Sabtu, 22 Januari 2011

DEMOKRASI: Antara Kedaulatan Ilmu dan Kedaulatan Kambing


Pria yang ramah dan cerdas ini, sebelum belakangan menjadi orang rumahan, dulu merupakan orang lapangan yang langkah da’wahnya sudah merambah hampir seluruh propinsi di Indonesia. Kenapa sekarang betah tinggal di rumah? “Terlalu asyik mengajar orang lain bisa membuat kita lupa mengajar diri dan keluarga. Padahal, diri dan keluarga itulah sasaran da’wah yang pertama dan harus diutamakan.” Begitulah jawaban diplomatisnya. “Tapi suatu hari, saya juga akan terjun ke lapangan lagi,” katanya.

Tapi, siapa sih dia? Dia menolak namanya dipublikasikan, apalagi disertai fotonya. Yang pasti, dari obrolan sekitar dua jam, yang berkisar pada fungsi dan peran Al-Qurãn di zaman sekarang, tulisan di bawah ini adalah hasilnya.

Tolong jelaskan, bagaimanakah Al-Qurãn menjawab tantangan zaman?

Pertanyaan itu saya sambut dengan pertanyaan lagi. Pertama, apa tantangannya? Kedua, tahu tidak cara mendapatkan jawaban dari Al-Qurãn? Sejarah menegaskan bahwa Al-Qurãn turun sebagai response (jawaban) atas satu challenge (tantangan). Itu yang terjadi pada masa Nabi. Kini juga bisa terjadi, peran Al-Qurãn sebagai respon seperti dulu itu berulang, atau sebenarnya tetap demikian. Ibarat alat, dia tidak akan kehilangan fungsi. Tapi, masalahnya, maukah kita memfungsikannya?

Bila tantangannya, misalnya, demokrasi?

Demokrasi bukan tantangan bagi Al-Qurãn. Tapi, sebaliknya saya menantang, bisakah prinsip demokrasi diubah, dari kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan ilmu?

Maksud Bapak?

Kedaulatan rakyat itu kan sama dengan kedaulatan kambing! Akhirnya yang muncul ke permukaan adalah serigala. Kenapa? Karena serigala berilmu, punya strategi dan taktik untuk membuat kambing memilih mereka sebagai pemimpin, sehingga mereka jadi bebas makan kambing toh?

Jadi, seperti kata Nurcholis bahwa demokrasi bisa membuat tuyul terpilih jadi presiden?

Ya, karena itu tadi, prinsip kedaulatan rakyat.

Tapi katanya suara rakyat adalah suara Tuhan.

Jadi, Tuhan berbicara melalui rakyat, begitu? Yang saya tahu, Tuhan berbicara melalui kitab-Nya, kepada para rasul-Nya. Lalu para rasul itulah yang berbicara kepada rakyat, menyampaikan ajaran Tuhan. Bila si rakyat menerima ajaran Tuhan, otomatis mereka akan menyuarakan ajaran Tuhan. Mereka akan berani berkata kepada para pemimpin, “Hai, kalian jangan korupsi!” misalnya.

Tapi bila ajaran Tuhan tidak ada di otak mereka, bisa-bisa mereka malah menggemakan suara Setan! Artinya, bisa saja suara rakyat memang identik dengan suara Tuhan, bila si rakyat itu memang tahu suara Tuhan dan mereka menyuarakan aspirasi Tuhan, bukan aspirasi perut mereka. Bila mereka hanya menyuarakan aspirasi perut, atau aspirasi libido (seks) seperti kata Freud, ya suara rakyat identik dengan suara Setan. Bila rakyat sudah mewakili aspirasi Setan, wajar saja bila mereka memilih tuyul atau setan gundul sebagai pemimpin. Lalu, di lapangan informasi, misalnya, bertebaranlah media massa yang menawarkan pornografi dan pornoaksi.

Lalu, yang Bapak maksud dengan kedaulatan ilmu?

Saya maksud dengan kedaulatan ilmu adalah ilmu sebagai imam atau pemimpin. Seperti kata Nabi, ilmu adalah imam bagi amal (perilaku) manusia. Tapi kebanyakan manusia bergerak, hidup, mengikuti tradisi atau bahkan kelatahan saja. Kebanyakan manusia tidak mempertanyakan apakah yang mereka lakukan setiap hari itu benar atau tidak menurut ukuran suatu ilmu? Bagi umat Islam, misalnya, benar atau tidak yang mereka lakukan itu menurut ukuran kitab suci mereka, yang merupakan ’standar ilmiah’ mereka?

Maksud Bapak?

Ya, orang Islam itu kan setiap melakukan sesuatu harus dimulai dengan Bismillah. Tapi sadar tidak kita, struktur ilmu apa yang harus dibangun ketika kita mengucapkan Bismillah?

Wah, saya makin tak mengerti nih!

Anda kan mempertanyakan tentang kedaulatan ilmu. Sebelum bicara kedaulatan ilmu dalam skala besar, katakanlah dalam konteks kenegaraan, kita harus periksa diri sendiri dulu. Pertama adalah cara berpikir kita. Sudahkah kita berpikir ilmiah? Berpikir ilmiah itu kan mulainya dari metode. Metode itu sebenarnya kan struktur, atau bangunan, atau bentuk ilmu. Setiap ilmu mempunyai metode sendiri, yang membedakannya dari ilmu-ilmu lain. Nah, Al-Qurãn sebagai ilmu juga kan ada metodenya.

Memangnya Al-Qurãn itu ilmu?

Lha, ajaran dukun saja diakui sebagai ilmu, kenapa ajaran Allah tidak?

Bukankah Al-Qurãn sebagai wahyu itu lebih tinggi dari ilmu?

Dianggap lebih tinggi tapi diperlakukan lebih rendah, itulah kenyataannya! Artinya, karena Al-Qurãn dianggap bukan ilmu, maka kita jadi setengah hati dalam menjadikannya pedoman hidup. Akhirnya pedoman itu menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Bahkan sejak awal sekali, mulai dari penerjemahan, karena Al-Qurãn dianggap bukan ilmu, maka penerjemahannya pun menjadi tidak ilmiah. Sebagai contoh, Bismillahirrahmanirrahim diartikan “Dengan nama Allah yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang ….

Di mana letak kesalahan terjemahan itu?

Coba terjemahan itu dibawa ke Aceh, ketika baru hancur karena tsunami! Atau ke tempat yang baru-baru ini dilanda air dari Situ Gintung. Di sana yang terlihat dan terasa adalah Allah Mahakejam, bukan Pengasih dan Penyayang.

Itu kan pikiran orang tak beriman!

Bukan! Itu pikiran orang-orang yang tidak ilmiah, karena memang tidak diajari berpikir ilmiah oleh para Kiai mereka. Coba perhatikan (sambil tertawa), setiap ada bencana, para Kiai itu menghibur dengan kata-kata, ada juga yang berdoa sambil nangis-nangis. Lucunya, sambil menangis mereka mendikte Allah untuk berbuat begini dan begitu, atau jangan berbuat begini dan begitu. Sebenarnya siapa yang jadi Tuhan? Allah atau kita? Kalau kita mendikte Allah, berarti kita dong yang jadi Tuhan! Setiap terjadi bencana, di mana-mana, dengan berbagai cara, muncul pengakuan tentang kedudukan Tuhan sebagai Penguasa, tapi tidak ada pengakuan bahwa Tuhan itu Pengatur, yang peraturan-Nya harus diikuti.

Dalam konteks Aceh, bukankah di Aceh justru sudah diberlakukan Syari’at Islam, peraturan Allah?

Dalam kenyataan, apa benar ajaran Allah diterapkan di sana? Bagaimana dengan bisnis ganja yang terus berjalan? Bahkan setelah peristiwa tsunami, masih ada orang yang tertangkap karena hendak menyelundupkan ganja. Itu hanya contoh ekstrim saja ya! Yang ingin saya katakan adalah bahwa Islam di Aceh, atau di belahan bumi Indonesia yang lain, sama sajalah dengan di negara-negara Arab atau yang lain. Resminya negara Islam, tapi tetap saja yang berlaku secara real adalah peraturan tuyul. Masih ada para penguasa yang feodalis, ada korupsi di sana-sini, ada penindasan, pelecehan seksual, dan macam-macam.

Itu dari sisi perilaku manusianya. Dari sisi konsepnya, apa yang disebut Syari’at Islam itu kan Fiqih. Fiqih itu kan macam-macam, ada beberapa aliran, ada beberapa mazhab. Di antara mazhab-mazhab itu, entah yang mana yang mewakili ajaran Allah yang sebenarnya. Ya, orang boleh saja mengatakan bahwa perbedaan pendapat, yang melahirkan mazhab-mazhab itu, adalah rahmat. Tapi bagi saya, lahirnya mazhab-mazhab itu hanya membuktikan bahwa manusia tidak mau tunduk pada peraturan Allah. Islam yang tadinya hanya satu, satu Tuhannya, satu kitabnya, satu rasulnya, oleh manusia yang lahir belakangan kok dijelmakan menjadi puluhan atau ratusan mazhab?

Dalam kenyataan, perbedaan pendapat itu kan tidak bisa dihilangkan Pak!

Anda boleh berbeda pendapat dengan saya, kalau antara anda dan saya tidak mempunyai tujuan real dan praktis yang sama. Misalnya, kita cuma ingin beradu wacana. Tapi kalau kita punya tujuan nyata dan praktis yang sama, keunggulan sebuah konsep atau wacana ditentukan oleh kemampuannya mencapai tujuan itu. Ketika kita hendak membangun sebuah rumah, misalnya, kita harus berangkat dari sebuah gambar yang dibuat oleh seorang arsitek yang kita sepakati. Kalau kita membawa dua gambar dari dua arsitek yang berbeda, padahal kita hendak membangun rumah di satu lahan yang sama, apa yang akan terjadi? Baguslah kalau nanti dua rumah bisa dibangun. Tapi bagaimana kalau kita malah berantem memperebutkan lahan, untuk mewujudkan gambar masing-masing?

Maksud saya, ketika kita berhadapan dengan Al-Qurãn sebagai sebuah teks, saya kira sudah hampir pasti bahwa kita akan berbeda pendapat.

Ya, kalau kita berangkat secara liar, semau gue, memang bisa begitu. Tapi coba kita berangkat dari satu titik keberangkatan yang sama. Nah, titik keberangkatan ini kalau dalam konteks ilmu adalah metode atau prosedur. Kalau kita menggunakan metode yang sama dalam mengkaji Al-Qurãn, hasilnya, kesimpulan yang kita dapat pasti akan sama.

Dari mana kita dapatkan jaminan kepastian itu?

Kalau anda mempelajari teori ilmu, filsafat ilmu, anda pasti tahu bahwa sebuah metode itu tidak berdiri sendiri tapi ada perangkat-perangkat lain yang membuat metode itu bisa tegak, bisa membawa kita pada tujuan nyata dan praktis tadi. Nah, sepanjang kita berpegang pada satu metode dengan segala perangkat pendukungnya, lalu kita hubungkan dengan tujuan nyata dan praktisnya, maka di situ kita bisa memusatkan perhatian secara bersama-sama.

Bagaimana bila tujuannya berbeda?

Kalau tujuannya berbeda, metodenya berbeda juga dong! Tapi kita, sesama umat Islam, masak sih punya tujuan berbeda. Ambil contoh gampang saja; kita bikin masjid, misalnya, apa tujuan kita beda?

Kalau contohnya masjid, kan banyak masjid didirikan oleh banyak mazhab. Maksud saya, perbedaan mazhab tidak membuat tujuan membangun masjid jadi berbeda.

Ya, karena masjid hanya sarana fisik, yang seandainya dia tidak ada pun, kita tetap bisa melaksanakan tujuan kita. Untuk shalat ritual, misalnya. Tapi, bila tujuannya hanya shalat ritual, shalat tidak harus dilakukan di dalam masjid. Tapi ketika sebuah masjid dibangun, tujuan hakiki yang mau dicapai bukan lagi sekadar melakukan shalat ritual. Masjid itu harus menjadi sarana pemersatu, bukan malah menjadi alat pemisah satu mazhab dengan mazhab yang lain.

Ngomong-ngomong soal masjid, dalam peristiwa tsunami di Aceh dulu itu, ada beberapa masjid yang selamat, sementara bangunan-bangunan lain hancur. Begitu juga dalam peristiwa Situ Gintung. Bagaimana Bapak membaca hal itu?

Tidak semua masjid selamat, banyak juga yang hancur. Saya dengar ada 270 masjid yang hancur. Untuk yang tidak hancur, mungkin karena bangunannya memang bagus. Sedangkan masjid yang dekat Situ Gintung itu, kan jelas kelihatan bahwa masjid itu tidak terhantam langsung oleh limpahan air. Air hanya lewat di sampingnya. Tapi bisa jadi juga, Allah memang campur tangan di situ. Karena seperti yang terjadi di Turki, di sebuah lokasi gempa, ada sebuah masjid yang tetap tegak dan utuh, sementara bangunan-bangunan di sekelilingnya hancur.

Jadi, ada unsur campur tangan Allah juga ya?

Ya, siapa tahu? Tapi, kalau memang ada kejadian seperti itu, lalu siapa yang campur tangan? Setan? Punya kuasa apa setan? Mungkin itu memang peringatan dari Allah, bahwa masjidnya memang sudah benar, tapi manusianya yang masih salah.

Jadi, bencana di Aceh dan Situ Gintung itu memang layak mereka terima, sebagai hukuman?

Bencana alam itu tidak pilih bulu! Salah atau benar, kalau dia ada di tempat bencana, pasti kena juga. Kalau bicara hukum, itulah hukum alam, sunnatullah. Tapi kalau bicara hukuman, hukuman Allah hanya untuk orang-orang yang berdosa. Bagi yang tidak berdosa, bencana itu merupakan ujian. Tapi kalau bicara masjid, Rasulullah dulu juga membangun masjid. Tapi bersamaan dengan pembangunan masjid, atau malah sebelumnya, mental manusianya juga dibangun. Kita sekarang membangun masjid yang bagus-bagus, hingga bisa tahan gempa, tapi mental manusianya dibiarkan tidak terbangun. Maksud saya terbangun, terbentuk menjadi manusia-manusia yang mau hidup dengan ajaran Allah.

Bukankah masjid-masjid itu selalu ramai dengan kegiatan keagamaan?

Ya, masjid-masjid ramai, tapi kosong dari petunjuk. Kosong dari nilai-nilai Al-Qurãn. Yang ramai di sana cuma kegiatan-kegiatan ritual, malah cenderung bersifat hura-hura. Selesai dari kegiatan ritual dan hura-hura, masjid-masjid itu menjadi bangunan yang mati dan terasing. Hati manusia yang tinggal di sekelilingnya, tidak ada di sana. Kenapa? Karena masjid tidak menawarkan nilai-nilai pragmatis yang mereka butuhkan.

Apa yang Bapak maksud dengan nilai-nilai pragmatis itu?

Ya nilai-nilai yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup sehari-hari, seperti rasa persatuan, kebersamaan, persaudaraan, dan sebagainya, yang dampaknya tentu akan luas. Akan berpengaruh pada banyak segi kehidupan, termasuk masalah ekonomi. Gampangnya, bila sebuah masjid berfungsi sebagaimana mestinya, manusia-manusia yang tinggal di sekitarnya akan hidup dalam suasana persatuan, kebersamaan, dan persaudaraan. Sehingga tidak perlu ada orang yang merana sendirian karena kemiskinan, misalnya.

Apakah itu berhubungan dengan zakat?

Ya, katakanlah begitu. Peran masjid memang sangat berhubungan dengan zakat, tapi bukan zakat seperti yang dipahami kebanyakan orang sekarang. Zakat yang saya maksud adalah, antara lain, zakat sebagai suatu sistem ekonomi.

Bagaimana pula zakat yang merupakan sistem ekonomi?

Gampangnya: zakat itu kebalikan dari riba. Bila riba itu menguntungkan segelintir orang berduit dengan memeras orang miskin, zakat adalah sebaliknya. Orang berduit memberikan manfaat dari duitnya kepada orang-orang miskin, tapi bukan dengan cara memberikan derma! Seperti kata Nabi, berikan kail, bukan berikan ikan. Saya kira, ini butuh penjabaran yang cerdas.

Sekarang sudah banyak berdiri Bank Syari’ah. Apakah itu penjabaran cerdas yang Bapak maksud?

Cerdas dalam hal meniru yang sudah ada. Sedikit memodifikasi. Intinya sama saja. Tapi saya tak ingin bicara banyak tentang itu. Kita lihat saja.

Kembali ke soal agama dan ilmu. Bapak seperti menyamakan agama dengan ilmu. Padahal, katanya agama dan ilmu itu berbeda. Beragama tidak boleh berlogika, misalnya.

(Tertawa) Manusia itu makhluk logika, hayawanu-natiq! Tak ada manusia yang tak berlogika. Logika itu jalan pikiran toh? Justru logika itulah yang membedakan orang dewasa dengan anak kecil, orang terpelajar dengan orang yang kurang ajar. Logikalah yang membedakan satu manusia dengan manusia yang lain. Yang satu ada yang berlogika ilmu, yang lain berlogika dongeng, berlogika mitos.

Nah, kita yang mengaku beragama Islam ini kebanyakan berlogika dongeng. Al-Qurãn, yang sebenarnya ilmiah, kita pahami dengan logika itu, sehingga terkesan ada pemisahan antara logika agama dengan logika ilmu. Sebagai contoh, mari kembali ke soal terjemahan Bismillah. Secara harfiah, oke-lah ar-rahmãn diterjemahkan Pengasih dan ar-rahïm diartikan Penyayang. Bahwa Allah bersifat Pengasih dan Penyayang, itu memang benar. Tapi bagaimana bentuk nyata dari sifat-sifat itu? Itu yang harus ditegaskan, sehingga tidak perlu ada yang keliru memahaminya. Dan tidak perlu ada yang mempertanyakan sifat-sifat itu ketika terjadi bencana alam, misalnya.

Ini masalah tafsir atau apa?

Ya, masalah tafsir memang. Tapi bukan berarti masalah ilmiah murni yang merupakan lahan garapan para pakar. Ini berkaitan juga dengan sistem pengajaran agama yang harus bersifat mencerahkan, bukan hanya berupa dogma atau doktrin. Dalam pengajaran Al-Qurãn, misalnya, orang harus dibimbing untuk memahami logika Al-Qurãn, bukan malah dicekoki logika para pengajar atau juru tafsir. Nah, ini sebenarnya jawaban dari pertanyaan anda yang pertama: “Bagaimana Al-Qurãn menjawab tantangan zaman?

Jawaban itu memang ada dalam Al-Qurãn. Tapi dibutuhkan usaha, kerja keras, untuk menggalinya. Itu tidak bisa diberikan secara gampangan, oleh saya, misalnya. Karena masalahnya berhubungan dengan pembentukan logika tadi. Al-Qurãn punya logika tersendiri. Kita juga mempunyai logika sendiri-sendiri. Ketika berhadapan dengan Al-Qurãn, sering kali logika kitalah yang main, sehingga logika Al-Qurãn akhirnya tidak ‘bicara’. Itu kan kurang ajar namanya!

Kurang ajar atau tidak tahu?

Ya, kurang ajar itu kan sama dengan kurang ajaran (kurang belajar), kurang diberi pelajaran, alias kurang pendidikan, makanya jadi tidak tahu!

Berarti setiap orang harus dilibatkan mempelajari tafsir Al-Qurãn, begitu?

O, iya. Al-Qurãn kan petunjuk untuk manusia, hudan lin-nãs(i), bukan hanya petunjuk untuk para ustadz atau Kiai.

Tapi, mempelajari tafsir itu kan sulit?

Makanya jangan disebut mempelajari tafsir dong. Mempelajari Al-Qurãn saja. Mempelajari kitab Allah, yang kita akui sebagai pedoman hidup kita. Bila tidak dipelajari, berarti pengakuan itu bohong. Sulit memang sulit. Tapi kalau kita butuh, yang sulit itu kan terus dicari.

Tidak bisakah orang-orang awam diberi penjelasan seperlunya saja, tanpa harus terlibat dalam proses belajar?

Kalau anda mau jadi serigala, dan orang lain mau anda jadikan kambing, silakan. Tapi melalui Al-Qurãn itu Allah mengajarkan prinsip-prinsip hidup. Di antaranya adalah prinsip tawãshau bil-haqq(i), saling menasihati atau saling menjaga agar sesama orang beriman itu tidak menyimpang dari kebenaran. Prinsip itu tidak akan bisa berjalan bila ilmu tidak memasyarakat, tidak menjadi kesadaran masyarakat.

Contohnya?

Dulu ada Kiai yang menikah satu malam. Masyarakat heboh mempertanyakan, mungkin ingin mengeritik, tapi tak punya ilmu. Prinsip tawãshau bil-haqq macet, karena ilmu juga tidak mengalir, tidak dialirkan, alias hanya tergenang di satu tempat, yaitu di otak para Kiai itu. Alhasil, walau salah, Kiai tetap tidak bisa disalahkan. Seolah-olah can do no wrong. Apa yang diperbuat selalu benar. Di dunia tasauf, misalnya, semakin aneh kelakuan seorang guru (mursyid) malah dianggap semakin membuktikan ketinggian derajat kewaliannya. Biar heran, muridnya tak boleh protes. Kalau protes juga, jawabannya adalah: pemahaman kamu belum sampai! Saya pikir, itu adalah trick untuk memojokkan orang bodoh, atau untuk membuat sang guru jadi tidak tersentuh. Yang jelas, kalau kita memperhatikan sejarah Nabi Muhammad, tidak ada cerita bahwa beliau pernah berperilaku ganjil. Perilaku beliau adalah perilaku yang menjawab pertanyaan, bukan menimbulkan pertanyaan, karena bisa ditiru.

Tapi meniru akhlak Nabi itu kan sulit sekali, Pak.

Ya, tentu saja. Saya tidak pernah mengatakan bahwa itu mudah. Karena itulah kita harus belajar, harus berlatih. Dalam belajar, tentu ada trial and error. Itu biasa. Tapi jangan salah dalam prinsip. Kalau prinsipnya benar, trial and error itu berjalan dalam garis yang benar. Berarti kita menjalankan rencana Allah. Bila prinsipnya salah, trial and error itu berjalan dalam garis rencana Iblis. Bila kita ingin belajar Al-Qurãn, misalnya, itu benar. Lakukan trial and error, tapi cukup di tataran ilmu, jangan di tataran praktis.

Mengapa?

Bila main di tataran praktis, sebelum ilmu dikuasai dengan mantap, bisa-bisa kita jadi teroris!

Apa bahayanya bila kita jadi teroris?

Sedikitnya ada dua bahayanya kalau kita jadi teroris. Pertama, citra agama kita rusak. Kedua, tindakan teror itu bisa dimanfaatkan orang untuk menghancurkan agama kita melalui tangan kita sendiri.

Kalau begitu, saya menangkap kesan adanya kesenjangan antara ilmu dan amal?

Ketika anda belajar, di sekolah misalnya, jelas sekali antara ilmu yang anda pelajari dengan parktiknya itu ada kesenjangan. Ada jarak. Kenapa? Karena sekolah adalah tempat menuntut ilmu saja. Praktiknya nanti, di luar. Jadi, ada giliran untuk belajar, dan ada giliran untuk menerapkan ilmu yang dipelajari. Tapi repotnya sekarang, setelah lulus sekolah anak-anak malah tidak bisa bekerja. Kalau begitu, masalahnya bukan jarak, bukan giliran, tapi ada dikotomi antara ilmu yang dipelajari dengan kenyataan yang harus dihadapi. Di situ kita lihat ilmu tidak menjadi petunjuk hidup, tapi sebatas alat untuk asah otak. Tapi yang saya lihat, sekolah malah membuat otak anak kita jadi tumpul. Menghadapi masalah kecil saja mereka sudah mengeluh.

Bagaimana soal pendidikan agama?

Dalam pendidikan agama, lain lagi ceritanya. Para Kiai mengajarkan ilmu praktis yang bernama Fiqih. Hidup kita diatur dengan hukum halal-haram, wajib-sunat, makruh-mubah. Shalat hukumnya wajib. Mengerjakan shalat dapat pahala, tidak mengerjakan berdosa. Apa yang dibaca dalam shalat? Al-Qurãn. Kalau yang dibaca tidak dipahami bagaimana? O, tidak apa-apa. Paham nggak paham, pahala tetap dapat. Ini kan konyol. Di satu sisi Allah menurunkan Al-Qurãn untuk mencerdaskan kita, eh para Ahli Fiqih malah menyuruh umat untuk tetap bodoh.

Jelasnya?

Jadi, yang ingin saya tegaskan di sini adalah manusia hidup itu harus ilmiah. Karena itu ada kewajiban untuk menuntut ilmu. Selagi ilmu belum dikuasai, jangan beramal dulu, jangan praktik dulu. Nah, para Ahli Fiqih mengajarkan sebaliknya. Bagi mereka, ilmu belakangan; yang penting praktik. Muncullah tindakan-tindakan konyol. Orang beramal tanpa dasar ilmu. Contoh gampangnya, para artis, pejabat, pengusaha, pergi haji karena mereka punya duit. Pulang beribadah haji, mereka jualan daging lagi; pamer paha, pamer dada, korupsi, menipu. Seiring dengan itu, orang-orang miskin yang tak punya dana untuk makan, untuk menyekolahkan anak, dibiarkan menonton mereka sambil gigit jari.

Kan ada alternatif di samping Fiqih. Tasauf, misalnya.

Ah, Tasauf itu lebih gila lagi! Di satu sisi Nabi melarang kita memikirkan zat Allah, tapi mereka malah mengajak orang mencari-cari Allah. Sudah jelas bahwa Allah menurunkan Al-Qurãn sebagai wakil-Nya. Kenapa mereka tidak menekuni Al-Qurãn saja?

Saya kira, mereka malah menekuni Al-Qurãn!

Ya, tapi hanya untuk pembenaran pikiran mereka.

Kata mereka, Nabi Muhammad juga dulu pada hakikatnya seorang sufi?

(Tertawa keras) Itu jalan pikiran yang bagus. Tapi kalau Nabi Muhammad seorang sufi, mengapa perilaku mereka berbeda dengan Nabi Muhammad? Kalau Nabi Muhammad seorang sufi, maka sufi sejati adalah yang memiliki persamaan terbanyak dengan Nabi Muhammad, bukan malah memperlihatkan perbedaan yang menyolok. Yang jelas, seperti kata ‘Aisyah, akhlak Nabi Muhammad adalah Al-Qurãn, dan saya lihat konsep Al-Qurãn dengan ajaran Tasauf itu bertolak belakang.

Karena akhlak Nabi Muhammad adalah Al-Qurãn, maka yang harus diutamakan adalah pengkajian Al-Qurãn, begitu?

Ya.

Menurut Bapak, di mana letak sulitnya mempelajari Al-Qurãn?

Saya melihat yang terberat itu adalah sisi pragmatisnya. Maksud saya, ini masalah situasi kejiwaan ya, yang menuntut kita untuk bersikap pragmatis. Ketika kita hendak mengkaji Al-Qurãn, misalnya, kita harus berusaha memproyeksikan diri ke dalam posisi ketika Nabi Muhammad mengkaji Al-Qurãn.

Caranya?

Misalnya, Nabi Muhammad pada waktu itu dalam keadaan haus akan informasi akurat. Kita pun harus memproyeksikan diri seperti itu. Haus informasi akurat dari Allah, karena jenuh dengan informasi bohong dari sekeliling kita!

Itu yang sulit. Saking sulitnya, saya sampai mengarang doa: Ya Allah, jadikanlah aku orang yang amat sangat cinta pada ajaran-Mu, amat sangat cinta pada rasul-Mu …!” Sulit, sulit sekali. Jangankan amat sangat cinta, cuma cinta biasa saja sudah sulit.

Tapi kita harus berusaha, karena setelah kesulitan itu pasti muncul kemudahan kan?

Saya sering mendengar orang mengatakan itu! Tapi jelasnya bagaimana?

Kita kan sudah bicara panjang-lebar bahwa Al-Qurãn itu ilmu, pedoman, petunjuk, dan sebagainya. Nah, walaupun sulit mempelajarinya, setelah belajar kan kita mendapatkan ilmu-Nya. Selanjutnya, ilmu-Nya itulah yang akan mendatangkan kemudahan, karena dia benar-benar jadi pedoman. Jadi petunjuk yang benar-benar fungsional, bermanfaat secara praktis!

http://id-id.facebook.com

Sumber: adibsusilasiraj.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar