Rabu, 12 Januari 2011

"Menghargai Jasa Koruptor"

 




















Sejak saya mampu membaca berita di media massa maupun dengan melihat fenomena yang tak sempat tertulis oleh para penulis atau jurnalis, berita dan realita yang selalu muncul di media adalah prilaku sebagian aparatur negara yang seakan tidak pernah jera untuk terus-menerus menghancurkan negeri ini. Hidup di negeri ini sepertinya sudah tidak ada lagi keberkahannya, penuh dengan kedustaan, kebohongan, kepalsuan, penipuan, dan segela bentuk kejahatan dan perilaku yang menyimpang bagai sudah menjadi ‘aqidah baru’ yang dianut oleh aparatur negara pelaksana kepemerintahan negeri ini. Padahal, kemerdekaan negeri ini hampir mencapai usianya yang ke enam puluh enam tahun, jangka waktu yang terlalu lama membuat negeri ini makmur dan maju sebagaimana Negara-negara tetangga semacam Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura. Akibat situasi ini pula, sebagian pengamat meyakini beberapa dasawarsa ke depan, Timor Timur yang notabenenya merupakan mantan Propinsi Indonesia yang baru lepas beberapa tahun silam diprediksi akan menyaingi kemajuan Indonesia dalam banyak aspek kategori kemajuan.

Negeri para mafia, mungkin itulah ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan wajah suram Indonesia yang dihuni oleh para koruptor pengkhianat bangsa ini. Wajah angker ini tidak jarang membuat perasaan bangga kita sebagai warga Negara (nasionalisme) menjadi luntur atau bahkan sirna karena rasa malu, teriris dan tersayat akibat menyaksikan sajian pemandangan yang menyebalkan oleh para aparatur pelaksanan pemerintahan negeri ini di berbagai lini.

Mereka para mafia ini semakin tamak ketika diberi kepercyaan mengemban amanah rakyat untuk mengelola negeri ini. Budaya korupsi, kolusi maupun nepotisme yang jelas-jelas menjadi sebab terbesar kehancuran negeri ini dengan sengaja terus terus dilestarikan. Bahkan yang lebih ironis, ternyata pelestarian budaya tersebut dilakukan secara sistematis dan terstruktur dan serta juga dilindungi oleh hukum yang direkayasa oleh para mafia berbaju pejabat Negara. Adanya ‘simbiosis-mutualisme’ antara pengusaha dan penguasa sudah mengakar sangat dalam dan menjadi rahasia yang diketahui khalayak ramai.

Para mafia ini bergaya hidup seperti ‘raja-raja’, penuh dengan kemewahan. Harta, seperti rumah pribadi yang mewah, dan jumlahnya tidak hanya satu, mobil yang mewah, yang jumlahnya tidak hanya satu, barang-barang berharga, seperti emas dan berlian yang jumlahnya tak ternilai, deposito yang bermilyar, anak-anak yang sekolahnya di luar negeri, mereka berlibur di tempat-tempat yang eksklusif di luar negeri. Terkadang mereka masih melengkapi kehidupan pribadi mereka dengan ‘gundik’, yang disimpan, guna menyempurnakan kehidupan mereka. Ironisnya semua itu tarjadi di tengah realita kondisi perekonomian rakyat yang sangat morat-marit, namun sudah tak terhitung jumlah kasus korupsi dengan jumlah bilangan yang fantastis yang tercatat dengan tinta hitam dalam buku hati sanubari rakyat.

Dalam konteks Nasional, belum tuntas penyelesaian mega kasus Bank Century yang merugikan rakyat triliunan rupiah yang sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya, dan mungkin dibiarkan, tanpa ada langkah-langkah konkrit, khususnya terhadap para penanggung jawab yang telah menggelontorkan dana bailout kepada Bank Century Rp 6,7 triliun, kini kita kembali menyaksikan mega kasus lainnya yang dipelopori Gayus Tambunan sebagai pion-nya, seorang pegawai Dirjen Pajak dengan golongan pegawainya III A yang menjadi seorang milyarder dengan kekayaannya yang sangat fantastis, dan yang diungkap dari hasil korupsi/sogokan mencapai Rp 25 miliar. (Republika,30/3/2009, jumlahnya Rp 28 miliar). Dari kasus Gayus Tambunan ini terungkap seluruh aparat penegak hukum terlibat, polisi, jaksa, aparat pajak, dan aparat penegak hukum lainnya, secara sistemik terlibat dalam terlibat dalam kasus ini. Ini hanyalah salah satu kasus telah merembet ke semua institusi penegak hukum, dan lembaga lainnya.

Dan anehnya, orang yang sudah melakukan kejahatan korupsi, menerima sogok dan suap dalam skala yang sangat besar dan massif, justru mendapatkan perlakuan istimewa di negeri ini. Tidak seperti ‘teroris’, yang langsung dimatikan, ditembak, dan tidak ada yang berani membela. Justru Gayus Tambunan, saat sekarang ini menjadi orang penting, serta mendapatkan perlakuan sebagai ‘VVIP’.

Begitu juga beberapa waktu lalu kasus pemilihan deputi senior Gubernur Bank Indonesia (BI), Miranda Gultom, yang sangat menyesakkan dada, ada anggota dewan dari PDIP, Golkar, PPP, dan Fraksi TNI/Polri, yang menerima uang ‘balas budi’ nilainya bermilyar-milyar, dan dijelaskan dengan gamblang dan terang benderang. Tapi, sampai sekarang yang ditekuk di pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) hanya yang menerima travel cheque, tapi yang menyogok, masih dapat tertawa-tawa di rumahnya. Buktinya tak akan ada pengadilan yang menjatuhkan hukuman berat bagi mereka yang telah melakukan kejahatan, yang berkaitan dengan korupsi, sogok, suap, dan maling uang negara. Kasus yang paling spektakuler dalam sejarah bangsa ini, yaitu kasus BLBI yang menghabiskan Rp 650 triliun, dan tidak ada yang dihukum berat, dan hanya beberapa gelintir orang. Disusul kasus bail out Bank Century Rp 6,7 triliun, sepertinya kasus ini akan berlalu bersamaan dengan waktu seperti kasus-kasus lain sebelumnya.

Dalam konteks lokal, Belum tuntas pengusutan kasus pencurian uang rakyat sebesar 220 Milyar di Aceh Utara beberapa waktu lalu, esoknya kita kembali mendengar kasus korupsi di Dinas Pendidikan dalam proyek pengadaan sertifikat mampu baca Al Quran (Sumber MaTA, Serambi, 5/12/2009). Kasus-kasus lain seperti penjualan besi jembatan yang disinyalir melibatkan salah seorang petinggi provinsi Aceh. Begitu juga kasus-kasus yang belum tuntas lainnya yang tidak muat untuk disebutkan disini Bahkan, beberapa waktu yang lalu kembali muncul berita terbaru perihal telah digelapkannya uang pajak negara sebesar 20 Milyar oleh salah satu bendahara Pemda Aceh (Serambi, 3/12/2009).

Apa sebenarnya yang menghadang laju kemajuan negeri yang bernama Indonesia ini dan terus terbukanya kran korupsi?, ternyata jawabanya adalah semangat untuk berubah menjadi lebih baik tidak pernah mampu tertanam dan subur dalam jiwa aparatur pelaksana pemerintahan negeri ini. Selain itu, tak bisa dipungkiri bahwa salah satu faktor yang menyebabkan korupsi tumbuh-subur di negeri ini adalah lemahnya penegakan hukum. Hingga hari ini, belum pernah ada koruptor yang dihukum setimpal dengan perbuatannya, bahkan ada yang mendapat perlakuan begitu istimewa seperti Artalyta Suryani beberapa waktu lalu. Saya kira solusi terbaik untuk membendung dan membersihkan para mafia pelaku korupsi ini adalah dengan mengagas kembali hukuman mati, atau minimal “potong tangan” seperti yang diperintahkan oleh Allah dalam Alquran dalam bab pencurian (KKN).

Tak bisa dibantah bahwa koruptor adalah pencuri dari kalangan pejabat yang telah sangat menyengsarakan rakyat. Untuk itu kita harapkan kepada lembaga wakil rakyat/ DPRA untuk segera merancang Qanun kusus yang menghukumi para pencuri/koruptor ini. Jadi, hukuman mati tidak memada hanya Qanun Jinayat saja seperti yang dipesoalkan oleh banyak penulis di harian ini. Kita tunggu apakah wakil rakyat di DPRA punya nyali! Siapa yang berani saya yakin akan mendapat simpati tinggi dari rakyat.

Saya yakin, apabila hukuman mati betul-betul dilaksanakan dengan konsisten dan konsekwen, maka insya Allah prilaku korupsi para pejabat kita akan bisa dibendung. Kita tidak usah mendengarkan atau menggubris omongan-omongan orang yang sok humanistis yang menganggap hukuman mati atau hukuman potong tangan itu tidak manusiawi seperti tuduhan mereka terhadap hukuman rajam. Sementara mereka tidak berfikir bahwa akibat perlakuan koruptor justru sangat luar biasa dampaknya, ribuan dan bahkan jutaan rakyat yang pada prinsipnya mereka bunuh dengan cara-cara yang tidak manusiawi, dengan diambil serta dirampas hak-hak mereka sehingga kenestapaan terus menerus berkelanjutan menerpa rakyat negeri ini.

Sumber: jibril22.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar