Sepak bola lekat dengan jalan hidup Vigit Waluyo. Ayahnya, H M. Mislan, merupakan tokoh legendaris pendiri klub Delta Putra Sidoarjo-disingkat Deltras. Kini ia pun menjadi figur penting dalam persepakbolaan Jawa Timur. Selain memimpin pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia Jawa Timur, ia mengelola sejumlah klub "binaan". Vigit menangani antara lain Persikubar Kutai Barat, Mojokerto Putra, Mitra Kutai Kartanegara, dan Deltras Sidoarjo. Ia juga menangani Persiwangi Banyuwangi dan menjadi Manajer PSIR Rembang. Dengan posisinya, ia tak kesulitan ketika menangani Persebaya Surabaya, yang pengurus lama klubnya bergabung ke Liga Primer Indonesia dan berganti nama menjadi Persebaya 1927. Ia segera memboyong para pemain dan pelatih Persikubar ke Surabaya. Para pemain di klub binaan Vigit rata-rata berusia tua buat ukuran sepak bola. Tapi bukan sekadar teknis yang dituntut. Mereka jagoan "nonteknis", istilah yang sering dipakai buat menyebut urusan menyuap wasit dan pemain. "Dia punya puluhan pemain sepak bola, yang selalu mengikutinya ke mana pun," kata seorang pemasok pemain asal Jawa Timur. Vigit siap "menangani" klub bergantung pada dana yang ditawarkan. Satu klub sepak bola di Jawa Timur pernah meminta bantuannya dengan tawaran Rp 10 miliar. "Saya tidak mau menanggapi tuduhan macam-macam," katanya ketika dimintai konfirmasi soal suap-menyuap. "Kalau memang materi pemain dan pelatihnya bagus, pasti menang." Pemain merupakan unsur penting dalam patgulipat pengaturan hasil pertandingan. Bagaimana caranya? Kejadian Agustus tahun lalu ini bisa menjadi contoh. Ketika itu, lima orang pemain Persis Solo-Nova Zaenal Muttaqin, Haryadi, Eko Kancil, Andry, dan Tommy Haryanto-dihubungi nomor tak dikenal yang mengaku Manajer Persiku Kudus. Penelepon meminta mereka tak tampil pada laga playoff Divisi Utama di antara kedua klub di Stadion Jatidiri, Semarang. Mereka diimingi uang setara dengan sisa gaji yang belum mereka terima dari Persis. Mereka juga akan direkrut ke Persiku pada musim selanjutnya. "Kami tak tahu apakah itu benar Manajer Persiku Kudus atau bukan. Saat kami coba hubungi balik, nomornya tak aktif," kata Nova, gelandang serang yang kini bergabung ke PSIM Yogyakarta. Seorang pengurus klub yang biasa menjalankan trik "membeli" pemain mengatakan operasi selalu dilakukan rapi dan tanpa jejak. Tawaran tak pernah disampaikan melalui SMS. "Kalaupun perlu menelepon, akan menggunakan nomor yang tak akan dipakai lagi," katanya. Modus ini yang dipakai buat mendekati lima pemain Persis. Menurut pengurus itu, trik "membeli" pemain membantu timnya melaju ke Liga Super. Selama bertarung di Divisi II pada 2002 hingga lolos Divisi Utama pada 2008, klubnya memanfaatkan jasa para calo penghubung beberapa pemain yang bisa "dibeli". Klub juga memelihara "tim buser wasit", kelompok wasit yang dapat disuap. "Ini cara kami berjuang dalam sistem yang kotor," katanya. Permainan gelap ini banyak dilakukan lewat perantara yang merangkap sub-agen, yang menawarkan transfer pemain ke klub tapi tak mengantongi lisensi. "Mereka memiliki lobi dan jaringan kuat dengan para pemain," kata sumber yang sama. Permainan kotor melibatkan tiga-lima pemain, yang menerima suap Rp 5-25 juta per pemain pada kompetisi Divisi 1 dan 2. Pada tingkat divisi ini, gaji para pemain sering terlambat. Klub yang mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah terikat sistem keuangan daerah yang pencairannya pada bulan tertentu. Sumber: tempointeraktif.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar