan. Oleh karena itu, wajar kalau iptek memandang rukyah sebagai sesuatu yang memiliki banyak kelemahan. Atas dasar penilaian tersebut, maka iptek berkeinginan untuk mengambil peran dalam hal penentuan awal Ramadhan sebagaimana yang telah dilakukannya selama ini dalam berbagai aspek kegiatan. Beberapa alternatif solusi iptek telah ditawarkan. Tawaran penggunaan ilmu hisab (perhitungan) dengan metodologi astronomi modern kini sudah diterapkan. Hampir semua ormas Islam memiliki ahli hisab yang menguasai perhitungan astronomi, tanpa meninggalkan kekayaan intelektual para ulama terdahulu yang mengembangkan metode sederhana ilmu hisab. Generasi mudanya kini banyak yang menguasai pemograman komputer sehingga sanggup mengembangkan sendiri program-program komputer, termasuk untuk metode klasik yang biasanya dilakukan secara manual. Namun ilmu hisab saja masih tetap belum menyelesaikan masalah.

Hitungan hisab itu kini bisa diotomatisasi dengan pemrograman dalam komputer. Dengan demikian berbagai kesalahan manusia bisa dieliminasi. Salah satu contoh program komputer yang khusus dikembangkan untuk hisab kalender Hijri adalah software (Mawaaqit) yang semula dikembangkan oleh Club astronomi Al-Farghani bersama ICMI Orsat Belanda dan kemudian dilanjutkan di Bakosurtanal. Hisab dipakai untuk memprediksi posisi, arah dan waktu untuk rukyatul hilal. Rukyah tetap dilakukan karena tetap akan ada faktor cuaca yang tak mungkin bisa di hisab. Sedang teknologi observasi dikembangkan untuk membantu rukyah agar terhindar dari salah atau untuk mengenali bulan sabit meskipun cahayanya masih lemah. Misalnya telah dikembangkan “teleskop rukyah”, yakni sensor (kamera) digital baik aktif maupun pasif yang citranya kemudian diperkuat dan bahkan juga telah dipikirkan untuk menggunakan platform pesawat terbang sehingga rukyah bisa dilakukan di atas awan.

Perkembangan iptek seperti sekarang ini akan mempermudah manusia melihat (merukyah) dan atau menghitung (menghisab) suatu objek, baik posisinya maupun kandungan yang ada di dalamnya. Selain itu iptek juga merupakan salah satu alat efektif untuk penyempurnaan ibadah kita kepada Allah SWT.

Rasulullah SAW Sendiri bersabda:

“Barangsiapa menghendaki kebahagiaan di dunia maka raihlah dengan ilmu pengetahuan (iptek), dan Barangsiapa menghendaki kebahagiaan di akhirat maka raihlah dengan ilmu pengetahuan (iptek), dan barangsiapa menghendaki kebahagiaan kedua-duanya (dunia-akkhirat) maka raihlah dengan ilmu pengetahuan (iptek).”
 
Sumber: www.menapak-cakrawala.blogspot.com
 
       Namun setelah ilmu pengetahuan mengalami kemajuan

Satu Hilal, Dua Idul Adha

http://www.antara-sumbar.com/id/foto/berita/090810171113_hisab_bulan.jpg

Ada dua Idul Adha di Indonesia tahun ini. Pemerintah menetapkan 10 Dzulhijjah 1431 jatuh pada Rabu (17/11/10) dan Muhammadiyah menentapkan pada Selasa (16/11/10). Sementara Arab Saudi sendiri, tempat berlangsungnya ibadah haji, menetapkan wukuf pada Senin (15/11/10), artinya Idul Adha juga jatuh pada Selasa (16/11/10). Adanya dua Idul Adha ini, meskipun sering diklaim sebagai rahmah dari sebuah perbedaan, tetap saja menimbulkan sejumlah pertanyaan dan ketidaknyamanan dalam beribadah. Hilalnya satu, mengapa Idul Adha-nya dua kali?

Perbedaan penetapan hari raya itu tak terlepas dari perbedaan metode penetuan awal bulan. Selama ini dikenal dua metode penentuan awal bulan hijriyah, yaitu metode rukyah dan metode hisab. Kedua metode ini sama-sama didasari oleh perintah Rasulullah SAW yang berbunyi “shumu lirukyatihi wa aftiru lirukyatihi” (berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal).

Metode rukyah menggunakan pengamatan langsung dengan mata telanjang (rukyah bil-ain) sementara hisab menggunakan pengamatan tak langsung dengan mengandalkan hitungan ilmiah (rukyah bil-ilmi). Meski begitu, kedua metode ini tetap memakai ilmu hisab atau ilmu falak dalam prosesnya masing-masing. Hanya saja metode rukyah masih memakai pengamatan fisik sebagai final keputusan sedangkan metode hisab tanpa perlu lagi membuktikan dengan pengamatan fisik.

Di Indonesia metode hisab itu sendiri memiliki variasi perbedaan, misalnya yang terkenal adalah hisab urfi dan hisab hakiki. Metode hisab urfi berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran bulan mengelilingi bumi. Perhitungan secara urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil berumur 30 hari sedangkan bulan yang genap berumur 29 hari.

Sementara hisab hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini umur bulan tidaklah tetap dan tidak pula tidak beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang-seling antara 29 dan 30 hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut 29 atau berturut-turut 30 hari. Semua ini bergantung pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut.

Dua metode hisab tersebut memungkinkan sekali terjadinya perbedaan penentuan awal bulan. Belum lagi jika mencermati adanya variasi penentuan bulan baru (new month atau hilal). Mereka yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya awal bulan adalah telah terjadi ijtimak sebelum terbenam matahari dan pada saat sunset itu hilal telah wujud di atas ufuk. Sementara itu mereka yang berpedoman pada imkanu rukyah menyatakan bahwa patokan masuknya awal bulan adalah telah ijtimak terjadi sebelum terbenam matahari dan pada saat sunset itu hilal telah berada di atas ufuk pada ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyat.

Dalam menentukan masuknya awal bulan, mereka yang berpedoman pada wujudul hilal berpatokan pada posisi hilal sudah di atas ufuk tanpa mematok ketinggian tertentu. Jika hilal telah di atas ufuk otomatis pertanda masuknya awal bulan. Mereka yang berpedoman pada imkanu rukyah menentukan ketinggian tertentu hilal sehingga memungkinkan untuk dirukyah. Kriteria ketinggian hilal ini pun dimaknai berbeda-beda. Ada yang menyatakan bahwa ketinggian hilal untuk memungkinkan untuk dirukyah itu harus 2°, 3°, 4°,7°, atau 9°.
Dalam kasus tahun ini Muhammadiyah yang menggunakan metode hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal menetapkan bahwa bahwa tanggal 1 Dzulhijjah adalah Ahad (7/11/10) karena tinggi hilal pada saat matahari terbenam di Yogjakarta +01 derajat 34 menit 23 detik dan di seluruh Indonesia pada saat matahari terbenam hilal sudah di atas ufuk (MATAN, edisi 52 Nop 2010).

Sementara pemerintah yang secara resmi menggunakan metode hisab imkanur rukyah menyatakan bahwa hilal dianggap terlihat dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut: (1) ketika matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak kurang dari 2°; dan (2) jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3°; atau (3) ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang dari 8 jam selepas konjungsi/ijtimak berlaku.

Karena semua syarat imkanur rukyah tidak terpenuhi dan diyakinkan dengan kenyataan tidak ada yang melihat hilal dengan mata pengamatan fisik, maka awal bulan jatuh pada Senin, 8 November 2010 sehingga Idul Adha jatuh pada Rabu, (17/11/10).

Jika kita mau kritis sebenarnya rukyat bil-ain dalam kasus ini sia-sia saja dilakukan, sebab mustahil hilal dapat disaksikan walaupun menggunakan peralatan optik yang dilengkapi dengan pemandu posisi bulan sekalipun. Sebab menurut Kriteria Danjon hilal baru dapat disaksikan jika sudut elongasi bulan terhadap matahari minimal sebesar 7 (www.rukyatulhilal.org).

Pertanyaannya, mengapa dua kutub metode itu tidak bisa disatukan? Mungkin ini masalah klasik yang khas dan terlahir dari identitas kelompok-kelompok keagamaan. Termasuk jika kedua kutub besar itu berhasil menyatukan metode, tidak menutup kemungkinan masih terjadi perbedaan penentuan hari raya seperti yang pernah terjadi pada beberapa tahun lalu.

Pada Tahun 2007 sebagian ormas Islam seperti DDII, HTI, dan kelompok-kelompok lainnya termasuk Masjid Al Azhar Jakarta, justru merayakan satu hari lebih awal, tepatnya hari Rabu (19/12/07). Sementara pemerintah dan dua ormas Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah, memutuskan bahwa Idul Adha 1428 H waktu itu jatuh pada hari Kamis (20/12/07).

Keputusan ini mereka dasarkan pada keputusan pemerintah Arab Saudi yang menetapkan wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) pada Selasa (18/12/07), sehingga Idul Adha di Arab Saudi jatuh pada Rabu (19/12/07).
Perbedaan seperti ini juga terjadi pada Idul Adha 1427 H. Pemerintah Arab Saudi menetapkan waktu wukuf di Arafah (9 Zulhijjah) pada hari Jumat (29/12/06), sehingga Idul Adha di Mekkah jatuh pada hari Sabtu (30/12/06). Perbedaan itu juga terjadi pada tahun 2000, di mana pemerintah Arab Saudi menetapkan waktu wukuf di Arafah (9 Zulhijjah) pada hari Rabu (15/3/00), sehingga Idul Adha di Mekkah jatuh pada hari Kamis (16/12/00).

Mengapa ada beberapa kalangan yang menjadikan penetapan Idul Adha Arab Saudi sebagai pedoman? Pertama, Idul Adha yang berbeda dengan Mekkah itu, tentu saja, ahistoris dengan ibadah haji. Idul Adha adalah salah satu rangkaian dari ibadah haji yaitu hari pelaksanaan penyembelihan kurban (oleh jamaah haji). Rasulullah SAW bersabda, “Idul Fitri adalah hari saat berbuka dan Idul Adha adalah hari ketika umat menyembelih kurbannya” (HR Tirmizi). Sebelum Idul Adha, para jamaah haji melaksanakan tugas utamanya, yaitu wukuf di padang Arafah, sementara kaum Muslimin yang tidak sedang menjalankan ibadah haji melaksanakan puasa sunah Arafah.

Kedua, ketidaksesuaian itu akan berimplikasi pada keruwetan hukum fiqh. Misalnya, puasa di hari raya (Adha atau Fitri) adalah terlarang. Jika Idul Adha di Mekkah jatuh pada Selasa (16/11/10), sementara di Indonesia hari itu masih dianggap tanggal 9 Zulhijjah (karena Idul Adha jatuh pada Rabu, 17/11/10) maka umat Islam Indonesia baru dalam taraf melaksanakan puasa Arafah. Bukankah hal ini (puasa di hari haram) musykil sekali?

Ketiga, ketidaksesuaian itu menunjukkan bahwa umat Islam lebih senang terhadap perbedaan dari pada kesamaan. Implikasi lebih jauh, akan muncul Islam versi Indonesia, Islam versi Mesir, Islam versi Afrika Selatan, atau Islam versi Amerika Serikat.

Tiga alasan di atas masuk di akal. Apalagi ditambah beberapa fakta penting seperti ini: pertama, di Mekkah terdapat Baitullah (Ka’bah) sebagai kiblat shalat bagi umat Islam dunia. Dalam surat Ali Imran/3:96 dikatakan bahwa Baitullah di Mekkah itu diberkati dan menjadi petunjuk bagi semua manusia, “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia adalah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi semua manusia”. Dalam pengertian yang lebih dalam, Baitullah adalah pusat kesatuan ibadah bagi umat Islam, termasuk di dalamnya Idul Adha.

Kedua, ibadah haji sebagai ibadah yang melibatkan secara langsung pertemuan jutaan umat Islam dunia­ bertempat di wilayah Mekkah (Masjidil Haram, Jabal Rahmah, Padang Arafah, Shafa-Marwah, Muzdalifah).
Maka, sudah sepantasnya jika mereka menjadi wakil dari para bangsa mereka. Suasana psikologis haji harusnya terbangun antarmereka. Menjadi kontradiksi ketika jamaah haji sedang wukuf dan bangsa-bangsa yang mereka “wakili” tidak sedang berpuasa sunah Arafah atau saat jamaah haji sedang berkurban, kita justru kita sedang puasa sunah Arafah. Demikian sebaliknya. Jadi ada keterputusan psikologis jika ada perbedaan Idul Adha antara jamaah haji di Mekkah dengan bangsanya masing-masing.

Ketiga, lebih khusus tentang Idul Adha, Rasulullah SAW pernah menegaskan bahwa hari Arafah adalah hari yang telah ditetapkan oleh Imam (Khalifah) dan hari berkurban adalah saat Imam menyembelih kurban (HR Tirmizi). Dalam hadits lain disebutkan bahwa pada masa Rasulullah Amir Mekkah, [beliau-lah] yang menetapkan pelaksanan haji, mulai dari wukuf, thawaf, bermalam di Muzdalifah, dan seterusnya (HR Abu Daud). Artinya penetapan wukuf, yang berefek pada Idul Adha, adalah berdasarkan ketetapan Amir Mekkah dan pelaksanaannya berlaku di seluruh pelosok dunia.


Monopoli Khadimul Haramain

Memang harus diakui, untuk mewujudkan kesatuan ibadah Idul Adha masih ada beberapa catatan berkaitan dengan penetapan hari wukuf di Arafah oleh pemerintah Arab Saudi. Terutama karena kini pengelolaan dua tanah suci (khadimul haramain) Mekkah dan Madinah masih menjadi hak monopoli pemerintah Arab Saudi. Secara geografis, memang hal itu sangat bisa diterima. Tetapi, karena Mekkah dan Madinah adalah milik umat Islam, maka tidak terlalu salah juga jika ada usulan bahwa pengelolaan itu harusnya di bawah semacam badan umat Islam internasional (kurang lebih salah satu tujuan gagasan membangun kembali Kekhalifahan Islam, yang di antaranya diusung oleh Hizbut Tahrir, adalah menyatukan hari raya Islam).

Ide semacam ini pernah didesakkan oleh Iran. Saya masih ingat bagaimana dulu warga Iran berdemonstrasi ketika sedang berhaji untuk menyampaikan tuntutan itu. Namun bisa diduga ide semacam itu akan ditolak mentah-mentah, terutama oleh pemerintah Arab Saudi.

Sebab itu akan me-delegitimasi kebanggaan dan keangkuhan pemerintah Arab Saudi sebagai pelayan penting tamu-tamu Allah. Belum lagi jika kita melirik berapa keuntungan ekonomi yang bisa diraup oleh pemerintah Arab Saudi dari penyelengaraan ibadah haji (dan umrah). Keuntungan politis pun diperoleh Arab Saudi akibat ketergantungan seluruh negara di dunia (yang mengirim jamaah haji) pada negara ini.

Sebenarnya, jika Mekkah dan Madinah bisa dikelola oleh sebuah badan umat Islam internasional, kita bisa berharap bahwa Mekkah (dan Madinah) bisa benar-benar menjadi pusat ibadah yang berjejaring dengan negara-negara (Muslim) lainnya. Misalnya kita bisa menetapkan hari wukuf dengan pertimbangan yang lebih komprehensif. Selama ini, penetapan hari wukuf oleh pemerintah Saudi sering menimbulkan kebingungan. Misalnya seringkali (memaksa) menetapkan hari wukuf pada hari Jumat seperti musim haji 1427 H yang lalu, sehingga (dianggap) menjadi Haji Akbar.

Tahun 1428 H pun lebih maju sehari dari penanggalan yang telah ditetapkan sebelumnya; sehingga ada guyonan bahwa para pegawai di Arab Saudi yang menerima gaji tanggal 1, kali ini tidak gajian, karena tidak ada tanggal 1 Dzulhijjah secara permanen. Penanggalan resminya menyebut tanggal 1 Dzulhijjah hari Selasa (11/12/07), tetapi hasil rukyah menetapkan 1 Dzulhijjah pada Senin (10/12/07); jadi hari Selasa menjadi tanggal 2 Dzulhijjah.

Kemusykilan itu bisa terjadi karena pemerintah Arab Saudi lebih memilih metode rukyah untuk penentuan ibadah. Sayangnya penetapan ini sering hanya berdasarkan pada laporan rukyah dari seseorang “awam” tanpa terlebih dahulu melakukan klarifikasi dan konfirmasi terhadap kebenaran laporan tersebut apakah sudah sesuai dengan kaidah-kaidah sains astronomi modern yang diketahui memiliki tingkat akurasi yang sangat tinggi.

Kurangnya pemahaman terhadap perkembangan dan modernisasi ilmu falak yang dimiliki oleh para perukyat sering menyebabkan terjadinya kesalahan identifikasi terhadap obyek yang disebut “hilal” baik yang “sengaja salah” maupun yang tidak disengaja. Klaim terhadap kenampakan hilal oleh seseorang atau kelompok perukyah pada saat hilal masih berada di bawah “limit visibilitas” (batas minimal terlihat) atau bahkan saat hilal sudah di bawah ufuk sering terjadi. Sudah bukan berita baru lagi bahwa Arab Saudi kerap kali melakukan istbat terhadap laporan rukyah yang “kontroversi”.

Bahkan pernah seorang ulama ahli falak KH Noor Ahmad SS berhasil mengubah keputusan pemerintah Saudi Arabia dalam menentukan waktu wukuf pada tahun 1988. Waktu itu, pemerintah Arab Saudi berkeras ingin menentukan hari waktu wukuf dalam pelaksanaan ibadah haji yang tidak sesuai dengan perhitungan ilmu falak. Tapi disesuaikan begitu saja sehingga pelaksanaannya pada hari Jum’at, agar dapat menjadi momentum Haji Akbar (“KH Noor Ahmad SS: Potret Dinamis Perkembangan Ilmu Falak di Indonesia”  www.jayusmanfalak. blogspot.com).

Sebenarnya, perdebatan dalam penentuan awal bulan qomariyah, apakah dengan metode rukyah atau hisab, hisab hakiki atau hisab urfi, wujudul hilal atau imkanur rukyah, berdasarkan satu matlak atau banyak matlak, bisa dibicarakan dan dicari rumusan idealnya. Karena selama ini di samping mengandung unsur agama (baca fiqh), penentuan itu juga sering didominasi unsur politis. Misalnya, jika ditinjau secara geografis, posisi Indonesia dan Malaysia bisa dikatakan sama, tetapi mengapa keputusan rukyah atau hisab di dua negara itu tidak selalu sama? Bukankah ini karena unsur politis (tepatnya nasionalisme sempit!).

Maka dalam bayangan saya, jika badan umat Islam internasional (atau versi lain Kekhalifahan Islam) bisa terwujud secara politik, maka penentuan hari wukuf bisa menjadi keputusan politik bersama umat Islam dunia, dan ini membuat hari wukuf menjadi milik dunia, tidak seperti sekarang yang hanya milik para jamaah haji. Dari sinilah awal bisa dilaksanakannya Idul Adha bersama, khususnya bagi negara-negara yang masih dalam hitungan satu hari dengan Arab Saudi (selisih jam Indonesia – Arab Saudi misalnya, hanya sekitar 4 jam).

Saat ini memang belum ada semacam badan umat Islam internasional atau Kekhalifahan Islam. Tetapi setidaknya ketetapan pelaksanaan hari raya yang dibuat pemerintah Arab Saudi—sebagai pengelola Mekkah dan Madinah—bisa menjadi jembatan antara dalam pelaksanaan Idul Adha bersama, terlepas dari prasangka buruk atas keuntungan ekonomis-politis yang diraih Arab Saudi sebagai khadimul haramain dan penetapan hari wukuf yang sering tidak berdasar itu. Toh, selama ini seluruh jamaah haji juga tetap tunduk pada hari wukuf yang ditetapkan pemerintah Arab Saudi. Pertanyaannya bisakah ego kelompok dan nasionalisme kita terlebur?

Oleh: Mohammad Nurfatoni
Sidojangkung, 3 Nopember 2010

Sumebr: www.agama.kompasiana.com