Sabtu, 22 Januari 2011

Fasilitas Perwakilan Rakyat

http://rol.republika.co.id/images/news/2008/09/20080908161822.jpg
 

Dewan Perwakilan Rakyat semestinya mendengarkan aspirasi rakyat. Demikian komentar Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDIP, menanggapi sikap DPR yang gigih ingin meneruskan rencana pembangunan gedung baru. Anggaran pembangunan gedung megah dan mewah bertingkat 36 itu mencapai sekitar Rp1,3 triliun, yang dianggap terlalu tinggi oleh masyarakat. Antara lain Sebastian Salang, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen, berpendapat pembangunan gedung baru bukan kebutuhan mendesak. Janganlah penambahan tenaga ahli dijadikan alasan.

Yang tidak seimbang dengan kegigihan untuk mendapatkan gedung baru, DPR sebagai badan legislatif di lain pihak dinilai gagal menuntaskan tugas dan tanggung jawabnya. Diberitakan, dari 70 RUU prioritas tahun 2010, hanya delapan yang menjadi UU.

Selain menjalankan fungsi dan tugas rutinnya, DPR kadang-kadang juga terkesan membuat pilihan-pilihan yang berselisih dengan harapan rakyat. Termasuk penyelenggaraan berbagai studi banding ke luar negeri dan pembangunan fasilitas yang dinilai mengada-ada. Misalnya, Gedung Perwakilan Rakyat bukan hotel. Mengapa harus ada kolam renang di sana?

Perpustakaan perwakilan rakyat

Sebagai wakil rakyat, para anggota DPR berpenghasilan memadai untuk memenuhi kebutuhannya. Namun, DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat wajib menyediakan berbagai fasilitas yang dibutuhkan anggota dalam rangka menjalankan tugasnya. Yang diharapkan, tersedia fasilitas-fasilitas yang mampu mengembangkan kualitas para anggota demi peningkatan kinerja.

Salah satu yang mungkin meminta perhatian adalah fasilitas pendidikan. Tidak disangsikan, para anggota DPR telah memenuhi persyaratan pendidikan formal mereka. Namun, latar belakang fokus pendidikan tidak sama, selain misi ideologi partai juga berbeda-beda. Maka, diperlukan pendalaman pendidikan sesuai tugas legislatifnya, termasuk pengetahuan hukum dan kemasyarakatan. Fasilitas bisa beragam: berbentuk riset, seminar, diskusi, atau pelatihan yang dilakukan bersama atau masing-masing.

Sekadar untuk studi banding, tersebutlah sebuah fasilitas perwakilan rakyat Amerika yang dianggap termegah di seluruh dunia, terkenal sebagai lembaga kultural pemerintah federal yang tertua--berdiri pada 1800--dengan nama The Library of Congress, di Washington DC. Sekarang koleksinya mencakup sekitar 32 juta buku dan penerbitan jenis lain, yang terbit dalam 470 bahasa. Sekitar 130 juta selebihnya berbentuk lain. Bila dideretkan dalam rak buku, panjang seluruhnya mencapai hampir 1.200 km. Bandingkan dengan British Library yang memiliki koleksi 25 juta buku dan 150 juta benda koleksi perpustakaan. Bila dideretkan dalam rak panjangnya sekitar 625 km.

Library of Congress yang kini meraksasa itu berdiri setelah Kongres Amerika dibentuk pada 1789 berdasarkan konstitusi. Perpustakaannya dibangun 11 tahun kemudian. Undang-undang menetapkan alokasi dana sebesar US$5.000 untuk pembelian buku-buku perpustakaan. Pada awalnya, buku-buku dipesan dari London. Jumlahnya tidak lebih dari 740 buku.

Kongres waktu itu barangkali merasakan perlunya memiliki perpustakaan untuk fasilitas riset. Sebagai badan pembuat undang-undang, koleksinya semula hanya yang berkaitan dengan hukum. Sayangnya, akibat serangan tentara Inggris tahun 1814, Library of Congress dengan koleksi 3.000 buku hancur. Namun dalam waktu satu bulan, Presiden AS Thomas Jefferson menyerahkan lebih dari 6.000 koleksinya sebagai pengganti.

Menjelang penutup abad ke-19, Library of Congress mengalami reorganisasi yang membuatnya berkembang pesat. Pada abad ke-20 dia sudah lebih terbuka dan disebut sebagai 'library of the last resort', semacam perpustakaan sentral. Dia bekerja sama dengan perpustakaan-perpustakaan lain dan terbuka untuk publik yang dianggap memenuhi persyaratan, termasuk para ilmuwan periset. Banyak bahan dari negara-negara lain didatangkan untuk memperkaya koleksi.

Dalam perjalanan sejarahnya, ada usaha-usaha untuk mengembangkan peran perpustakaan itu agar lebih melayani kebutuhan nasional daripada legislatif. Namun, undang-undang reorganisasi tahun 1970 mengembalikannya pada peran melayani badan legislatif, dengan lebih fokus pada riset untuk komite-komite Kongres. Sekarang hanya anggota-anggota Kongres, Mahkamah Agung dan stafnya, staf Library of Congress sendiri serta pejabat-pejabat tertentu, diizinkan memindahkan buku dan lainnya dari gedung perpustakaan. Lain-lainnya hanya boleh meminjam untuk dibaca di ruang baca.

Prioritas fasilitas

Fasilitas-fasilitas perwakilan rakyat mencerminkan dinamika dan kinerja para anggota. Sejak berdiri pada 1800, lebih dari dua abad yang lalu, The Library of Congress dipimpin berturut-turut oleh 13 intelektual terkemuka. Harian New York Times menyatakan pada tahun 1987 bahwa posisi pemimpin perpustakaan itu ‘perhaps the leading intelellectual public position in the nation.'

Apakah orientasi masyarakat kita lebih berat ke depan atau ke belakang? Kelengahan untuk sekali-sekali merenungkan hal-hal demikian membuat kita hanyut pada kerepotan berjangka pendek, membuat kita segan menggunakan kreativitas karena khawatir kalau-kalau merusak kemapanan, Padahal kita punya cukup banyak orang cakap dengan ide-ide baru dan kreativitas. Mengutip kata seorang intelektual, "Jumlah orang pintar di Indonesia 'ombyokan' (sangat banyak). Masalahnya, apakah kita sudah memanfaatkan pemikiran mereka?"

Di luar bidang ekonomi dan politik, masih ada bidang-bidang sosial yang memerlukan sumbangan pemikiran baru dan segar. Hasil konkretnya mungkin tidak bisa dirasakan sekarang. Tetapi kalau diabaikan, dampaknya akan besar di masa depan. Ambil contoh sederhana: soal minat baca. Sebagai bangsa, kita patut prihatin melihat betapa rendahnya minat baca kita, padahal bacaan yang mantap memberikan rangsangan pengembangan pemikiran. Tanpa bacaan, kita akan tetap menjadi bangsa yang bertopang pada tradisi lisan yang berjalan lamban dan pesannya sering tidak akurat. Apakah ini perlu diprihatinkan? Rasanya perlu. Kita bisa menghimpun ide-ide segar dan baru dari bacaan yang datang dari segenap penjuru dunia. Kalau yang kita dengar dan katakan hanya itu-itu saja, bukankah kita akan berjalan di tempat?

Soal minat baca ataupun fasilitas-fasilitas pendukungnya memang kedengarannya sederhana dan tidak bersifat mendesak. Sekadar contoh, persentase bacaan harian kita amat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. UNESCO menetapkan seyogianya 10%. Hal-hal sederhana seperti ini pun sebenarnya menjadi tantangan bagi Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk masa depan, yang ditunggu bukan hanya warisan berbentuk bangunan atau monumen. Rasanya masa depan justru membutuhkan warisan spirit pemikiran.

Oleh Toeti Adhitama
Anggota Dewan Redaksi Media Grup 


Sumber: mediaindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar