MATAHARI baru tergelincir ketika Sigit Wido keluar dari Hotel Mirah, Bogor. Ditemani seorang rekan, Wakil Sekretaris Umum Persatuan Sepak Bola Palangkaraya itu meluncur ke pusat keramaian di sisi utara kota. Kurang dari seperempat jam, taksi Bluebird mereka sampai di sebuah mal. Temannya menghubungi satu nomor, lalu mereka masuk ke tempat perniagaan itu. Di antara etalase toko, dua pejabat klub sepak bola Persepar itu melihat tiga orang. Satu di antaranya memiliki ciri yang disebut penerima telepon: berpakaian gelap dan bersandal Adidas. Dialah Suwandi, wasit yang akan memimpin pertandingan Persepar melawan PSB Bogor, esok harinya. Dua lainnya hakim garis buat pertandingan yang sama. Mereka lalu saling menyapa, sebisa mungkin tak menarik perhatian orang lain. Kembali menyusuri selasar mal, iringan kecil ini menuju tempat sayur dan buah, lalu berhenti di pajangan pakaian. Sigit mengambil tiga jas dan membayar di kasir. Rekannya memasukkan buntelan plastik berisi Rp 12 juta ke busana berlengan panjang itu, lalu menyerahkannya ke Suwandi. Sang wasit pun berjanji, pertandingan esok hari akan "lancar". "Kami bertemu ekstra-hati-hati agar tak ketahuan lawan," kata Sigit, mengenang peristiwa awal Juli 2008 itu. Menurut Sigit, uang pelicin disodorkan agar wasit berlaku netral. Syukur-syukur wasit berpihak buat timnya. Tentu saja, karena bermain tandang, Sigit mendekati wasit dengan diam-diam. Kalau sampai tim lawan memergoki mereka, urusannya bisa berabe. Esok harinya, klub dari Kalimantan Tengah itu dapat menahan gempuran tuan rumah. Pertandingan di Stadion Pajajaran yang disaksikan ratusan penonton itu berakhir seri, 0-0. Hasil ini membuat Persepar bertahan di papan atas klasemen Divisi I Liga Indonesia. Sejumlah pemain PSB Bogor tak terima. Wasit dianggap tidak adil, banyak membuat keputusan yang menguntungkan tim tamu. Wasit Suwandi dan dua asistennya dipukuli. Para pemain Persepar tak berani ke luar stadion. Beruntung, polisi dapat mencegah amuk lebih besar. Mendapat pengawalan ketat, akhirnya pemain Persepar bisa ke luar lapangan dua jam kemudian. Kepada Tempo, Jumat pekan lalu, Suwandi menyangkal menerima uang dari Persepar. "Saya memang ke mal waktu itu, tapi shopping saja, beli-beli celana, kaus," katanya. KLUB bola Palangkaraya itu masuk Divisi I Liga Indonesia sejak 2007. Hingga kompetisi tahun lalu, Sigit mengatakan kerap menyelipkan suap. Menurut dia, tim yang hebat bukan jaminan bisa bertengger di peringkat atas. Karena itu, perlu "jalur lain" buat mengamankannya. Penyuapan wasit, kata Sigit, lazim dilakukan hampir semua klub-dari Liga Super hingga divisi paling bawah. "Kalau tidak, jangan harap bisa menang," ujarnya. Suap diperlukan agar wasit tidak asal cabut kartu atau menunjuk titik penalti yang menguntungkan lawan. Dari semua pertandingan di kandang pada musim lalu, Persepar tak pernah kalah dan hanya sekali seri. Ketika bertandang, mereka juga jarang pulang dengan tangan hampa. Sebagian besar berakhir imbang. Cerita suap ini tersebar di beberapa klub. Ilham Arief Siradjuddin, Ketua Umum PSM Makassar, menyatakan wasit perlu "didekati dengan baik". Manajer klub harus menjamu ekstra pemimpin pertandingan itu. "Terkait dengan 'kesejahteraan'," katanya. Bila hal itu tidak dilakukan, wasit sering bertingkah aneh dan kerap merugikan klubnya. Dia memberikan contoh pertandingan PSM Makassar melawan Semen Padang FC pada Sabtu, akhir November tahun lalu. Wasit Aeng Suarlan membatalkan gol Andi Oddang pada menit ke-37. Aeng menganggap Andi lebih dulu terperangkap offside. Pendukung PSM jengkel. Amarah suporter makin tersulut ketika pada menit ke-70 tangan Park Chul-hyung, pemain belakang Semen Padang FC, menyentuh bola di dekat gawang. Alih-alih memberikan tendangan penalti buat tuan rumah, Aeng Suarlan tak meniup sempritannya. Penonton melempar botol minuman ke lapangan. Kerusuhan pecah. Puluhan fan PSM dari tribun utara masuk ke lapangan, mendobrak terali pembatas sekitar empat meter. Sumber: tempointeraktif.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar