Lelaki yang biasanya garang di tepi lapangan itu tertunduk lesu ketika jaksa membacakan tuntutan di Pengadilan Negeri Samarinda, Kalimantan Timur. Rabu pekan lalu, mengenakan hem biru dipadu celana gelap, Aidil Fitri sesekali mengusap dahi, meski tidak ada keringat di keningnya. Senyumnya kecut. Sejak pertengahan tahun lalu, lelaki gempal itu duduk di kursi terdakwa. Dipimpin oleh ketua majelis hakim Parulian Lumbantoruan, bekas manajer kesebelasan Persisam Putra Samarinda ini didakwa menyelewengkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Rp 1,784 miliar. Sore itu, jaksa penuntut umum Andi Dahreen menuntutnya dua tahun penjara. Lelaki 46 tahun kelahiran Balikpapan ini juga harus mengembalikan dana Rp 1,784 miliar-sebulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Seusai sidang, Aidil berucap, "Saya akan menerima apa pun keputusan hakim." Perkara Aidil hanyalah satu dari banyak perkara serupa, yakni korupsi dana APBD sepak bola. Kasus ini bermula ketika Persisam berlaga di Divisi Utama 2007-2008. Ketika itu, Persisam menerima kucuran dana dari Pemerintah Kota Samarinda Rp 12 miliar. Tahun berikutnya, klub yang dijuluki Elang Borneo itu disuntik Rp 25 miliar. Seluruh aliran duit tadi buat menopang kegiatan Persisam selama mengikuti kompetisi Divisi Utama. Nyatanya, fulus bocor di mana-mana. Aidil-bekas Ketua Pemuda Pancasila dan Ketua Dewan Perwakilan Cabang Partai Patriot-merekayasa nilai kontrak pemain dan pelatih. "Rata-rata digelembungkan Rp 50-100 juta per orang," kata Arna Effendi, bekas sekretaris tim Persisam, yang juga menjadi tersangka dalam kasus ini. Bekas pelatih Persisam, Eddy Simon Badawi, misalnya, meneken kontrak Rp 325 juta per tahun pada akhir 2008. Faktanya, duit yang diterimanya cuma Rp 225 juta. Begitu pula mantan pemain Persisam, Victor Simon, yang dikontrak Rp 275 juta per musim, tapi hanya menerima Rp 175 juta. Bahkan bekas pemain Persisam, Puji Listiono, dalam berita acara pemeriksaan mengaku pernah menandatangani kuitansi kosong. Arna Effendi mengatakan kontrak pemain dan pelatih dibuat rangkap. Begitu pula dengan laporan keuangan: ada yang asli, ada yang fiktif dengan kuitansi palsu. Menurut Andi Dahreen, selisih duit yang digelembungkan ada yang masuk kantong sejumlah anggota Dewan Samarinda yang meninjau pusat pelatihan Persisam di Solo pada Januari 2008. Ada pula yang masuk kantong Aidil-di antaranya untuk membeli cincin dan mobil Suzuki Swift keluaran 2008 serta membayar uang muka rumah. Sisanya dikuras untuk melayani pengurus pusat PSSI yang berkunjung ke Samarinda dan menyediakan aneka rupa servis buat wasit saat bertanding di kandang. Maklum, Aidil ketika itu masih menjadi Ketua PSSI Samarinda. Hasilnya, entah kebetulan entah tidak, selama 15 kali bertanding di kandang, Persisam diberi hadiah penalti 20 kali oleh wasit. Maka juara Divisi Utama musim 2008-2009 ini dijuluki Raja Penalti. Semrawutnya pengelolaan keuangan klub bukan cuma milik Persisam-yang setelah musim 2008-2009 promosi ke Liga Super Indonesia. Buktinya, minim sekali kesebelasan di Indonesia yang punya laporan keuangan yang diaudit berkala. Hal ini terungkap dari hasil uji tuntas keuangan yang dilakukan auditor internasional terhadap 16 klub sepak bola di Tanah Air yang berlaga di Liga Super dan divisi di bawahnya sepanjang 2009-2010. Laporan keuangan mereka tidak memenuhi standar akuntansi, sekadar pakai program Microsoft Excel yang bisa dihapus dan diubah siapa saja sehingga kesahihannya diragukan. Laporan keuangan PSMS Medan dan Arema Indonesia masuk kategori ini. Situasi ini diperparah oleh perubahan manajemen klub yang tidak diikuti pengalihan pembukuan dan pelaporan administrasi ke manajemen baru. Klub-klub yang bertanding di liga naungan PSSI itu juga tidak punya code of conduct dan prosedur operasional standar. "Bahkan ada orang yang punya otoritas tapi tidak masuk struktur." Orang-orang seperti inilah, kata sejumlah praktisi yang malang-melintang di dunia bola, yang kerap mengawal dan menjanjikan klub meraih kemenangan. Tentu saja tidak gratis. Itu sebabnya, banyak fulus berceceran, yang pemakaiannya sulit dipertanggungjawabkan-istilahnya "biaya-biaya nonteknis". Dari 16 klub yang ditelisik, cuma empat kesebelasan yang berbadan hukum. Dari empat klub itu, cuma Arema dan Persebaya yang memiliki nomor pokok wajib pajak. Tidak mengherankan bila klub-klub sepak bola ini tidak pernah membayar pajak. Bahkan ada klub yang sudah berbadan hukum justru dibubarkan demi memperoleh dana APBD. Ini terjadi pada PT Delta Putra Sidoarjo-badan hukum Deltras Sidoarjo-yang dibubarkan tiga tahun lalu. Manajemen klub ini dikuasai oleh keluarga Vigit Waluyo. Di klub ini, dana dari pemerintah kabupaten-melalui Komite Olahraga Nasional Indonesia daerah-masuk rekening pribadi Vigit. Penarikan uang hanya dilakukan oleh Vigit dan Ayu Sartika Virianti, anak Vigit yang juga menjadi manajer tim. Tidak ada rekening bank atas nama Deltras, juga tidak ada laporan keuangan. Ditemui di Surabaya awal bulan ini, Vigit menyanggah semua informasi itu. "Saya tidak mau menanggapi tuduhan macam-macam," kata Ketua PSSI Jawa Timur itu. Nah, pemakaian yang tidak jelas juntrungannya itu memang sebagian besar berasal dari dana APBD. Dari uji tuntas tadi terlihat, lebih dari separuh pendapatan klub ditopang oleh anggaran pemerintah daerah-kecuali Persib, Semen Padang, dan Arema. Dari situ, 60-70 persen dikeluarkan buat belanja pemain, yang tidak jarang digelembungkan, seperti kasus Aidil. Sisanya buat kebutuhan klub sehari-hari. Sementara itu, pemasukan dari Badan Liga Indonesia dan PSSI tidak signifikan. Ironisnya, setelah kenyang makan duit rakyat bertahun-tahun, klub-klub ini selalu mengalami defisit di akhir kompetisi. Deltras, misalnya, defisit Rp 946 juta di akhir Liga Super 2009-2010. Menurut Apung Widadi, peneliti Indonesia Corruption Watch, kucuran dana dari pemerintah daerah ini juga rawan dipolitisasi pejabat daerah, yang biasanya menjadi pengurus teras klub. Itu sebabnya, tidak sedikit politikus daerah yang mati-matian memperjuangkan agar klub menerima suntikan dana dari pemerintah daerah. "Dengan harapan, prestasi yang dicapai klub bisa mendongkrak popularitas," kata sejumlah manajer yang ditemui Tempo. Buktinya, banyak pengurus klub yang kemudian sukses dalam pemilihan kepala daerah. Bambang D.H., ketika itu Ketua Umum Persebaya, misalnya, sukses menjadi Wali Kota Surabaya pada 2005 setelah setahun sebelumnya klub itu menjuarai Liga Indonesia. Jhon Richard Banua tiga tahun lalu berhasil menjadi Wakil Bupati Jayawijaya setelah menjadi Manajer Persiwa Wamena. "Melalui bola mereka bisa mencari suara," kata Harry Ruswanto, bekas Manajer Persitara, yang pernah dilamar oleh beberapa partai politik untuk menjadi anggota Dewan. Menurut Subardi, anggota Komite Eksekutif PSSI, pemakaian dana publik itu sah-sah saja, asalkan bisa dipertanggungjawabkan. Ia tidak setuju bila dana APBD dihapus begitu saja. "Nilainya masih belum seberapa karena sepak bola merupakan hiburan rakyat yang bisa mempersatukan bangsa," kata anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Daerah Istimewa Yogyakarta periode 2004-2009 ini. Seorang manajer klub mengatakan dana anggaran daerah sudah menjadi candu buat para pegiat bola. Padahal haram hukumnya buat perusahaan terbuka menerima dana tersebut. Agar bisa menerima kucuran dana, perusahaan terbuka menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah membentuk klub. Lalu anggaran disalurkan ke klub tadi melalui KONI daerah. "Ini cara paling baik untuk melakukan manipulasi," katanya. Status perusahaan terbuka itu, kata dia, cuma formalitas agar klub bisa berlaga di liga profesional. Toh, PSSI tidak pernah mau tahu sumber dana klub. Sumber: tempointeraktif.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar