Selasa, 04 Januari 2011
Ironi Cabe di Negeri Agraris
Harga cabe terus mengalami kenaikan lebih dari 50-100% dari harga semula. Harga bahan pokok lainnya juga terus menanjak. Inikah ironi negeri agraris?
Indonesia merupakan negeri subur, namun harga cabe dan sembako terus melambung. Tak tanggung-tanggung, di beberapa daerah, salah satu jenis cabe bahkan naik hingga dua kali lipat, yakni cabe rawit merah yang mengalami kenaikan paling ekstrim, yang di saat kondisi normal Rp10-12 ribu kini naik menjadi Rp30-35 ribu per kilogram.
Selain itu, harga cabe merah yang sebelumnya di kisaran harga Rp20-22 ribu naik menjadi Rp35 ribu per kilogram. Sementara, harga cabe rawit menjadi Rp45-50 ribu, dari harga Rp25 ribu-Rp30 ribu perkilogram.
Para ahli melihat, banyaknya kegagalan panen akibat salah urus pertanian. Juga akibat cuaca yang ekstrim dan hujan yang terus-menerus di beberapa wilayah Indonesia, menyebabkan penurunan tingkat produksi beberapa komoditas utama.
Alhasil, pasokan lokal beberapa kebutuhan pokok menjadi berkurang, sehingga memicu kenaikan harga sejumlah bahank kebutuhan pokok di pasaran. Termasuk, bahan pokok cabe yang kenaikannya paling ekstrim dibandingkan bahan pokok lainnya.
“Salah urus pertanian merupakan pangkal persoalan mahalnya harga sembako atau kebutuhan pokok termasuk cabe,” kata Hira Jhamtani, Pemerhati Kehidupan, Aktivis Lingkungan & Analis Globalisasi.
Baru-baru ini Presiden SBY mencanangkan revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan. Hira Jhamtani menekankan bahwa revitalisasi adalah ‘menghidupkan atau mengaktifkan’ kembali, langkah yang mungkin tidak akan berhasil tanpa transformasi paradigma, kebijakan dan institusi menyeluruh.
Salah satu langkah revitalisasi adalah mengaktifkan kembali para penyuluh pertanian. Pertanyaannya kemudian apakah ada reformasi mengenai isi dan cara penyuluhan serta kesejahteraan penyuluh?
Di masa lalu, adalah rahasia umum bahwa penyuluh pertanian berhasil membuat petani menggunakan bahan-bahan kimia. Mereka kadang menjadi ‘agen’ pabrik bahan kimia daripada menjadi penyuluh yang sebenarnya. Di kawasan yang sulit dijangkau karena infrastruktur buruk, di NTT misalnya, para penyuluh hampir tidak pernah ke desa karena tidak dibekali sarana yang memadai.
Menurut Hira, Departemen Pertanian perlu mengubah seluruh kebijakannya, dari orientasi pertanian intensif dan monokultur ke arah pertanian berbasis petani dan lingkungan.
Juga sudah jadi rahasia umum bahwa Departemen Pertanian dengan mudah meloloskan varietas baru atau pestisida baru tanpa uji coba yang memadai. Atau mereka gagal mengawasi peredaran pestisida dan benih dari luar yang tidak pernah mendapatkan ijin.
Ia menyarankan tiga langkah reformasi. Pertama, kebijakan pertanian harus menjadi bagian dari pembangunan perdesaan yang ramah petani, ramah lingkungan dan adil dengan sasaran agar penduduk desa tidak harus keluar desa atau keluar kabupaten untuk mendapatkan pendidikan hingga SMU, atau untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan pelayanan informasi pasar.
Untuk itu, pembangunan infrastruktur (telepon, internet, listrik, jalan, teknologi pengolahan yang tepat guna) yang terkait perlu diintensifkan di pedesaan. Swasembada desa harus dijadikan tujuan utama.
Kedua, kebijakan pertanian tidak boleh bersifat seragam melainkan harus didasarkan pada keunggulan komparatif lokal. Target yang dibuat di tingkat nasional tidak harus dibebankan kepada tingkat lokal, terutama bila target tersebut dicapai melalui teknologi pertanian yang merusak sumber daya alam dan sistem lokal.
Ketiga, kebijakan pertanian harus dirumuskan melalui konsultasi partisipatif dengan para petani. Hal ini membutuhkan perubahan pandangan di mana petani perlu dianggap sebagai pemulia benih, peneliti dan produsen pangan yang harus dihargai. Hak sosial, ekonomi dan kultural mereka harus dilindungi dan dijadikan landasan pembuatan kebijakan.
Pemerintah sering memberikan insentif ekonomi berupa keringanan pajak, subsidi atau dukungan politik bagi perusahaan dan investasi di bidang industri. Hal yang sama perlu dilakukan bagi petani, yang jasanya justru lebih besar yaitu memberi pangan atau sembako kepada seluruh rakyat Indonesia!
“Hanya dengan cara itu, sangat mungkin harga sembako bisa distabilkan dan pertanian tak salah urus lagi,” kata Hira, aktivis lingkungan.
Sumber: inilah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar