Jumat, 26 November 2010

Peran Soekarno Dalam Perpecahan Perpolitikan Islam

Sungguh mengherankan, umat Islam pada masa lampau mampu bersatu padu dan sehati dalam memperjuangkan kemerdekaan. Namun umat Islam hari ini, justru mengisi kemerdekaan dengan perpecahan antar golongan dan konflik kepentingan…”

 


























PENDAHULUAN

Setelah partai politik di Indonesia dibekukan pada masa pendudukan Jepang, maka melalui Maklumat Pemerintah 3 November 1945 telah dibangkitkan kembali.1 Maklumat tersebut mendapat sambutan secara meluas oleh kalangan tokoh politik, tidak terkecuali tokoh politik muslim. Bahkan sambutan tersebut meluas pada kalangan, yang sebelumnya termasuk kalangan yang masih awam dalam perpolitikan, turut mendirikan partai.

Selanjutnya eforia politik ini terhenti dengan adanya Agresi Militer Belanda II yang juga dikenal sebagai clash II. Tenaga rakyat lebih banyak disalurkan dalam perang melawan Belanda. Setelah Belanda dan Sekutu hengkang dari bumi Indonesia, pada akhir 1949 negara Indonesia memilih sistem pemerintahan parlementer yang beranggotakan wakil-wakil daerah, anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, dan anggota-anggota yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno berdasarkan perkiraan kekuatan partai politik. Oleh karena itu terdapat beberapa partai politik mendapattkan jumlah kursi cukup signifikan disebabkan klaim massa yang cukup besar.2

Pada masa perjuangan kemerdekaan umat Islam telah bersatu padu memerdekakan bumi Indonesia. Kemudian pada masa kemerdekaan mereka pun bahu membahu mengisinya. Perjuangan politik Islam pada masa awal masih menunjukkan persatuan yang kokoh. Namun menjadi bercerai berai pasca pecahnya Masyumi. Penyebab mayor perpecahan tersebut telah banyak diketahui khalayak dalam berbagai media publikasi berupa buku, jurnal, dan media terkait yang sepadan lainnya. Makalah ini akan lebih menitik beratkan kepada permasalahan minor, yaitu penelusuran peran Soekarno dalam perpecahan perpolitikan Islam di Indonesia. Permasalahan minor bukan berarti diabaikan layaknya bukan masalah. Bahkan bukannya tidak mungkin justru permasalahan minorlah yang sebenarnya merupakan akar permasalahan sesungguhnya.


SOEKARNO DAN PERPOLITIKAN ISLAM

Dalam pandangan politik Soekarno, hanya ada tiga aliran politik yang kuat di Indonesia dan ketiga-tiganya memiliki sejumlah kesamaan. Dengan demikian kekuasaan hanya akan diperoleh dengan mengendalikan ketiga aliran tersebut. Obsesi Soekarno tentang sebuah Negara merupakan sinkretisme antara Nasionalisme, Marxisme, dan Islamisme. Pertama aliran Nasionalisme telah dipegang, khususnya yang bernaung dibawah Partai Nasional Indonesia (PNI), yang menghormati Soekarno sebagai salah satu sesepuhnya.

Pada saat Partai Komunis Indonesia (PKI) dibawah kepemimpinan Muso berusaha menggulingkan kekuasaan pemerintahan,3 maka Soekarno dengan lantang, dalam salah satu siaran orasinya di radio pada tanggal 19 Desember 1948, berusaha untuk mematahkan kekuatan Muso dengan membujuk rakyat untuk kembali setia terhadap pemerintahannya dengan mengingatkan terhadap jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.4 Dengan melakukan manuver politik demikian maka sudah tentu Soekarno mendapatkan dukungan secara meluas baik dari rakyat luas maupun dari kalangan partai Islam. Sebagian besar rakyat masih memandang nama Soekarno sebagai bapak kemerdekaan sedangkan dari kalangan Partai Islam memang sejak semula telah menjadi ganjalan bagi Partai Komunis sehingga dengan demikian sangat mudah dirangkul oleh Soekarno.

 



















Tentu dalam pandangan Soekarno, dirinya akan tetap bisa berkuasa apabila terjadi balance of power. Dengan demikian maksud Soekarno tentu bukan untuk membubarkan PKI namun lebih kepada upaya untuk melemahkan pengaruh politiknya saja. Setelah gagal melakukan coop d’etat, PKI kemudian mengubah strategi. Soekarno dalam pandangan PKI masih merupakan tokoh yang memiliki wibawa politik cukup besar di mata rakyat. Maka mau tidak mau mereka harus mengubah haluan dan memasukkan Soekarno dalam mensukseskan program partainya. Dengan demikian terjalin kedekatan antara Soekarno dan PKI.

Dalam tataran selanjutnya, Soekarno melihat bahwa partai politik Islam, Masyumi, merupakan sandungan sebab sejak masa Revolusi partai tersebut telah tumbuh besar menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Hingga awal tahun 1950 Masyumi masih merupakan kekuatan yang dominan di parlemen, oleh karena Soekarno pernah menunjuk formatur kabinet dari Masyumi sebanyak dua kali berturut-turut. Salah satu peristiwa penyerahan formartur kepada Masyumi sangat mungkin justru merupakan upaya memecah kekuatan dalam tubuh Masyumi. Dalam salah satu dari ketiga penyerahan pemilihan formatur kepada Masyumi tersebut, Soekarno memilih Sukiman sebagai formatur tanpa meminta pesetujuan Natsir sebagai ketua eksekutif Masyumi. Tindakan Sukiman tetap melaksanakan tugas sebagai formatur tanpa persetujuan eksekutif partai Masyumi tersebut dianggap sebagai tindakan indispliner dalam kepartaian. Peristiwa ini menunjukkan bahwa dalam tubuh Masyumi sendiri terdiri dari kelompok-kelompok.5 Pada saat pemerintahan berada di bawah Masyumi itulah maka Soekarno melihat kelemahan intern Masyumi terutama berkaitan dengan perebutan pengaruh jika tidak bisa dikatakan sebagai kekuasaan antara Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.6

Dalam kongres Masyumi yang berlangsung pada akhir tahun 1949 terjadi perombakan kedudukan Majelis Syura, yang berisi para kyai atau ulama, yang sebelumnya merupakan majlis yang memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan Masyumi menjadi setingkat dengan badan penasehat saja. Dengan adanya perubahan struktur tersebut maka ulama dari kalangan NU merasa posisinya tergeser sebab arahan kerja dari badan yang terbentuk selanjutnya tersebut kurang mampu mempengaruhi kebijakan partai.

Keresahan NU semakin memuncak ketika beredar isu bahwa jabatan Menteri Agama akan diserahkan kepada Muhammadiyah. KH. Wahab Hasbullah, Rais ‘Am Majlis Syuriah NU, menuntut agar kursi menteri agama tetap diserahkan kepada NU. Tuntutan KH. Wahab Hasbullah antara lain adalah agar perdana menteri tetap dipercayakan kepada Sukiman, sedangkan Abu Hanifah dicalonkan sebagai Menteri Luar Negeri, Zainul Arifin sebagi Menteri pertahanan, dan Wachid Hasyim menduduki jabatan sebagai menteri agama. Tuntutan NU tersebut jelas menggoyahkan kedudukan formatur Sidik dan Prawoto yang telah berhasil menyelesaikan penyusunan programnya.

Sementara itu dari kalangan Muhammadiyah juga telah mengajukan Fakih Usman sebagi menteri agama dan pada giliran selanjutnya organisasi massa ini menolak secara tegas tuntutan NU. Alasan Muhammadiyah menolak usulan KH Wahab Hasbullah disebabkan NU telah memegang jabatan kementrian agama selama tiga kali berturut-turut, maka perlu adanya penyegaran kembali. Argumentasi Muhammadiyah tersebut ditampik balik oleh NU dengan menyatakan bahwa refreshing kabinet hanya akan menghambat upaya penanaman pengaruh dan dakwah Islam dalam birokrasi kementrian agama.

 

















Kemungkinan besar NU pada saat itu merasa bahwa jika kementrian Agam jatuh ke tangan Muhammadiyah maka massa NU yang cukup besar menyokong Masyumi hanya akan menjadi ‘sapi perah’ bagi kekuasaan yang didominasi oleh orang-orang Muhammadiyah. Maka kemudian KH. Wahab Hasbullah juga mengajukan calon lain untuk menduduki jabatan sebagi Menteri Agama yaitu KH. Masykur, KH. Faturrachman, H. Mustari, dan M. Machien.7 Namun pada akhirnya kementian agama tetap jatuh ke tangan Muhammadiyah sehingga pada giliran selanjutnya terbetik isu keluarnya NU dari tubuh Masyumi. Sampai kemudian dalam kongres ke 19 NU, kejelasan sikap NU telah nyata bahwa organisasi massa tersebut menyatakan keluar dari tubuh Masyumi.

Pada Kongres PKI V tahun 1954, PKI telah merumuskan strategi baru perjuangannya untuk “meng-Indonesiakan Marxisme-Leninisme” dengan menempuh taktik kalsi berupa “front persatuan nasional” yaitu bekerja sama dengan golongan-golongan non-komunis dan mendukung kabinet nasional walaupun dianggap sebagai “borjuasi nasional”.8 Strategi ini mirip jika tidak dapat dikatakan mengadopsi strategi terbaru Uni Sovyet yang berusaha menggandeng Negara-negara yang baru merdeka di Asia,9 guna mensukseskan agenda penyebaran paham negaranya. Untuk menghadapi Pemilu 1955, PKI bahkan bersedia menggandeng Partai NU yang merupakan pecahan dari Masyumi.10

Langkah awal yang dilakukan oleh PKI tersebut terkait dengan agenda politiknya untuk mencegah kemungkinan adanya kerjasama antara Masyumi (dan pecahannya) dengan PNI. Maka kemudian PKI mengeluarkan statemen bahwa Masyumi merupakan golongan borjuis besar yang melayani kepentingan kapitalis luar negeri dan mengemukakan adanya hubungan yang erat antara Masyumi dengan gerakan Darul Islam di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Aceh.11 Dalam percaturan politik pada masa ini, PNI di bawah kepemimpinan Sidik Djojosukarto lebih memilih bekerja sama dengan PKI dibandingkan dengan Masyumi. Dapat ditelusur bahwa alasan utamanya tentu karena Masyumi lebih merupakan saingan utama dibandingkan PKI dalam Pemilu 1955 dan pengaruh Masyumi yang agamis akan dinetralisasi dan mendapatkan lawan PKI yang berideologi komunis. Terbukti pula salah satu akibat pertarungan politis tersebut telah memecah kelompok-kelompok dalam tubuh Masyumi, dengan ditandai oleh keluarnya NU sebagi ormas utama dalam partai berhaluan Islam tersebut.


KALEIDOSKOP SUARA UMAT ISLAM

Berikut ini data-data pencapaian dan penguasaan perpolitikan Indonesia yang dapat memberikan gambaran tentang sejauh mana muslim mempengaruhi sejarah bangsa :12


Data Perolehan Suara dalam Pemilu 1955
Nama Partai
Perolehan Suara
Persentase
Kursi Parlemen
PNI
8.434.653
22,3 %
57
Masyumi
7.903.886
20,9 %
57
NU
6.955.141
18,4 %
45
PKI
6.176.913
16,4 %
39
Lain-lain
8.314.705
22,0 %
39
Total
37.785.298
100 %
257


Perolehan Kursi dalam Pemilu Pada Masa Orde Baru
Tahun
Golkar
PPP
PDI
ABRI
Total
Jml
%
Jml
%
Jml
%
Jml
%
Jml
%
1971
236
51,30
94
20,44
30
6,52
100
21,74
460
100
1977
232
50,43
99
21,52
29
6,31
100
21,74
460
100
1982
246
53,47
94
20,44
24
5,21
96
20,88
460
100
1987
299
59,80
61
12,20
40
8,00
100
20,00
500
100
1992
282
56,40
62
12,40
56
11,20
100
20,00
500
100
1997
325
65,00
89
17,80
11
2,20
75
15,00
500
100



Suara Partai Berbasis Massa Islam Dalam Pemilu 1999
No
Partai
Jumlah Suara
% dari Total Suara Sah
Kursi di DPR
% dari Total Kursi di DPR
1 P. Kebangkitan Bangsa
13.336.823
12,62
51
10,2
2 P. Persatuan Pemb.
11.329.905
10,72
58
11,6
3 P. Amanat Nasional
7.448.956
7,12
34
6,8
4 P. Bulan Bintang
2.069.708
1,94
13
2,6
5 P. Keadilan
1.436.563
1,36
7
1,4
6 P. Nahdlatul Ummah
679.178
0,64
5
1,0
7 Lain-lain
3.417.592
3,21
4
0,8
TOTAL
39.758.725
37,61
172
34,4


PENUTUP

Dengan demikian, Soekarno memiliki peran secara tidak langsung terkait dengan perpecahan dalam tubuh partai politik Islam. Peran tersebut lebih didorong oleh upaya dan kepentingan politiknya, termasuk dalam rangka mempertahankan kekuasaan. Sementara telah terjadi friksi dalam tubuh umat Islam sehingga kondisi demikian mampu ditangkap dan dimanfaatkan guna melemahkannya.
Sungguh mengherankan, umat Islam mampu bersatu padu dan sehati dalam memperjuangkan tegaknya kemerdekaan dan cita-cita keadilan serta kemandirian dalam berbangsa dan bernegara. Namun mereka kini justru bercerai berai dalam mengisinya. Perpolitikan Islam lebih banyak dilanda konflik internal yang memakan sumber daya energi sementara hasil yang diharapkan masih jauh dari jangkauan.

-----------------------
1. Prof. DR. Jimly Asshiddiqie,. SH. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi. (Konstitusi Press, Jakarta, 2005). Hal. 174
2. Prof. DR. Jimly Asshiddiqie,. SH. Ibid. Hal. 174
3. PKI sempat melakukan pemberontakan di Madiun pada bulan September 1948. Lihat Dahlan Ranuwihardjo, SH. 50 Tahun Sejarah Perjuangan HMI Turut Menegakkan dan Membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pengantar Ramli HM Yusuf (editor). 50 Tahun HMI Mengabdi Republik. (Lembaga Studi Pembangunan Indonesia, Jakarta, 1997). Hal. 3
4. Pidato Soekarno yang disiarkan RRI adalah sebagai berikut : “ Rakyatku yang tercinta, atas nama perjuangana kemerdkaan Indonesia saya berseru kepada saudara-saudara untuk membuat pilihan antara mengikuti Muso dengan Partai Komunisnya yang akan menghalangi kemerdekaan Indonesia, atau mengikuti Soekarno Hatta, yang dengan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa akan memimpin Republik ini menjadi Indonesia merdeka yang tidak tunduk pada negara mana pun … ”. Lihat Abdul Razak. Apakah Soekarno Berperan dalam perpecahan Masyumi ?. Dalam Al Muslimun No. 355 Th. XXVIII/ 1998. Hal. 44-45
5. Reaksi Natsir atas peristiwa tersebut digambarkan oleh Herbert Feith sebagai berikut : “ Hanya beberapa jam sebelum formatur menyampaikan susunan cabinet kepada Presiden, Dewan Eksekutif Masyumi (Pimpinan Natsir) mengeluarkan pendapat bahwa tindakan Sukiman sebagai formateur tidak atas nama Masyumi ”. Lihat Cosmas Batubara. Sejarah Lahirnya Orde Baru, Hasil dan Tantangannya. (Yayasan Prahita, Jakarta, 1986). Hal. 4
6. Abdul Razak. Ibid. Hal. 45
7. Kemungkinan besar hal ini diakibatkan calon sebelumnya yang diajukan oleh KH. Wahab Hasbullah, yaitu KH. Wahid Hasyim, pernah tersandung dengan kasus kegagalan pemberangkatan haji akibat korupsi dalam tubuh Kementerian Agama. Korupsi tersebut sebenarnya merupakan kesalahan dalam sistem kabinet parlementer, namun sebagai menteri agama yang mengurusi keberangkatan haji beliau ikut tersangkut dengan perkara tersebut.
8. Lihat Pusat Sejarah dan tradisi ABRI. Bahaya Laten Komunisme di Indonesia. Jilid III. (Markas Besar angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pusat Sejarah ABRI, Jakarta, 1995). Hal. 39
9. Kolonel D. Soegondo. Komunisme di Indonesia. (Lembaga Pertahanan Nasional, Jakarta, 1981). Hal. 20
10. Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI. Ibid. Hal. 42
11. Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI. Ibid. Hal. 43
12. Data tersebut berasal dari tulisan Kamarudin. Siklus Kekalahan Partai Islam. Dalam SABILI Edisi Khusus. Sejarah Emas Muslim Indonesia. No. 9 Th. X. (Bina Media Sabili, Jakarta, 2003). Hal. 93

Penulis: Susiyanto (Mahasiswa Pasca Sarjana Peradaban Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Dipublikasikan ulang seizin penulis dari www.susiyanto.wordpress.com


Sumber: www.muslimdaily.net

Menziarahi Batu Nisan Tajdid: Refleksi Jelang Seabad Muhammadiyah

 

Dalam esainya “Mengkaji Ulang Muhammadiyah sebagai Organisasi Berorientasi Pembaharuan” Dawam Rahardjo mengemukakan sejumlah kritik terhadap Muhammadiyah dalam rangka evaluasi perkembangan Muhammadiyah jelang satu abad. Dawam menilai bahwa Muhammadiyah memilih tauhid Wahabisme ketimbang tauhid sosial, hasil perenungan dan pembaharuan Ahmad Dahlan atas tauhid lama.

Dengan memisahkan gagasan wahabisme dari gerakan pembaharuan Ahmad Dahlan, Dawam menegaskan kritiknya bahwa kini Muhammadiyah cenderung fundamentalis. Di akhir tulisan, Dawam memperlihatkan sikap pesimis dengan menyatakan bahwa “Muhammadiyah memang tidak akan menjadi organisasi pembaharu yang liberal dan progressif.”

Sebagai respons atas tulisan Dawam, tulisan ini mengamini bahwa Muhammadiyah di usianya yang ke-100 tidak lagi melirik semangat pembaharuan generasi awal, khususnya Ahmad Dahlan, sebagai prioritas gerakan. Lebih jauh, tulisan ini ingin memperlihatkan bahwa semangat pembaharuan di tubuh Muhammadiyah kini telah terkubur. Muhammadiyah menggunakan kosa kata tajdid atau pembaharuan lebih sebagai beban sejarah ketimbang semangat pergerakan. Pertanyaan yang seringkali muncul adalah jika Muhammadiyah sejak awal berdiri merupakan gerakan tajdid atau pembaharuan, lantas kenapa yang muncul ke permukaan kini adalah wajah puritanisme yang tertutup dan literalistik? Mengapa semangat pembaharuan hanya menjadi batu nisan? Adakah peluang membangkitkan tajdid di lingkuangan Muhammadiyah dari kuburannya?

Untuk sampai pada pertanyaan tersebut, ada baiknya jika kita menilik konsep tajdid pada saat Ahmad Dahlan merumuskan Muhammadiyah. Gagasan pembaharuan Ahmad Dahlan bukan muncul di ruang kosong. Ada situasi sosial, politik, ekonomi dan budaya umat Islam kala itu yang memprihatinkan.
***


 

Gerakan tajdid atau pembaharuan yang dikumandangakn Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah adalah respons atas keterpurukan umat Islam dalam berbagai lapis. Lapis ekonomi, politik dan budaya.

Melacak konteks Muhammadiyah periode awal tidak bisa lepas dari situasi yang menjadi keprihatinan Ahmad Dahlan. Ahmad Dahlan adalah turunan ke-12 Maulana Malik Ibrahim, penyebar agama Islam yang dikenal sebagai wali. Lahir dari keluarga ulama di mesjid kesultanan, Ahmad Dahlan menjalankan ibadah haji pertama di usianya yang ke-15. Selain ibadah haji, ia melanjutkan tinggal di Mekkah untuk menimba ilmu bahasa arab dan agama di sana. Pada periode ini, ia berkenalan dengan pemikiran-perkiran Rasyid Ridlo, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Ibn Taimiyyah.

Smentara itu, situasi umat Islam pasca perang Salib dan Daulah Abbasiyah runtuh di tangan bangsa Mughol dan Tartar, terpuruk. Keterpurukan politik ini didukung oleh penutupan pintu ijtihad oleh ulama. Kekalahan di panggung politik membuat umat Islam tidak dapat berbuat banyak karena tidak mendapat kesempatan melakukan terobosan untuk melawan. Pada masa itu, pemikiran tasawuf yang mengajarkan uzlah atau menyepi dari arena politik menjadi ajaran pavorit akibat tersendatnya pintu ijtihad.

Apalagi kemudian, terjadi okupasi bangsa Eropa terhadap negara-negara yang dihuni umat Islam. Okupasi dilakukan dengan cara kekerasan dan tipu muslihat. Okupasi tidak sebatas merebut kekuasan, tetapi juga mengeruk sumber ekonomi. Untuk menstabilkan penjajahan, dalam kasus penjajahan di Indonesia misalnya, pemerintah Hindia Belanda mengirim orang untuk mempelajari Islam. Dengan begitu, mereka tahu ajaran-ajaran mana dan karakterumat Islam macam apa yang bisa dimanfaatkan agar tidak terjadi pemberontakan.

Salah satu cara pemerintah Hindia Belanda, menurut Buya Hamka (1958), menjinakkan umat Islam adalah dengan memberi gelar kebangsawanan kepada raja-raja kecil. Misalnya, Syaikhul Alam. Di samping gelar, mereka mendapat upah sebagai raja kecil atas jasa mereka menekan rakyat untuk kepentingan ekonomi penjajah. Tekanan juga muncul melalui jasa ulama yang dibayar untuk mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan kebutuhan penjajah. Mereka adalah ulama yang mengabdikan dirinya pada kehidupan pragmatis. Sehingga kepekaan terhadap penderitaan umat tidak masuk daftar perenungannya. Di lain pihak, terdapat ulama yang muak dengan intrik dan perkawinan antara penjajah dan ulama pragmatis. Mereka memilih ajaran tasawuf yang lari dari kehidupan dunia untuk mendapat kebahagiaan di akhirat. Ajaran tasawuf yang banyak dianut umat islam saat itu membekukan ajaran Islam. Melalui mereka, Islam tidak bisa melahirkan jalan keluar bagi situasi tersebut.

Dalam tradisi fiqih, umat dibutakan dengan keharusan taqlid atau manut atas apa yang difatwakan ulama. Siapa saja yang keluar dari ajaran fiqih yang ada mendapat cap murtad atau apostasi, bahkan kafir. Alih-alih terbuka atas terobosan tafsir baru, sikap kritis saja adalah perkara tabu. Kritis berarti melawan kiayi dan menguarangi berkah serta kwalat. Di sinilah konteks tahayul menjadi salah satu sumber keterpurukan umat Islam Indonesia. Untuk menyembuhkan penyakit, umat lebih percaya dukun ketimbang pengobatan moderen. Selain mahal, cara-cara dokter dinilai haram sebab ia datang dari Barat dan mereka adalah penjajah.
Di tengah keterpurukan umat Islam, pemerintah Hindia Belanda memberi akses masuk kepada kelompok Kristen dan Katholik. Mereka menyebarkan ajaran dan memperlebar wilayah melalui Zending dan Missie. Cara yang mereka tempuh sistematis dan tertata dengan baik. Selain pendirian rumah ibadah, mereka mendirikan sekolah berbasis agama dan layanan kesehatan. Sementara itu, umat Islam masih saja sibuk dengan perkelahian dalam masalah-masalah khilafiyah. Lebih jauh umat Islam menganggap tata tertib organisasi haram lantaran datang dari Barat.

Oleh karena itu, Ahmad Dahlan memandang bahwa gerakan pembaharuan amat mendesak bagi umat Islam. Namun ia sadar bahwa gerakan pembaharuan tidak bisa dilakukan sendirian. Untuk mengimbangi gerakan kelompok kristen dan katolik, Ahmad Dahlan bersama teman-temannya perlu memikirkan strategi yang sistematis dan orang-orang yang mumpuni menjalankan organisasi dengan efektif dan efisien. Untuk memhami keberhasilan gerakan tajdid Ahmad Dahlan, kita perlu meletakkan Muhammadiyah dalam kerangka teori gerakan sosial.
***


 

Dalam ilmu sosial, belakangan muncul cara baru menjelaskan dinamika sosial, yaitu teori gerakan sosial[1]. Di tengah arus demokratisasi dan keterbukaan politik, muncul berbagai gerakan masyarakat untuk merespons kebijakan negara yang dinilai tidak menguntungkan kelompok yang diwakilinya. Gerakan sosial biasanya terdiri dari sekelompok orang dari berbagai keluarga dengan latar belakang berbeda-beda. Perkumpulan tersebut memiliki agenda politik. Yakni, memperjuangkan hak masyarakat yang diwakilinya yang tidak diberian oleh pemerintah. Meski begitu, gerakan sosial berbeda dari partai politik. Jika partai politik bertujuan merebut kekuasaan dan mengelolanya, gerakan sosial lebih sebagai saluran aspirasi tanpa tujuan hendak menjadi penguasa.

Berdasarkan teori ini, Muhammadiyah generasi awal dan hingga kini dapat dibaca sebagai gerakan sosial. Muhammadiyah bukan organisasi keluarga. Ia terdiri dari perwakilan beberapa keluarga dari berbagai latar belakang yang memiliki keprihatinan yang sama mengenai masa depan umat Islam. Muhammadiyah, pada waktu itu, memiliki agenda politik untuk membuka ruang dan akses pengetahuan agar dapat keluar dari bayang-bayang kolonial Belanda. Lebih dari itu, gerakan ini dapat melahirkan generasi Islam berikutnya yang pintar, sehat dan mandiri. Oleh karena itulah, Muhammdiyah merumuskan sejumlah strategi untuk memperjuangkan agenda tersebut.

Meskipun memiliki sejumlah agenda politik, Muhammadiyah bukan partai politik. Ahmad Dahlan dan kawan-kawannya membentuk Muhammadiyah bukan untuk merebut dan memperoleh kekuasaan dari tangan kolonial. Melalui perserikatan Muhammadiyah, Ahmad Dahlan hendak merebut masa depan umat Islam dari kungkungan sistem sosial, budaya, politik yang tertutup kala itu. Dia bersama kawan-kawannya mengerahkan segala daya upaya untuk kebangkitan umat Islam Indonesia yang masih terbelakang.

Keberhasilan Muhammadiyah sebagai gerakan sosial, waktu itu, didukung oleh tiga unsur. Pertama, struktur kesempatan politik (political opportunity structure). Gerakan sosial hanya akan tumbuh dan berkembang di daerah di mana sistem politik diberi ruang. Di negara yang ruang politik warganya tertutup, gerakan sosial tidak akan tumbuh apalagi berkembang. Gerakan sosial tidak dapat bergerak di negara seperti Arab Saudi. Struktur politik di Arab tidak memberi ruang bagi gerakan yang memperjuangkan hak-hak warganya di luar kehendak pemerintah. Misalnya, sekelompok perempuan memperjuangkan agar perempuan diperbolehkan menyetir sendiri. Nasib mereka kemudian adalah penjara atas nama mengganggu ketertiban umum.

Pada masa-masa akhir masa penjajahannya di Indonesia, Belanda menerapkan sistem politik etis. Di antara politik balas budi tersebut memberi kesempatan kepada warga pribumi, khususnya umat Islam berkumpul dan berserikat. Ahmad Dahlan memanfaatkan kesempatan tersebut mendirikan Muhammadiyah. Pada tahun 1914, dua tahun sejak berdiri, Muhamadiyah mendapat pengakuan dari pemerintah Belanda. Tetapi pengakuan tersebut hanya berlaku untuk wilayah Yogyakarta saja. Belanda, saat itu, khawatir bila organisasi keagamaan semacam Muhammadiyah tumbuh hanya akan mengganggu stabilitas kolonialisasinya. Lebih jauh, pemerintah Belanda mengeluarkan Undang-undang yang membatasi pengajaran agama tidak boleh mengajarkan gagasan tentang kebangkitan Imam Mahdi.

Pengakuan tersebut, bukan berarti pemerintah Belanda memberi kebebasan sama sekali. Mereka khawatir perkumpulan ini berkembang biak. Perkembangan organisasi Islam, disadari pemerintah Belanda, lambat laun bisa melahirkan pemberontakan. Muhammadiyah nyatanya, kala itu, berkembang. Kurang dari 10 tahun, sejumlah daerah menyatakan dukungannya dan membentuk cabang. Untuk mengelabui perkembangan ini di mata Belanda, Ahmad Dahlan mengusulkan kepada sejumlah cabang di luar Jogjakarta menggunakan nama berbeda-beda, meski tujuan dan semangat gerakan sama. Misalnya, pengurus Muhammadiyah di Garut menamai gerakannya dengan nama Ahmadiyah. Sementara Pekalongan menggunakan nama Nurul Islam.
Perkembangan tersebut mendorong Ahmad Dahlan mengajukan permohonan mendirikan cabang Muhammadiyah dengan nama yang sama pada tahun 1922. Perjuangannya tidak sia-sia. Selang beberapa bulan, permohonan tersebut dikabulkan pemerintah Belanda.

Menafaatkan kesempatan politik saja tidak cukup. Gerakan sosial juga perlu memanfaatkan unsur kedua, yaitu mobilisasi sumberdaya (resource mobilization). Kalau unsur pertama lebih menekankan faktor luar, unsur kedua lebih melihat ke dalam. Yakni, sumberdaya apa saja yang dapat dimanfaatkan dalam organisasai untuk membangun dan mengembangkan gerakan. Pertimbangan yang mendasari pemanfaatan sumberdaya tersebut mesti rasional dan strategis. Jika tidak, akan banyak sumberdaya yang terbuang lantaran tidak sesuai dengan kemmpuan dan tempatnya. Menampatkan orang pada posisi yang strategis dan mengalokasikan sumber dana dengan efisien akan mempermudah gerak organisasi. Dengan begitu, agenda gerakan dapat diaktulisasikan dengan efektif.

Ahmad Dahlan adalah seorang pendidik. Ia dipercaya pemerintah Hindia Belanda mengajarkan agama Islam kepada siswa calon pajabat (calon pamongpraja) di OSVIA Magelang dan calon guru di Kweekschool Jatis, Yogyakarta. Hubungan dengan para muridnya tidak ia sia-siakan. Ia memanfaatkan murid-muridnya untuk bersama-sama membangun dan mengembangkan sekolah sendiri. Kala itu, ia mendirikan sekolah dengan nama Hooge School Muhammadiyah, dan selanjutnya, berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah. Kini, sekolah tersebut dikenal dengan nama Muallimin untuk sekolah laki-laki dan Muallimat untuk sekolah perempuan. Inilah sekolah Islam moderen pertama di Indonesia.

Selain pendidik, Ahmad Dahlan juga dikenal sebagai pengusaha batik. Relasinya dengan pengusaha memungkinkan ia mendapat sokongan dana dari mereka. Jiwa enterpreneurship Ahmad Dahlan berpengaruh besar pada Muhammadiyah. Muhammadiyah kemudian dikenal sebagai organisasi mandiri. Yaitu, organisasi yang tidak hanya mengandalkan sumbangan masyarakat, tetapi mengusahakan untuk dapat membiayai diri sendiri. Ahmad Dahlan tahu betul bagaimana memanfaatkan sumberdaya di sekitarnya untuk membangun dan mengembangkan gerakan yang ia rintis.

Dua unsur tersebut sia-sia jika tidak ada ikatan ideasional di antara para aktornya. Unsur ketiga,  framming atau ideologi menjadi amat penting. Dalam gerakan sosial, framming atau unsur ideasional sangat menentukan bagi tumbuh dan berkembangnya sebuah gerakan. Keterbukaan kesempatan politik dan mobilisasi sumberdaya akan berguna jika individu yang tergabung dalam gerakan menyadari makna ia berada di dalamnya. Lebih jauh, gagasan yang mengikat gerakan tersebut juga diartikulasikan dan disebarkan melalui interaksi dalam kehidupan sehari-hari dengan masyarakat untuk mendapat dukungan lebih luas.

Ahmad Dahlan memberi kerangka pada gerakan Muhammadiyah dengan semangat kebangkitan umat Islam di masa mendatang. Keterpurukan umat Islam tidak bisa diatasi tanpa pembaharuan gagasan dan diaktulaisasikan secara kolektif. Inilah semangat dasar pembentukan gerakan Muhammadiyah. Untuk sampai pada tujuan dan semangat tersebut, Ahmad Dahlan, sebagaimana pembaharu pada masanya, mengadopsi gagasan purifikasi akidah. Purifikasi yang diadopsi adalah strategi merebut otoritas penafiran keislaman dari otoritas Islam ortodoks.

Otoritas keislaman orotdoks saat itu sangat dipengaruhi oleh tradisi tasawuf, sebagaimana dijelaskan di bagian awal, cenderung lari dari urusan duniawi. Salah satu doktrin jumud dan pasrah yang menghinggapi masyarakat muslim saat itu adalah mutu qobla antamut, (matilah sebelum mati). Ahmad Dahlan sadar bahwa jika umat tidak lepas dari doktrin tersebut, maka tidak bisa bangkit dan mendapatkan keadilan di dunia. Bagaimana bisa menghadap Allah tanpa pengetahuan, tanpa kesehatan dan di tengah keterbelakangan. Ringkasnya, seruan kembali kepada al-Quran dan Sunnah pertama-tama dilihat sebagai cara untuk melepaskan umat dari kungkungan keterbelakangan cara berpikir lama.

Setelah masyarakat lepas, strategi berikutnya adalah mengisi wajan kosong dengan gagasan dan tafsir baru. Sebab, purifikasi sekalipun tidak bisa melepaskan diri dari aktivitas menafsir. Bahkan tafsir literal sekalipun adalah tafsir. Dalam rangka ini, perenungan Ahmad Dahlan mengenai tauhid sosial dalam konteks ini berkelindan dengan gagasan purifikasi.

Sebagaimana ditunjukkan Dawam, tidak banyak ayat yang menjadi perhatian Ahmad Dahlan. Yang paling terkenal adalah ayat yang terdapat dalam surat al-Ma’un. Melalui surat tersebut, Ahmad Dahlan mengajak warga Muhammadiyah untuk membangun ruang bagi mereka yang tidak beruntung. Misalnya, berdasarkan tafsir tersebut, Muhammadiyah pada masa Ahmad Dahlan memiliki Sekolah, Rumah Sakit, Rumah miskin dan Panti Asuhan sendiri. Ketiga lembaga sosial tersebut mengadopsi sistem barat dan tidak ada di kalangan kelompok Islam lainnya.

Melalui pendidikan, gerakan Muhamamdiyah memberi sumbangan yang amat berati bagi pembangunan umat Islam. Yakni, menyediakan akses pendidikan moderen yang pada masa itu hanya bisa dinikmati oleh anak-anak pejabat. Dengan demikian, pengetahuan agam sekaligus pengetahuan umum dapat dinikmati oleh lebih banyak umat Islam. Akses pengetahuan juga berarti membuka akses pekerjaan dan kesejahteraan sekaligus. Sementara, Rumah sakit membantu mengurangi angka kematian umat Islam akibat penanganan kesehatan yang tidak tepat.

Melalui kacamata teori gerakan sosial, nampak bahwa Ahmad Dahlan merintis gerakan sosial yang moderen dengan perhitungan yang tepat. Ia memanfaatkan ketiga unsur strategi tersebut atas dasar semangat pembaharuan yang mencitakan kebangkitan, kesejahteraan dan keadilan bagi umat Islam. Sebagai strategi, ketiga unsur tersebut bukan tidak mungkin berubah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.
Dengan segala keterbatasan dan tantangan yang dihadapi, Ahmad Dahlan berhasil merumuskan, menggerakkan dan mengembangkan Muhammadiyah. Segala daya, upaya dan pengorbanan harta-beda ia kerahkan atas dasar semangat pembaharuan atau tajdid untuk kemajuan umat. Pembaharuan atau tajdid nampak jelas mendasari upaya mengikis kemunduran umat Islam dari kejumudan dan keterbelakangan umat.
***

Apakah pembaharuan masih melekat pada gerakan Muhammadiyah kontemporer sebagai semangat dasar? Secara normatif, kosa kata tajdid masih muncul dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah pasal Identitas dan daftar prioritas program pada mukhtamat ke-45 lalu. Yakni, identitas Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid. Kemudian, salah satu program prioritas Mukhtamar tersebut adalah “pengembangan tajdid di bidang tarjih dan pemikiran Islam secara intensif dengan menguatkan kembali rumusan-rumusan teologis seperti tauhid sosial, serta gagasan operasional seperti dakwah jamaah, dengan tetap memperhatikan prinsip dasar organisasi dan nilai Islam yang hidup dan menggerakkan.”

Tajdid atau pembaharuan lebih terlihat sebagai beban sejarah ketimbang semangat dasar. Seandainya Ahmad Dahlan tidak mendirikan Muhammadiyah atas dasar tajdid atau pembaharuan, saya tidak yakin kosa kata tersebut masih diketik oleh juru ketik Mukhtamar. Sebab pada tataran praktis, tidak muncul kerangka berpikir sebagai produk dari tajdid tersebut.

Alih-alih tajdid, Muhammadiyah kini seperti telah mengubur hakikat tajdid atau pembaharuan dan menghiasinya sebagai batu nisan. Hakikat tajdid terkubur dan tidak tampak lagi, paling tidak dalam kurun watktu lima tahun terakhir. Misalnya, apa sikap Muhammadiyah terhadap keberadaan Ahmadiyah dalam tata sosial kemasyarakat kita. Muhammadiyah mengutuk penyerangan terhadap kampus Ahmadiyah. Tetapi tidak ada jawaban yang tegas tentang bagaimana seharusnya warga Muhammadiyah bertetangga dengan Ahmadiyah. Yang tegas adalah bahwa Ahmadiyah dinilai sesat. Akibatnya, bolah jadi tidak terjadi penyerangan secara fisik, tetapi membuka peluang diskriminasi kepada warga Ahmadiyah.

Contoh lain, sebagaimana ditulis Dawam, bahwa Muhammadiyah berada di balik fatwa MUI mengenai haramnya liberalisme, sekularisme dan pluralisme. Jika ditilik secara mendalam, ketiga istilah tersebut merupakan prinsip dasar dari demokrasi. Tidak ada makna paten bahwa ketiga istilah tersebut memusuhi agama. Memang diakui bahwa di Prancis, sekularisme yang mereka terapkan sampai pada kebijakan melarang agama di ruang publik. Tetapi, Amerika yang juga merupakan negara sekular mengadopsi agama apapun di ruang publik.

Jika ditilik dari prasyarat keberhasilan gerakan sosial, kesempatan politik dan sumberdaya kini terbuka lebar. Di era reformasi tidak ada hambatan politik apapun bagi Muhammadiyah untuk mengaktulaisasikan terobosan-terobosan baru untuk kehidupan publik yang lebih harmonis dan bermartabat. Sumberdaya manusia dan fasilitas jauh lebih baik daripada pada masa Ahmad Dahlan. Begitu juga dengan semangat pembaharuan sebagai kerangka utama gerakan Muhamamdiyah awal bukan perkara yang tidak disadari oleh elit Muhammadiyah.

Lantas kenapa Muhammadiyah malah menempatkan tajdid sebagai batu nisan belaka. Pertama, terlalu asik dengan isu pemurnian aqidah (purifikasi), ketimbang perubahan. Jika disadari bahwa purifikasi sebagai strategi, maka sudah tidak relevan lagi purifikasi sebagai isu. Sebab Di era teknologi informasi yang sedemikian cepat, konsep tahayul, bid’ah dan khurafat maknanya kian membuncah. Kini untuk tahu satu ajaran murni atau tidak tidak lagi bertanya kepada ulama Muhammadiyah. Mr. Google sudah menyediakan jawaban yang lebih beagam dan luas. Ketimbang melahirkan terobosan dan gagasan baru mengenai bagaimana Islam memberi sumbangan pada kehidupan sosial pada generasi gadget, Muhammadiyah masih asik dengan isu yang orang tidak lagi melirik sebagai sumber jawaban. Bukankah ini situasi yang menjadi sumber keprihatinan Ahmad Dahlan dulu.

Kedua, menikmati kemapanan sebagai organisasi besar. Dalam usianya yang ke 100, tidak kurang dari 10% penduduk Indonesia merasa diri menajdi bagian dari Muhammadiyah. Ratusan bahkan ribuan lembaga pendidikan berdiri di Indonesia yang menamakan diri Muhammadiyah. Begitu juga dengan Universitas, Rumah Sakit, Pom bensin, dan sebagainya. Dari segi aset jumlah pendukung dan ekonomi, Muhammadiyah adalah organisasi mapan. Akibatnya, perubahan radikal, terobosan-terobosan atau “tajdid” dari generasi muda hanya akan merusak tatanan organisasi yang ada. Bukankah kemapanan tanpa perubahan adalah jenis ulama, yang oleh Ahmad Dahlan dulu hendak didobrak.

Ketiga, di balik kemapanan, Muhammadiyah mendapat keuntungan-keuntungan politik. Kembali menjadi lembaga pembaharu, hanya akan mengguncang kepercayaan masyarakat kepada elit Muhammadiyah. Dan bila itu terjadi, klaim organisasi besar tidak bisa “dijual” kepada para politisi baik pusat maupun daerah di era pemilu langsung. Meskipun faktanya, pada pemilu 2009, dukungan elit tidak berbanding lurus dengan dukungan masyarakatnya. Bukankah situasi ini juga tidak dikehendaki oleh Ahmad Dahlan? Alih-alih mendapat keuntungan dari Muhammadiyah, Ahmad Dahlan mengorbankan jiwa, raga dan hartanya untuk membangun dan mengembangkan Muhammadiyah.

Tidakkah pembaharuan tinggal batu nisan yang setiap Mukhtamar dipercantik dalam kata-kata program sembari menguburnya?
***

 

Ahmad Dahlan dikenang bukan hanya lantaran ia pendiri Muhammadiyah, tetapi sebagai ulama yang menghembuskan nafas pembaharuan. Ia kerahkan segala kemampuan untuk masa depan umat Islam lebih baik. Ia mengikis cara berpikir kolot yang tetutup dan menggantinya dengan gagasan baru untuk pengembangan pengetahuan umat Islam. Ia ekspresikan gagsannya tersebut dalam bantuk organisasi yang mandiri dan terbuka. Muhammdiyah namanya. Melalui organisasi tersebut, ia kembangkan sistem pendidikan moderen. Sistem pendidikan yang prinsip efektif dan efisiensinya mengadopsi sistem Barat untuk mengimbangai gerakan Kristen dan katholik yang sedari awal sistematis.

Namun begitu, penelusuran tersebut kemudian menjadi semacam ziarah. Sebab, kini semangat pembaharuan tinggal batu nisan. Semangat dasar pembaharuan terkubur oleh purifikasi yang menjadi grand desain Muhammadiyah yang kini dipilih. Meletakkan purifikasi sebagai dasar hanya melahirkan cara berpikir yang tertutup. dan, Muhamamdiyah tidak lagi menajdi pilihan bagi kemajuan Umat kelak.

Menggali kembali, apalagi membangkitkan semangat pembaharuan di tubuh Muhammadiyah dari kuburnya barangkali sulit. Pertarungan yang harus dilewati pembaharu lebih sulit dari apa yang dialami oleh Ahmad Dahlan pada masanya. Posisi-posisi strategis ditempati oleh orang yang lebih peduli dengan purifikasi ketimbang pembaharuan. Akan tetapi bukan berarti tidak bisa. Pembaharuan melalui struktur organisasi masih terbuka.  Kalau tidak tembus, gerakan kultural melanjutkan cita-cita dan semangat dasar Muhamamdiyah tidak pernah padam. Generasi muda Muhammadiyah yang berdiri atas dasar semangat tajdid terus bermunculan dan tidak akan hilang. Sebab, Ahmad Dahlan menancapkan semangat tajdid begitu kuat.
Selamat melaksanakan Mukhtamar. Selamat membangkitkan tajdid dari kuburnya!!

[Tulisan ini dimuat dalam buku Satu Abad Muhammadiyah: Mengkaji Ulang Arah Pembaharuan (2010), Dawam Rahardjo, dkk.]

[1] Teori Gerakan sosial terutama dikembangkan oleh Charles Tilly. Quintan Wiktorowicz, ilmuan sosial yang mengadopsi pendekatan tersebut untuk memahami gerakan sosial Islam. Lebih lanjut lihat Wiktorowicz, Quintan (ed.) (2004). Islamic Activism: A Social Movement Thoery Approach. Indiana University Pers.

Sumber: acenghusni.wordpress.com

Sejarah Perjuangan Islam Dalam Bingkai Perjuangan Indonesia.

http://bloglitafm.files.wordpress.com/2010/08/bulan-014-a1.jpg

Oleh: Herbert Feith Dan Lance Castles
Alih bahasa: Morgen Indra Margono

Sekira 90% penduduk Indonesia adalah muslim. Sejumlah perjuangan melawan belanda pada masa penjajahan dahulu dilakukan atas nama bendera Islam. Dan di abad 20 pun  organisasi yang yang pertamakali didirikan adalah Sarikat Islam di tahun 1912.

Bagaimanapun terseretnya Islam dalam kancah politik dalam memerdekan Indonesia sebenarnya bersifat regional ketimbang nasional. Partai-partai Islam telah berhasil menembus kalangan pedagang , buruh, pekerja di berbagai wilayah ortodok –Jawa barat, madura dan sejumlah area di luar pulau – nambun banyak dari mereka yang berasal dari kaum aristokrat dan juga kaum terpelajar dari hampir semua kelompok etnis, lebih memilih ideologi sosialis atau nasionalis.

Belum lagi Islam membangun kesatuan dalam sebuah organisasi, setelah menurunnya pergerakan politik Sarikat Islam di tahun 1920-an ada dua kelompok besar yang berkompetisi secara jelas untuk meraih simpati umat Islam. Muhamadiyah didirikan 1912 yang menekankan pada pembaharuan dan juga pemurnian Islam, berada dalam advokasi Muhamad Abduh dan juga pengikutnya di mesir. Organisasi ini berada di komunitas urban yang terpelajar. Nahdatul Ulama, berdiri di tahun 1926 oleh sekelompok pengajar dan ulama konservatif, yang berasal dari sekolah muslim di Jawa Tengah dan Jawa Timur, membawa misi mempertahankan Islam dalam bentuk yang tradisional dengan maksud menjadi counter bagi apa yang disuarakan oleh muhamadiyah. Ada juga organisasi Islam reformis lainnya, seperti persis yang militan di bandung dipimpin oleh A.Hassan, dan juga organisasi yang lain seperti Perti dan Al Wasjlijah di Sumatera. Di bidang politik ada juga PSII dan juga sejumlah organisasi kecil lainnya yang merupakan sempalan dari sejumlah organisasi tadi. Namun konflik yang paling menonjol selau saja antara Muhamadiyah dan juga Nahdatul Ulama.

Sebenarnya rivalitas kedua kubu sempat melebur ketika invasi jepang masuk ke pulau Jawa. Dan di bawah mediasi Jepang ke dua kelompok tadi, juga sejumlah organisasi kecil dilebur menjadi satu dengan nama baru Masyumi . Di tahun 1945 Masyumi mengalami reorganisasi dan selanjutnya menjadi salah satu partai yang kuat dalam sejarah politik Indonesia. Pada masa ini pengaruh masyumi dari sumatera utara merefleksikan politik Islam dalam partisipasinya dalam perubahan revolusioner.

Namun ketika Indonesia diproklamirkan tahun 1945, Pancasila lah yang dijadikan ideologi negara dan bukan Islam. Dan setelah itu paling tidak sampai tahun 1959, cita cita meproklamirkan negara Islam menjadi tujuan utama dari kelompok kelompok Islam. Meskipun faksi faksi mereka juga ada yang tidak setuju menggunakan istilah negara Islam.   Hanya segelintir faksi saja yang tetap ingin mendirikan negara Islam dengan cara melakukan pemberontakan atas nama cita cita .  Yang pertama melakukan pemberontakan adalah Darul Islam yang bergerak di Jawa barat dipimpin oleh mantan pemimpin PSII, SM Kartosuwiryo. Tahun 1953 Teungku Muhamad Daud Beureueh, pimpinan Muslim di daerah Aceh, di wilayah Utara Sumatera.

Sejumlah kelompok muslim kemudian melanjutkan cita cita mereka mendirikan negara Islam berlanjut melalui cara yang konstitusional, dengan harapan adanya partai Islam yang memenangkan pemilu. Namun perjuangan mereka gagal. Kemudian tahun 1949 ketika Masyumi dipegang oleh pimpinan mereka di sumatera, Mohamad natsir, mereka tidak didukung oleh NU yang memisahkan diri untuk kemudian mendirikan partai NU sendiri. Hasilnya di pemilu tahun 1955 membuat suara muslim terpecah. Masyumi yang tadinya berfikir akan dapat mendapat suara mayoritas, ternyata hanya mendapat 1/5 suara saja dari keseluruhan. Hasil ini lebih kecil dari perolehan PNI. NU mendapat 18 persen suara, namun bila disbanding dengan keselurahn partai partai yang ada saat itu, partai Islam hanya memperoleh suara yang sangat kecil.

Meskipun ada kesamaan antara kedua partai besar tersebut, ada perbedaan besar antara Masyumi dan NU. Sejak trahun 1952 kedua partai tersebut memegang peranan yang berbeda. NU pada umumnya  bekerja sama dengan elemen elemen nasionalis radikal,  sehingga mereka bisa eksis dalam pemerintahan di tahun 1953. Masyumi terus mencoba untuk menjatuhkan bung Karno. Namun karena terdiskreditkan dengan cara melakukan pemberontakan di tahun 1958,  akhirnya partai ini terpaksa dicekal untuk kemudian tidak bisa beraktifitas lagi.

Sebagai ideology yang ditujukan untuk membangun hubungan politik yang kontemporer, Islam Indonesia telah didominasi  oleh ide dari para reformis dan kaum ini telah dipengaruhi oleh pemikiran pendahulunya yaitu, Mohamad Natsir.  Dengan latar belakang ideology A. Hassan dan juga dipengaruhi oleh pandangan liberal barat dan pemikiran sosialis, Natsir muncul dengan karakter sebagai orang yang selalu berfikir maju, stabil, dan toleran. Peran ekstrem dalam ideologi politiknya sangat berpengaruh dalam demokrasi parlementer, suatu serangan pada sekularisme pada tradisi Hassan.

Di dalam fokusnya pada pengembangan stabilitas ekonomi, para reformis sekitar Natsir selalu berdiri dekat dengan para demokratis sosialis. Fokus yang dikemukakan di sini tidak hanya oleh Natsir tetapi juga oleh Syarudin Prawiranegara, pemimpin tertinggi Masyumi di bidang ekonomi.

Nahdatul  Ulama meskipun kepentinganya sangat utama sebagai Partai Politik yang utama sangatlah sedikit direpresentasikan di sini. Hal ini terjadi karena para pemimpinnya belum memperlihatkan ideologi politik yang jelas. Statemen yang dinyatakan oleh NU mengenai tujuan perjuangan mereka biasanya mereka tradisional dan juga terpelajar dan hampir tidak berhubungan dengan strategi politik mereka.  Di lain waktu mereka  menunjukan keberpihakannya pada posisi yang diformulasikan oleh kaum reformis. Kemudian kebijakannya bekerjasama dengan golongan kiri, sejatinya tidak terutkur dari pertimbangan ideologis. Faktanya kebijakan bekerjasama dengan partai tengah, pemimpin local dan partai kiri sebenarnya hanya sebagai satu sifat oportunistik saja.

Anti komunisme selalu menjadi kepentingan utama politik Islam di Indonesia. Meskipun kdangakal hal ini juga tidak diekspresikan secara langsung. Ekpresi-ekspresi kekerasan tentang hal ini bukanlah suatu yang tidak lazim di Indonesia.

Pejuang Islam lainnya adalah RAA Wiranata Kusuma, orang sunda yang aristokrat tanpa ikatan yang kuat dengan  oraganisasi Islam. Pola perjuangan individual seperti yang ditunjukan RAA Wiranata Kusuma mengekpresikan model perjuangan yang ditunjukan seorang muslim Indonesia, yang memiliki perbedan pandangan politik termasuk diantara dengan partai sekular. Ini menunjukan pula perbedaan bagaimana cara pandang yang moderat dengan yang saklek seperti Mohamad Natsir.

Sumber: bloglitafm.wordpress.com

Muslim, Schizophrenia dan Delusi dalam Politik Islam

 http://i149.photobucket.com/albums/s74/arifperdana/ladder.jpg

Politik dikenal baik dalam sejarah Islam. Akan tetapi, politik memiliki diferensiasi dalam pola dan definisi. Dalam al-Qur'an tidak mengandung metode politik khusus untuk Islam. Sehingga, bisa dikatakan bahwa politik kenegaraan adalah prodak dari budaya dan bukan intrumen murni Syari'ah Islam.

Dalam masa Baginda Nabi Muhammad S.A.W. nabi tidak mengajarkan sistem khusus dalam politik kenegaraan, akan tetapi nabi hanya mengajarkan nila-nilai dan kode etik Islam sesuai dengan corpus al-Qur'an. Sehingga dalam hal ini, tidak ada alasan bagi para muslim untuk mengatakan pola politik kenegaraannya dengan politik Islam, partai da'wah atau terminologi serupa.

Dalam sejarah Islam dan pola perpolitikan para muslim ada semacam simpul terang untuk mengurai hakikat Islam dan perpolitikan dalam Islam. Tesis pertama adalah Islam tanpa didukung masyarakat, Islam akan tetap exsis karena Islam adalah agama fitrah. Sementara perpolitikan harus senantiasa mendapat dukungan dari masyarakat. Ibarat dua sudut yang saling bersebrangan antara Islam dan perpolitikan dalam Islam. Di sini, ada perbedaan tata nilai Islam dan perpolitikan, sehingga terasa ada kejanggalan jika perpolitikan diatas namakan agama. Karena keduanya beda baik secara sumber hukum atau secara karakteristik atau pun secara pola pembentukan.

Perpolitikan adalah bangunan tersendiri yang harus dijauhkan dari nama agama (Islam) yang suci. Karena hal tersebut akan merusak citra baik agama sebagai petunjuk bagi hamba-Nya. Dalam perjalanan sejarah manusia terlihat sangat jelas perihal bahwa politik jika dileburkan dalam agama atau politik yang memakai jubah agama akan sering merusak reputasi agama. Pendukung sebanyak-banyaknya, tidak berarti harus mengorbankan agama. Masih banyak cara lain untuk sampai pada 'memiliki pendukung sebanyak-banyaknya' dalan aktifitas politik tanpa harus menciderai agama.

Dalam sejarah Gereja terlihat sangat jelas akan rusaknya reputasi Kristen ketika politikisasi terhadap Gereja. Terkesan ada pemerkosaan yang luar biasa jika agama harus dipaksa untuk dipolitikisasi atau agama dipaksa harus dipolitisir. Hal ini sangat jelas sekali jika dilihat dalam perjalanan sejarah Gereja dan perpolitikan Paus, Kardinal-Kardinal dan para Pastur terhadap agama Kristen hingga akhirnya reputasi Kristen jatuh kebawah dan sampai pada titik reputasi rendahan dan menjijikkan. Tentunya, setelah mengingat ilustrasi di atas apakah kita ingin agama Islam yang fitrah mengalami sejarah yang sama dengan Kristen karena perpolitikan muslim yang salah atau klaim terhadap Islam untuk kepentingan politik?

Untuk mengurai pertanyaaan ini tentunya harus mengetahui terlebih dahulu akar justifikasi atau bentuk pengorbanan agama terhadap segala sesuatu yang market table, termasuk politik.

Muara atau akar dari ini semua adalah karena muslim salah dalam membaca sejarah dan salah dalam penyikapan hidup keseharian terutama dalam aktivitas politik. Sangat disayangkan, jika hal ini terjadi secara terus-menerus dan tidak ada pembenahan. Salah besar jika aktivitas politik diatas namakan sebagai agama, atau membawa baju-baju agama untuk kepentingan perpolitikan. Fitrah agama dan fitrah politik adalah berbeda, dan tidak bisa melebur dalam satu kata sepakat. Fitrah agama menitik beratkan pada kejujuran dan ketenangan jiwa sementara fitrah perpolitikan lebih pada bermain di wilayah intrik-intrik kepentingan, membunuh, menghancurkan, berbohong dan penyalah gunaan terminologi bahkan ajaran agama.

Muslim yang masih sering beraktivitas politik dan mengatas namakan agama atau mengacak-acaka agama demi kepentingan politik pada dasarnya mereka sedang mengalami dua pengakit akut kejiwaan yang sering disebut dengan Schizophrenia dan Delusi. Schizoprenia adalah gangguan kejiwaan yang mempengarui otak manusia. Pengidap penyakit ini sering kali membuang sebagian memori masa lalunya. Dalam kehidupan sehari-hari, pengidap hidup dengan imajinasinya sendiri. Tokoh, perwatakan bahkan runtutan jalan kehidupannya, dia habiskan dengan tokoh dan situasi imajinernya. Namun anehnya, tokoh dan situasi itu sangat nyata dihadapan pengidap Schizophrenia. Sederhananya, mereka hidup dalam pikirannya sendiri.

Sedangkan Delusi adalah gangguan kejiwaan yang memberikan sugesti bahwa dia telah mampu mencapai pada kegemilangan. Dari dua penyakit kejiwaan ini, sebagai pendukung kenapa muslim dalam pembacaan sejarah agama dan politik sering salah serta salah jalan dalam tahapan praksis. Pembacaan secara parsial adalah efek dari dua penyakit kejiwaan ini. Hidup dalam emajinasi dan lamunan kejayaan Islam masa lalu, dengan mengatas namakan politik berformulasi Islam adalah pola politik final yang harus diterapkan dalam kenegaraan.

Islamisasi beberapa hukum Persia oleh Imam al-Mawardi tentunya harus menjadi bahan pembelajaran bagi muslim modern saat ini. Tidak perlu kita memaksakan politik dalam agama Islam. Biarkan politik berkembang secara dinamis yang paling penting adalah nilai-nilai yang di ajarkan Rosullullah dan al-Qur'an senantiasa tertancap dalam sanubari hati aktivis politik, bukan formulasi politik yang mengatas namakan Islam dan membahayakan agama Islam.

Sebagaimana Taqiyuddin an-Nabani, Abu Ala al-Maududi, Sir Muhamad Iqbal, Hasan al-Banna dan lain sebagainya menawarkan formulasi perpolitikan dengan mengadopsi pada formulasi Islam masa lalu tapi sampai sekarang masih belum ada hasil yang signifikan. Biarkan Islam menjadi agama yang fitrah dan referensi segala sesuatu akan tetapi tidak perlu mengotori Islam dengan politik yang mengatas namakan Islam. Oleh Imam al-Mawardi dalam bukunya Al-Ahkam al-Sulthoniyah di dalamnya ada beberapa adopsi pemikiran politik Persia yang digunakan untuk kelengkapan perpolitikan Islam saat itu. Dan ini terlihat lebih baik dari pada pola perpolitikan yang menggunakan nama agama untuk menarik simpati masyarakat, entah dengan menggunakan istilah-istilah partai da'wah atau aktivitas keagamaan. Biarkan Islam pada koordinat semestinya tanpa harus ditarik ke sana-sini oleh partai atau aktivitas politik yang berkepentingan dan membahayakan agama Islam.

Sumber: nurfadlan.blogspot.com