Sabtu, 22 Januari 2011

Hukum dan Kekuasaan: Capeee Deh ...

Perang dingin antara Indonesia dan Malaysia, membuat masing-masing warga kedua negara ini juga jadi perang tanding-tandingan. Bagusan mana, negaraku atau negaramu? Segala seginya pun dibahas, termasuk soal penegakan hukumnya. Malaysia yang usianya jauh lebih muda, kelihatannya tidak membutuhkan waktu panjang dalam masalah penegakan hukum. Sedangkan Indonesia yang sudah mereguk kemerdekaan lebih lama dibanding Malaysia…. .rasanya kok belum merdeka juga ya dari belitan masalah penegakan hukum yang belum tegak juga?
 
Kalau Malaysia yang lebih muda bisa menegakkan hukumnya, Indonesia kok belum bisa? Salahnya di mana? Apa karena Malaysia menggunakan hukum cambuk dan hukum gantung? Makanya efek jeranya lebih kuat? Apa Indonesia juga mesti main cambuk dan main gantung? Biar masalah penegakan hukum tidak jadi masalah yang berlarut-larut?
 
No way...!!!! Begitu kata beberapa pendapat! Primitif banget sih! Banyak juga kan negara yang bisa menegakkan hukumnya tanpa perlu menakut-nakuti dengan cambuk dan tiang gantungan. Kalau begitu, Indonesia harus bagaimana? Meniru cara Malaysia, nanti dituduh primitif. Meniru negara maju, kok belum behasil juga ya? Salahnya dimana?
 
Membenahi hukum memang tidak semudah membalik telapak tangan. Karena membenahi “hukum saja” tanpa membenahi “kekuasaan”, adalah usaha sia-sia.
 
Karena hukum selalu melekat pada kekuasaan. Hukum dan kekuasaan selalu jadi satu paket.
 
Keduanya seakan dua kembar siam yang tidak bisa dipisahkan.
 
Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan. Sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah anarki. Ini salah satu slogan dalam bahasan filsafat hukum modern di Indonesia, yang dicetuskan oleh Mochtar Kusumaatmaja. 
 
Hukum dan kekuasaan adalah duet yang bisa menguntungkan, bisa juga merugikan. Efeknya bagaikan pisau bermata dua. Menguntungkan jika hukum itu bisa bermanfaat dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dan merugikan jika hukum dan kekuasaan itu menyelonong dan menjadi timpang.  Hukum dan kekuasaan tanpa rasa keadilan justru melanggar dogma hukum yang seharusnya normatif.  Rasa keadilan akhirnya berpulang pada nurani. Tanpa rasa keadilan, hukum bisa diplintir menurut kepentingan sang penguasa. 
 
Hukum bisa berlaku karena penetapan negara, kata Aristoteles. Sejak mazhab Aristoteles, Plato sampai mazhab hukum modern, eksistensi hukum sendiri sudah jelas. Yaitu mesti memenuhi asas keadilan dan kepastian. Yang jadi masalah adalah “si pemegang kekuasaan” itu. Apakah betul-betul berniat mewujudkan keadilan dan kepastian itu?
 
Lha…kalau memang betul-betul berniat, seperti dokter yang ingin mengobati penyakit, tentu saja harus mengenali dulu gejalanya.
 
Tanpa mengenali gejalanya, sulit menentukan diagnosa. Tanpa ketepatan diagnosa, sulit juga menentukan obat untuk menyembuhkan penyakitnya.
 
Oke, kalau begitu gejala apa saja sih yang tampak sampai Indonesia ini dituduh sudah kropos banget dalam soal penegakan hukum?
 
Adakah barometer yang bisa digunakan untuk mengetahui sejauhmana praktek hukum dan kekuasaan sudah memenuhi rasa keadilan masyarakat?
 
Mungkin indikasi di bawah ini belum bisa jadi peta keseluruhan tentang kondisi penegakan hukum di Indonesia. Tapi paling tidak gambaran di bawah ini adalah barometer secara garis besarnya saja:
 
Pertama, “Masih adakah korupsi?” 
 
Praktek korupsi baik sembunyi-sembunyi apalagi terang-terangan adalah salah satu indikasi, masih lemahnya penegakan hukum. Keberanian aparat melakukan korupsi kelas kakap maupun pungli kelas teri, menunjukkan masih adanya celah–celah hukum yang lemah dan bisa dimainkan. 
 
Kedua, “Bagaimanakah hubungan antara para penegak hukum, pelaku kekuasaan dan  konglomerat?” 
 
Tak jarang masih ada kasus yang membeku dan menguap begitu saja setelah dilimpahkan ke kepolisian maupun ke kejaksaan. 
 
Bisa ditebak, biasanya kasus semacam ini adalah kasus yang melibatkan pejabat berpengaruh atau konglomerat yang dekat dengan kekuasaan. Kalaupun kasus ini kena dakwaan, maka vonis-nya ringan ataupun kurang memenuhi rasa keadilan. Atau malah tidak jarang dakwaan jaksa berhasil dimentahkan. Selama ini masih terjadi, jelaslah keadilan dan kepastian hukum masih jauh dari harapan.
 
Ketiga, “Kolusi dan Nepotisme” 
 
Praktek-praktek kolusi terjadi biasanya karena satu sama lain bisa saling menguntungkan (secara illegal). Praktek kolusi, yang prinsipnya mirip-mirip “kerjasama berdasarkan asas suka sama suka” (kok kayak orang pacaran ya)….bedanya ini kerjasama melawan hukum, adalah salah satu penyakit yang paling sulit dibasmi. Tentang nepotisme,  ini ada ceritanya sendiri. Mantan presiden Soeharto pernah diingatkan salah seorang menteri, tentang kritik masyarakat terhadap dominasi anak-anaknya di proyek-proyek basah. Pak Harto agak ngambek dengan kritik ini, lalu mengatakan, “kalau anak-anak saya tidak boleh berbisnis, lebih baik saya berhenti jadi presiden”. Setelah itu kita tahu bagaimana kelanjutan kasus dakwaan korupsi terhadap anak-anak Pak Harto.  Dengan peta kultur Indonesia yang khas, mungkin budaya nepotisme merupakan tantangan tersendiri bagi tegaknya hukum di Indonesia. 
 
 
 
Keempat, “Intervensi penguasa terhadap penegakan hukum” 
 
Selama penguasa masih memainkan kepentingannya secara subyektif dan mempengaruhi proses penegakan hukum, tidak diragukan lagi, ini bisa memanipulasi dunia peradilan. Silahkan anda menilai sendiri bagaimana dengan komentar Jaksa Agung dan  Jusuf Kalla tentang kasus Yusril Isra Mahendra dan Hamid Awaluddin. 
 
Kelima, “Jangan lupa…..kondisi lalu lintas di jalan raya!” 
 
Indikasi yang paling kuat dan paling mendasar untuk melihat bagaimana kualitas penegakan sistem hukum suatu negara adalah kondisi lalu lintasnya.
 
Secara psikologis, perilaku rakyat di jalan raya menunjukkan bagaimana wajah penegakan peraturan suatu negara. Kalau di jalanan saja rakyat sulit untuk mematuhi peraturan, bisa dibayangkan bagaimana wibawa hukum di mata rakyatnya.
 
Saya tidak tahu mesti bilang apa, ketika kolega saya, orang Belanda, mengatakan dia dimintai “uang rokok” oleh seorang polisi di Indonesia karena dianggap melanggar peraturan lalu lintas. “Wah, gampang ya di Indonesia….asal bayar uang rokok, urusan selesai”, katanya. 
 
Semua barometer yang disebutkan di atas adalah masalah klise, sudah basi, semua orang juga tahu. Kalau sampai sekarang masih juga dibahas, paling komentar kita cuma, “capeeeee deeeeh....!!!!”. 
 
Sebenarnya kalau masyarakat masih bereaksi “capeee deh…” , mungkin belum seberapa jauh efeknya. Tapi yang payah kalau masyarakat berubah jadi apatis. Dan kalau masyarakat sudah jadi apatis terhadap penegakan hukum, jelas akan timbul penyakit lain. Penyakit yang membuat wibawa hukum semakin morat marit. Yaitu penyakit tidak percaya lagi pada hukum. Akibatnya masyarakat percaya pada  aturan hukumnya sendiri. Yaitu hukum rimba. Siapa yang kuat, berkuasa dan berduit, dialah yang menang.
 
Mentalitas main hakim sendiri, “menyetor di bawah meja”, kurang lebih terbentuk karena krisis kepercayaan terhadap keadilan dan  kepastian hukum serta lemahnya penegakan hukum. 
 
Oke, orang yang awam hukum juga mengerti dan mengenali semua gejala di atas sebagai indikasi bagaimana kroposnya penegakan hukum di Indonesia. 
 
Kalau sudah mengenali gejalanya, tidak penting lagi apakah mau meniru gaya Malaysia atau negara lain dalam soal penegakan hukum. Yang penting adalah NIAT dari si “kekuasaan” sendiri. Sebetulnya punya niat nggak sih untuk mengadakan reformasi besar-besaran demi terwujudnya penegakan hukum? 
 
Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan. Kekuasaan tanpa hukum adalah anarki. Itu menurut teori filsafat hukum-nya Pak Mochtar. Tapi tampaknya di Indonesia  teori ini bisa berubah jadi, “hukum bareng kekuasaan,  masihkah angan-angan?“.  Dan kekuasaan tanpa ataupun bareng hukum….. tampaknya masih sami mawon tuh,  teteeeep aja bisa jadi anarki!“. 
 
Walentina Waluyanti
Nederland, 26  Agustus 2009
 
Sumber: kolomkita.detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar